Semacam sadar memiliki sisa waktu yang singkat
melipat pengujung musim penghujan, saya ingin kembali menambah basah tubuh dengan
curug teduh di kota sebelah. Grenjengan Kembar, Magelang, yang empat tahun
silam pernah saya jejak dengan seorang kawan.
Rasanya semacam mereguk penasaran bagaimana wajah
barunya setelah sekian lama tak menjumpa. Sekelebat gambarnya tak jarang lewat
dinding media sosial hasil jepretan seorang teman. Ajaibnya meski sapanya
hanya sekilas, tetapi berhasil memutus ikatan tali rapat yang membungkus
bayang-bayang suasana damai Curug Grenjengan Kembar yang pernah begitu membius saya.
Ternyata gayung bersambut. Seorang teman menjatuhkan keinginan
yang sama untuk serta ke Grenjengan Kembar, setelah menimbang pilihan rentetan
curug yang masuk dalam daftar pilihannya. Selepas jam lima pagi, Dia menunggu
saya dan suami di pinggir Jalan Magelang. Selanjutnya kami mengemudikan motor
dengan santai menuju daerah Grabag, Magelang, dengan pemandangan gagahnya
Merapi di sisi kanan jalan.
Secuil ingatan yang kadang samar, kadang kembali
jelas teringat tentang rute jalan menuju Curug Grenjengan Kembar kembali
tergambar. Beruntung saat itu saya bersama orang-orang yang paham navigasi. Seusai
melewati percabangan jalan di sekitar Terminal Gunung Tidar dan berpindah suasana
perjalanan ala tengah desa, kendaraan akhirnya terparkir di halaman sebuah
masjid. Setelahnya, kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.
Perjalanan menuju Curug Grenjengan Kembar kali ini semacam menjadi salah satu treking yang menyenangkan karena berbagai alasan. Selain hadiah bonus suasana pagi, pemandangan menarik di setiap halaman rumah warganya penuh dengan tanaman hias dan sayur mayurnya.
Sapa ramah penduduk yang ramahnya tumpah-tumpah meninggalkan kesan menyenangkan. Senyum-senyum senang dipersembahkan oleh susah move on, masih terbawa suasana sepanjang perjalanan yang selalu disapa berganti Gunung Merapi, Merbabu, kemudian Sumbing.
Kaki enteng saja melangkah tanpa payah seperti yang
sudah-sudah. Mungkin juga dipengaruhi oleh medannya yang datar-datar saja. Mata
puas mendapat nutrisinya dengan pemandangan hijau silih berganti. Dari kebun
warga, jalan setapak yang diapit tebing hijau, hutan bambu dan jembatannya,
kemudian berganti oleh hutan pinus dengan dasar aliran sungai. Tebing-tebing
berlumut seakan mengisyaratkan tempat ini jauh dari panas.
Kurang lebih pukul delapan pagi, saya kembali menatap bisu barisan curug yang empat tahun lalu pernah saya jejaki. Kemudian apa yang berubah?
Suasananya tetap sedamai kala itu, dinginnya, sejuknya, juga harmoni yang saya rasa. Deretan pinus, pohon pakis raksasa masih setia menjaga tebing-tebingnya. Seperti halnya sunyi dan segenap nyanyian hutan berbalap suara dengan derasnya jeram.
Tentang curug yang sedang berada di depan mata,
wajahnya seperti yang ada di dalam lukisan-lukisan emperan toko Malioboro.
Sebuah curug kembar yang deras, yang tebingnya melengkung bertetangga dengan
curug satu lagi di sisi lain. Meski tidak memiliki kedung yang luas, tapi tepat
di bawah curug digunakan beberapa anak untuk sekadar bermain air. Selebihnya,
tiga curug itu menjadi roda aliran deras kali dengan batu-batu dan sedikit
tingkat.
Saya kembali melamun diam. Memilah-milih, ranting mana
yang cocok saya tunjuk untuk menggantung penat yang sudah saya ikat menjadi
satu dari rumah. Namun tetap, si pakis raksasa itu menjadi bintang mata saya
dalam kagum yang saya simpan lama.
Tak semua curug memiliki penjaga pakis cantik yang keberadaannya semacam menyeret kembali ke masa purba. Saya tidak mungkin mencemarinya dengan menunjukknya menjadi centelan penat, biar pinus-pinus tinggi itu saja. Si pakis jangan.
Tak semua curug memiliki penjaga pakis cantik yang keberadaannya semacam menyeret kembali ke masa purba. Saya tidak mungkin mencemarinya dengan menunjukknya menjadi centelan penat, biar pinus-pinus tinggi itu saja. Si pakis jangan.
