Saya terlebih dahulu pamit kepada suami untuk nyicil
jalan kaki melewati sebuah tanjakan curam nan berlumut itu ketika dirinya
tengah pergi ke toilet Musala. Niatnya kala itu mengalah untuk berjalan kaki
agar mengurangi beban suami dalam menempuh tanjakan sepulang dari Curug
Jumogjati. Tanjakan curam yang terbayang-bayang selama dalam perjalanan turun
tadi.
Dalam setengah perjalanan saya menempuh tanjakan,
seorang perempuan berkerudung merah yang tengah mengemudikan motor bebek tiba-tiba
mengerem di belakang saya. “Mbak dari mana? Mari bonceng saya saja.” Sapanya
ramah sambil berusaha menahan rem dalam genggaman tangan dan pijakan kaki
kirinya.
Penawaran mbak-mbak itu saya tolak dengan halus. Lho nanti malah mbaknya jadi yang nggak kuat
nanjak, sedangkan sebelah kiri jalan adalah jurang. Batinku saat itu.
Alasan yang kedua kenapa saya menolak tawaran bantuan dari mbak-mbak itu
adalah: saya takut nanti malah jadi terpisah dengan suami dan saling mencari.
“Lha saya kan orang sini, ya kuat mbak kalau cuma
mboncengin saja sudah biasa. Kalau takut ntar jadi dicari suami, mbak turun
saja di tikungan pertama itu, yang penting sudah melewati tanjakan ini.” Jawabanya
tetap santun, mendorong saya untuk akhirnya mantap membonceng di jok
belakangnya.
Sepanjang perjalanan singkat itu, kami berbincang
tentang asal-usul, dan sedikit cerita rencana ke depan mengenai perbaikan
fasilitas yang sedang digodog untuk
Curug Jumogjati. “Sebentar lagi segala fasilitas mulai dari: jalan, toilet, dan
sebagainya akan diperbaiki mbak, curug Jumogjati akan dikelola.” Saya
mengangguk sambil memberikan kode jika saya musti turun di jalan itu. Jika
terlalu jauh, takutnya suami akan kebingungan mencari istrinya yang menghilang.
Tidak lupa saya mengucapkan terima kasih kepada mbak
kerudung merah sebelum kami berpisah di sebuah tikungan jalan sebelum sampai
hutan karet. Sampai detik ini saya agak menyesal belum sempat bertanya sapa dan
kenal tentang siapa namanya.
Selama saya berjalan kaki selepas perpisahan dengan
mbak kerudung merah itu, saya sempat menemui beberapa pejalan kaki lain yang
sebagian besar adalah ibu-ibu dan anak-anak yang baru pulang dari Pemilkades di
dekat Terminal Balong. Setelah pertemuan demi pertemuan dengan penduduk,
pemandangan berganti dari penampakan pohon-pohon durian tinggi dengan buahnya
yang begitu lebat, hingga kepungan hutan karet yang begitu
sepi.
Saya seperti ketagihan untuk terus melangkahkan kaki
pendek-pendek tanpa rasa capek jika pemandangan dan hawa dingin seperti ini
yang menemani. Sampai-sampai, langkah saya dipaksa berhenti oleh seruan seorang
bapak-bapak yang mengendarai sepeda motornya.
“Mbak, berhenti di situ saja mbak. Tadi suaminya
sudah kebingungan mencari mbaknya di belakang sana.” Setelah mendengar aba-aba
dari beliau, saya baru menghentikan langkah kaki yang sedaritadi menyambung
tanpa istirahat. Sejenak saya terdiam di pinggir sebuah pertigaan sambil
menengok ke arah turunan. “Kok suami belum muncul-muncul ya?”. Secara
logika, memang sangat tidak mungkin saya
bisa berjalan amat cepat sampai di hutan karet.
Akhirnya suami muncul juga dari kejauhan dengan
ekspresi bingungnya. Saya tersenyum dari jauh, mengisyaratkan bahwa saya dalam
keadaan baik-baik saja. Dia berhenti sambil terus menanya dengan raut wajah
herannya: “kok bisa jalannya cepet banget udah sampai sini?”
“Ya, tadi ada mbak-mbak yang boncengin. Khawatir ya?”
sahut saya dengan ekspresi senyam-senyum.
“Yaiyalah, takut istri kesasar atau diculik pemuda
desa.”
***
Entah ada petunjuk apa dari Allah SWT, sehingga saya
mengiyakan juga ajakannya suami untuk mencari keberadaan Curug Jumogjati yang
berada di sekitar Balong, Jenawi, Karanganyar, Jawa Tengah. Sesungguhnya pada
tahun 2018, dia sempat mengajak motoran ke Tawangmangu dan berakhir dengan
penolakan dari saya.
