Di sela jam kerja, bunyi notif email masuk membuyarkan perhatianku pada layar monitor yang
sejak pagi kutatap sendu. Segera kualihkan petikan jemariku dari kotak-kotak
keyboard meraih layar kecil handphone.
Setelah membuka jendela gmail, kulihat email baru
sambil senyum-senyum.
Oh, benar saja seperti dugaan awalku. Email masuk itu
adalah sebuah kiriman draft proposal
yang pernah dijanjikan oleh seorang teman. Niat sekali ngajak dolannya sampai benar-benar mengirimkan draft proposal, lha padahal
waktu itu aku hanya bercanda J
Kubaca dengan saksama sambil memperhatikan setiap
detail lampiran gambarnya. Akhirnya, aku menyetujui satu dari sekian tempat
yang dia ajukan.
Barisan bukit nan hijau di sebelah timur Pantai Siung
Gunungkidul memberi isyarat lambaian kepadaku untuk bisa lebih dekat lagi
dengannya.
“Ya… kita ke sana”. Balasku menyetujui.
Dari sekian hari yang selalu dihujani rindu lebat,
entah kenapa pada hari yang telah kami sepakati kok cerah berawan.
Pukul 10.00 kami memilih untuk menempuh rute Jalan Panggang – kemudian melewati jalan tepian Pantai Baron.
Pukul 10.00 kami memilih untuk menempuh rute Jalan Panggang – kemudian melewati jalan tepian Pantai Baron.
Perjalanan yang diselingi mampir mencari sarapan serta cerita sepanjang jalan, akhirnya harus sedikit terhenti oleh lambaian tangan
petugas pemungut retribusi Pantai Baron.
Selembar karcis dengan nominal Rp.20.000,- hampir
disodorkan oleh petugas kepada kami sebelum temanku memotongnya dengan kalimatnya:
“pak, kami hanya ingin numpang lewat saja, kami tidak
hendak ke pantai daerah sini”
“lha mau ke mana?”
“ke daerah Tepus”
“tetap saja bayar, ini kan memasuki kawasan wisata?”
“tapi ini kan jalan lintas provinsi?”
“biar enak sama enak, bayar saja” jawab bapak itu
dengan tampang begitulah.
Segera kuberikan isyarat kepada temanku agar mengalah
saja. Ia sepertinya mencoba untuk paham dan menuruti kodeku saat itu. Cepat-sepat
ia sodorkan uang dua puluh ribuan yang kemudian dibarter dengan tiket
retribusi. Setelahnya, ia memilih untuk menambah tarikan gas motornya agar cepat
berlalu.
Jalanan hari itu cukup ramai. Terlihat berbaris bis
merangkak menyusuri jalanan berkelok. Sesekali sepeda motor mencari sela di
antara ruas jalan yang kosong. Pemandangan itu hampir menghiasi sepanjang
perjalanan kami sampai pada akhirnya tak terasa bertemu lagi dengan pos
TPR (Tempat Pemungutan Retribusi) yang kedua.
Kali itu adalah TPR menuju Pantai Siung dengan tiket
Rp.10.000,- untuk dua orang. Beberapa ratus meter setelahnya, sampailah kami di
parkiran Pantai Siung yang cukup ramai pengunjung.
Pantai Siung dengan tebing dan ombak khasnya |
Langkah kami lantas serasi menyusuri tepian Pantai Siung menuju timur. Pandangan masih dipenuhi oleh gulungan ombak yang menyapu cekungan bekas tapakan kami. Pasirnya tak terlalu halus, diselingi keberadaan cangkang kerang tak bertuan.
Beberapa kapal menepi di pinggiran. Ada keluarga yang
sedang asyik duduk-duduk sambil menikmati piknik santai, mas-mas yang
sedang fokus mengarahkan posisi perempuannya sebelum dibidik kamera, sedangkan
kami tetap melangkah ke timur sampai menaiki bukit itu.
Sebuah tangga sebagai pintu kami yang pertama agar
sampai kepada Bukit Pengilon. Anak tangganya sudah berubah dari yang ketika beberapa tahun lalu masih berupa undak-undak tanah kini sudah berwujud semen.
Seorang bapak-bapak duduk di gubug kecil sisi kanan
tangga.
“Duaribu per orang mbak” sapa beliau sambil
tersenyum.
Beberapa antrean belakangku melanjutkan langkah, sedangkan
kami memilih untuk menepi menikmati beberapa bulatan cilok seraya mangatur hela
nafas yang masih berantakan.
“Lanjut?” tanyanya sambil melihat anakan tangga yang
menanjak naik.
“Siap!” jawabku meringis.
Jalanan sempit membelah ladang penduduk |
Kami menempuh perjalanan menyusuri jalan sempit di
tengah sawah penduduk.
Di puncak bukit pinggiran pantai yang akses
irigasinya pun terbatas seperti ini, kulihat hamparan padi merunduk menguning.
