Aku ingin bercerita tentang suatu syndrome-ku yang suka mblayang sendiri.
Sejam tiduran, sejam berikutnya udah dimana.
Suatu pagi, sering tiba-tiba sudah ada di suatu
tempat. Tujuannya hanya ingin menghirup udara segar yang belum terkontaminasi.
Suatu siang yang panas, terkadang juga sudah menjemur
diri di liukan perjalanan yang sedang panas-panasnya.
Suatu sore, bisa duduk-duduk sendirian sambil
mengamati awan berarak bergelantung mengiringi senja.
Begitu penyakitnya. Terkadang agak mengganggu tapi
terkadang juga begitu kunikmati.
Pun begitu dengan pertengahan menuju siang hari ini, dengan
refleknya memasukkan sebotol air putih, sekotak susu dan beberapa biskuit di
tas, kemudian melaju dengan kecepatan sedang menuju arah Jalan Wonosari.
Sepanjang perjalanan, aku pun lebih memilih untuk
terus menjaga jarak untuk berada di belakang truk dengan kepulan asap hitam
dari pada menyalipnya dari sisi kanan.
Sebenarnya perjalananku hari itu agak nggak fokus,
tangan kanan asyik mengatur tarikan gas sedangkan si fikiran entah sedang dimana.
Mungkin aku kurang tidur karena rapat 17n Agustus beberapa malam ini selesainya
larut terus.
***
Misi pagi menjelang siang ini adalah menemukan jalan
ke Gunung Cabaan.
Salah satu liukan jalan menuju Gunung Cabaan |
Sebuah gunung yang berada di gunung. Ya, Gunung
Cabaan berada di Gunungkidul, persisnya berada di daerah Kecamatan Gedangsari. Untuk
rute, aku belajar dari kesalahanku ketika tiba-tiba nyasar ke Gunung Gentong
beberapa waktu yang lalu.
Malah dari kenyasaran itu lah, yang membuat bayang-bayang
mengenai Kecamatan Gedangsari selalu muncul kembali. Sepertinya tempat itu mengandung
medan magnet kuat yang berhasil menarikku untuk menyapanya lagi.
Sepanjang jalan, perhatianku tertuju kepada bentuk kelokan sungai dan suara gemericik alirannya:
Sepanjang jalan, perhatianku tertuju kepada bentuk kelokan sungai dan suara gemericik alirannya:
Aku suka tentang sawah-sawahnya yang menyerupai Bali.
Menyukai aliran kalinya yang berbeda karakter dengan Sungai Opak yang selalu
kusanding. Suka bentuk jalan dan jembatan-jembatan yang berada di antara dua
bukit. Aku suka suasananya, semuanya tentang tempat itu. Hari ini aku ingin ke
sana dan menemukan jalan menuju Gunung Cabaan.
Sudah pernah ke Gunung Cabaan sebelumnya? tentu saja
belum. Aku hanya mantap mengarahkan kendaraanku menuju Gedangsari, setelah itu
hanya mengandalkan GPS (Gunakan Penduduk Setempat).
Banyak peristiwa konyol yang terjadi untuk menemukan jalan menuju Gunung
Cabaan. Contohnya adalah: mau masuk ambil gang sebelum Kecamatan Gedangsari, eh malah
masuknya ke kantor kecamatannya. Kemudian sehabis itu hendak keluar dari halaman kantor kecamatan, eh malah
masuk puskesmas. Ya Allah sungguh aku sedang embuh :p
Butuh sekitar 5 penduduk yang kutanyai sepanjang
jalan untuk mendapatkan titik terang menuju Gunung Cabaan. Namun, entahlah dari
semua informasi yang kucari tentang Gunung Cabaan, mereka malah mengarahkanku
ke Green Village Gedangsari yang sudah lebih dulu ngehits itu.
“maaf pak, saya bukan mau ke Green Village Gedangsari, tapi hendak ke Gunung Cabaan Desa Mertelu”
“wah mana itu mbak? saya malah kurang paham, kalau
Green Village ya sebelah sana jalannya”
Info mengenai Gunung Cabaan memang tergolong minim,
tenggelam oleh segudang tulisan dan deskripsi mengenai Green Village Gedangsari.
“Aku harus berusaha lebih keras lagi”.