Kali ini saya terbujuk juga, dengan embel-embel
rayuan: “Nanti habis dari sana bisa mampir ke Kampung Nglurah yang sekampung
itu jualan tanaman hias semua, terus kalau pulangnya semisal capek, kita bisa nginep
di Solo”. Akhirnya usahanya untuk mengajak motoran sejaun 100 km ke Karanganyar
ini saya iyakan juga.
Rencana keberangkatan pukul 04.00 WIB, molor menjadi
pukul 05.30 WIB. Apalagi alasannya jika bukan godaan hangatnya selimut. Baiklah
saya mantap tapi agak ragu-ragu saja membonceng suami pagi itu. Tidak bisa
membayangkan bagaimana rasa pegalnya nanti, tapi setidaknya saya sedikit
mendapatkan gambaran ketika dahulu sudah pernah diajak mbonceng sepeda motor ke Salatiga atau perjalanan naik motor sejauh
60 km ke Tanjung Ringgit.
Selama dalam perjalanan Jogja- sepanjang Jalan Solo,
lancar tidak ada masalah. Namun, setelah sepeda motor melewati jalan-jalan
aspal di Sukoharjo yang mulai bergelombang dan bolong-bolong, saya mulai resah
gelisah. Badan saya gatal dan agak pusing. Mungkin keadaan itu juga dipengaruhi
rasa lapar yang tertahan sejak berangkat. Pada akhirnya kami baru berkesempatan
menyantap sarapan soto di sekitar Karanganyar setelah melewati Alun-alun,
sebelum sampai di Kebun Teh Kemuning.
Dua mangkuk soto sapi dengan nasi terpisah, dua
kerupuk, dengan minuman teh hangat dan
jeruk hangat, dihargai dengan Rp.18.000,-. Sebuah energi tambahan yang cukup
untuk melanjutkan perjalanan menanjak, membelah Kebun Teh Kemuning yang kini sudah
mirip dengan arena swafoto suka-suka itu. Ada balon udara, patung kingkong,
panggung-panggung bambu dan gapuranya yang dicat warna-warni. Sebuah pemandangan
yang cukup mengganggu hawa syahdu ketika kabut tipis menyelimuti sebagian
hamparan hijau itu.
Beberapa malam yang dijadikan waktu oleh suami untuk
mempelajari rute ke Curug Jumogjati memang tidak sia-sia. Secara garis besar,
perjalanan kali itu cukup lancar tanpa ada kendala yang berarti. Patokan utama
untuk menuju Curug Jumogjati setelah membelah dan menuruni Kebun Teh Kemuning
adalah menemui cabang Terminal Balong. Langsung saja ambil kiri tanpa
basa-basi.
Cabang pertama setelah belokan dari Terminal Balong
adalah pertigaan dengan pos ronda, tetap saja ambil lurus, menurut jalan
corblok yang naik turun itu sampai pada keberadaan sebuah Musala dan Lapangan
Voli ini. Di sini belum ada pungutan retribusi dan juga penjaga parkir.
Motor diparkir di samping Musala, kami melanjutkan rute
perjalanan dengan berjalan kaki setelah mantap membaca petunjuk keberadaan
Curug Jumogjati. Jarang-jarang bisa ke curug dengan rute treking yang
lurus-lurus saja tanpa perlu waktu lama.
We sudah sampai saja?
Jumogjati adalah sebuah curug yang dicari suami
dengan alasan: karena baru satu orang yang menulis tentangnya di Google. Jika
ini pun saya tulis, saya yakin nanti tetap berada di bawahnya mblusuk. Hmmmm.
Jika Curug Jumogjati dilihat dari sisi depan, akan
banyak sekali halang-rintang yang menutupi pandangan. Mulai dari batu-batu
besar, pun gundukan bukit kecil di sisi kanan curug. Mau tidak mau, kami harus
mendatangi dekat-dekat si curug.
Perjalanan belum usai sampai di seberang sungai.
Untuk bisa berada lebih dekat dengan curug, kami musti menyeberangi sebuah
aliran sungai. Setelah lulus menyeberangi sungai itu, timbul kebingungan yang
lain. Karena setelah menyeberangi sungai kecil itu, semua terlihat seperti
semak-semak. Tidak tampak jalan setapak yang biasanya dilalui orang.
Kami berinisiatif membelah kerumunan ilalang dan menyibak rumput merambat disusul menyingkirkan ranting bambu yang mendongok ke bawah. Saya berjalan pelan bertumpu pada kayu kecil sebagai tongkat.
