Musim terbaik untuk
kembali bertemu dengannya hampir tumpas. Kemarau dengan air tenangnya yang
hijau, batu-batu putih dan bukit gersang di tepian selalu gentayangan dalam
mimpi. Cemas untuk melewatkannya cuma-cuma pergi, kemudian musti menunggunya pada satu babak musim
kembali.
Belum ada yang menggantikan posisinya. Kali Oya dan segala yang
ada di sisi Selopamioro, telah mendarah tulang dalam ingatan.
Mengingat kala itu, aku
sering melarikan diri ke sini. Mengajak serta Amin, Ibu, Kiki, atau yang sedang
ingin aku ajak pergi. Menyaksikan simbah-simbah mencuci tikar di Kali,
bapak-bapak yang memandikan sapi, atau warga yang tengah sibuk menyiram ladang
lomboknya.
Meski mengaku pernah
menyelisik di segala sisi, ada satu tanya yang masih tetap menjadi pertanyaan.
Di mana ujung dari sebuah jalan kecil di tepi Kali Oya itu?
Sebelum jalan kecil itu
menjadi jalan mulus seperti saat ini, aku pernah melewatinya susah payah karena
banyak kerikil dan batu-batu runcing. Sekarang, setelah semulus itu kenapa
tidak kucoba untuk menjejaknya lagi? Mencari jawab di mana ujung dari jalan
kecil itu.
***
Ternyata keadaan sudah
begitu berbeda. Sesampai sana, kutengok bukit batu di sisi selatan Kali diisi
tangga-tangga besi cat warna-warni dilengkapi kursi ala cafe khas wisata
kekinian. Ada gazebo di pinggir kali dengan sepeda airnya, dan tulisan-tulisan
besar beserta perangkatnya di tepi kali.
Pemandangan asing yang
ingin segera kusudahi. Kuminta kepada suami untuk lanjut mengemudi mencari
celah sunyi. Mengusir kecewa yang telanjur hadir ketika menyaksikan ia tak sama
lagi.
Semakin ke timur, makin
terlihat jelas penampakan pohon besar yang sempat kukagumi karena kekekar
akarnya. Meski banjir pernah meruntuhkan jembatan gantung besi di sisi
baratnya, ia masih kokoh bertumbuh. Bahkan dahan dan rantingnya semakin rimbun
dan menjulang.
Di antara akar-akar
pohon yang menempati ruang-ruang kosong pinggir kali, terselip beberapa sesajen
dan bunga-bunga dalam naung gedebog dan daun pisang. Jika ingin mengulang cerita dari
ibu-ibu penjaga parkir Jambatan Gantung, memang pohon ini cukup disebutnya keramat.
Banyak korban meninggal yang tegiur berenang tepat di bawah pohon ini. Dikira
cetek, ternyata dalam. Begitu pun perasaamu.
Aku duduk beberapa lama
di bawah pohon ini setelah mengucap salam. Beberapa pemandangan di tepi Kali
Oya ini membuatku tenang. Memerhatikan bapak-bapak yang naik getek bambu hendak
menyiram tanaman sayurnya di seberang kali.
Angin memeriahkan air
tenang hijau itu. Sampai akhirnya aku memutuskan beranjak dari tempat nyaman
ini. Meneruskan misi menyusuri jalan kecil di tepi Kali Oya.
Sepeda motor kami pelan berlalu
meninggalkan si pohon. Kami kadang berpapasan dengan rombongan pesepeda yang
katanya, kakinya gemetaran melewati jalan kecil berpinggir tebing kali ini.
Pelan-pelan satu, dua rumah terlihat. Lama-lama hanya berupa semak-semak kering.
Pelan-pelan satu, dua rumah terlihat. Lama-lama hanya berupa semak-semak kering.
Sebentar, sepertinya
aku kenal dengan rumah kecil suwung itu. Oh yaaaa, itu pertanda aku sudah
sampai di suatu tempat yang beberapa tahun lalu pernah kujejak.
Suatu tempat yang juga
kukunjungi karena menjawab penasaran dari atas Bukit Mojo, Dlingo. Tulisanku
pernah bercerita:
Selepas dua banjir
besar, rimbunnya pohon bambu di pinggir kali telah tiada lagi. Cerita dari
bapak-bapak penyiram tanaman lombok itu, dulu banjirnya sampai di jalan kecil
sepanjang tepi tebing itu. Sebegitu tingginya.
Bagaimana nasib simbah,
rumah, dan ternaknya?
Sayangnya aku tidak
sempat berjalan jauh ke arah timur. Alarm janjiku untuk menemui ibuku jam 09.00
WIB memaksaku bergegas kembali pulang, menyantap soto dan es kweni di Pasar
Pundong.
Meski bukan rumah sendiri,
tapi tempat ini sudah menjadi liang melarung rasa-rasa. Sampai Ibuku sudah
hafal betul di mana aku menuju saat Sabtu, Minggu sebelum matahari tinggi. Di
tempat ini, yang pernah kutulis berkali-kali.
Dari jembatan terhubung
sampai putus tak kunjung tersambung. Kali Oya ketika kemarau selalu terbayang
melambai mengingatkanku untuk kembali bertamu.