Pernah ada sesal menyeruak ketika mendapati kenyataan bahwa aku
tak memiliki satu pun gambar sesek
bambu. Jembatan penyeberangan sederhana nan penting, yang begitu lekat pada
masa kecilku. Zaman itu, belum ada gawai apalagi kamera yang bisa kugunakan
untuk mengabadikan potongan cerita pada masa silam. Maka potret tentangnya hanya mampu tersimpan rapi dalam benak. Suatu tempat, yang
tak bisa ditembus serangan virus-virus penghapus berkas.
Di sudut sunyi perdesaan, jembatan bambu yang sering disebut sesek itu adalah denyut nadi masyarakat
untuk mengantar mereka menjemput segenggam beras. Jembatan untuk melahap
buku-buku sekolah yang berada di desa seberang, atau mencarikan sekarung rumput
untuk beberapa ekor ternak.
Keronjot dengan sepeda kayuh, simbah-simbah yang membawa
sayur-mayur ke pasar, anak-anak berseragam sekolah, atau para petani yang
hendak ke sawah mengisi sesek hilir-mudik.
Mereka meniti dengan bergantian, menunggu gilirannya dengan sabar.
Melewati sesek bambu
itu harus dengan antrean satu per satu. Lihatlah ketika wajah mereka berpapas. Senyum
merekah, sapaan berdengung. Tak terdengar bunyi berisik klakson-klakson yang
memekakkan telinga, semua terasa bersahaja. Suasana desa, yang ternyata masih
tersisa untuk kuabadikan lagi, dan kunarasikan dalam cerita.
Sebagai manusia yang dibesarkan, dan tinggal di pinggir Kali
Opak, aku terlatih untuk tak takut menumpang getek bambu menyeberangi kali
ketika banjir, atau meniti sesek
bambu dengan sensasi bunyi kretek-kretek ketika kemarau. Salah satu sisa ingatanku adalah: pernah suatu ketika berusaha
tenang duduk manis di boncengan sepeda jawa, ketika ibu memilih menuntunnya
saat meniti sesek bambu.
Setelah sampai ke pengujung tepi, kami cukup mengisi kotak yang
dijaga bapak-bapak dengan koin Rp.200,00 atau Rp.500,00 untuk sekali jalan.
Jujur saja, momen meniti sesek bambu adalah sesuatu yang sangat kutunggu dari
sebuah perjalanan waktu itu. Deg-degan, tapi bahagia bercampur lega.
Namun, seiring berlarinya waktu, sesek bambu itu mulai
tergantikan oleh pembangunan jembatan beton. Kini gagahnya jembatan-jembatan beton dengan lampu benderang,
memang nampak telah menggantikan. Ia dibangun dari beton-beton kokoh dan besi
baja pilihan. Keberadaannya, memudahkan kendaraan lalu lalang menyeberang tanpa
batasan waktu. Ia adalah milik mereka, yang dituntut serba cepat, mengejar dan
terkejar waktu.
Dengan melewati jembatan yang lebih kokoh itu, warga tak lagi perlu
was-was pada debit air kali, juga tak perlu menyiapkan uang untuk dimasukkan di
dalam kotak penjagaan. Saat itu lah, aku mulai terpisah dengan pemandangan
bersahaja dari titian bambu itu.
Awal Desember 2017, Kali Opak ikut terdampak Badai Cempaka. Gulungan
deras air dalam sekejap telah merenggut beberapa jembatan penting di sepanjang Kali
Opak, dan Oya seperti: Jembatan Nangsri, Kiringan, Soka, Pleret, atau juga
Jembatan Gantung Selopamioro. Mobilitas masyarakat tersendat. Mereka harus
memutar menempuh berlipat jarak untuk tiba di Pasar, Sekolah, Puskesmas, atau
mengapel ke rumah si dia. Berbulan-bulan mungkin, keadaan itu dijalani warga
desa seberang kali.
Terhimpit oleh keadaan, seringkali membuat orang lebih kreatif. Di
beberapa dusun sekitar tempat tinggalku, warganya bergotong-royong memotong
bambu, menganyam, atau ada pula yang menatanya menyerupai papan panjang sebagai
sesek bambu. Sebuah jembatan
penghubung antar dusun, antar desa, bahkan antar kabupaten yang sangat membantu
mobilitas warga.
Memang keberadaan sesek
bambu ini tidak bisa diandalkan lintas musim. Ketika musim penghujan datang,
dan debit air banyak, warga pada akhirnya akan memilih untuk mengamankan
bambu-bambu penyusun sesek ini daripada nantinya hanyut begitu saja terbawa
air. Padahal, begitu banyak perasaan orang-orang yang dengan susah payah ingin
dihanyutkan pun malah kecentel di semak-semak.
Memasuki musim kemarau, ketika sesek-sesek bambu menjadi
penghubung sederhana ini kembali hadir, aku tak ingin melewatkannya lagi di
suatu pagi. Ketika matahari masih samar menyinar, aku kembali mencicipi meniti sesek sambil menggali ingatan. Pagi itu, aku mendapatkan bonus pemandangan yang sanggup mencipta sebuah energi. Menyaksikan
warga yang membantu mendorong keronjot dengan beban berat, atau tertegun
oleh iring-iringan keluarga yang bercanda
hangat sepanjang perjalanan.
Sesek bambu yang kembali hadir, adalah potret sederhana. Sebuah laboraturium
sosial yang masih gratis didapatkan dengan bebas bagi siapapun yang ingin
sejenak berpaling dari jamaah hedoniah yang tengah berkembang. Aku bersyukur masih
diberikan kesempatan olehNya untuk sejenak bernostalgia. Bukankah tak semua kenangan
bisa diulang dalam bingkai yang mirip?
Hadirnya memang hanya sebatas di musim kemarau. Begitu sejenak. Bahkan kudengar di sisi
barat Pajangan yang dilintasi Kali Progo ini akan dibangun jembatan permanen lagi.
Aku akan sangat merindukan potret-potret sederhana ini. Setidaknya, aku pernah memiliki
kenangan dengan sesuatu yang aku tahu pada akhirnya nanti akan hilang, kemudian tergantikan.
***
Foto-foto di atas, diambil oleh penulis di tiga lokasi sesek bambu: Sesek bambu Pajangan, Nangsri, dan Pranti, Bantul.