Alarm
jam terdengar berdering untuk kali kedua. Aku terbangun, kemudian setengah
berlari menghentikan suaranya yang mengeras kala azan subuh terkumandang.
"Waa
sudah bangun ya? Bagaimana? sudah siap dengan hari ini?" tanya suami yang rupanya
telah bangun terlebih dulu.
Rencananya
memang pagi ini, kami akan berangkat naik Sancaka dari Stasiun Tugu
Jogja menuju Stasiun Surabaya Gubeng. Kemudian berlanjut ke Bandara Juanda
untuk terbang sampai Bandara Lombok Praya.
Entah
disengaja atau tidak, hari ini juga bertepatan dengan hari Sabtu, awal bulan
Mei, yang jatuh pada tanggal kelahiranku.
Seusai Salat Subuh berjamaah, kami sibuk dengan rutinitas masing-masing. Aku mulai
mengolesi roti tawar dengan mentega, kemudian menaburi mises cokelat sebagai
bekal pengganti sarapan di kereta nanti.
Sayup-sayup
terdengar langkah kaki masuk dapur. "Waah, barusan aku ke Indoma*et nggak
ada kue" serunya setengah terengah sambil membawa dua botol air mineral.
"Kenapa
kue? Kan udah ada nih roti, tinggal yang asin-asin aja snacknya mas."
"Kan
mau tiup lilin?" Jawabnya sambil tersenyum. Dia mendekat menyerahkan dua
botol air mineral itu sembari mengucapkan harapan dan doa-doanya untukku pagi
itu. Sengaja tak kutatap matanya, takut ada sesuatu yang menetes dari
mataku.
***
Kami
berjalan kaki menuju Stasiun Tugu yang jaraknya sepelemparan batu dari rumah.
Usai memasuki Sancaka dan menemu tempat duduk, aku menggenggam buku Stop Stressing Start Living dari Mba
Elisabeth Murni. Buku itu sengaja kusimpan, untuk kutamatkan selama perjalanan
nanti.
Merapi dari balik jendela Sancaka. Foto dari: Wihikanwijna |
Dari balik jendela kereta, Merapi gagah sekali tanpa awan. Di dalam sini, orang-orang sedang sibuk dengan gawainya masing-masing, ada juga yang tengah pulas tertidur.
Takterasa kereta berhenti di Stasiun Surabaya Gubeng. Kami lanjut untuk jalan kaki lewat jalur
pedestrian yang ramai kala siang.
"Surabaya panas ya?"
"Surabaya panas ya?"
"Ya
kaya Jakarta", jawabnya sambil mencari keberadaan ATM Mandiri di sekitar
Hotel Sahid Surabaya. Setelah selesai mengisi e-money di ATM untuk melewati Tol Berbek Surabaya, mobil Grab Xenia
berwarna putih pun datang. Kami dijemput menuju Bandara Juanda.
Setelah sekitar
45 menit Lion Air yang kami tumpangi mendarat dengan selamat di Bandara Lombok
Praya, seseorang menjemput kami di parkiran motor, Andi namanya. Dia adalah salah
satu karyawan pemilik motor rentalan yang akan kami sewa selama lima hari
keliling-keliling Lombok. Dengan sepeda motor, nantinya kami akan lebih nyaman
dan leluasa mblusuk-mblusuk ke tempat yang nyempil-nyempil.
Azan
maghrib telah menutup sore. Kami menuju penginapan Kurnia Jaya di Kota Mataram dengan sepeda motor Vario
hitam yang telah kami sewa. Bermodal GPS dan papan petunjuk hijau di Pinggir jalan, kami sampai juga di Penginapan tanpa kesasar.
Kala waktu menjelang malam, kami sempat berjalan kaki membeli makan. Kebetulan, penginapan tersebut berada di daerah kawasan kampus. Bisa ditebak, harga makanannya sangat miring. Nasi campur seharga Rp.7.500,00 masih bisa ditemukan untuk mengganjal perut malam itu.
Kala waktu menjelang malam, kami sempat berjalan kaki membeli makan. Kebetulan, penginapan tersebut berada di daerah kawasan kampus. Bisa ditebak, harga makanannya sangat miring. Nasi campur seharga Rp.7.500,00 masih bisa ditemukan untuk mengganjal perut malam itu.
Nyatanya,
matahari terasa terbit terlalu cepat. Badanku masih kaku, tapi fajar usai
menyingsing. Pemandangan gunung-gunung berkabut dan menara
masjid semakin terang terlihat dari jendela penginapan. Hmm sepertinya pertanda hari cerah. Rasanya semakin tak sabar berkenalan dengan
pantai-pantai pasir putih bernuansa langit biru.
Sebelum sarapan, kami terlebih dahulu mengemasi barang-barang untuk dibawa keliling pantai-pantai di Lombok Tengah sebelum pindah penginapan di sekitar Pantai Kuta, Lombok Tengah, siang nanti.
Sebelum sarapan, kami terlebih dahulu mengemasi barang-barang untuk dibawa keliling pantai-pantai di Lombok Tengah sebelum pindah penginapan di sekitar Pantai Kuta, Lombok Tengah, siang nanti.
