travel
Melintasi Bantul-Gunungkidul: Sebuah Perjalanan Nostalgia bersama Getek Bambu
Jumat, Juli 15, 2016
Sedang semangat sekali jika diajakin reuni, bertemu
dengan teman-teman SD, SMP, meskipun tema ceritanya masih berkisar tentang
anak, suami, atau keluarga mertua *aku kuat*.
Atau belum lama kemarin juga ketemuan dengan
teman-teman masa kuliah yang meskipun cuma segelintir orang tetap menyempatkan
buka bersama ala piknik di tepi pantai.
Kuputar kembali kenangan waktu lebih jauh.
Dan benar, terbayang kembali dengan sangat jelas masa-masa
ketika umurku masih 5-7 tahun.
Waktu itu, aku pernah beberapa kali menyebrangi Kali
Opak dengan perahu getek saat masih belum berjembatan beton.
Pada saat itu, jembatan yang melintang di Kali Opak hanya
berupa sesek bambu yang ketika banjir
hanyut terbawa arus. Di momen banjir seperti itulah saatnya getek bambu mulai
beroperasi.
Rasanya, masih ingat betul bagaimana sensasi
goyang-goyang menaiki getek bambu yang mengapung tanpa sekat pengaman menerjang
arus begitu deras berwarna cokelat pekat. Sedangkan nahkoda geteknya hanya bersenjata sebatang
bambu panjang menjulang yang menjadi tumpuan. Ketika itu tanganku sering menggenggam erat
mengisi sela-sela kosong tangannya simbah, dengan
sesekali menarik jaritnya disertai ekspresi agak ketakutan.
Yang terbayang saat itu adalah ketika getek terbalik,
maka kami bakal jadi santapan makan buaya besar.
Padahal ya mana ada buaya? nah kalau zaman sekarang
beda lagi: "kita akan dengan mudahnya menemukan buaya dalam versi yang
bermacam-macam rupa" :p
Jika kuingat kembali berbagai imajinasi anehku ketika
kecil dulu, rasanya geli jadi senyum-senyum sendiri.
Di tengah-tengah kekhusyu’anku mengulik
kenangan-kenangan masa kecil, muncullah sekilas gambar perahu getek dari akun
@JelajahBantul di timeline twitterku.
Yang tadinya jempolku dengan cepatnya menggeser ke
bawah, kuralat lagi untuk mengulanginya naik ke atas dengan hati-hati.
Sepertinya kali ini Tuhan sedang menyimak cerita nostalgiaku.
Aku kembali mencermati penampakan getek bambu di retweetan foto itu.
Menurut lokasi yang dicantumkan di keterangan foto, getek
bambu tersebut berada di Dusun Ngrejek, Dlingo Bantul.
Lokasi getek bambunya bukan di Dusun Mangir Pajangan Bantul yang sekarang sudah penuh dengan kelap-kelip lampu blitz kamera itu.
Menurutku, lokasinya kali ini masih sepi dan cocok banget lah buat "refreshing ala aku".
Duh, rasanya kok jadi sumringah, tengah malam sebelum
tidur itu rasanya ingin sesegera kubalik jadi pagi.
Yaaah mana bisa?
Aku harus sabar menunggu pagi esok hari.
***
Esok harinya bertepatan dengan H+3 lebaran.
Terlewati sudah hari pertama dan kedua lebaran dengan
segala maaf, kunjung-mengunjungi, cicip-mencicipi, salam-menyalami yang
terkadang sampai malam hari.
Sudah juga quality
time-an sama keluarga, saudara, teman, sahabat, pasangan? dan layar hape karena
membalas ucapan-ucapan via dunia maya.
Dan kini, sungguh tak terasa waktu liburanku akan
berlalu begitu cepatnya.
Waktu liburan yang tinggal sesingkat ini harus bisa
kumanfaatkan barang sehari saja dengan syarat: nggak pakai macet, menenangkan,
dan mendamaikan.
Syarat-syarat tersebut menuntunku untuk menolak secara
halus ajakan rombongan saudara untuk piknik ke Air Terjun Jumog Karanganyar
juga ajakan teman untuk ke Kediwung Dlingo yang sedang hits banget itu.
“Karena pada kenyataannya bayanganku masih
tentang getek bambu”.
