Cerita ini bermula dari kunjunganku beberapa waktu yang lalu di Bukit
Mojo, Dlingo. Pada waktu sore menjelang senja kala itu, mataku justru terus
tertuju kepada bukit-bukit gersang di seberangnya. Padahal, pasangan-pasangan duduk beromantis menanti senja. Mereka silih
berganti menduduki kursi dengan cangkir kecil di depannya.
Adegan demi adegan berdua dalam naungan senja itu tak berhasil mengalihkan pandanganku. Mataku malah terus berfokus kepada Kali Oya dengan aliran hijau khas musim kemarau. Ia seolah tengah menikmati perjalananannya yang penuh kelok mengikuti irama lengkungan yang diapit dua bukit. Selanjutnya, bukit-bukit yang tengah meranggas di selatan Kali Oya menjadi tempat yang begitu aku pertanyakan kala itu.
Adegan demi adegan berdua dalam naungan senja itu tak berhasil mengalihkan pandanganku. Mataku malah terus berfokus kepada Kali Oya dengan aliran hijau khas musim kemarau. Ia seolah tengah menikmati perjalananannya yang penuh kelok mengikuti irama lengkungan yang diapit dua bukit. Selanjutnya, bukit-bukit yang tengah meranggas di selatan Kali Oya menjadi tempat yang begitu aku pertanyakan kala itu.
Sudut ini sering dijadikan tempat favorit bagi sepasang menanti senja |
Aku dibuat penasaran dengan bukit gersang di seberang |
Senyumku terus mengembang berbalut penasaran. Mataku
terus menari ke sana ke mari mengamati satu per satu bukit-bukit dengan hiasan
batang pohon jati meranggas di seberang sana. Sepertinya dekat, hanya tersekat
beberapa meter lebarnya Kali Oya. Namun kenyataannya tinggi jurang telah
memisahkan yang dirasa dekat. Untuk menuju bukit seberang, aku harus kembali
memutar, turun dari Dlingo kemudian menuju Jalan Panggang ke arah Gunungkidul.
Hmm, butuh niat dan tekad. Namun perasaan penasaran terlanjur berkecamuk senja itu.
Suatu hari tanpa jeda lama, aku harus sampai sana, di seberang Bukit Mojo itu.
Suatu hari tanpa jeda lama, aku harus sampai sana, di seberang Bukit Mojo itu.
Seperti sudah ingiin ketemu, namun terus dibatasi waktu. Sampai suatu
pagi aku sudah berada di puncak ingin sekali bertemuu tanpa harus menempuh menunggu berhari-hari lagi.
Pagi hari menjelang jam delapan, kuniatkan untuk menempuh Jalan Panggang yang dihuni deretan truk pembawa batang kayu-kayu besar. Entah kenapa, pagi itu sepertinya aku sedang tak terlalu fokus. Mataku malah terus mengamati kanan dan kiri jalan yang berupa lembah-lembah jurang.
Sesekali ban sepeda motor terlalu ke kiri hingga menerjang rerumputan di pinggir jalan. Kurem sejenak, kemudian berhenti. Sepertinya aku terlalu bersemangat, mencari sesuatu yang terlanjur membuatku penasaran dari kejauhan.
Pagi hari menjelang jam delapan, kuniatkan untuk menempuh Jalan Panggang yang dihuni deretan truk pembawa batang kayu-kayu besar. Entah kenapa, pagi itu sepertinya aku sedang tak terlalu fokus. Mataku malah terus mengamati kanan dan kiri jalan yang berupa lembah-lembah jurang.
Sesekali ban sepeda motor terlalu ke kiri hingga menerjang rerumputan di pinggir jalan. Kurem sejenak, kemudian berhenti. Sepertinya aku terlalu bersemangat, mencari sesuatu yang terlanjur membuatku penasaran dari kejauhan.
Persawahan bawang merah sebagai pemandangan sebelah barat jalan |
Arah papan petunjuk menuju Sekolah Polisi Negara Selopamioro telah
kuikuti dengan baik. Aspal halus nan lebar itu semakin membuatku leluasa
mengendalikan sepeda motor sambil menikmati pemandangan. Sebelah barat jalan ada
hamparan berundak tanaman bawang merah yang sedang digarap petani sepagi itu.
Embun-embun memang telah enyah dari ruang daun. Matahari mulai meninggi
menghangatkan separuh diri yang belum sepenuhnya sadar bisa sampai di tempat ini.
Gerbang masuk menuju Sekolah Polisi Negara, Selopamioro |
Akhirnya aku berhenti setelah sampai tepat di depan gerbang besar Sekolah
Polisi Negara Selopamioro. Di pemberhentianku itu, hanya terlihat ada satu-satunya pilihan cabang jalan ke kanan berupa jalan corblok halus. Menurut perasaan
perempuan yang tak terlalu peka ini, turut saja lah jalan itu. Sepertinya percabangan jalan
dengan arah menurun itulah yang akan mengantarku lebih dekat dengan keberadaan Kali Oya.
