Malam
tadi, aku memeluk guyuran rindu yang kubawa sampai pulas. Jujur saja itu sedikit
mengusik nyenyak. Berkali-kali aku terjaga, menerawang dan terhenti pada
langit-langit.
Menjelang
pagi, aku pura-pura tak cemas. Padahal ada segunung rindu ingin menjumpanya.
Kemarin,
setelah memastikan matahari pulang selepas senja, aku kembali menantinya di suatu
pagi. Duduk tenang menutup fajar untuk membuka tirainya. Menatap sendiri genangan kabut yang sesekali menampilkan gelombangnya sebagai dinamika.
Dia adalah sinar yang menyamar untuk menyampaikan sebuah pesan. Menyapu gelayut dingin yang berhasil lenyap kau usir pergi. Entah nanti di pagi yang ke-berapa? saat genggaman jemari dan tatapan menenangkan menjadi penyempurna.
Dia adalah sinar yang menyamar untuk menyampaikan sebuah pesan. Menyapu gelayut dingin yang berhasil lenyap kau usir pergi. Entah nanti di pagi yang ke-berapa? saat genggaman jemari dan tatapan menenangkan menjadi penyempurna.
***
Tak ada yang salah dari merindu, termasuk yang
sengaja disimpan lama dalam diam. Sesungguhnya hanya tinggal menunggu waktu
kapan pertemuan itu terwujud. Namun, aku harus sedikit bersabar. Cuaca sedang
tak mengizinkanku untuk menyaksikan penampakan matahari terbit laiknya pagi-pagi
ketika aku pernah bebas menungguinya dengan leluasa.
Semalam hujan dengan derasnya, namun keyakinanku berkata
bahwa besok pagi adalah hari yang dinantikan itu, saat aku bisa mengungkapkan lirih
rindu-rindu yang telah kusimpan berhari-hari.
Tak lama azan subuh berkumandang. Aku masih
menyibukkan di dapur membantu ibu menyiapkan dagangan yang pagi ini harus siap
dibawa ke pasar. Dengan tergesa, aku menyelesaikannya sambil sesekali melihat
keadaan langit yang kuintip dari genteng dapur yang terbuka.
Benar saja, lagit fajar penuh bintang.
“Ibu, aku mau nyunrise
ya?”
“Kok dadakan acaranya?”
“Iya, mumpung cerah ituu… ” sambil nunjuk langit.
Alhamdulillah diizinkan. Entah agak ikhlas atau
tidak, tapi aku melihat anggukan dari beliau pertanda “iya”.
Seusai sholat subuh dan bersiap seadanya, kuarahkan
sepeda motor menuju suatu bukit.
Langit masih gelap, jalanan masih sepi ketika motorku menyusuri jembatan sempit dengan lebar 1.5 meter. Banyak cerita horror tentang jembatan ini yang pernah kudengar, kembali menghantui batinku waktu itu. Kutambah tarikan gasku sampai ujung jembatan. Akhirnya bertemu juga dengan jalan raya tanpa hiruk pikuk ramai. Kupandangi garis lurus putih meliuk-liuk, membelah jalan aspal menjadi dua sisi. Aku sendirian, menyusuri jalanan gelap menjelang fajar.
Langit masih gelap, jalanan masih sepi ketika motorku menyusuri jembatan sempit dengan lebar 1.5 meter. Banyak cerita horror tentang jembatan ini yang pernah kudengar, kembali menghantui batinku waktu itu. Kutambah tarikan gasku sampai ujung jembatan. Akhirnya bertemu juga dengan jalan raya tanpa hiruk pikuk ramai. Kupandangi garis lurus putih meliuk-liuk, membelah jalan aspal menjadi dua sisi. Aku sendirian, menyusuri jalanan gelap menjelang fajar.
Langit merah membara sudah nampak di sepanjang perjalanan |
Di perbatasan Bantul-Gunungkidul, aku melihat penampakan langit yang tengah merah membara. Kumainkan gas motorku sampai gubug dengan
jalanan tatanan gamping. Setelah memastikan motor aman terkunci, aku kembali melanjutkan
langkah. Licin. Buah sisa limpahan hujan dari langit semalaman.