Arahnya tetap menuju Desa Mertelu. Jalannya menanjak
terus, nggak ada turunannya sama sekali. Jalannya juga tidak terlalu bagus.
Hati-hati karena tiba-tiba menghadapi tikungan, atau jalan ber-lubang di tengahnya.
Akhirnya, Informasi dari mas-mas yang ku stop ketika
ia sedang asyik mengendarai sepeda motornya telah memberikan sebuah pencerahan
hangat.
“iya mbak, betul…Gunung Cabaan memang arahnya ke
sana”
“terimakasih mas”
“sendirian mbak?” kemudian kujawab dengan senyuman
Mas-mas itu menjelaskan bahwa jalan menuju Gunung
Cabaan tak mudah. Jalannya licin, sempit dan menanjak. Aku disarankan oleh nya untuk
berhenti dan menitipkan motorku jika jalan corblok sudah habis. Setelah itu
harus berjalan kaki 500 meter. Ia pun sempat meragukanku untuk melanjutkan
perjalanan menuju Gunung Cabaan.
Rute dan Alamat:
Dari Jalan Wonosari – Pertigaan Nglipar – Arah
Gedangsari – Sebelum Kecamatan Gedangsari ada gang masuk kanan ke arah Dusun
Mertelu – Lurus menurut aspal – Pertigaan ke kiri lurus – sampai menemukan SDN
Mertelu Baru, tanya penduduk setempat.
***
Persimpangan SD Mertelu Baru dan Siskamling |
Benar saja, saat itu aku berada di persimpangan SD
Mertelu Baru. Kuhela nafas panjangku berkali-kali. Sebenarnya batinku sempat
menciut. Gang sempit menanjak ekstrim itu seperti ingin ku-skip saja.
Tetapi setelah kuingat kembali perjuangan sampai
menemukan titik terang menuju Gunung Cabaan yang jaraknya tak jauh lagi
membuatku mantap melanjutkan. Ku mulai merayu motorku agar masih berkenan menemaniku
menanjaki gang sempit dengan keadaan jalan tak rata itu.
Setelah dengan ekspresi serius menahan nafas sambil
menarik gas motor menanjak, tiba-tiba aku diteriaki Ibu-Ibu yang keluar dari
rumahnya.
“Mbak.. mbakk stop jangan naik!”
Segera ku-rem motorku yang sudah setengah menanjak,
kemudian aku mundur pelan-pelan dengan posisi tangan menahan rem sambil mundur mendekati
arah ibu-ibu itu.
Beliau menjelaskan bahwa semalam hujan deras
menyebabkan jalanan semakin licin dan terlalu bahaya jika dipaksakan naik
menggunakan sepeda motor.
Motornya terpaksa harus dititip di salah satu rumah warga |
Karena alasan tersebut, beliau menyarankan untuk
menitipkan sepeda motorku ke rumahnya dan menuju Gunung Cabaan dengan jalan
kaki. Aku pun mengiyakan. Setelah berbincang kemudian berpamitan, aku menitipkan
sepeda motorku ke salah satu rumah warga tersebut.
***
Sesungguhnya aku masih ter-engah oleh perjalanan yang
belum sembuh capeknya. Namun, keadaan mengharuskanku untuk berjalan kaki dengan
posisi medan menanjak.
Ada keplesetnya di jalan ini ni, licinnya x( |
Sepertinya aku harus sering-sering jalan sama kamu kaki.
Terbukti nafasku masih payah kelelahan. Tak ada orang yang kutemui sepanjang
jalan kecuali bunyi-bunyi sejenis burung hantu di atas pohon, suara sapi yang
memecah heningnya sepi.
Terkadang aku harus berhenti, membuka resleting tas
kemudian meneguk beberapa tegukan air putih sambil mengelap keringat yang
mengucur tak sedikit.
Posisi duduk mengatur nafas sambil mencoba membasahi
kerongkongan yang telah mengering membuatku semakin keenakan istirahat.
“Mbak, mau kemana?” sapaan simbah-simbah yang sedang
sibuk memotongi rumput di tebing tak terlalu tinggi tepat di atas tempatku
duduk.
“Mau ke Gunung Cabaan apakah benar arah lurus sana
mbah? ”
“Iya benar, mau cari apa mbak ke sana sendirian?”
“Cari angin mbah, hehehe” jawabku santai
Jika ke kanan ke Gunung Tugel, ke kiri Arah Gunung Cabaan |
Kenapa setiap persimpangan selalu melahirkan sebuah
kebingungan?
