Sebelum dering alarm pada gawai mengalun merdu,
mata saya sudah terlebih dulu ketap-ketip.
Selain malam ini cukup gerah, tadi sampai tengah malam juga ada acara menangkap
tamu tak diundang: serangga bersayap yang hinggap ke sana ke sini sambil
tertawa.
Ada lagi, saya ada janjian dengan suami untuk salat
subuh di Masjid Nurul Bilad, Kuta Mandalika, yang letaknya tidak terlalu jauh
dari Banyu Urip tempat kami menginap. Entah kenapa setelah lewat kemudian menatap
sekilas masjid yang gagah di pinggir pesisir itu, saya jadi mempunyai cita-cita
salat subuh di sana. Usainya kan bisa sambil menyelam minum air, mampir
menengok sunrise di Pantai Kuta
Mandalika.
Sayup-sayup suara orang yang tengah mengaji tersiar
melalui pengeras suara disusul oleh kumandang azan. Kami bergegas menuju masjid
yang berdiri di antara penginapan, warung-warung makan juga penjaja souvenir
itu. Kesan pada pandangan pertama saya melirih mengiringi langkah kaki saya
menaiki tangga masjid: ”luas, megah dan sepertinya begitu syahdu untuk ijab sah”.
Masjid Nurul Bilad |
Sayangnya, di waktu subuh saat itu shaf yang terisi begitu njomplang dengan lapangnya masjid. Jamaahnya saat itu hanya beberapa warga saja. Saya jadi teringat dengan makmurnya musala-musala kecil dengan jamaah tumpah-tumpah sampai menggelar tikar di luaran. Bisakah masjidnya diangkat kemudian dirotasi?
Selesai salat subuh, sepeda motor kami mengukur jarak
menuju pinggir Pantai Kuta Mandalika yang masih senyap. Hanya terdengar
lolongan anjing, juga belai angin yang semilir. Kami sempat berkeliling
menjamah seluk tepian pantai yang ternyata sudah mulai dibangun hotel yang
mengepung bibir-bibir pantai. Balkon-balkonnya menengadah menghadap laut
selatan.
Tapak jejak, perahu tanpa nakhoda dan punuk bukit (Pantai Kuta Mandalika, Lombok) |
Di balik sebuah foto |
Lihat saja, crane dengan lampu kelap-kelip menyanding punuk-punuk bukit. Sedangkan sebuah perahu tanpa nakhoda masih diam saja.
Tanpa terasa, kami telah menjelajah semakin ke
timur sampai di Pantai Seger. Beberapa
tepian sisi pantai di sana masih sama: terjajah oleh pagar rapat, pertanda
sedang dikerjakan suatu proyek pembangunan hotel-hotel.
Nyiur dan sinar |
Pantai Seger dan Matahari yang mulai meninggi |
Dari fajar hingga hangat berubah menyengat. Beruntung berapa gubug kecil di pinggir pantai masih tersisa sehingga kami tidak perlu meminjam tangan untuk saling menutupi ubun-ubun masing-masing.
Saya dan suami sedianya
sengaja mengembala matahari agar lekas terik. Mengulur waktu untuk menunggu jam
sarapan dari penginapan tersedia. Kami butuh asupan energi untuk bekal perjalanan
panjang ke timur, Tanjung Ringgit di batas ujung tenggara Pulau Lombok.
Jika boleh terus terang, saya sebenarnya lebih banyak
memendam rasa khawatir. Sebagian saya utarakan, sebagiannya lagi terkemas dalam
cemas. Jarak dari Penginapan Banyu Urip menuju Tanjung Ringgit sungguh lumayan,
sekitar 56 km. Berarti berangkat-pulangnya nanti bakal menempuh jarak sekitar
112 km.
Meski pun semboyannya suami: “nyasar adalah bagian
dari petualangan”, tapi kalau nyasarnya di jalan yang kanan-kirinya hutan ya
tidak lucu. Apa lagi menurut cerita dari petugas yang mengantarkan motor yang
kami sewa, "usahakan jangan mengendara motor sampai larut malam kecuali di
daerah Mataram". Di sana untuk jalan-jalan yang relatif masih sepi, masih rawan
sekali kasus begal.