Aku sedikit berlari menjauhi gubug itu untuk menuju bukit. Kilatan flash terlihat dari bawah. Ternyata ketiga temanku sudah menunggu di atas sana. Sungguh ini hanya beberapa menit pasca azan subuh saat gelap belum mulai beranjak. Dengan terseok, aku meniti sebuah bukit yang tak tahu di manakah jalan setapaknya. Saking tergesa dan tak sabarnya, menyalakan senter dari gawai pun tak sempat.
Aku sedikit berlari menjauhi gubug itu untuk menuju bukit. Kilatan flash terlihat dari bawah. Ternyata ketiga temanku sudah menunggu di atas sana. Sungguh ini hanya beberapa menit pasca azan subuh saat gelap belum mulai beranjak. Dengan terseok, aku meniti sebuah bukit yang tak tahu di manakah jalan setapaknya. Saking tergesa dan tak sabarnya, menyalakan senter dari gawai pun tak sempat.
Cahaya datang remang-remang, paling tidak sudah tak
segelap tadi. Tanganku memegangi batu-batu, mataku memperhatikan rumput tanpa
rimbun pertanda sudah pernah dilewati orang. Aku merunut saja jalan itu. Tanpa
sadar, berenteng duri bersemayam di kulit kaki. Perih sengaja kutahan sampai
atas.
Nah sampai!, sebentar, nafasku masih ngos-ngosan berantakan.
Nah sampai!, sebentar, nafasku masih ngos-ngosan berantakan.
Mbak Mardiya, salah satu temanku yang berdomisili di Turi, Sleman ini dari rumah jam 03.00 Pagi :) |
“Cepet banget
mbak, sudah sampai saja!” sapa mereka dengan senyuman.
Aku duduk sembari menarik nafas panjang. Sebentar,
biar kurapikan dulu irama nafasku.
Mataku perlahan mejelajah. Tak sabar melihat penampakan
langit merah yang menggodaku sepanjang perjalanan gelap tadi.
Cerita matahari yang baru terbangun dari tidurnya dengan dinamika gelombang kabut. |
Perlahan langit di ufuk timur mulai memerah. Ya, mirip ketika ekspresi tersipumu menyisakan merah sejenak di pipimu.
Baskara mengirimkan sinyal kedatangannya dengan mewarnai horizon kala itu. Semacam ingin memberikan batas tegas antara gelombang kabut dan langit yang telah berwarna. Cukup lama langit memerah yang kemudian berubah menjadi agak oranye.
Baskara mengirimkan sinyal kedatangannya dengan mewarnai horizon kala itu. Semacam ingin memberikan batas tegas antara gelombang kabut dan langit yang telah berwarna. Cukup lama langit memerah yang kemudian berubah menjadi agak oranye.
Bukit ini, laksana milik sendiri. Tak seperti
perbukitan ataupun tebing di seberang sana: Bukit Panguk Kediwung, Jurang Tembelan, Kebun Buah Mangunan yang kini mulai sesak oleh orang-orang. Di bukit ini
kami tak perlu berebut oksigen. Leluasa bergerak, memandangi matahari yang mengintip dari balik gunung pun
tanpa halangan banyak kepala.
Temaram lampu warga yag belum padam |
Melihat hasil jepretanku yang masih miring-miring. Ajari aku moto kak, :p Dicandid oleh: Tirtaperwitasari. |
Hanya ada dua kursi di sini. Terlihat di perbukitan sebelah
selatan, beberapa kerlip lampu masih belum mati. Samudera kabut tenang di sana.
Rasannya ingin menyebur, tapi tentu akan terjatuh pada aliran Kali Oya di
bawahnya. Sebuah kesyukuran memang bisa menikmati pagi syahdu tanpa sesak
orang. Tanpa atribut spot-spot yang menjadi jujugan para pemburu foto hits.