Ya, sampai di tengah-tengah persimpangan kanan dan
kiri membuatku agak galau mengarahkan langkah. Kemudian aku kembali mengingat obrolanku
di bawah tadi ketika hendak menitipkan sepeda motorku: “nanti ada persimpangan, kalau ke kanan Gunung Tugel, kalau ke kiri Gunung Cabaan”.
Kemudian aku berhenti, menanyai kembali hati nurani.
“Aku hendak ke Gunung Cabaan apa Tugel ya ti? Hati?”
Kemudian hatiku mengatakan untuk melangkah ke kiri.
Tumben, padahal biasanya sih suka nya ke kanan.
Tumben, padahal biasanya sih suka nya ke kanan.
Setalah memutuskan untuk melangkah ke kiri, tanjakan
semakin menjadi. Kali ini menginjak batu-batu besar hitam kemudian berganti
rerumputan. Pandanganku hanya terfokus pada puncak gunung dan mencari jalan
untuk bisa menujunya.
Tiba-tiba mendung menggelayut gelap. Rasanya khawatir
tak tenang.
“Bagaimana jika aku kehujanan di tengah jalan?”
Wajahku menatap langit yang gelap, kulihat sekeliling
tak ada tempat berteduh. Tetapi langkahku tetap mengarah mengelilingi bukit.
Sesekali diselingi sapaan dan obrolan hangat dengan Ibu-ibu yang asyik mencari rumput untuk sapi-sapinya |
Beberapa lama aku berhenti mencoba untuk mengatur nafas sedangkan tanganku memegang erat semak-semak yang entah akarnya kuat ataukah rapuh. Obat mujarab kecapean adalah selingan sisi pemandangan dari ketinggian Gunung Cabaan di depanku. Kalau tidak salah, aku sedang menghadap utara.
Putih dan mendung, Rawa Jombornya samar-samar |
Sayang sekali ketika kutatap berbagai sisi semua putih. Sisa hujan deras semalam ditambah mendung yang sedang menggelayut menyisakan selimut tebal warna putih yang menutup rapat view dari atas Gunung Cabaan.
"Aku kurang beruntung"
Eh tapi harus tetap bersyukur tidak dihujani secara tiba-tiba di tengah-tengah perjalanan.
Eh tapi harus tetap bersyukur tidak dihujani secara tiba-tiba di tengah-tengah perjalanan.
Setelah ter-engah-engah dan pura-pura kuat tak kurasa,
sampailah kepada puncak Gunung Cabaan.
Tak ada tripod buat selftimer |
Di puncak Gunung Cabaan, tak kutemukan tempat
berteduh. Sepertinya pas matahari tepat berada di ubun-ubun kepala.
Angin semilir sesekali berkolaborasi dengan hawa
sejuk meskipun sedang jam 12 siang. Kubuka kembali bekalku, beberapa buah
biskuit yang kukunyah diiringi bola mata menari di berbagai sisi.
Sebelah utara, sebenarnya adalah hamparan persawahan
tembakau Klaten yang terlihat samar-samar kotak-kotak sehabis panen.
Kotak-kotak sawah tembakau |
Sebelah timur laut ada Rawa Jombor yang menggenang raksasa.
Sebelah timur pas ada Gunung Tugel dan Puncak Batur Agung letak Embung Batara Sriten sekaligus menjadi puncak tertinggi di Gunungkidul.
Sebelah selatan hanya pegunungan yang diselingi
lukisan air terjun yang airnya sudah kering.
Sedangkan sebelah barat terdapat perbukitan, jembatan, jalan
raya, sawah, luas sekali jangkauan matanya.
Namun sayang, semua tak maksimal terekam kamera
karena tertutup kabut putih. Hanya mata yang dianugerahi lensa luar biasa oleh Tuhan,
menangkap semua pemandangan indah yang tak bisa tertangkap oleh lensa kamera
semahal apapun.
Ketika posisiku sedang senderan di batang pohon jambu
mete sambil sesekali meneguk bekal minum yang tinggal beberapa, aku dikejutkan
oleh kedatangan bapak-bapak paruh baya yang berjalan ke arahku.
Beliau adalah Pak Slamet |
Pak Slamet, begitu beliau memperkenalkan dirinya. Dia
adalah pemilik tanah yang saat ini kupijak.
