Ini adalah piring kedua yang berada di meja hadapanku
selama dua setengah jam berlalu. Tak biasanya memang. Dari rumah sudah sarapan
satu piring, dan ini menjelang dua. Tapi untungnya, aku masih sempat menyisakan
ruang kosong di rongga lambung agar nantinya tetap khidmat menikmati santapan
sarapan lintas kabupaten ini. Bantul-Kulon Progo.
Sebuah misi tertunda yang akhirnya terbayar hari ini.
Sarapan dengan latar pemandangan sawah nan luas dan segala aktivitas yang
menyertai. Kalau boleh nambah permintaan, sawahnya yang ada bukit-bukit atau
gunung di sekeliling biar sawahnya ada yang jagain. Dan detik ini, semua
gambaran itu telah tersaji utuh di depanku. Hamparan hijau yang luas, telah rapat
dijaga oleh barisan bukit menoreh.
Pagi setengah siang itu, langit sedang tak terlalu
biru. Namun, lalu lintas gerombolan bangau putih menambah meriah. Mereka
terbang berpindah dari satu petak sawah ke petak sawah yang lain. Aktivitasnya
kadang dikejutkan oleh kehadiran petani yang hendak turun ke sawah. Bangau-bangau
itu malu. Tak sedikit dari mereka yang memilih terbang, mengitari sawah
kemudian berlalu entah ke mana.
Gelas es jerukku mulai mengembun. Bahkan sejak
kedatangannya tadi lupa untuk kuaduk. Gulanya masih mengendap di dasar,
sedangkan yang di sampingku? Gelasnya sepertinya bocor. Dalam sekejap dia
meneguk minumannya sampai tak menyisakan tetes. Ah Rini, mungkin dia kelelahan
menjadi mbak supir dari Galur menuju Nanggulan. Sejauh itu.
“Es jeruknya enak mbak.” Katanya kemudian. Sedangkan
aku sebenarnya malah tidak sabar untuk segera memulai suapan pertama dari
sepiring nasi dengan sayur nangka muda, oseng jipang, sambel bawang dan ceker
ayam bacem yang telah tersaji.
Pemandangan dapur Geblek Pari |
Tadi, aku dan Rini masuk ke dapur untuk mengambil secara mandiri semua hidangan ini. Begitu memang di Geblek Pari. Pembeli dapat mengambil sesuka hati menu yang dia inginkan. Mau berapa centong nasi? Harganya tetaplah sama. Nasi sayur cukup empat ribu rupiah.
Di dalam ruang dapur, terlihat ibu-ibu sedang sibuk
memasak. Peranti memasaknya masih tradisional: tungku dengan nyala api dari
ujung-ujung kayu. Beliau ramah menyapa pembeli yang tengah galau memilih sayur
yang hendak diguyur di atas gunungan nasi. “Monggo mbak, itu yang di sana
sayurnya juga boleh diambil.” Sapa beliau dengan ramah. Ada Sayur nangka muda,
oseng jipang, brongkos, gudeg. Macam lauknya, ada tongkol tepung, telur dadar, tempe-tahu bacem,
ceker bacem, sambel bawang yang rasanya juara.
Pilih yang mana? |
Aku bingung. Semua pingin kucicip. Karena alasan
itulah piringku menjadi tampungan kolaborasi beberapa sayur menjadi satu.
Sendokku menjelma menjadi sapu. Dengan waktu yang singkat, gunungan aneka wajah
sayur dan dua centong nasi itu lenyap bersih. Piring pun menganga lagi. Namun suasana
di sini memang membuat orang selalu ingin mengunyah lagi. Untuk itulah, tak
ketinggalan aku menyempatkan diri untuk mencicipi salah satu makanan khas Kulon
Progo dengan cara hangat-hangat, Geblek lima ribu rupiah. Sebuah sajian menu
sederhana, dengan harga bersahabat, di tepian hamparan sawah yang belum
menguning.
Hari semakin siang, pengunjung bertambah dan berdatangan. Tegalan yang disulap menjadi tempat makan di pinggiran sawah ini tak
lagi selengang tadi pagi. Hmm sepertinya tak lama lagi memang harus segera berpamit
dari Geblek Pari. Tapi mumpung masih di Nanggulan, mau ke mana lagi ya baiknya?
“Aku masih penasaran sama Tebing Kayangan mbak.” Kata
Rini sambil mengambil lingkar geblek terakhir. “Eh aku juga, pernah beberapa
kali mencari tapi belum dipertemukan hingga sekarang Rin.” Aku dan Rini sedang
sehati, sama-sama penasaran menginjakkan kaki di tebing kayangan. Tapi di mana lokasinya?
Aku sedikit menunda beranjak dari kursi-kursi Geblek
Pari. Dengan sisa-sisa sinyal yang ada, kucari keberadaannya lewat google maps.
Yeay, dapat pencerahan juga. Di sana, tertera lokasinya memang tak terlalu jauh
dari Nanggulan.
Di mana-mana hijauuu |
Aku buru-buru mengajak Rini menjemput sepeda motorku
untuk keluar dari pelataran parkir Geblek Pari. Kuajak lagi ia kembali membelah
sawah hijau. Nanggulan ini memang tempat asyik memayung teduhkan mata.
Sekeliling seperti dikepung hamparan sawah. Seragam. Semua hijau, tanpa ada
petak yang lebih dulu menguning. Gubug kecil di tengah sawah pun menjadi
penghuni luas itu. Aliran gemericik air yang mengalir menjadi irama sejuk di
tengah siang. Lambat sekali sepeda motor melaju. Meskipun begitu, bangau-bangau
kembali terusik. Mereka kembali terbang bergerombol.
