Bukit Turunan, Tempat Menunggu Kepastian Matahari

Jumat, Mei 05, 2017


Malam tadi, aku memeluk guyuran rindu yang kubawa sampai pulas. Jujur saja itu sedikit mengusik nyenyak. Berkali-kali aku terjaga, menerawang dan terhenti pada langit-langit.

Menjelang pagi, aku pura-pura tak cemas. Padahal ada segunung rindu ingin menjumpanya.
Kemarin, setelah memastikan matahari pulang selepas senja, aku kembali menantinya di suatu pagi. Duduk tenang menutup fajar untuk membuka tirainya. Menatap sendiri genangan kabut yang sesekali menampilkan gelombangnya sebagai dinamika.  

Dia adalah sinar yang menyamar untuk menyampaikan sebuah pesan. Menyapu gelayut dingin yang berhasil lenyap kau usir pergi. Entah nanti di pagi yang ke-berapa? saat genggaman jemari dan tatapan menenangkan menjadi penyempurna.

***

Tak ada yang salah dari merindu, termasuk yang sengaja disimpan lama dalam diam. Sesungguhnya hanya tinggal menunggu waktu kapan pertemuan itu terwujud. Namun, aku harus sedikit bersabar. Cuaca sedang tak mengizinkanku untuk menyaksikan penampakan matahari terbit laiknya pagi-pagi ketika aku pernah bebas menungguinya dengan leluasa.

Semalam hujan dengan derasnya, namun keyakinanku berkata bahwa besok pagi adalah hari yang dinantikan itu, saat aku bisa mengungkapkan lirih rindu-rindu yang telah kusimpan berhari-hari.

Tak lama azan subuh berkumandang. Aku masih menyibukkan di dapur membantu ibu menyiapkan dagangan yang pagi ini harus siap dibawa ke pasar. Dengan tergesa, aku menyelesaikannya sambil sesekali melihat keadaan langit yang kuintip dari genteng dapur yang terbuka.

Benar saja, lagit fajar penuh bintang.

“Ibu, aku mau nyunrise ya?”
“Kok dadakan acaranya?”
“Iya, mumpung cerah ituu… ” sambil nunjuk langit.

Alhamdulillah diizinkan. Entah agak ikhlas atau tidak, tapi aku melihat anggukan dari beliau pertanda “iya”.

Seusai sholat subuh dan bersiap seadanya, kuarahkan sepeda motor menuju suatu bukit.

Langit masih gelap, jalanan masih sepi ketika motorku menyusuri jembatan sempit dengan lebar 1.5 meter. Banyak cerita horror tentang jembatan ini yang pernah kudengar, kembali menghantui batinku waktu itu. Kutambah tarikan gasku sampai ujung jembatan. Akhirnya bertemu juga dengan jalan raya tanpa hiruk pikuk ramai. Kupandangi garis lurus putih meliuk-liuk, membelah jalan aspal menjadi dua sisi. Aku sendirian, menyusuri jalanan gelap menjelang fajar.

Langit merah membara sudah nampak di sepanjang perjalanan

Di perbatasan Bantul-Gunungkidul, aku melihat penampakan langit yang tengah merah membara. Kumainkan gas motorku sampai gubug dengan jalanan tatanan gamping. Setelah memastikan motor aman terkunci, aku kembali melanjutkan langkah. Licin. Buah sisa limpahan hujan dari langit semalaman.

Aku sedikit berlari menjauhi gubug itu untuk menuju bukit. Kilatan flash terlihat dari bawah. Ternyata ketiga temanku sudah menunggu di atas sana. Sungguh ini hanya beberapa menit pasca azan subuh saat gelap belum mulai beranjak. Dengan terseok, aku meniti sebuah bukit yang tak tahu di manakah jalan setapaknya. Saking tergesa dan tak sabarnya, menyalakan senter dari gawai pun tak sempat. 

Cahaya datang remang-remang, paling tidak sudah tak segelap tadi. Tanganku memegangi batu-batu, mataku memperhatikan rumput tanpa rimbun pertanda sudah pernah dilewati orang. Aku merunut saja jalan itu. Tanpa sadar, berenteng duri bersemayam di kulit kaki. Perih sengaja kutahan sampai atas.

Nah sampai!, sebentar, nafasku masih ngos-ngosan berantakan.

Mbak Mardiya, salah satu temanku yang berdomisili di Turi, Sleman ini dari rumah jam 03.00 Pagi :)

“Cepet banget mbak, sudah sampai saja!” sapa mereka dengan senyuman.