Berarti Pak Slamet itu pemilik alas di Puncak Gunung
Cabaan dan sekitarnya?
Haaa kami pun saling bercerita dan menjawab segala
pertanyaan yang beliau ajukan kepadaku.
Di satu sesi, aku memanfaatkan kesempatanku untuk
bertanya sebanyak-banyaknya kepada beliau mengenai Gunung Cabaan ini.
Jadi sebenarnya apa sih hubungan yang terjadi antara Gunung Cabaan
dan Gunung Tugel? apakah sebatas temenan? atau lebih?
Kemudian Pak Slamet menunjukan kepadaku arah Gunung
Tugel yang tepat berada di sebelah timur Gunung Cabaan ini.
Penampakan Puncak Gunung Tugel yang terlihat dari Puncak Gunung Cabaan |
“Lihat itu mbak, Gunung Tugel berada di tengah-tengah dua gunung itu”
Terletak di antara dua gunung?
Kemudian aku melihat ke arah utara, yaaa ada Gunung Merapi, kemudian kulihat arah selatan.
“Gunung apa itu pak namanya?”
“Gunung Loreng”.
Tebing yang bermotif loreng-loreng itu namanya Gunung Loreng |
Kenapa dinamai Gunung Loreng? Karena tebingnya
motifnya loreng-loreng menyerupai macan.
Baiklah, kemudian Pak Slamet melanjutkan ceritanya asal
mulanya dinamakan Gunung Tugel.
Beliau bercerita bahwa asal-usul nama Gunung Tugel
merupakan cerita turun temurun dari Bapak dan Simbah beliau. Menurut cerita Pak
Slamet, beberapa ratus tahun yang lalu, penunggu Gunung Merapi dan Gunung Loreng
sering beradu panah-memanah asmara. Nah, letak Gunung Tugel yang tepat berada
di tengah-tengah kedua gunung ini dianggap menghalang-halangi maka bagian
puncak gunung ini ditugel atau
dipatahkan. Patahannya entah dimana karena sampai sekarang masih jadi misteri.
"Kemudian, bagaimana dengan nama Gunung Cabaan?"
Asal
mula nama Cabaan diambil dari nama burung cabaan sejenis burung alap-alap yang
dahulunya bermarkas di Gunung ini dalam jumlah yang banyak.
Memang, sedaritadi aku melihat beberapa burung berlalu lalang di sekitar Gunung Cabaan. apakah itu Burung Cabaan?
***
Karena hari itu aku sedang bersama Pak Slamet, kebetulan sekali aku meminta beliau mengambilkan beberapa foto menggunakan kamera handphone untuk kenang-kenangan di puncak Gunung Cabaan.
#1 |
#2 |
Aku membayangkan sedang berada di puncak gunung ini ketika malam hari.
Ketika cuaca cerah, tentu genteng kamar yang terlalu mainstream akan berganti suasana menjadi beratap kelap-kelip bintang, terang besar bulan, kemudian sesekali akan menyaksikan bintang jatuh ke arah selatan.
Ketika cuaca cerah, tentu genteng kamar yang terlalu mainstream akan berganti suasana menjadi beratap kelap-kelip bintang, terang besar bulan, kemudian sesekali akan menyaksikan bintang jatuh ke arah selatan.
Aku pun membayangkan, jika aku diizinkan Ibuk ke sini lagi pas malam hari :o kemudian gelar tikar tiduran aku ingin malam itu lebih panjang dari biasanya.
Sekali lagi itu hanya bayangan, karena tidak mungkin aku mendapatkan izin semacam itu.
***
Sesungguhnya di Puncak Gunung Cabaan ini, memiliki view yang lebih luas dari berbagai sisi dibandingkan Green Village Gedangsari. Ya, karena Pak Slamet pun mengiyakan pernyataanku itu.
Bedanya hanya: "Dikelola dan belum dikelola". Itu saja.
Rasanya, masih belum percaya jika aku telah menemukan jalan ke Gunung Cabaan sendirian tanpa kamu.
*Catatan: Mohon maaf jika pada postingan ini, penulis merasa bahwa foto-foto dalam tulisan ini kurang layak untuk diposting karena kualitasnya di bawah standar. Entah semua putih, backlight, blur, dan entahlah :)