Selain pemandangan sawah, sepanjang jalan di Kulon
Progo selalu disanding oleh parit-parit besar dengan air melimpah. Tak heran
jika sawahnya terjaga dari dahaga. Saluran irigasi kulihat tidak hanya di
pinggir jalan-jalan aspal, namun juga masuk ke dusun-dusun. Setiap dusun hampir
menyanding suatu parit. Menurutku ini adalah pemandangan yang menarik. Cukup
berbeda jika dibandingkan dengan kabupaten sebelahnya yang parit-paritnya
kebanyakan untuk mengepung pinggiran sawah.
Saluran air yang lumayan bebas dari sampah |
Setelah melintasi jalan yang membelah hamparan luas
sawah dan menurut pinggir parit besar yang dihubungkan jembatan, akhirnya
sampailah pada petunjuk pertama. Keberadaan patung sapi di sebelah kiri jalan.
Artinya Tebing Kayangan tak jauh lagi dari sini. Setelah tanjakan satu telah
terlampaui, di sebelah kanan, papan petunjuk tentang Tebing Kayangan
terpampang. Stang motor belok juga ke kanan, menyusuri suatu dusun yang masih
sepi. Beberpa puluh meter setelahnya, sepeda motor kami terhenti olah plang
bambu yang membujur menghalangi jalan dengan penjagaan bapak-bapak.
Dari informasi beliau-beliau, aku baru tahu jika pada
tanggal 24, 25 dan 26 November 2017 nanti akan diselenggarakan sebuah perhelatan
acara di sekitar Tebing Kayangan. Kulfest namanya. Sebuah acara musik, kuliner
dengan mengundang penyanyi papan atas dan artis ibu kota. “Mbak kalau ke sininya
tanggal 12 November besok sudah dikenakan tarif 250k lho ini”, canda seorang bapak-bapak sambil
terkekeh. Lumayan mahal yaaa? batinku dalam hati. Kayanya Rini juga mbatin
begitu, soalnya aku agak-agak dengar :p
Aku tak terlalu antusias dengan acara begitu.
Sekarang kan misinya cuma pingin duduk-duduk di pinggir kali saja. Sudah.
Sepanjang perjalanan jika mata memperhatikan sebelah
kanan jalan, terlihat bapak-bapak sibuk membenahi sarana prasarana. Kolam-kolam
ikan, tanaman sayur, sampai warna-warni bunga yang menghiasi, sudah
dipersiapkan sedemikian. Oh ya, lahan parkir juga sepertinya sudah siap. Mmm
aku kok agak nggak ikhlas ya? hmm ga ikhlas yang tanpa alasan.
Airnya pas buthek :p |
Melihat tebing itu, aliran kali itu, beserta segala
aktivitas penduduknya di pinggir kali, aku jadi berfikir lagi. Sepertinya
tempat ini apa tidak lebih cocok untuk suatu acara-acara semacam upacara adat, tradisi, dan sejenisnya. Gemericik airnya sangat sayang jika disandingkan suara-suara
buatan, apalagi jika harus disandingkan oleh suara-suara rindu yang tak kunjung
dia mengerti.
Eh tapi, mungkin acara yang akan berlangsung besok juga salah satu bentuk jenis promosi destinasi wisata Kulon Progo. Hmm kenapa malah aku yang jadi posesif? :p
Sebenarnnya karena aku menyaksikan sendiri, ketika batu-batu kali di sana sudah mulai terserang vandal. Semoga tidak merembet ke mana-mana.
Tak puas sekadar memandangi tebingnya dari pinggiran,
aku mengajak Rini untuk menyeberangi sungai agar lebih dekat dengan sang tebing
kayangan. “Mbak, aku takut.” Katanya lirih. Kugandeng tangannya dengan
hati-hati. Batu-batu kecilnya memang berlumut. Selain itu, kondisi air yang
agak keruh mengharuskan kaki wajib meraba-raba dalamnya kali. Aku tak mau jika
harus kelelep atau tenggelam dalam genangan diamnya.
Aku, dan Rini sedang berjemur. Foto by: self timer ganjel tas. |
Alhamdulillah, sudah sah menginjakkan kaki di bawah
tebing kayangan. Di bulan sapar, tepat akan diberlangsungkannya upacara adat
saparan Kembul Sewu. Acara tersebut diselenggarakan setiap hari Rabu terakhir di bulan Sapar, untuk itulah banyak
yang menamainya dengan Rabu Pungkasan. Sayangnya, acara itu diselenggarakan
pada hari Rabu, di hari ketika aku harus memandangi mesra berderet data yang
mengotakkan pandangan mata.
Di pinggir kali, seorang Ibu-ibu sedang serius mencuci baju. Kembennya
berwarna hijau, rambut panjangnya diikat ke belakang. Beliau tersenyum melihat
tingkahku dan Rini di tanah gersang tengah kali. Sebenarnya, warga di sekitar
sini masih memanfaatkan aliran kali untuk kehidupan sehari-hari. Menurut obrolan singkatku dengan Ibu-ibu itu, akan sedikit lebih menghemat menggunakan air kali ini daripada harus sepenuhnya bergantung kepada air PAM. Ikatan alam dengan penduduk sekitar masih terasa kental harmoninya. Aku suka jika
Kayangan tetap seperti ini. Apakah Kayangan merasa kalau dia sedang kusukai?