Aku duduk sembari menarik nafas panjang. Sebentar, biar kurapikan dulu irama nafasku.
Mataku perlahan mejelajah. Tak sabar melihat penampakan langit merah yang menggodaku sepanjang perjalanan gelap tadi.

Cerita matahari yang baru terbangun dari tidurnya dengan dinamika gelombang kabut.

Perlahan langit di ufuk timur mulai memerah. Ya, mirip ketika ekspresi tersipumu menyisakan merah sejenak di pipimu.

Baskara mengirimkan sinyal kedatangannya dengan mewarnai horizon kala itu. Semacam ingin memberikan batas tegas antara gelombang kabut dan langit yang telah berwarna. Cukup lama langit memerah yang kemudian berubah menjadi agak oranye.

Bukit ini, laksana milik sendiri. Tak seperti perbukitan ataupun tebing di seberang sana: Bukit Panguk Kediwung, Jurang Tembelan, Kebun Buah Mangunan yang kini mulai sesak oleh orang-orang. Di bukit ini kami tak perlu berebut oksigen. Leluasa bergerak, memandangi matahari yang mengintip dari balik gunung pun tanpa halangan banyak kepala.

Temaram lampu warga yag belum padam

Melihat hasil jepretanku yang masih miring-miring. Ajari aku moto kak, :p
Dicandid oleh: Tirtaperwitasari.

Hanya ada dua kursi di sini. Terlihat di perbukitan sebelah selatan, beberapa kerlip lampu masih belum mati. Samudera kabut tenang di sana. Rasannya ingin menyebur, tapi tentu akan terjatuh pada aliran Kali Oya di bawahnya. Sebuah kesyukuran memang bisa menikmati pagi syahdu tanpa sesak orang. Tanpa atribut spot-spot yang menjadi jujugan para pemburu foto hits.

Kawasan Turunan Giri Suko, merupakan ujung barat gugusan geopark Gunung Sewu yang berbatasan dengan Bantul, dipisahkan Kali Oya di bawahnya. Keberadaannya juga termasuk dalam geoforest, kawasan hutan konservasi tempat berlindung hewan endemi, yaitu kera ekor panjang. Jejeran rapat pepohonan yang bertumbuh di perbukitan karts juga menjadi penjaga setia sumber mata air, termasuk sungai bawah tanahnya yang tak terlihat olah mata.

Zona kawasan karts pegunungan seribu memang tak bosan menampilkan sisi indahnya. Dari punggung bukit ini, aku tersihir lagi sepagi ini.

Penampakan Bukit Turunan (bukit yang sedang kupijak) jika dilihat dari Watu Payung beberapa bulan yang lalu.

Rasanya, dulu aku hanya bisa memandangi bukit ini dari Watu Payung. Berdampingan tapi dipisahkan jurang dalam. Dulu pernah berangan, bagaimana cara menjangkau bukit ini jika tanpa tali? Apa nunggu dibuka sarana flying fox?

Petunjuk untuk menjangkau bukit ini dulu datang dari penjaga parkir Watu Payung.

Bahwa harus memasuki sebuah dusun dengan jalan cor blok kemudian tanah berbatuan. Tiga kali sudah aku ke sini, namun pagi ini adalah sunrise ter-wawwww di antara ketiganya. Dua kursi kayu itu kurasa juga belum lama dibangun. Terlihat sisa-sisa arang kayu bakar semacam bekas buat ngecamp di suatu malam yang lalu.

Penampakan Watu Payung dari Bukit Turunan, keberadaannya memang lebih rendah.

Berbeda dengan Watu Payung yang menghadap ke arah utara, bukit ini langsung menghadap ke arah timur sehingga bisa langsung menghadap arah kemunculan matahari.

Pandangan dari bukit ini juga begitu luas, tak berbatas, tak terhalang, untuk melihat kemunculan baskara pagi. Kabutnya yang menambah syahdu, membuat berantakan nafasku, atau darah di kaki karena suntikan berderet duri menjadi tak terasa lagi.

Terkadang memang kebut mulai overload.

Dalam lubuk hatiku yang paling dalam, aku ingin tempat ini tetap sepi. Tetap kosong agar selalu muat menampung segala deretan sesak yang ingin kubuang. Kasihan memang sudah menjadi tempat membuang berat yang tak tampak. Tapi bukankah ini nyampah paling aman? tak merusak alam, tak berbekas secara fisik.

