Tapakan-tapakan langkah kecil di batuan hitam Gunung Gentong |
Ada teman yang mendadak kangen ngajakin ketemuan.
Terakhir pergi sama dia
itu adalah ketika ke Jumog beberapa
bulan yang lalu. Yaa, dia adalah Nofela.
Janjian sama dia selalu spontan
tanpa rencana karena biasanya nanti
inspirasi akan datang ketika kami sudah ketemu.
Baiklah, setelah dia dengan setianya menunggu kabar “otw” dariku, mantap ku
tekan tombol enter yang mengabarkan bahwa aku sudah berangkat dari rumah.
Kalau biasanya kami punya tempat-tempat favorit untuk biasanya makan,
atau apa, nah kali ini kami memilih untuk ketemuan di Stasiun Lempuyangan.
Apakah kita akan ke Solo lagi? Bukan dong, kita mau motoran selow~
muter-muter jogja.
“Ini kita mau kemana?” tanyanya menarik gas motor sambil agak noleh ke
belakang.
“Gimana kalau wisata candi?” jawabku sambil merayu :p
“Baiklah” jawab singkatnya menyetujuiku
Sebenarnya, ada cinta belum kesampaian yang sampai detik ini memang belum
kesampaian; ke Candi Plaosan. Ada yang mau ngajakin? *eh
Kendaraan terus melaju agak kencang melewati Jalan Solo yang siang itu panasnya bukan main.
“Cek rute Gedang Sari via Klaten dong” requestnya secara tiba-tiba
Langsung ku ketik beberapa keyword di layar hape.
“ini ketemu… bentar ya tak screenshot dulu”
Jadi ceritanya kita ganti planning di tengah-tengah jalan.
Ke Candi Plaosan pulangnya saja nanti, terus sekarang kita mau menuju
Gedangsari. Oke.
Berbekal selembar screenshot yang arahnya masih membingungkan didukung
dengan minimnya papan ijo petunjuk sepanjang perjalanan, sampailah kami kepada
batas Gunungkidul-Sukoharjo.
“Waaa terus mana arahnya?”
Keadaan ini mengharuskan kami untuk segera menghampiri ke arah beberapa
bapak-bapak yang sedang asyik ngobrol sambil
ngeteh di kursi-kursi angkringan.
“Pak, mohon maaf ini benar arah menuju Gedangsari?”
“Waah, kebablasen adoh mbak…
ini Ngawen, mbaknya udah kebablasen 20 km”
Jawaban singkat beliau sungguh mampu sekali meluluhlantahkan semangat kami *prakk,
krompyang*
Kesasar 20 km?
Duh, Bapaknya bisa aja; 20 km udah bisa kembali ke Lempuyangan kali ya?
Akhirnya ada salah satu bapak-bapak di situ yang menawarkan diri berkenan
mengantar kami ke arah Gedangsari, sekalian beliau mau pulang ke rumah.
Kami mengikuti angkot kuningnya dari belakang dengan sabar, kemudian sampai berhentilah kendaraan kami di tugu
putih yang letaknya persis di tengah jalan pertigaan.
Jangan tanyakan itu daerah mana, karena sungguh aku sangat buta daerah
ini.
Beliau menjelaskan beberapa hal mengenai arah rute dan keadaan medan
jalan yang akan kami lewati menuju Gedangsari nantinya.
Setelahnya, kami saling mengucapkan salam dan terimakasih.
Perjalanan sudah menunjukkan titik terang, beberapa papan-papan kecil
sepanjang jalan yang mengarah kepada Gedangsari sudah kami lihat di pinggiran
jalan.
Memang benar kata bapak-bapak tadi, jalan yang kami lewati menanjaknya luar biasa. Gigi motor
dioper pol di gigi satu saja.
Tanjakan liukan itu berlangsung lama, karena melaluinya kami dibawa di
keadaan yang lebih tinggi diapit sawah hijau dan jurang curam.
Terkadang berhenti di pinggiran jalan yang agak lapang, kami
memperhatikan cekungan hijau yang dipenuhi hamparan sawah serta pepohonan, sisa
atasnya adalah hamparan birunya langit.