Untuk segera meredakan rasa penasaran, selanjutnya ku
buka Google Maps ala kadarnya.
Kalau via Maps, Ngrejek Dlingo berada di Dusun
Seropan.
Tapi kemudian setelah kuamati petanya, kok di sekitaran
lokasi itu tidak kutemukan gambar sungai?
Mungkinkah gambar geteknya hanyalah hoax semata? Atau
geteknya mengapung di tanah kering?
Duh…
Daripada berjalan dalam keraguan, kuhentikan laju
motorku. Kemudian mencari kepastian
dengan cara bertanya kepada penduduk sekitar yang ketika itu masih berkumpul
bersama keluarga karena masih dalam nuansa lebaran.
Ya, saat itu aku pun mendapatkan pencerahan atas
kebimbangan sepanjang perjalanan tadi.
“Di Seropan
adanya hanya goa mbak tidak ada sungai, memang di Dlingo ada dua Dusun Ngrejek”
“Kalau yang
mbak maksud adalah gambar ini, dusunnya berada di sebelah sana.
Namanya: Dusun
Kebosungu II atau sering disebut Ngrejek”
imbuh bapak-bapak yang sudah siap-siap nyetarter kendaraannya.
Nah, GPS yang valid itu memang Gunakan Penduduk Setempat kan?
Tetapi di setiap perjalananku rasanya belum afdol kalau belum
sampai keblasuk. Ternyata aku kebablasan sampai pohon beringin besar
sebelum Jembatan Getas.
Atas petunjuk bapak-bapak yang sibuk mengatur
kesibukan jalan, juga atas petunjuk bapak pemilik bengkel dekat Kecamatan
Dlingo, aku sampai juga di jalan utamanya.
Ternyata jalannya masih searah dengan Curug Lepo.
Kususuri lurus dengan tergesa jalanan aspalnya.
Beberapa kali ada tikungan dan belokan kecil bercorblok juga berhasil kuabaikan.
Sepanjang jalan sepi |
Aku menaati nasihat simbah-simbah yang kutanyai dalam
perjalanannya mencari rumput tadi.
Beliau adalah menjadi informan petunjuk jalanku yang
ke-5 :p
“pokoknya lurus
saja ndug, nuruti aspal…ojo digubris belokan dan gang kecilnya”
Sampai kulewati jalanan sepi yang kanan-kirinya
berhiaskan pohon-pohon tinggi,
kemudian dikelilingi semak-semak bunga liar,
kemudian pohon tinggi lagi,
kemudian bukit bertingkat yang dipenuhi
hijau tanaman kalanjana,
dan tibalah kepada gapura desa “Sugeng Rawuh di Dusun Kebosungu I”
Gapura Masuk Padukuhan Kebosungu I |
Nama Dusunnya agak menggelitik: “Kebosungu”, jangan
dibalik jadi “Sungukebo” yaaa? nanti artinya udah lain.
Suasana yang kurasakan ketika masuk di dusun ini
adalah suasana yang tenang, damai, tertata, bersih.
Entahlah apa hanya perasaanku?
Sepanjang jalanan dusun yang kanan-kirinya meriah
dengan umbul-umbul bendera polos warna-warni, sebuah patung gajah, dan yang
paling menarik perhatianku sampai harus berhenti untuk mengabadikan fotonya adalah
keberadaan papan-papan kecil kayu berwarna biru yang berdiri kokoh di setiap
rumah.
Papan biru kecil yang menerangkan nama pemilik rumah |
Setiap depan rumah, terdapat papan-papan kayu yang
menerangkan nama pemilik rumah.
Waah inovatif sekali ini. Ada: Suprawata, Jumiyem,
dan sebagainya.
Jadi ketika kita mencari alamat suatu nama yang
tinggal di dusun tersebut tidak akan terlalu kesulitan.
Dari Dusun Kebosungu I tetap lurus sampai ketemu
dengan Dusun Kebosungu II atau biasa disebut Dusun Ngrejek. Di sinilah tempat getek
bambu yang kucari itu terapung melintasi Kali Oya.
Sudah beberapa penduduk mengingatkanku bahwa jalan
yang ditempuh untuk turun menuju kali begitu curam dan harus super hati-hati.