Suami membawa motor dengan santai. Jalanan di Lombok Barat itu
begitu lengang. Terkadang, pemandangan di kanan-kiri jalan kunikmati dengan
leluasa karena kami tak menemu macet panjang yang berarti. Menara-menara masjid
yang menjulang tinggi, perempuan-perempuan yang memanggul panci besar di atas
kepala, dan kesibukan gotong-royong warga pagi itu.
Semakin ke selatan, jalanan memiliki wajah berbeda. Bukit-bukit
tak lagi punya punggung karena dikeruk untuk pembangunan hotel. Jalanan
beterbang debu putih karena terus dilakukan proses pelebaran jalan. Dengan keadaan kerongkongan yang mulai kering, sesekali kuperbaiki letak tas ranselku yang
semakin terasa bergelayut di punggung. Berbekal sisa-sisa energi sarapan tadi
pagi, aku menguatkan diri untuk sampai bibir putih Pantai Mawun.
Pohon rimbun dengan background
pantai biru tosca, membuatku melek
seketika. Di sisi kanan, ada satu bukit gersang, di sisi kiri ada deretan
kapal-kapal berbaris dan turis-turis berjemur bermandikan
cahaya matahari. Tak jemu rasanya mata menari mengitari sekeliling.
Aku suka sabana, suka banyu jernihnya, suka pasir putihnya, dan ini telah terbungkus satu paket di hadapan.
Aku suka sabana, suka banyu jernihnya, suka pasir putihnya, dan ini telah terbungkus satu paket di hadapan.
Meskipun kerongkongan kering mendera, aku berhasil lebih dekat dengan air yang
meminggir dibawa ombak itu. Eh tiba-tiba sebuah seruan menghentikanku. Suara
anak-anak pembawa dagangan gelang tali.
“Mbak, dibeli gelangnya mbak… ” aku masih mencoba berdiri tenang
sambil menggeleng.
“Maaf dek, nggak yaa..”
“Halah mbak, kami daritadi belum laku, dibeli lah mbak…”
Lha kok lama-lama gerombolan anak-anak yang tadinya tiga orang
ini, disusul kawannya yang lain. Langkahku lama terhenti di sini. Aku
mencoba membelah kerumunan itu dengan memberikan sedikit kode kepada suami.
“Maaf dek, kami mau ke sana ya?” namun mereka masih mengikuti dan memaksa.
“Yaudah mbak kalau nggak mau beli, kasih uang sini mbak…” aku
tersenyum kemudian mengalihkan perhatian mereka kepada rombongan wisatawan yang
baru datang. “Coba, tawarkan gelangnya kepada mereka, siapa tau ada yang
tertarik.” Mereka langsung cemberut berjamaah :p
Kalau saranku sih, bersikap tegas lebih baik. Jangan memberi
harapan: “Iya, ntar dulu ya?” ntar malah diuber terus sama mereka, sehingga
jalan-jalanmu di Pantai Mawun kurang nyaman. Jika memang tak berminat membeli,
katakan “tidak” dengan halus.
Kami bergegas meninggalkan anak-anak penjual gelang tali menuju arah
gerombolan kerbau yang tengah asyik makan makan siang di atas bukit itu. Meski
panas mendera, penampakan mereka sekilas dari jauh sungguh merampok perhatiaan.
Sayang sekali, langkah kaki di tengah terik siang tak bisa sekilat
gerombolan kerbau-kerbau itu hilang dari pandangan. Belum juga sampai di tepi
bukit, kerbau-kerbau itu sudah menghilang pulang. Karena tadi, sekilas kulihat
bapak-bapak menggiring gerombolan kerbau menyeberangi sungai di kaki bukit
gersang itu.
Pantai Mawun ini ternyata juga memiliki sungai yang mengalir ke
arah Pantai. Namun, aku tak sempat mencicipi rasa airnya meski matahari serasa
sejengkal dari ubun-ubun. Mending nanti beli kelapa muda aja di pinggir pantai.
Karena terlanjur penasaran dengan bukit sabana tempat gerombolan kerbau itu asyik makan siang, aku sempat mencoba naik di pinggiran bukitnya. Dari atas ternyata lebih leluasa memandangi Pantai Mawun secara penuh di berbagai sisi. Mulai di paling ujung, kapal-kapal berbaris dan bergerombol, bule-bule tengah berjemur, dan aktivitas pengunjung yang tengah asyik mandi di pantai.
Di Pantai ini, terutama di pinggir kiri ombaknya lebih slow. Cocok untuk sekadar basah-basahan. Mungkin karena keberadaan bukit-bukit yang mengapit, sehingga ombak yang datang dari selatan tak langsung menghantam bibir pantai.
Kira-kira itu juga sih alasannya kenapa artikel ini judulnya Ombak Santun Pantai Mawun. Karena jika dibandingkan pantai-pantai tetangganya yang dipenuhi bule asyik surfing, pantai ini lebih dipilih pengunjung untuk sekadar berjemur dan jalan-jalan santai.
Kulo nuwun Mawun, matur nuwun
***
"Mana fotomu kok miring semua nggak ada yang bagus?"
"Itu tandanya suruh mbaleni lagi ke Lombok mas."