Ban motorku lancar menggelinding dengan sesekali tarikan rem. Oh kontur
jalanan ini memang menurun terus dengan sesekali meliuk. Lumayan curam,
ditambah kerikil pasir di sepanjang kanan dan kiri jalan membuatku terus
was-was dan menjaga konsentrasi. Jika saja “nggak fokusku” kumat, bisa-bisa aku
tergelincir. Aku kan hobi terpeleset. Huhu.
Jalan corblok halus yang kadangkala berganti jalan bergelombang, bolong-bolong. |
Tempat ini adalah untuk pertama kalinya kujejaki. Terkadang butuh tengok sana-sini untuk memastikan aku masih dalam keadaan aman karena jalanan terlihat sepi. Hanya terlihat satu-dua rumah di pinggir jalan.
Selain itu hanyalah batang-batang gersang pohon jati yang telah ditinggal
meranggas daun-daunnya.
Alur jalan ini cenderung lurus dengan minim cabang. Hanya beberapa saja cabang jalan sempit menuju kanan. Karena itu, aku berusaha mengurangi peluang kesasar, mengingat jarum penunjuk bahan bakar motorku sudah menunjuk ke arah dasar. Kalau nanti kehabisan bensin, kanan-kiri jalan tidak ada orang apalagi warung yang menjajakan bensin, teruss?? *naudzubillahmindzalik jangan!
Alur jalan ini cenderung lurus dengan minim cabang. Hanya beberapa saja cabang jalan sempit menuju kanan. Karena itu, aku berusaha mengurangi peluang kesasar, mengingat jarum penunjuk bahan bakar motorku sudah menunjuk ke arah dasar. Kalau nanti kehabisan bensin, kanan-kiri jalan tidak ada orang apalagi warung yang menjajakan bensin, teruss?? *naudzubillahmindzalik jangan!
Di benakku saat itu, aku hanya perlu terus mengarahkan laju kendaraanku untuk bisa lebih cepat
mendekat dengan pinggir Kali Oya. Tiap kali berada di tikungan menurun dengan sekilas melihat
penampakan Kali Oya, perasaanku bertambah lega. Di ujung jalan penghabisan
jalan corblok, aku berhenti mengamati sekeliling. Hanya ada rumah kecil yang kosong,
kotak biru semacam tampungan air PDAM, juga jalan setapak sepi. Aku putuskan untuk memarkirkan
sepeda motorku di sana.
Rumah kecil kosong, tempat di mana aku memarkirkan sepeda motorku |
Penampakan Kali Oya dengan jalan setapak sempit di pinggiran bukit |
Sedikit penasaran dengan pemandangan di bawah, lekas kumencari akses
jalan untuk turun. Terlihat sebuah tangga dengan ranting-ranting kering di
sekeliling. Kuberanikan diri untuk masuk di lorong itu. Sesungguhnya agak
takut, yang terbayang adalah ada seekor ular yang melilit di ranting tepat atas
kepalaku. Kemudian ia menjulur-julur. Huhuhu. Tapi bayangan-bayangan itu segera
kusingkirkan. Sepanjang tangga, yang terlihat hanyalah pipa-pipa saluran air
berwarna biru mengikuti alur tangga menurun. Kuturut saja sampai ujung.
Semak-semak kering di sekeliling tangga turun menuju Kali Oya |
Beginilah tebing batuan hitam yang menjaga hijaunya Kali Oya |
Dan aku telah bertemu dengannya. Sebuah perjumpaan di hari Kamis menjelang terik. Aku telah berada di pinggiran Kali Oya di belahan Selopamioro entahlah sebelah mana. Kuhela nafas sambil duduk mengayunkan dua kaki yang tergantung di atas Kali. Tebing-tebing dengan bongkahan batu hitam raksasa itu berada di sebelah kanan dan kiri. Batu-batu besar seperti bangku berada di pinggirannya.
Hari itu aliran Kali Oya seperti diam tak mengalir. Ia menyimpan misteri
kedalaman yang belum sempat kuukur meskipun melalui sebuah perkiraan. Aku cukup
terhanyut terbawa suasana sepinya tempat itu. Tenang rasanya semacam jauh dari
gaduh riuh polusi suara. Namun bukannya tempat ini baru tempat pertama setelah
aku tiba? rasanya tak sabar untuk bertemu tempat-tempat lainnya sebelum siang
sungguh-sungguh datang.