Terkadang jika memandang sejauh-jauhnya seperti sedang memandang laut
lepas, kolaborasi cantik putih kabut bercampur biru langit.
Istirahat sebentar seperti itu terkadang lumayan ampuh untuk mengobati
kakunya tangan menahan gas motor.
Perjalanan kami hari itu sungguh penuh dengan kenyasaran dan serba
gamang. Belajar dari pengalaman sebelumnya, sepertinya kami merasakan beberapa
firasat nggak enak itu lagi.
Kami kembali turun dan bertanya kepada warga yang kebetulan kami temui
saat itu.
“Kami nyasar lagi, karena rute ke Gedangsari ternyata sudah terlewati”
yaaa itulah intinya.
Dengan keyakinan yang tinggi, kami melanjutkan perjalanan kembali. Yakin bakal
ketemu tempat lain yang entah mana. Yakin saja akan ketemu yang indah-indah. “Sik
Penting Yakin”
Sekotak baner yang berukuran besar di pinggir jalan mengusik perhatianku
untuk menepuk pundak Nofela.
“Gunung Gentong”
Petunjuk awal |
langsung masuk gapura itu yaa |
Ayoo ke sana…
Kendaraan kami mengarah kepada gang bercor blog tak begitu lebar. Menurut
papan petunjuk itu, kami akan menempuh perjalanan sekitar 1-2 km lagi.
Meskipun jalanan masih didominasi tanjakan dan gronjal-gronjal dan kadang bergelombang, ada banyak pemandangan
yang menjadi semacam: seteguk air di kehausan.
Suasananya sungguh masih khas perdesaan, beberapa rumah-rumah penduduk menggunakan
serba kayu untuk dindingnya. Di sepanjang pinggiran jalan juga terdapat
hamparan sawah dengan beberapa aliran air berdampingan bersuara gemericik.
Semua itu sungguh menggoda iman kami untuk sejenak turun. Menyapa mereka
dari dekat.
Menapakkan kaki langsung kepada batu besar gunungan hitam yang menjaga
irigasi.
Dengan sesekali berjalan, kamu akan lebih dekat dengan tapakanmu |
Sepanjang perjalanan, akan sering ditemui penjagaan batu hitam raksasa seperti ini |
Keberadaan pohon yang batang utamanya diikat dengan kain putih yang
tumbuh di tengah-tengah pertigaan jalanan memberikan tambahan petunjuk kembali. Petunjuk bahwa
200 meter lagi kami sampai ke Gunung Gentong.
Dan semangat kami kembali naik setelah melihat petunjuk “selamat datang
ke Gunung Gentong”
Tibalah kami kepada jalananyang permukaannya tak lagi bercor lagi. Jalanan
tanah dengan kolaborasi batu-batu kecil.
Tidak ada petunjuk apapun di sini kecuali feeling dan hati nurani *eh.
Tidak ada petunjuk apapun di sini kecuali feeling dan hati nurani *eh.
Sedangkan keringat kita sudah lumayan banyak mengalir semacam menganak sungai.
“Mbak, motornya di taruh sini saja”
suara ibu-ibu yang sedang mencari
rumput di bawah mengejutkan kebingungan kami.
“Oh, aman kan bu?”
“Aman” jawabnya senyum meyakinkan kami.
Beliau juga menunjukkan arah jalan setapak menuju Gunung Gentong.
Jalanan itu masih sepi-sempit. Pinggirannya masih ditemui beberapa gerombolan rimbunnya pohon bambu yang daunnya terkibas-kibas angin.
Di ujung jalan, kami disuguhi anakan tangga yang tak terlalu mengular.
Di ujung jalan, kami disuguhi anakan tangga yang tak terlalu mengular.
Anakan tangganya |
Kita harus melewati tangga ini untuk menjangkaunya lebih dekat lagi.
Tangga ini sungguh unik, batuan asli atau entah semen yang permukaan hitamnya sudah terselimuti tumbuhan hijau dan lelumutan ditumpuk
rapi berundak-undak.
Menapakinya dengan paket panas di tengah siang hari bolong memang butuh
dukungan senyum kamu. Paling tidak, bisa menjadi pengganti balok-balok es batu
yang bisa menyeka panas ini. *eaaak
Sampai juga kepada pucuk tangga, dan tidak ada akses tangga lagi untuk ke
atas.