Dan benar saja, jalannya curam meliuk tajam.
Turunannya tiba-tiba berubah keadaan medan jalannya
jadi agak gronjal-gronjal.
Jika saja aku ke tempat itu dengan teman, pasti deh
stang motorku langsung kuserahkan kepadanya untuk berganti posisi.
Tetapi karena ini sendirian dan dalam posisi kepepet, maka terus kupegangi stang
motor dengan memaksimalkan fungsi rem.
Sampai samping makam tepat di atas tanggul kali, aku berhenti.
Sepertinya motorku harus kutitipkan di sini.
Aku tidak bisa memaksakan untuk terus turun, karena
medannya sungguh di luar kemampuanku.
Kulihat yang penduduk asli saja kepayahan mengendarai motornya dari bawah kali.
Yaa… kemudian aku pasrah saja buat turun ke kali
dengan cara jalan kaki.
Pandanganku kemudian fokus tertuju kepada ikatan
beberapa bambu layaknya rakit berbentuk papan yang terapung dengan lancar.
Itu dia si getek bambu yang kumimpikan sejak semalam.
Mataku sungguh berbinar kegirangan. Jalan setapak turun
menuju kali itu kutapaki terasa sangat singkat.
Pemandangan sesaat ketika aku turun menapaki tanggul kali |
Kulihat beberapa penumpang telah diangkut sampai di
seberang ke arahku. Pandangan mereka semua tertuju kepadaku yang kemudian
kubalas dengan senyuman merata ke semuanya.
Setelah ujung getek bertemu tatanan batu untuk tumpuan beberapa kaki
penumpang, akhirnya kakiku berhasil mendarat di getek bambu itu.
“mau kemana
mbak?”
tanya dua bapak sang nahkoda getek bambu.
“hehehe… nggak
mau kemana-mana pak, cuma kepingin naik sini aja boleh kan? nanti ke timur dan
ke barat aku ikut terus boleh kan ya pak?”
Begitu rayuku sambil pasang muka melas dan
Alhamdulilah kedua bapak tersebut menyetujuiku.
Pak Ashari dan Pak Khori :) |
Setelah itu kami berkenalan dengan obrolan-obrolan
ringan sampai agak-agak berat.
Mulai dari cerita tentang tempat tinggal, pekerjaan,
kehidupan, keluarga, dan cinta.
Kedua bapak tersebut bernama: Bapak Ashari dan Bapak
Khori.
Bapak Ashari usianya sudah sekitar 70 tahun,
sedangkan Bapak Khori usia beliau masih sedikit muda di bawah usia Bapak Ashari.
Sudah puluhan tahun beliau berdua mengoperasikan getek bambu yang selalu
melintasi Kali Oya ini. Jam operasionalnya mulai dari jam 07.00-17.00 WIB.
Jam operasional tersebut bukanlah patokan baku, karena bahkan jika ada orang yang membutuhkan diantar
melintasi kali oya yang memisahkan dua kabupaten tersebut beliau siap, termasuk
ketika rumahnya diketok-ketok penumpang pukul 00.00 WIB.
Untuk biaya naik getek, jika ada warga yang hanya
jalan kaki hendak naik getek cukup membayar seikhlasnya saja, sedangkan jika ada penduduk hendak membawa serta
motornya naik getek cukup membayar Rp.5.000,-
Memang jika getek bambu ini dinaiki sepeda motor
butuh tambahan tenaga yang tidak sedikit untuk menariknya, sehingga untuk satu
kali perjalanan getek maksimal hanya 3 motor saja yang boleh naik.
Pada hari-hari biasa, beliau mendapatkan pendapatan
dari hasil menarik getek sekitar: Rp.60.000,- sampai Rp.70.000,- untuk dua
orang (Bapak Ashari dan Bapak Khori).
Tetapi pada momen lebaran kali ini, beliau bisa
memperoleh pendapatan sekitar Rp.300.000,- - Rp.400.000,- per harinya.
Hanya setahun sekali saja di momen lebaran, ketika
mobilitas orang-orang sedang sibuk bersilaturahmi.
Sepanjang beliau menjemput dan mengantar penumpang
aku ikut saja dan dikasih tempat selonjoran
di atas getek.