Cemas selanjutnya adalah peri hal suami yang belum
lama punya SIM C. Meskipun untuk mempersiapkan perjalanan panjang ke Tanjung
Ringgit ini, dia pernah mengajak pemanasan motoran Jogja-Semarang-Salatiga.
Tapi kenapa ya, saya jadi perempuan kok terlalu pencemas? Saya lebih
mengkhawatirkan energinya suami sih, takut dia kecapaian juga.
Eh, di tengah penantian panjang tentang fasilitas
sarapan yang ditunggu-tunggu itu ternyata telah mendarat dengan selamat di
depan meja. Kenalkan semua, ia adalah: scramble
egg dan banana pancake. Kira-kira
apa keduanya mampu bertahan selama 112 km? ahahaha. Kami nyengir saja, sengaja
minum yang banyak, menimbun rongga kosong di lambung biar kenyang.
Menunya di luar bingkai foto yaa :p |
Beruntung sebagian barang bawaan telah kami kemas semalam. Jadi kami bisa agak memangkas waktu agar jarum jam masih dekat di angka pukul: 08.00 WITA.
Perjalanan kami mulai dari menyusuri jalan aspal
tanpa hambatan di pinggir pantai berkapal. Saya bertugas duduk di jok motor
belakang seraya berkonsentrasi menyimak peta pada gawai dalam genggaman.
Sayang,
saya bukanlah orang yang telaten mencermati garis biru pada peta di Google. Ada
kalanya, saya taksadar bahwa kendaraan kami salah mengambil belokan pada
percabangan jalan. Tapi bersyukurnya tidak tersasar terlalu jauh. Memang saya
tidak bakat menggenggam gawai lama-lama, lebih betah menggegam tangannya kamu
saja.
Kapal dan nelayan |
Sepulang sekolah (dalam canda) |
Beberapa puluh kilo kemudian setelah menyusuri seperempat perjalanan, laluan kami berubah penuh debu. Setengah badan jalan ditutup karena tengah diperlebar. Truk-truk menjadi kawan macet. Asap hitam, debu putih dan aroma kampas rem solid bercampur di udara.
Sesekali saya
menduduk sambil menyeka hidung dengan jari-jari yang mungkin sama kotornya.
Setidaknya saya berusaha menahan nafas sampai udara kaya oleh setoran oksigen
bersih.
Pemandangan sedikit berubah, tidak lagi pemandangan
laut, kapal dan tambak udang di sisi kanan. Kini sebelah kanan dan kiri jalan
adalah ilalang gersang, semak-semak, juga rumah-rumah warga. Terkadang
kami bertemu dengan gembala kerbau, kendaraan bak terbuka yang mengangkut
penumpang, juga para pengendara sepeda motor tanpa helm sebagai pengaman kepala.
Barisan kerbau gembala |
Menjumpa terbangan debu |
Entah karena jalan ini benar-benar baru, saya merasa
bahwa perjalanan ini sungguh lambat. Titik biru berjalan sangat pelan untuk
merambat ke kanan. Sambil setengah menahan kering pada kerongkongan, saya terus
mengamati papan petunjuk Tanjung Ringgit.
Ada sedikit oase di tengah padang
pasir, arah Tanjung Ringgit menunjuk jarak tidak begitu jauh lagi. Rupa jalan sudah
berubah tidak lagi mulus bersahabat. Jalan berlubang, tatanan batu putih,
kerikil lembut dan debu yang berpesta di udara.
Sepertinya pengendara lain tidak ada yang sehati
dengan kami, lurus menempuh jalan ke Tanjung Ringgit. Beberapa kawan kendaraan
lain telah berbelok menuju Pink Beach atau
menghilang pulang menuju desanya masing-masing.
