Aku bersama Bani dan Windri hanya sebentar saja
menambah sesak Pasar Legi Kotagede. Kedua temanku kompak mengirimkan isyarat
untuk secepatnya berlalu dari keramaian itu. Aku mengikutinya, berjalan dengan
agak mengejar ke arah selatan. Selanjutnya dengan ditemani matahari yang
meninggi sendirian, langkah kaki serentak mengukur jalanan lain yang lebih
lengang.
Kali itu tanpa berbekal jajanan pasar yang sempat menggoda. Rasanya sudah cukup terhibur dengan suara “kapyuk-kapyuk” dari botol air mineral yang menyisakan rongga udara. Suaranya mengiringi hentakan langkah kaki menuju sudut-sudut lain Kotagede yang belum pernah kujamah. Masjid Agung Mataram Kotagede yang berdiri gagah kulewati tanpa berlama-lama. Hanya sekilas saja kemudian keluar dari gerbang pintunya yang terbuka di sisi timur.
Kali itu tanpa berbekal jajanan pasar yang sempat menggoda. Rasanya sudah cukup terhibur dengan suara “kapyuk-kapyuk” dari botol air mineral yang menyisakan rongga udara. Suaranya mengiringi hentakan langkah kaki menuju sudut-sudut lain Kotagede yang belum pernah kujamah. Masjid Agung Mataram Kotagede yang berdiri gagah kulewati tanpa berlama-lama. Hanya sekilas saja kemudian keluar dari gerbang pintunya yang terbuka di sisi timur.
Aku dan kedua temanku mencoba untuk menelusup memasuki
gang sempit dengan penjagaan benteng tinggi di kompleks makam. Tak habis mata memandang.
Rumah-rumah dengan arsitektur Jawa khas Kotagede berjejer rapat sepaket dengan
aktifitas penghuninya. Kebanyakan dari rumah yang telah masuk sebagai cagar
budaya tersebut berjejer berhimpitan menjempit gang-gang sempit.
Sungguh pas jika menyusuri setiap sudut Kotagede dengan berjalan kaki. Dengan lebar jalan kurang lebih dua meter, aku memosisikan diri agar berjalan berbaris bukan berjejer agar berbagi jalan dengan warga sekitar yang lewat. Di tengah perjalanan, jika sesekali berpapasan dengan anak-anak yang asyik mengendarai sepeda kecilnya, kucoba untuk merapatkan tubuh di tepi dinding-dinding rumah maupun pagar. Interaksi tersebut menciptakan saling balas senyuman yang meluncur tenang.
Sungguh pas jika menyusuri setiap sudut Kotagede dengan berjalan kaki. Dengan lebar jalan kurang lebih dua meter, aku memosisikan diri agar berjalan berbaris bukan berjejer agar berbagi jalan dengan warga sekitar yang lewat. Di tengah perjalanan, jika sesekali berpapasan dengan anak-anak yang asyik mengendarai sepeda kecilnya, kucoba untuk merapatkan tubuh di tepi dinding-dinding rumah maupun pagar. Interaksi tersebut menciptakan saling balas senyuman yang meluncur tenang.
Di setiap gang sempit, biasanya dilengkapi dengan kaca cembung seperti ini |
Rumah-rumahnya yang unik itu... |
Pemandangan yang seragam akan rumah joglo dan limasan
telah berganti sejak memasuki Gang Soka. Ruas jalan menjadi agak sedikit lebar
dengan penampakan dinding raksasa nan tinggi di depan mata. Sebuah bangunan kokoh
menjulang dengan banyak jendela. Dindingnya memiliki ukir-ukiran sedangkan lantainya
memiliki tatanan tegel putih dengan motif daun-daun.
Rumah Kalang menyapaku agak berbeda dari rumah-rumah di sepanjang gang sempit tadi. Jujur, penampakan rumah milik Rudi Pesik ini menguras perhatianku. Sepanjang dinding-dinding rumah ini pun semacam punya rekaman cerita tentang kejayaan si empunya pada masanya. Memang Gang Soka memiliki atmosfer berbeda. Pemukiman rumah tradisional khas Jawa telah berdampingan dengan gagahnya bangunan corak khas arsitektur Eropa.