“Ini gimana naiknya jal?” kami saling bertukar senyum tipis sambil
nyengir.
Sebentar kucari petunjuk tapakan aman di batu raksasa itu, sampai
menemukan cekungan tak terlalu curam di
sisi selatan.
Pijakan pertama untuk naik |
Lumayan bisa buat napak kaki, daripada batu besar sebelumnya kemiringannnya
hampir 60 derajat.
Jangan lupa hati-hati, pakailah sandal gunung atau sepatu yang mendukung.
Yaa, siap naik |
Melipir, kenalan mencari rute |
haiiii |
Pastikan pijakan dalam keadaan aman, tidak licin serta tidak rapuh ya?
Dengan meminimalkan pandangan ke bawah, aku meniti sedikit demi sedikit
batuan besar itu.
Alhamdulillah bisa, sedangkan Nofela masih di bawah.
Dia memang phobia ketinggian. Meskipun kurayu seperti apa, dia bersikukuh
tak mau naik.
“Pokoknya enggak mau, lagian tidak ada pengamannya biar safety” katanya dari bawah.
“Tak tinggal sebentar kalau nggak mau naik ya?”
Dia mengiyakan. Nofela lebih memilih mengambil beberapa angle foto di
bawah.
Aku terus naik didorong rasa penasaran yang berkepanjangan.
Hamparan hijau terasiring |
Sawahnya seperti semacam karpet. Luasss hijau, dan menenangkan.
#1 |
#2 |
Bisa dicek videonya di:
Sampai atas, anginnya semakin semilir. Terdapat dua gubug sepertinya difungsikan sebagai gazebo gardu pandang. Ketika kamu mendudukinya dan
melempar pandangan ke arah depan, hamparan hijau berundak undak ini akan
menyambutmu dengan senyuman.
Sayangnya aku hanya sebentar saja di atas ini, Nofela masih di bawah
menungguku dan aku harus segera turun kembali.
Aku kebingungan bagaimana caranya untuk turun. Haha. Agak ngeri turunnya
e…
Hati-hati... |
Dan terimakasih masih menungguku di bawah |
Alhamdulilah bisaaa kembali ke bawah dengan selamat dan sepertinya kami harus bergegas pulang.
Bergegas pulang menuruni tangga |
Mengingat datangnya hujan di Jogja seringnya adalah sore hari menjelang
petang, dan apesnya mantolku ketinggalan.
Perutnya juga sudah krucuk-krucuk minta diapeli sama makan. Iya, fix kita
harus segera bergegas pulang.
Oiya, sempat terkaget-kaget setelah tahu rute Gunung Gentong via Jalan
Wonosari. Yaaa kami pulangnya lebih memilih menempuh rute Jalan Wonosari dan ternyata
lebih dekat sekalii.
Hanya lewat pertigaan nglipar lurus ke timur, tau begitu daritadi saja ya
lewat sini :p
Radar dan alarm kelaparan kami di siang itu mengantarkan kami ke sebuah
warung makan “bukit bintang KW” di sekitaran Pandeyan.
Pas nasi gorengnya belum dateng sih :p |
Kebiasaannya adalah minum habis, setelah itu makanan baru datang |
Maaf kupegang erat-erat es-es-es |
Aaaa yang paling penting adalah: “bahagiaa kalau sudah ketemu sama: es”.
#SukaEs #CintaEs
Ceritaku hari ini mengingatkanku kembali pada sesuatu: bahwa kenyasaran kepada
orang yang salah mungkin juga bagian dari seninya perjalanan. Mungkin memang Tuhan sedang
menyiapkan tempat yang paling indah yang tak pernah kau duga-duga sebelumnya sebagai tempat
tinggalmu seumur-umurmu. Kurangi suudzan sama Tuhan ya?
#HikmahKesasarMendadakBijak
Gunung Gentong, Gunungkidul:
Gunung Gentong, Gunungkidul:
Alamat: Padukuhan Manggung, Desa Ngalang, Kecamatan Gedangsari, Gunungkidul
Koordinat GPS: S7°51'17" E110°34'25"
Retribusi masuk: -
Parkir: -
Retribusi masuk: -
Parkir: -