Bersama mereka bertiga (dan yang motret) yang mau gelap-gelapan menunggu kepastian matahari di bukit ini

Kurasa bukit ini paham. Nyatanya sampai waktu beranjak siang, ia tetap menghadirkan sejuk yang menusuk dalam. Meskipun sampai kini aku belum tahu siapa namamu, aku menyebutmu Bukit Turunan. Yaa... itu nama dari ku. Sebuah panggilan sayang dari seorang yang selalu merindukanmu setiap pagi.

***


Penulis memang sampai saat ini belum mengetahui nama bukit ini karena keberadaannya memang belum disertai papan nama. Selain itu, setiap menujunya selalu saat pagi ketika belum ada penduduk yang bisa dimintai informasi. Kutulis dengan nama Bukit Turunan, karena bukit ini berada di Turunan, Giri Suko, Panggang, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Terima Kasih Sudah Berkunjung

47 comments

  1. Balasan
    1. Ya ampun :') buat apa sih jadi pertama, kalau nggak jadi yang terakhir
      ~Gallant Tsany Abdillah

      Hapus
  2. Kalo kemping di sana asik sih, tapi mungkin angin malamnya bakal wuuuussshh wuuuushh gitu aku le mbayangke wwkwkwkw.

    kui jangan jangan diizinkan ibuk soale udah "nyogok" mbantu ibu pagi pagi dengan lebih giat. paling kui ibuk "ono opo iki Dwi kok tiba tiba sregep" ngono kali hahahah *eh

    sunrisenya justru jadi cakep pas semalem ujan. jadi muncul kabutnya. jadi makin syahdu kalo kata mbak Dwi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wkwk enggak nyogok ya mas, emang udah rutinitas, tapi sengaja lebih pagi lagi bangunnya biar kebagian sunrise syahdu begini.

      Iya, aku nggak kebayang anginnya kalau malam, ngecamp di sana apa nggak kulakan masuk angin yak?

      Hapus
  3. Mbak Mardiya yang waktu itu kita ketemu ya Mbakk hehehe. Keren banget berangkat jam 03:00 pagi turun dari Merapi 😍

    Rini dari desember mau ikut Mbak pagi pagi belum juga kesampaian, wacanaaa hahahaha

    Nemu aja tempat sepi ya kalian, tapi nggaktau ya setelah tulisan ini suasana gimana, Mbak wkwk. Yang pasti semoga aman dari sampah sih 😉

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, mereka kalau nyunrise jam 2 pagi jam 3 pagi dari rumah rin :o entah kok beraniii banget wkkw

      Ketika cinta membentuk tekad :*

      Aamiin... Tapi di tulisanku nggak tak tulis sih jalan pastinya masuk kampung mana, kan sepanjang jalan banyak gang. Wkkw

      Semoga tetap bersih :)

      Hapus
  4. Lihat hasil jepretan jenengan bikin pengen nyunrise mbak, duuh kira" aq diijinin ibukl g ga :D

    Temene niat bgt mbak bangun jam 3..dl waktu kos di daerah jalan turi, jam" segitu jalanan masih dingin bgt & kdg masih ketutup kabut...brrrr...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe kalau laki-laki biasanya ga masalah kan mas mau keluar jam berapapun juga? InsyaAllah dapet izin.

      Kalau nyunrise butuh tekad yang kuat banget buat bangun lebih awal, melawan dingin, dan tega menyingkirkan selimut :)

      Hapus
  5. Itu yang dekat arah Watu Payung kah? Kok bisa berseberangan dengan Panguk?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mas seraah sama watu payung kan bersebrangan sama panguk, dipisahkan kali oya.

      Panguk masih bantul, ini gunungkidul

      Hapus
  6. tempat ini tidak pernah membuat bosan. sayang rumput rumput di sekitar puncak bukit sekarang sudah dibesihkan. menurutku rumput2 itu punya daya tersendiri :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Oiya kamu kan sukanya kalau moto buat foreground mas :)
      iya sih,cuma seperti nampak lebih lapang.
      Di siniii seloo rasanya...

      Hapus
  7. Ijin ibu paling utama, bener bgt, atas ijin ibu daper sunrise yg bagus..ha ha ha ini yg utama

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mas, alhamdulillah
      Cari yang direstui aja :) ahaha

      Hapus
  8. Pernah kesini tapi siang hiks gak dapet kabut

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dicoba lagi mas pas sebelum subuh. Apikkk nan :)

      Hapus
  9. Foto yg Merapi + Merbabu + lautan awan + langit oranye kuwi apik!