Kalau tidak salah, hampir 6 kali sudah getek bambu
tersebut bolak-balik denganku yang masih menyertai menjadi penumpangnya.
Selama itu aku juga berkenalan dan berbincang dengan
beberapa penumpang getek, termasuk keluarga ini:
Sita, anak yang masih duduk kelas 2 SD ini selalu wajib mandi kalau naik getek |
Pertanyaan yang selalu sama kuterima entah dari penumpang ataupun Pak Khori adalah:
“mbak, moso sih
ke sini sendiri?”
pertanyaan ini sungguh berulang kali beliau ajukan sambil
sesekali berusaha mencari seseorang di atas tanggul kali.
“beneran pak,
saya itu sendirian… ya masa masih tidak percaya pak?”
“aneh mbak, jarang-jarang
ada perempuan sendirian jauh-jauh dari pundong cuma mau naik getek…ealahh” canda
beliau sambil tertawa lebar
“duh iya pak,
dolan nggak jelas seperti ini juga sepi peminat pak…mau ngajak siapa malah
bingung”
“lha kok nggak
ngajak pacarnya?” *kemudian hening*
***
Getek bambu ini menjadi sarana transportasi
satu-satunya yang menghubungkan Dusun Kebosungu II, Dlingo, Bantul dengan Dusun
Banyusoco, Playen, Gunungkidul.
Wah berarti jika aku turun di sisi sebelah timur itu?
Kakiku sudah berada di tanah Handayani?
Niatku ternyata diamini beliau.
“monggo mbak
kalau mau jalan-jalan…pulangnya kapan juga nanti kami tunggu”
Pak Ashari mengantarku serta, sedangkan Pak Khori
ditinggalkan sendirian menahkodai getek.
Sebenarnya aku agak heran, kenapa Pak Ashari semangat
sekali mengantarku jalan-jalan ya? J
Obrolan kami berhenti kepada pohon beringin tua besar
yang di bawahnya terasa sejuk dengan semilir angin.
Airnya jernih dan mengalir |
Di dalam karung putih itu berisi cucian bersih |
Pak Ashari membawaku ke arah selatan, membelah semak
hutan yang rencananya beberapa bulan lagi lokasi ini akan dijadikan tempat
wisata. Jadi seluruh rerumputannya akan dibabat dan dibangun saung-saung
warung.
Masih (rencananya) kawasan aliran kali oyo ini akan
dijadikan lokasi river tubing.
Kalau dilihat dari karakter sungainya yang cenderung
tenang dan minim jeram, sepertinya untuk bentuk wisata sejenis river tubing kayanya
jadi agak membosankan ya?
Tapi entahlah nanti, lain kali jika semua sudah
dibangun baru semua akan menjadi jelas J
***
Adzan dhuhur mulai berkumandang, sudah kulihat
berbondong-bondong: bapak-bapak, mas-mas, anak-anak, sudah rapih mengenakan sarung
dan kopiahnya menuju Masjid.
Begitupula Bapak Ashari, beliau minta izin untuk
bergegas pergi sholat Jum’at.
“injih pak
monggo, saya nunggu di sini saja pak sambil berteduh menikmati angin”
“oh, tidak
boleh… ayo ikut saya pulang ke rumah… kebetulan semua anak-anak saya sedang
mudik ke rumah”
Gaya serius beliau untuk ikut dengannya mampir ke
rumah sungguh sulit kutolak.
Kuikuti langkah beliau dari belakang, ternyata rumahnya
terletak hanya beberapa meter di sebelah timur Kali Oya, berarti rumah beliau
ada di Playen Gunungkidul.
Teras rumah sudah ramai dengan cucu-cucu beliau yang
sedang bergurau.
Motor-motornya berbaris rapi senada dengan banyak
sandal yang berjejer.
Mulailah aku dikenalkan dengan istri beliau, dan
putra-putri beliau yang kebetulan pulang mudik dari Jakarta.
Sembari menunggu Pak Ashari Jum’atan aku sibuk
mendengarkan cerita dari istri beliau.
Pada hari-hari biasa, beliau hanya tinggal berdua
saja bersama Pak Ashari. Di momen lebaran seperti inilah keluarganya bisa
kumpul utuh seperti ini.
Entah kenapa ya rasanya bisa ikut terharu.