Transportasi warga |
Pemandangan di jalan selepas aspal mulus |
Detik-detik jalan menanjak |
Semakin ke timur, jalanan semakin sepi. Hanya barisan pohon-pohon menjulang, terbangan debu, juga semak-semak kecokelatan sebagai gorden batas lautan. Sesekali hanya berpapasan dengan bule-bule yang mengendarai sepeda motornya untuk pulang.
Benar-benar, kami sampai juga di Tanjung Ringgit.
Sebuah tanjung dengan bentangan rumput, semak-semak, dan angin pembawa semilir.
Di depan terhampar liukan tebing menjorok dan sebagian mencekung.
Menghadap barat |
Sebuah Petunjuk |
Bingung arah. Karena tempat ini semacam bentangan luas tanpa batas |
Kami sedang meraba rute jalan setapak yang terlukis di antara rerumputan. Di sini tidak ada papan petunjuk jalan. Namun dua orang bule di ujung tanjung mengisyaratkan sebuah pencerahan kami harus berjalan ke mana.
Tiba-tiba suami berpamit pergi setelah melihat
penampakan sebuah meriam peninggalan Jepang di sebelah utara. Keberadaannya
memang agak samar tertutup ilalang dan semak, di sana sini juga sudah penuh
dengan vandal dan terlihat kurang terawat.
Namun melihat gagahnya meriam yang
lurus menghadap laut semacam membisikkan cerita masa lalu: bahwa di ini juga pernah
menjadi ruang pengintaian dan menyimpan senjata pertahanan Jepang terhadap
serangan laut.
Meriam dan sisa cerita |
Semak dan Meriam |
Menurut cerita, meski letak sumur di pinggir laut, tapi airnya tawar. |
Jilbab berwarna krem saya berkibar susah dikondisikan. Meski matahari semakin meninggi, angin mengembus datang menjadi penghibur, menggerakkan dedaunan, ilalang, dan beberapa ranting pohon. Ia semacam ingin menjadi pengusir peluh yang sepanjang perjalanan tadi tidak sempat terseka, debur ombak turut mewarnai nada alam siang itu.
Langit biru bertemu warna tosca Samudra Hindia di
depan mata. Di seberang sana, Pulau Sumbawa samar-samar menampakkan lekuknya.
Saya mendatangi si pohon yang tengah sendiri, berharap belas kasih meneduhkan
diri dari payung dahannya. Beberapa teguk air mineral berhasil mengalir dalam
gersang kerongkongan. Setelah haus terusir, saya berharap akan lebih khidmat
menikmati tarian ombak di hadapan, berkursi tebing, beratap dahan pohon.
Ketika mencoba mencari angle foto. ahaha |
Girang bukan kepalang melihat pohon jomlo ini |
“Katanya pingin ke tempat yang kamu banget?” seru suami sambil mengatur kameranya.
“Tempat ini masuuk” jawab saya sambil
senyam-senyum.
Semakin lama, sepertinya suami semakin paham
tempat-tempat yang membuat istrinya senang. Tidak perlu selalu tentang
belanja-belanja dan aktivitas hedon lainnya, tapi berdua di tempat tak terusik.
Menatap berdua, bersyukur bersama.
Menatap batas laut |
Aku di mana? Di seberang samar-samar terlihat Pulau Sumbawa |
Teduh disiapkan di tengah panas. Langit yang biru tanpa abu, tosca bening yang meneduhkan mata, semacam membuat lupa pegal dan gronjal bebatuan selama perjalanan.
Tanjung Ringgit ini semacam semenanjung yang
ingin saya sanjung karena ia tak ramai dan berisik. Saya menyempatkan untuk
merebah berbantal ransel, membayangkan kala malam langit seperti apa wujudnya.
Terima kasih Lavv :)) |
Informasi untuk pembaca:
Alamat : Tanjung Ringgit berada di Kecamatan Jerowaru, Lombok
Timur.
Retribusi : -
Tiket Masuk : -
Untuk pembaca yang berencana ke Tanjung Ringgit, penulis menyarankan membawa bekal yang cukup karena di
sana tidak terdapat warung makan, toilet, dan fasilitas lain. Selain itu, cek kondisi kendaraan agar tetap selamat sampai tujuan.