Rumah Kalang menyapaku agak berbeda dari rumah-rumah di sepanjang gang sempit tadi. Jujur, penampakan rumah milik Rudi Pesik ini menguras perhatianku. Sepanjang dinding-dinding rumah ini pun semacam punya rekaman cerita tentang kejayaan si empunya pada masanya. Memang Gang Soka memiliki atmosfer berbeda. Pemukiman rumah tradisional khas Jawa telah berdampingan dengan gagahnya bangunan corak khas arsitektur Eropa.
Penampakan Rumah Pesik |
Kuteruskan berjalan ke arah timur sambil menunggu
kedua temanku sibuk memainkan kameranya. Mataku menjelajah kemudian terhenti
oleh sebuah bangunan yang berhasil menyita perhatianku. Di balik pagar bercat putih itu, rasa penasaranku menyeruak tiba-tiba. Aku hanya bisa mengintip dari lubang kecil. Terlihat keberadaan
bangunan tua khas Eropa yang berbeda dari deretan rumah-rumah sebelumnya. Pagarnya
terkunci. Aku hanya menatap keberadaan pohon yang
menyisakan ranting-ranting gersang menjulang di depan rumah.
Kulanjutkan langkah menuju pinggir jalan sebelum
gapura. Rasanya ini waktu yang tepat untuk duduk-duduk berlindung dari sengatan
matahari yang tak lagi bisa diajak kompromi. Glegg glegg glegg tiga tegukan penyembuh dahaga telah menyeka. Pemandangan lalu-lalang warga menyelingi. Sesekali ibu-ibu membonceng anaknya berlalu sambil tersenyum, juga riuh-ramai
suara rombongan anak kecil yang berjalan kaki membawa layang-layang lalu lalang
menantang panas.
Tak lama kemudian, seorang bapak-bapak menghampiriku dengan
keramahannya. Beliau membawa beberapa buah kunci di tangannya. Pak Nono, beliau
menyebut namanya ketika memperkenalkan diri. “Mbak, pingin ke sana?” kata
beliau sambil menunjuk rumah bercat putih yang masih menyisakan rasa
penasaran itu.
Mengintip dari lubang pagar |
Dinding putihnya dengan banyak jendela |
Aku menatap kedua temanku seraya meminta persetujuan.
Keduanya mengangguk. “Eh tapi bapak itu semacam guide terus nanti harus bayar nggak ya?” kata salah satu temanku
sambil berbisik. Ah sepertinya sih bukan, kalau toh iya yasudah nanti gimana
baiknya. Aku masih ingin menyembuhkan penasaran untuk memasuki rumah tua
itu.
***
Pelan-pelan gerbang pagar telah dibuka. Pak Nono
memulai langkah masuk, aku dan kedua temanku mengikuti. Beliau mulai
mempersilakanku duduk di teras rumah. Windri duduk serta di sampingku. Ada
beberapa kursi juga meja yang berhias cangkir dan teko yang menghuni teras itu.
Dindingnya Nampak retak sana-sini namun tetap kokoh menyangga atap. Beberapa
patung dengan wajah manusia juga bentuk-bentuk hewan terpajang di teras rumah.
Pak Nono yang membuat sendiri hias-hias topeng itu. Rumah ini seperti
menghadirkan energi yang tiba-tiba. Entah bagaimana cara menceritakan, tapi ada
hawa singup mengisi begitu saja
terasa.
Bani masih sibuk jalan-jalan mengamati sisi
perkarangan rumah. Sebelum memulai cerita, Pak Nono mengajukan satu pertanyaan
ke arahku:
“mbak sudah tahu kan tentang rumah ini?”
aku hanya menjawab dengan gelengan kepala.
“Serius belum tahu?” tanyanya lagi kemudian.
“Serius belum tahu?” tanyanya lagi kemudian.
“Belum…” sambil
menggeleng untuk kali kedua.
“Masa belum tahu rumah ini? ini rumah terangker
nomor dua se-Kotagede setelah Rumah Kantil.” Ucapnya. Aku terkejut. Pantas saja
beberapa saat setelah duduk di teras ini kok rasa-rasanya mataku sungguh berat,
terutama dekat pelipis. Semenjak itu, aku mulai menyibukkan diri berzikir
sambil tetap memperhatikan penjelasan beliau.