Kedua rekan saya menghilang dalam senyap diam lamunan
saya sesaat. Suami dan Mbak Mardiya terlebih dulu menyeburkan diri dalam
derasnya Kali. Mereka seperti sedang berlomba mencari posisi untuk membidik
curug dalam angle terbaiknya.
Sekali lagi saya tulis di sini. Untuk urusan dalam
curug menyurug, saya memilih untuk
gantung kamera. Selain harus menenteng segala pernak-pernik tripod, filter dan
segala pengaturannya, saya lebih bahagia sebagai penikmat sambil berbasah ria.
Jadi agar para pembaca mengerti bahwasanya foto-foto epic yang penulis pajang di sini tentu saja bukan hasil jepretan saya. Namun tenang, saya sudah minta izin dengan
sang pemilik.
Pada akhirnya saya turut serta mereka menuruni tebing
kecil untuk membasahkan diri melompati batu-batu. Sebuah hasrat yang sempat
memecah lamunan kecil tentang sebuah penat yang ingin saya gantungkan di atas
ranting pinus.
Dinginnya air sebelas-duabelas dengan botol minum
yang ditaruh di pintu kulkas berhari-hari. Deru embun bulir air cipratan curug dibawa angin dengan
sukses ke arah kami. Sungguh sebuah kolaborasi serasi yang berhasil membuat
saya menyerah, menggigil.
Di tengah gemretek
gigi dan dekapan tangan merangkul diri karena busana telah terlanjur basah,
kami dianugerahi Tuhan menyaksikan momentum pagi yang tak terlupa. Jejeran
pinus yang menyisakan ruang atas terbuka menghadirkan sinar surga pagi. Sebuah
pagi istimewa yang tak biasanya.
Biasanya pagi adalah tentang sarapan kepulan asap
hitam bis Tran*s Jogja. Pagi ini saya tidak lagi menghirup hitam yang sebaiknya
memang dibuang. Pagi ini saya menikmati perpaduan dingin, damai, dan baskara
yang pelan-pelan mendermakan hangat.
Saya cukup sabar klebusan
memaku di atas batu sambil menanti sinarnya utuh. Namun hangatnya tak sampai
mengusir dingin yang terlanjur membekap. Ditambah, semakin lama ternyata
serbuan para pemburu foto mulai berdatangan. Rombongan sebuah komunitas
fotografi berduyun turun menyeberangi kali. Saya merasa tidak enak untuk terus
memaku di bawah menghalangi pemandangan yang seharusnya ingin mereka bidik.
Sesampainya kembali ke atas, saya masih belum
merelakan untuk bergegas pulang. Pagi di sini masih terasa begitu mahal tak
terbeli. Andai jaraknya sedekat hati kita dulu, saya akan sering-sering
menjemput pagi di sini. Menulis kembali derap harap yang sempat terucap,
menggantung penat di pohon pinus tinggi, yang kalau jatuh terlarung di Kali.
Reuni pagi dalam rangka menuntaskan rindu dengan Curug
Grenjengan Kembar sesungguhnya belum sepenuhnya tuntas. Saya sengaja menyisakannya
sepertiganya, agar suatu saat jika sudah menjumlah cukup untuk diredakan lagi,
dia menggandeng saya kembali. Ke sini, pagi-pagi.
Catatan
Penulis:
Alamat Curug
Grenjengan Kembar, Magelang:
Dusun Citren, Desa Munewarang, Kecamatan Pakis, Kabupaten
Magelang, Jawa Tengah.
Rute lokasi:
Dari Jogja menyusuri Jalan Magelang sampai perempatan
besar Grand Artos pilih jalan ke arah kanan atau Jalan ke arah Kopeng. Setelah
Terminal Bukit Tidar dan menemui lampu merah, langsung ambil kanan lagi, lurus
hingga menemui pertigaan ambil kiri (jalan turun). Lurus saja sampai menemui
papan petunjuk menuju Curug Grenjengan Kembar Magelang, jalan akan berubah
menjadi jalan ala desa dengan dua cor blok sisi kanan dan kiri.
Tarif
Retribusi dan Parkir Curug Grenjengan Kembar:
Ketika kami ke sini pagi itu belum ada pungutan
parkir, retribusi, maupun warung-warung di sekitar lokasi yang buka. Namun
menurut beberapa informasi, tarif parkir: Rp.2.000,- sedangkan pungutan tiket
masuk: Rp.3.000,-
Waktu terbaik
kunjungan: Ketika pagi hari dan hari kerja (biar nggak ramai).
Toilet dan
Warung: Ada
Berikut penulis lampirkan petanya:
Jangan lupa buang sampah pada tempatnya J