Kawasan Turunan Giri Suko, merupakan ujung barat gugusan geopark Gunung Sewu yang berbatasan dengan Bantul, dipisahkan Kali Oya di bawahnya. Keberadaannya juga termasuk dalam geoforest, kawasan hutan konservasi tempat berlindung hewan endemi, yaitu kera ekor panjang. Jejeran rapat pepohonan yang bertumbuh di perbukitan karts juga menjadi penjaga setia sumber mata air, termasuk sungai bawah tanahnya yang tak terlihat olah mata.
Zona kawasan karts pegunungan seribu memang tak bosan menampilkan sisi indahnya. Dari punggung bukit ini, aku tersihir lagi sepagi ini.
Kawasan Turunan Giri Suko, merupakan ujung barat gugusan geopark Gunung Sewu yang berbatasan dengan Bantul, dipisahkan Kali Oya di bawahnya. Keberadaannya juga termasuk dalam geoforest, kawasan hutan konservasi tempat berlindung hewan endemi, yaitu kera ekor panjang. Jejeran rapat pepohonan yang bertumbuh di perbukitan karts juga menjadi penjaga setia sumber mata air, termasuk sungai bawah tanahnya yang tak terlihat olah mata.
Zona kawasan karts pegunungan seribu memang tak bosan menampilkan sisi indahnya. Dari punggung bukit ini, aku tersihir lagi sepagi ini.
Penampakan Bukit Turunan (bukit yang sedang kupijak) jika dilihat dari Watu Payung beberapa bulan yang lalu. |
Rasanya, dulu aku hanya bisa memandangi bukit ini
dari Watu Payung. Berdampingan tapi dipisahkan jurang dalam. Dulu pernah berangan, bagaimana cara menjangkau bukit ini
jika tanpa tali? Apa nunggu dibuka sarana flying
fox?
Petunjuk untuk menjangkau bukit ini dulu datang dari
penjaga parkir Watu Payung.
Bahwa harus memasuki sebuah dusun dengan jalan cor blok
kemudian tanah berbatuan. Tiga kali sudah aku ke sini, namun pagi ini adalah
sunrise ter-wawwww di antara ketiganya. Dua kursi kayu itu kurasa juga belum
lama dibangun. Terlihat sisa-sisa arang kayu bakar semacam bekas buat ngecamp di suatu malam yang lalu.
Penampakan Watu Payung dari Bukit Turunan, keberadaannya memang lebih rendah. |
Berbeda dengan Watu Payung yang menghadap ke arah
utara, bukit ini langsung menghadap ke arah timur sehingga bisa langsung
menghadap arah kemunculan matahari.
Pandangan dari bukit ini juga begitu luas, tak
berbatas, tak terhalang, untuk melihat kemunculan baskara pagi. Kabutnya yang
menambah syahdu, membuat berantakan nafasku, atau darah di kaki karena suntikan
berderet duri menjadi tak terasa lagi.
Terkadang memang kebut mulai overload. |
Dalam lubuk hatiku yang paling dalam, aku ingin
tempat ini tetap sepi. Tetap kosong agar selalu muat menampung segala deretan
sesak yang ingin kubuang. Kasihan memang sudah menjadi tempat membuang berat yang
tak tampak. Tapi bukankah ini nyampah paling aman? tak merusak alam, tak
berbekas secara fisik.
Bersama mereka bertiga (dan yang motret) yang mau gelap-gelapan menunggu kepastian matahari di bukit ini |
Kurasa bukit ini paham. Nyatanya sampai waktu
beranjak siang, ia tetap menghadirkan sejuk yang menusuk dalam. Meskipun sampai
kini aku belum tahu siapa namamu, aku menyebutmu Bukit Turunan. Yaa... itu nama
dari ku. Sebuah panggilan sayang dari seorang yang selalu merindukanmu setiap
pagi.
***
Penulis memang sampai saat ini belum mengetahui nama
bukit ini karena keberadaannya memang belum disertai papan nama. Selain itu, setiap
menujunya selalu saat pagi ketika belum ada penduduk yang bisa dimintai
informasi. Kutulis dengan nama Bukit Turunan, karena bukit ini berada di
Turunan, Giri Suko, Panggang, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.