Beberapa kali jam alarmku berbunyi hanya untuk membangunkanku
menemui Merapi. Rela menjeda mimpi untuk mengganti selimut hangat dengan
pelukan halimun. Menembus waktu Subuh, mengabaikan alarm lain yang nyaris
keroncongan.
Merapi terkadang hanya cerah kala pagi. Siang sedikit, kabut sudah terburu-buru menutup tirainya. Namun begitu, ke sana
pagi-pagi pun tak menjamin ia sudi bertemu sapa. Terkadang ia begitu saja
berbungkus kelabu tanpa menampakkan secuil bagiannya. Ditunggu sampai matahari
tinggi juga tetap sama, Merapi sedang belum ingin bertemu siapa-siapa.
Di lain kesempatan, Merapi kadang memamerkan
kegagahannya begitu saja tanpa ada niat dan rencana untuk bertemu dengannya
sebelumnya. Jika sudah begitu, aku memilih mengirim pesan dengannya lewat
sebuah suara batin:
“Kalau ternyata pagi ini kamu cerah, kenapa semalam tidak memberiku kode lewat mimpi?”
Jika beruntung sedang menggenggam kamera, aku tidak
pernah melewatkannya begitu saja. Ketika di kampung halaman sebelah utara tanah
lapang, di pinggir jalan, di antara persawahan, atau ketika dalam perjalanan
membeli gudeg di tepi Kali Code.
Terkadang aku memang seposesif itu kepadanya. Karena seringkali hanya cukup dengan melihatnya
gagah di ujung utara Jogja membuat adonan bahagia meluap tanpa ada sebab. Setelahnya
ada syukur melebur dalam puji-pujian kebesaranNya.
Aku kira, prolog di atas terlalu melebihi batas? Beberapa
postingan ceritaku tentang Merapi pernah menghuni beranda Relunglangit. Cerita
tentang Sisi Sunyi Lekuk Merapi dari Kalitalang salah satunya. Lagi-lagi aku selalu
mencari tempat tersepi untuk berdialog pagi dengannya.
Kaliurang, Kaliadem, Bukit Klangon yang mulai
berjejal pengunjung dan Jeep membuatku terus menanya kepada seorang teman. “Di
mana lagi tempat sunyi menemui Merapi?”
Dia menjawab pertanyaanku satu per satu,
mengantarkanku ke tempat itu dari pagi ke pagi.
Lekuk Merapi
di Antara Bukit dan Tebing
Sepeda motor hanya bisa terparkir di bawah, tidak
jauh dari sebuah gubug petani. Setelahnya hanya bisa menelusuri jalan setapak
dengan berjalan kaki menaiki sebuah punggung bukit kecil. Tidak jauh, tak
sampai mengucurkan peluh, sampai juga di puncak sekaligus batas tebing.
Aku tengah berdiri di atas tebing menganga. Di bawah
sana, terlihat batu besar, ceruk tanah bekas galian dan warna-warni bak truk
siap dipenuhi pasir-pasir Merapi. Matahari perlahan meninggi memberi efek
kemerahan di pucuk merapi ketika ia masih berkabut tipis.
Dendang kicau burung bersahut dengan pekik suara
kera. Segerombol kera datang bergelantungan di pohon-pohon pinggiran tebing. Mungkin
mereka terusik dengan kehadiran manusia di tempat yang seharusnya tetap sunyi. Aku
undur pamit pergi dengan bekal pemandangan Merapi meski sebentar saja.
Aku diminta oleh temanku untuk merahasiakan di mana
keberadaan tempat ini. Meskipun sesungguhnya tempat ini pernah menjadi tempat
shooting suatu iklan rokok. Bukan tanpa alasan dia meminta untuk merahasiakan, karena
memang tempat ini masih aktif dijadikan laboraturium alam, tempat penelitian berbagai
jenis burung. Semoga tempat ini senantiasa bebas dari kerusakan apa pun, bebas
dari sampah yang berserak.
Merapi, Jembatan
Bronggang, dan Sabo Dam dalam Satu Komposisi
Dinding-dinding kuat tanpa suara yang terus berjaga.
Ia bertugas sekuat tenaga menahan laju luncuran vulkanik dari puncak Merapi,
mengamankan wilayah hilir sungai dari terjangan banjir lahar dingin. Meski
dalam diamnya, ia pun pernah menyerah dari terjangan erupsi dan lahar dingin
Merapi tahun 2010. Setelah peristiwa itu, Dam Sabo yang sejodoh dengan Jembatan
Bronggrang ini direnovasi.
Kali Gendol terbendung dalam naung Sabo Dam
Bronggang, di sebelah selatannya ada Jembatan Bronggang yang melintang. Jika turun
ke bawah jembatan, terlihat warga, truk pasir, atau gerobak sapi yang hilir
mudik di atas jembatan. Bila beruntung, Merapi akan menawan mengawal di tengah.