Kami berinisiatif membelah kerumunan ilalang dan menyibak rumput merambat disusul menyingkirkan ranting bambu yang mendongok ke bawah. Saya berjalan pelan bertumpu pada kayu kecil sebagai tongkat.
Cukup deg-degan treking dengan kaki telanjang. Ya
apalagi kalau bukan takut pada pacet, lintah dan sebangsanya? Sandal gunung
sengaja saya tinggal di seberang sungai mengingat medan yang harus ditempuh
sangat licin.
Ditambah lagi meriahnya guyuran air dari derasnya curug yang terobat-abit angin. Belum juga sampai, busana saya sudah hampir basah kuyup. Hmmm mana mungkin suami bisa memotret curug dengan kondisi angin yang membawa guyuran air seperti ini?.
Ditambah lagi meriahnya guyuran air dari derasnya curug yang terobat-abit angin. Belum juga sampai, busana saya sudah hampir basah kuyup. Hmmm mana mungkin suami bisa memotret curug dengan kondisi angin yang membawa guyuran air seperti ini?.
Benar saja, dia cukup kepayahan mengamankan
kameranya. Air cipratan dari curug sungguh menyebar dengan deras dibawa angin.
Sedaritadi suami memindah-mindah posisi tripod sambil mengelap lensa kamera
yang tak kunjung kering. Saya sudah jadi setengah basah dengan keadaan
menggigil dingin.
Rasanya hanya ingin agak menjaga jarak dengan curug itu
agar badanku sedikit hangat, dilanjutkan menyesap udara sejuk di bawah naungan Hutan
Balong ini sebanyak-banyaknya. Apalagi, ternyata langit mulai gelap. Naluri
kepanikan saya kembali mengalir di tengah menahan lapar.
Kami lekas kembali ke tempat parkir motor di samping
Musala sambil membayangkan betapa perjalanan ke depan masih panjang. Menanjak,
meliuk, melibas tikungan, asal jangan sampai menikung teman.
***
Dalam perjalanan pulang, kami menyempatkan diri untuk
singgah ke Pasar Tawangmangu mencari Sego Gablok (saran dari Alm. Andika H ) yang ternyata penjualnya lagi
pada libur jualan karena coblosan Pilkades. Padahal, misi menyicip Sego Gablok
telah masuk dalam misi rahasia yang membuat saya semakin semangat duduk anteng
di jok belakang sejauh 100 km.
“Berarti besok harus ke sini lagi Laav” seru suami yang saya tanggapi dengan datar karena lapar. Hiburan kami keliling di Pasar Tawangmangu adalah membawa sekilo Alpukat jumbo dengan harga yang miring dibandingkan yang pernah saya taksir di di Hyperma*t kemarin malam.
“Berarti besok harus ke sini lagi Laav” seru suami yang saya tanggapi dengan datar karena lapar. Hiburan kami keliling di Pasar Tawangmangu adalah membawa sekilo Alpukat jumbo dengan harga yang miring dibandingkan yang pernah saya taksir di di Hyperma*t kemarin malam.
Perjalanan masih dilanjut ke arah Nglurah yang terlanjur
dipromosikan suami sebagai “syurga” tanaman hias itu. Namun, hujan tetap tak
ada jeda meliburkan diri untuk terus jatuh. Kami hanya singgah sebentar di
Nglurah untuk membawa bibit anggrek kecil dan satu tanaman keladi. Di sana,
suami juga menuntaskan mencari situs Purbakala yang sudah ada dalam daftar
kunjungannya sebelumnya. Saya memilih menantinya di pinggir sebuah pendopo
sambil berteduh.
Pada akhirnya, wacana rayuan “menginap di Solo” itu
hanya sebuah kata-kata belaka. Sekitar pukul 14.30 WIB, kami kembali ke Jogja.
Pulang menempuh jarak 100 km lagi dengan sepenuh hujan tanpa henti sampai garasi
rumah.
***
“Ini sudah tak buatin wedang jahe. Diminum ya?” bujuk
suami sambil meletakkan segelas kecil di meja samping kasur. Saya menyerah oleh
serangan flu berat dan kepala cumleng tak
karuan sepulang diguyur hujan sejauh 100 km, setelah pertemuan saya dengan Curug
Jumogjati Rabu lalu.
“Besok diulangi ke sana lagi cari curug ya?” sahut
suami kemudian. Saya melanjutkan untuk memeluk guling semakin erat sambil
menggelengkan kepala. Sesekali suara bersin-bersin menyelingi waktu malam
menjelang pagi.