    Beruntung tenan entuk semburat langit ngunu kae...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pas dapet momennya mas. Akgir-akhir ini kan cuaca sedang tak bisa ditebak...
      Ayok kapan nyunrise :)

      Hapus
  10. Mbakyuuu mbok kabar kabar lagi, biar aku main ke rumahmu. Dr jaman kapan itu blm kesampean terus e

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mbak aqied sik sibuk :( tiap mau ketemu ga jadii

      Hapus
  11. Akksss itu kabut-kabut dan sunrisenya cakep banget mbak :(

    Buat menikmati sejuknya perbukitan kamu gak perlu ngoyoh ya mbak, apalah aku yg tinggal di perkotaan :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya lid, itu mungkin keuntungannya jadi orang desa... Mau ke pantai,bukit, hutan tinggal starter motor.

      Pass banget itu bukit e cerah :)))

      Hapus
  12. Ciyeee yang kasih nama bukit tanpa nama. Eh tapi bagus juga namanya, Bukit Turunan. Kalau mood sedang turun trus main ke bukit itu terus menurun, atau bisa pilih mendatar lalu buruan isi yang kosong? #emangTTS hahaha.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ah kalau mood sedang turun terua ke bukit turunan ya pastinya jadi naik poll muncit moodnya mas...
      Bayangin deh menikmati pagi yg syahdu begitu. Jomlo pun jadi gak dirasain lagi...

      Hapus
  13. Gunungkidul emang gaada habisnya. Enak pasti punya rumah di situ. Pantai pun juga ada ;)

    BalasHapus
  14. Yaampuuuun, Bantul gudangnya view perbuktan ala ala gini ya. Kyknya enak itu bt camp mba, hihihi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yok ke sini mas...
      Btw ini udah masuk kabupaten gunungkidul sih :))

      Hapus
  15. Balasan
    1. Iya mas kaya lautan tapi ga bisa buat basah-basah. Kalau nyemplung bisa nyemplung jurang... Wkkw

      Hapus
  16. Viewnya apik banget mbak :)

    Andaikan bisa mbawa laptop buat ngedraft tulisan blog di situ. Haaah, nulisnya bakal adem-ayem-tentrem hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ah nanti isi draftnya melankolis semua kak. wkkwkw. Syahdu banget di sana.

      Hapus
  17. Bagussss bangeeet mbaaak sunrisenyaa :') aku uda lama ndak nyunrise ini, besoook ah agendakaan :D

    BalasHapus
  18. Dih, keren, Mbak.. Kok gak ajak-ajak :3 Dan memang gak ada yang salah dengan merindu. Yang salah itu statusnya. Itu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mas Tom kan sedang sibuk mempersiapkan bisnis catering kan? *ooopsss
      Padahal ini kan dekat rumahmu lho, kamu malah mestiii blm pernah.

      Jangan salahkan status mas :')

      Hapus
  19. Dari semua bagian kehidupan pagi, aku sangat suka ketika pagi masih terlalu muda untuk dilihat dunia.
    Entah mengapa selalu ada gelora dan rona jingga yang saling berkelindan.

    Dan memang biasanya acara dolan dadakan itu cenderung lebih sukses daripada yang telah direncana. Yah, namanya juga manusia, hanya bisa berencana, Tuhan yang menentukan...
    Hihihi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya Allah *usap-usap mata*
      Mas Ghoz iso nulis puisi di sini wkwk
      *Screenshot print*

      Hapus
  20. Bukan main, fotonya :)))

    Pokoke kapan2 kudu melu mbak Dwi nyunrise dan nyunset :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Siap mengantar mas rif.. Sorenya menyenja paginya menyunrise yak :))

      Hapus
  21. Fajar bagus banget paduan emas jingga dan kabut terfoto indah mbak Dwi. Salam kenal ya, izin menikmati postingan apik di relung langit.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih banyak mas :) Semoga tidak kapok main-main ke sini :D

      Hapus
  22. hi!,I really like your writing very a lot! share we keep up a correspondence extra about your post on AOL? I require a specialist in this house to resolve my problem. May be that's you! Looking ahead to peer you. paypal login

    BalasHapus
  23. Thanks for the good writeup. It if truth be told was a enjoyment account it. Glance complex to far added agreeable from you! However, how could we communicate? yahoo sign in

    BalasHapus