Oh, mungkin ini adalah salah satu tanda kebesaran Tuhan. Dia menghendaki apapun
untuk tumbuh ataupun mati.
***
Mega putih berkumpul memayungi meskipun terkadang
panas menggantikan redup.
Sapaan penduduk yang sedang mengurusi sawah, bapak-bapak
yang sedang memanggul gunungan rumput untuk pakan ternak, menjadi selingan
menyejukkan ketika mereka menyedekahkan senyuman demi senyuman ramahnya.
Kami tidak sedang berlomba jalan cepat, sepanjang
pemandangan terlalu sayang untuk dilewatkan dengan buru-buru. Beberapa teguk
air putih yang membasahi kerongkongan mampu untuk membeningkan kembali pandangan.
Selepas mata memandang adalah gagahnya perbukitan
batur di sebelah utara. Dari kejauhan, karakter bentuk batuannya mirip dengan Gunung Api Purba di Nglanggeran.
“Itu bagus mbak, nggak kalah sama Gunung Api Purba
Nglanggeran, sayangnya akses ke sana masih susah”. Kata Bapak-bapak yang sedang
menjaga pos untuk menuju Banyu Tibo. Sepertinya, bapak itu paham bahwa aku sedang memandang kagum akan keberadaan Gunung Batur.
Jadi, rute Banyu Tibo memang harus dilewati sebelum menuju Bukit Pengilon.
Pos pemungutan retribusi menuju Banyu Tibo |
“Ini mau ke Bukit Pengilon apa Banyu Tibo?” tanya bapak itu sambil menerima uang
retribusi dari kami.
“Ke Bukit Pengilon pak” jawab kami seraya meneruskan
obrolan panjang.
Dari gubug kecil tempat penarikan retribusi menuju Pantai
Banyu Tibo, puncak Bukit Pengilon sudah terlihat di ujung timur itu.
Pengunjung meniti punggung bukit |
Terlihat barisan pengunjung yang meniti punggung
bukit semacam semut berbaris dari kejauhan, membuat kami semangat menyambung
langkah kecil kami ke arah timur.
Perjalanan yang kami tempuh membutuhkan energi lahir
batin yang penuh.
Untuk menakhlukkan bukit demi bukit, menerjang tanjakan, dan meniti jalan
sempit memang membutuhkan tekad, stok air mineral dilengkapi pengisi perut yang
lain. Selain itu, gunakan alas kaki yang nyaman, baju yang
menyerap keringat, dan partner yang seiring semangat menempuh sampai finish denganmu.
Gemericik aliran kali terdengar samar dijaga rimbunan
pohon bambu yang tumbuh sepanjang pinggiran.
Kutengok sebelah kiri, airnya
jernih, alirannya deras, perjalanan beningnya berkelok ke selatan dan jatuh di
samudra. Inilah letak Banyu Tibo
itu.
Ada dua versi penyebutan Banyu Tibo dan Banyu Nibo. Intinya sama, yang
artinya banyu: air yang tibo: jatuh ke laut. Meskipun dibangun undakan tangga tanah menuju bawah, tapi sangat sulit aksesnya untuk turun. Penampakan indahnya dinikmati dari
atas tebing, semacam Pantai Kesirat yang sulit untuk dituruni.
Penampakan Pantai Banyi Tibo, pemandangan air terjun yang jatuh ke laut |
Sebuah warung sederhana berdiri dengan jejeran kursi
kayunya. Sungguh ini seperti sebuah dukungan kepada pengunjung untuk lebih
santai. Lebih berlama untuk menikmati alunan suara angin yang menelusup menyembuhkan letihmu. Pemandangan di depan mata adalah pertemuan tawar yang melebur menjadi asin.
Pengunjung dapat duduk sembari menyeruput es jeruk, menyantap
mie rebus sambil melepas tatapan sejauh-jauhnya ke laut lepas.
Coba, lihatlah batas bukit sebelah utara Banyu Tibo itu!
Gunungan tinggi hijau yang membentengi samudera sudah dipesan tanahnya.
Gunungan tinggi hijau yang membentengi samudera sudah dipesan tanahnya.
Melanjutkan langkah |
Bukit sebelah kiriku yang viewnya tepat menghadap pantai, sudah banyak yang dipesan tanahnya untuk didirikan resort hotel |
Masih menurut cerita bapak-bapak penjaga tiket
retribusi tadi, tanah miliknya yang berada tepat di atas bukit dengan
pemandangan menghadap langsung ke arah pantai telah ditawar investor dengan
harga yang tinggi. Tak berhenti di situ, beliau juga dijanjikan anak keturunannya
akan dipekerjakan di resort yang akan dibangunnya nanti.
Suatu saat nanti, pinggiran bukit ini mungkin akan dihuni beton-beton itu :( |
Sambil berjalan hati-hati menyusuri jalan tanpa pagar sebelah kanannya, aku kemudian berfikir:
“sampai kapan tempat ini bisa bebas dipijak dengan merdeka?”