Kalau kata iklan di TV: “orangtua akan kesepian justru
ketika anak-anaknya sudah sukses” :’)
Di sela-sela obrolan santai kami, putri Pak Ashari
mengantarkan beberapa kaleng biskuit lebaran, buah jeruk, snack, dan dua gelas
teh panas.
“benar to? jadi
merepotkan?” batinku
Tak lama kemudian rombongan sholat jumat telah tiba
di rumah berbarengan dengan diantarnya beberapa piring makanan kembali memenuhi
di atas meja.
Ada lele goreng yang ditata menggunung di piring,
sambal krecek dengan irisan lombok merah , dan rica-rica ayam kampung hasil dari
menyembelih ayam peliharaan belakang rumah.
Kenapa rasanya enak sekali?
Menikmati makan dengan suasana seperti ini memang
sanggup menambah cita rasa makanan yang mungkin aslinya biasa.
Terimakasih banyak, tidak terhingga :))
Terimakasih banyak, tidak terhingga :))
***
Obrolan kami berjalan begitu hangat sampai tak terasa
waktu telah beranjak siang.
Kami memutuskan untuk kembali menuju kali.
Sepanjang perjalanan, rasa terimakasihku kuulang-ulang kuucapkan kepada Pak Ashari.
Betapa lunch box -ku yang berisi beberapa potong brownise kukus tiramisu marble, lolipop, dan empat buah jeruk ini masih utuh tanpa kusentuh karena perutku sudah sungguh penuh.
Obrolan kami berlanjut, dan mungkin ini juga lintasan terakhirku menuju Bantul siang ini.
Sepanjang perjalanan, rasa terimakasihku kuulang-ulang kuucapkan kepada Pak Ashari.
Bekalku masih utuh ini :) |
Betapa lunch box -ku yang berisi beberapa potong brownise kukus tiramisu marble, lolipop, dan empat buah jeruk ini masih utuh tanpa kusentuh karena perutku sudah sungguh penuh.
Obrolan kami berlanjut, dan mungkin ini juga lintasan terakhirku menuju Bantul siang ini.
Beliau mengantarkanku pulang kembali? |
Setelah ancang-ancang hendak pamit, aku memperoleh informasi dari beliau bahwa tepat di sebelah utara tali getek bambu ini, sebenatar lagi akan dibangun sebuah jembatan beton.
“itu mbak, di
situ besok akan dibangun jembatan beton…
kalau tidak tahun
2016 ini ya tahun 2017 sudah mulai pembangunannya”
“iya kah pak? berarti
sebentar lagi getek ini juga hilang?” tanyaku sambil menatap kedua bapak
ini.
“iya mbak,
entahlah besok kita kerja apa.. jual dawet apa mie ayam, apa es cincau ya?”
jawab beliau sambil tersenyum
Padahal, anak sulung Pak Khori sudah berhasil lulus dari perguruan tinggi ya salah satunya dari hasil beliau menarik getek bambu ini setiap hari.
Memang, suatu kebijakan, pembangunan, dan semacamnya selalu membawa dampak positif dan negatif. Namun semoga, pembangunan jembatan beton nantinya dapat membawa manfaat yang lebih luas untuk penduduk sekitar.
Untuk Bapak Ashari dan Bapak Khori, semoga selalu diberikanNya kesehatan terus dan rezeki lain yang lebih banyak dan berkah. Aamiin.
***
Siang menjelang sore itu, aku menikmati perjalanan menuju pulangku menuju Bantul meskipun hanya duduk selonjoran di atas getek
bambu.
Sesekali kuperhatikan aktivitas pemancing yang fokus memasang umpan, aktivitas naik turunnya
penumpang, memperhatikan aliran tenang kali, dan terbawa sejuk oleh rimbunnya pohon bambu yang sesekali
terkibas angin memayungi.
Jadi mungkin ini nostalgia ku bersama getek bambu yang jika 2 tahun ke depan aku
diizinkan kembali lagi ke sini, aku sudah tak lagi bisa menemui.
Mungkin besok aku hanya bisa bertemu dengan jembatan
beton, tidak ada yang istimewa seperti jembatan kebanyakan.
Jembatan beton, yang ketika melintas tak
akan ada perbincangan sedekat ini.