Aku dan Windri yang berpura-pura cool tapi gagal |
Rumah ini dibangun sejak tahun 1800n dan telah kosong
selama kurang lebih selama 40 tahun. “Jadi bisa dibayangkan jika rumah kosong
selama 40 tahun itu seperti apa penghuninya” kata Pak Nono sambil tersenyum. Selama
rumah ini kosong, perkarangan penuh diisi ilalang. Dari ahli waris memang tidak
ada yang bersedia menghuni. Mereka hanya memberikan kepercayaan kepada Pak Nono
untuk merawat rumah ini sehingga kini penampakannya sudah agak bersih meskipun
masih menyisakan hawa aneh. Nah kata beliau, rumah ini juga sempat sangat tenar
karena kemunculannya berkali-kali dalam acara uji nyali yang pernah ditayangkan
oleh salah satu stasiun televisi swasta.
Sesekali Bani jalan-jalan berkeliling di sekitar
perkarangan rumah. Dari luar, terdengar seruan suara: “kalian kok
berani-beraninya masuk ke situ” kata seorang anak muda dengan nada agak
berteriak. Namun setelah melihat keberadaan Pak Nono, pemuda itu langsung
meneruskan langkah berlalu. Ya, Pak Nono mengungkapkan, bahwa memang ada
beberapa kasus orang-orang yang penasaran menyelinap di rumah ini tanpa izin
dan berakhir dengan kasus kesurupan. Tak salah memang jika warga sekitar sempat
mengingatkan seperti itu.
Penampakan Rumah Pocong Kotagede dari depan |
Pak Nono melanjutkan cerita. Ia menunjuk salah satu ruang yang pintunya langsung berhadapan dengan teras. “Ruang itu, satu-satunya ruang yang selalu terkunci. Tidak sembarangan orang bisa membuka karena yang menghuni ruang itu seorang perempuan.” Sahutnya. Percaya tidak percaya. Mungkin aku bukan salah satu orang penggemar cerita-cerita berbau mistis. Jadi memang benar sebelum ini aku tak pernah sekalipun mendengar kabar cerita mengenai keangkeran rumah yang saat ini terasnya sedang kududuki. Namun sesaat setelah Pak Nono menyebutkan kata Pocong Sumi, aku terkejut. Sepertinya aku ingat pernah mendengar ketenaran cerita itu. “Apakah rumahnya di sini pak?” tanyaku spontan. “Lha ya di sini ini” jawab beliau sambil mengangguk-angguk. “Oh tapi tidak hanya itu mbak, segala macam jenis makhluk astral ada di sini. Itu dia mulai gabung duduk di sampingmu. Nggak usah takut, dia tidak mengganggu.” Ungkapnya santai. Aku seperti langsung membatasi gerak sambil sok-sok an tersenyum. Sejujurnya aku hanya takut menyenggol dia yang baru duduk bergabung di sampingku.
Hawa panas luar dalam seperti semakin menyerang. Aku
memandangi Windri. Dari ekspresinya, ia mengisyaratkan rasa tidak nyaman. Aku
pun merasa begitu meskipun sejujurnya masih ingin mengobrol lama dengan Pak
Nono. Rasanya juga masih ingin menantang nyali untuk mengiyakan ajakan beliau untuk memasuki ruang-ruang rumah yang masih terkunci.
Hmm tetapi jika diterus-teruskan juga rasanya tidak adil mengorbankan temanku lebih lama untuk menahan gelisahnya. Aku, Windri dan Bani mulai berpamit menyalami Pak Nono sambil mengucapkan terima kasih. Di akhir perjumpaan itu, beliau masih sempat melempar sebuah tawaran. “Jika di antara kalian ada yang mau ngekost di sini, tidak usah membayar alias gratis saja. Atau ada temannya yang berminat?” tanyanya lagi. Kami nyengir saja sambil menggeleng mantap. Beberapa jam saja di sini aku sudah pusing pak, batinku tak terdengar. Atau mungkin di antara pembaca ada yang berminat kost di sini sekalian bertamasya bersama makhluk astral?
Hmm tetapi jika diterus-teruskan juga rasanya tidak adil mengorbankan temanku lebih lama untuk menahan gelisahnya. Aku, Windri dan Bani mulai berpamit menyalami Pak Nono sambil mengucapkan terima kasih. Di akhir perjumpaan itu, beliau masih sempat melempar sebuah tawaran. “Jika di antara kalian ada yang mau ngekost di sini, tidak usah membayar alias gratis saja. Atau ada temannya yang berminat?” tanyanya lagi. Kami nyengir saja sambil menggeleng mantap. Beberapa jam saja di sini aku sudah pusing pak, batinku tak terdengar. Atau mungkin di antara pembaca ada yang berminat kost di sini sekalian bertamasya bersama makhluk astral?