Entah tahun berapa nanti, akan ada saatnya penduduk
asli harus minta izin kepada pemilik modal hanya untuk sekadar jalan-jalan
begini. Menyedihkan L
Langit biru, bukit hijau, samudra yang tenang, dan langkahnya yang menjaga di belakangku memang sanggup menepis kelelahan perjalanan ini. LukisanNya di depanku sanggup mengalihkan fokusku dari bayang-bayang hutan beton yang akan menghuni bukit itu.
Langit biru, bukit hijau, samudra yang tenang, dan langkahnya yang menjaga di belakangku memang sanggup menepis kelelahan perjalanan ini. LukisanNya di depanku sanggup mengalihkan fokusku dari bayang-bayang hutan beton yang akan menghuni bukit itu.
***
“Ada tempat pemungutan retribusi lagi?” kataku sambil
sambil melirik ke arahnya.
Pos retribusi menuju Bukit Pengilom |
Detik-detik langkah kami menuju Bukit Pengilon lagi-lagi diselingi berhenti untuk membayar retribusi Rp.2.000,- per orang.
“Jadi sebelah barat tadi
retribusi ke Pantai Banyu Tibo, kalau yang ini retribusi menuju Bukit Pengilon”.
Terang saja karena Banyu Tibo masih berada di Kecamatan Tepus, sedangkan Bukit
Pengilon sudah berada di Kecamatan Girisubo. Kedua tempat ini secara otomatis
dikelola oleh dua pihak yang berbeda.
Arti dari Bukit Pengilon, berasal dari kata: pengilon yang berarti kaca. Sebuah kaca seorang bidadari yang tertinggal di bukit ini sehabis mandi di bawah Air Terjun Banyu Tibo. Nah, cukup bidadari saja yang pengilonnya tertinggal di sini. Sampahmu jangan.
Arti dari Bukit Pengilon, berasal dari kata: pengilon yang berarti kaca. Sebuah kaca seorang bidadari yang tertinggal di bukit ini sehabis mandi di bawah Air Terjun Banyu Tibo. Nah, cukup bidadari saja yang pengilonnya tertinggal di sini. Sampahmu jangan.
Hijau-hijaunya :)) |
Bukit Pengilon, punggung
bukitnya lebih panjang melintang berbaring. Rumput hijaunya bak karpet dengan selang-seling
pepohonan yang digoyang angin laut.
Di sini kamu bisa lebih leluasa merenungi. Bisa juga untuk ngecamp dengan hiasan bintang di malam hari.
Sebelah selatan terdapat warna biru yang berhimpitan. Batas langit dan laut. Mereka sebenarnya memiliki jarak yang begitu jauh, tapi terlihat selalu berdampingan birunya. Bukit yang kupijak pun seperti sebuah bendungan yang menjaga.
Sebelah selatan terdapat warna biru yang berhimpitan. Batas langit dan laut. Mereka sebenarnya memiliki jarak yang begitu jauh, tapi terlihat selalu berdampingan birunya. Bukit yang kupijak pun seperti sebuah bendungan yang menjaga.
Sesampai menginjak punggung bukit, angin semilir akan menepis lelahmu. Membayar setiap langkah kecil sepanjang itu.
Hembusan anginnya menepis panas. Sejuk rasanya. |
Ketika duduk di sebuah kursi kayu, dengan mata menatap penuh lautan tenang berbatas langit biru, aku sepertinya mulai dilanda mengantuk yang terlalu.
Kemudian, apakah aku pun harus tinggal untuk menuntaskan kantukku di sini?
"Tidak",
sudah ada seseorang yang menungguku untuk kembali.
Jalan sempit di tepian bukit itu seperti mengingatkanku kembali kepada jalan pulang |
Betapa sepanjang perjalanan ini menyisakan cerita
mendalam tentang kekaguman akan kehendakNya. Termasuk ketika untuk pertama
kalinya bisa berwudhu mencicipi aliran kali itu dan bersujud di papan gubug
atas bukit. Cerita ini menyisakan pengalaman spiritual yang membekas hingga
kini. Kapan bisa kembali?
Catatan:
Saran bagi pembaca yang menginginkan ke Bukit
Pengilon tanpa banyak pungutan TPR maupun retribusi ketika naik ke bukit
sebelah timur pantai Siung, bisa menghindari untuk melewati jalan Pantai
Baron.
Silakan untuk memilih melewati
Jalan Wonosari – Bukit Patuk – Perempatan Siyono ke Kanan – Jalan menuju Pantai
Siung – Lembah Ngingrong – pertigaan jika arah ke selatan menuju ke Pantai
Siung tetap lurus ke timur sampai Dusun Duwet masuk. Telah dibangun akses jalan cor
menuju Bukit Pengilon tanpa harus melewai Pantai Siung. Semoga lebih menyingkat
waktu dan menghemat isi dompet J