Beranjak dari bawah jembatan kemudian meniti anak
tangga dengan kemiringan mendekati curam, sampai juga di atas tembok tanggul
Sabo Dam. Dari sini, Merapi tak punya halangan apa pun untuk dipandang. Air
yang tertampung menggenang dalam Sabo Dam, siap melukis refleksi Merapi. Sayang
sekali aku tidak menemukannya pagi itu. Air sedang tidak setenang yang
dibutuhkan untuk melukisnya dengan sempurna.
Cerita dari temanku, senja di tempat ini juga tidak kalah
indah, apalagi manakala Merapi tengah cerah. Sinar baskara yang setengah
tenggelam akan memantul pada dinding Merapi. Ya, langit jingga di batas langit
barat, juga Merapi di utara yang menyertai. Aku baru membayangkan sudah tidak
kuat. Nanti aku bisa gemetaran saking kagumnya.
Telaga Warna Kali Putih
Pagi berganti dengan misi bertatap dengan Merapi di tempat
yang tak biasa. Menyeberang dari Sleman menuju tetangga tipis yang terpisah
Kali Putih, Magelang. Aku menemui Merapi dalam jarak yang tak sedekat biasanya.
Jujur saja, aku sudah tidak begitu mengingat jalan
itu lagi jika diminta kembali ke sini. Sepanjang perjalanan, aku hanya mengekor
laju sepeda motor teman yang berjalan cepat menembus sesak kebun salak.
Lorong jalan corblok semakin terasa gelap ketika
barisan dahan salak tinggi menjulang, melengkung, membentuk kanopi. Kaca helm
ditutup khawatir tertawan ranting dahannya yang lumayan tajam. Tak terasa
sampailah di sebuah tanggul Kali dengan debu mengepul sisa jejak truk pasir
yang mengantre di pos-posnya.
Aku berada di sebuah Kali dengan jalan yang berubah
terjal berdebu. Samar-samar deru mesin truk mengisi senyap, juga kerlip
lampunya menyorot dari kejauhan. Mau mencari apa di sini?
Mendung menutup langit, kabut pun dengan cepat turun.
Boro-boro penampakan Merapi melihat jalan kerikil dan berbatu saja masih
remang-remang. Aku yakin pagi ini belum berjodoh bertemu dengannya di telaga merah
ini. Terkadang memang sebegitu niat mulia untuk menemuinya dalam lembar sapa,
tak selalu berujung bertatapmata.
Bekas cekungan galian pasir yang sepakat kami sebut
telaga ala-ala. Warna merahnya berasal dari warna tanaman air (entah alga atau
ganggang) yang subur berkembang di musim kemarau. Itulah sebabnya warna merah-merahnya itu tidak abadi. Sebagian juga telah tersisi tanaman encenggondok yang sebagian sudah berbunga.
Beberapa penambang pasir mengingatkanku agar tidak
terlalu ke pinggir cerukan. “Awas, itu dalam lho mbak.” Seru beliau dari seberang. Kontur
tanahnya yang terdiri dari pasir dan kerikil juga cukup membahayakan jika
berdiri terlalu di tepi, takut longsor.
Menjelang semakin siang, sebuah keputusasaan keengganan
Merapi untuk cerah tiba-tiba musnah. Merapi berkenan pamer gagahnya. Aku sedikit tersipu, kami berjodoh kembali untuk bertatap sapa
di tempat tidak biasa ini. Merapi tetap begitu gagahnya tak pernah berkurang di
mana pun aku menemunya.
"Aku ingin memandanginya dengan tenang,
mengenang senang yang terbayang ketika kuasa menatapnya tanpa halang"
Di hari-hari mendatang, tempat-tempat sepi untuk merajut dialog pagi dengan Merapi semoga tak akan tergusur oleh penanaman beton di mana-mana. Aku masih membutuhkan segenap tempat nyaman tanpa pungutan tiket retribusi, penjagaan petugas parkir, gangguan spot ala-ala yang mencemari pandangan, juga berjubel pengunjung yang tidak putus-putus.
Ini juga hanya di pinggir jalan, yang menurut berita terbaru akan dibangun suatu tempat piknik bertiket masuk |
Penulis sangat ingin menambah daftar panjang
tempat-tempat tak biasa untuk bertegur sapa dengan Merapi. Bisa jadi, tulisan
ini akan terus diperbaharui jika ada tempat-tempat lain yang aku kunjungi pada
kemudian hari.
Kalau pembaca, di mana biasanya suka menyaksikan Merapi pas
sedang gagah-gagahnya? Apa dari depan teras rumah dia?