Kok ada rombongan orang yang bisa duduk-duduk di atas batu seberang sana yaaaa |
Bergegas aku kembali meniti anakan
tangga itu. Rasanya sungguh berbeda ketika tadi turun tangga. Sekarang harus naik. Nafas
mulai terengah dan peluh mengalir basah. Yaa, matahari memang mulai meninggi.
Pohon-pohon jati yang sementara pensiun dari kata rimbun, tak lagi bisa menjadi
payung meneduhkan sepanjang perjalanan nanti. Aku melirik kembali botol air mineraku, ternyata sisa air mineral di botol juga menuju dasar. Hmmm mau tidak mau memang harus kuhemat setiap teguknya. Semoga cukup sampai dahagaku tak lagi jadi hantu.
***
Sesampainya kembali di atas, seseorang memanggilku dari kejauhan. Seorang
perempuan yang sedang sibuk dengan tanaman lomboknya. “Mbak sendirian? Mana
temennya? Mau ke mana?” tanyanya tanpa sela. Aku berjalan mendekati posisi
beliau berdiri. Sambil menjawab pertanyaan itu satu per satu, aku mulai
mengenalkan diri. Kuceritakan juga riwayat alasanku sampai bisa ke tempat ini.
Dan beliau berulang kali bertanya, “serius mbak sendirian?” “iya Bu Tik, aku
sendirian.”
Bu Tik, tanaman lombok, dan hutan jati yang berbaris |
Nama perempuan di tengah-tengah tanaman lombok itu adalah Bu Tik. Sembari menunggui suaminya mencari kayu bakar, beliau menghabiskan waktu tunggunya untuk menyirami dan merawat tanaman lombok yang tumbuh di tanah gersang itu.
Sambil tangannya sibuk bekerja, beliau masih menyempatkan bercerita seputar anjloknya harga lombok di pasaran. Harga jualnya, jika digunakan untuk membayar buruh petik untuk memanen lombok saja rugi. Jadi mau tidak mau, beliaulah yang mengolah, merawat, juga memanen tanaman lomboknya. “Bagaimana lagi mbak, kalau daerah sini ya bisanya tani menanam lombok, jadi meskipun lagi murah-murahnya begini ya tetep dilakoni.”
Hmm jalan setapak dengan langit biru |
Tak terasa obrolanku dengan Bu Tik mengalir, mengulur waktu mendekati siang. Jalanan sempit
sepanjang pinggiran bukit melambai-lambaikan tangannya ingin segera dipijak. Kakiku
seolah terus berbisik mengajak berjalan lagi.
“Bu, boleh saya pamit meneruskan perjalanan ke sana?” tanyaku sambil
menunjuk jalan ke arah timur itu.
“Boleh, pesanku hati-hati. Nanti jalan kakinya jangan melebihi rumah
terakhir di pinggir hutan itu ya mbak?”
“Lhaa kenapa bu?”
“Soalnya sebelah timur rumah itu sudah hutan, takutnya kalau tersesat dan
di sana juga sudah banyak keranya”
“Oh iya bu, terima kasih” jawabku sambil berpamit pergi.
Sepertinya ini jalan aliran anak sungai yang kering karena kemarau |
Tak salah memang aku memilih untuk memarkirkan sepeda motorku di atas
sana. Jalan dengan lebar sempit yang berbatasan langsung dengan bibir lembah
Kali Oya ini memang tak bisa jika dipaksakan untuk diakses dengan motor matic. Keadaan
tanahnya yang kering nan tandus tak terasa terlalu berdebu. Dia semacam
terlentang dengan selimut daun-daun jati kering yang kadang berbunyi jika tak
sengaja terinjak. Jalanan ini pernah kupandangi begitu lama dari atas Bukit
Mojo. Kini dia menjadi jalanku mengobati segenap penasaran itu.
Angin kadang berhembus begitu saja, menggerakkan ranting-ranting kering
sebagai tirai renggang di pinggiran Kali. Sela-selanya, bisa jadi semacam
sebuah jendela yang menghadirkan pemandangan alam bentang Kali Oya yang masih
hadir dengan pesonanya.
Mungkin dia diciptakan sebagai magnit kutup utara, dan aku kutub selatannya. Tarikan pesonanya sungguh kuat. |
Dari atas, aku melihat gradasi genangan hijau jernih dengan benteng batu
hitam berbentuk piramida. Lagi, lambaian tangan Kali Oya menarikku untuk turun
ke bawah. Segera kucari jalan untuk bisa mengantarku turun ke sana. Susah payah
kusingkirkan semak-semak kering yang kadang berduri. Beberapa tajamnya sempat
menempel dan singgah di rok dan kaos kaki.
Kini Kali Oya kembali berjarak dekat tepat di hadapanku. Rimbunnya pohon bambu menjadi pagar sempit penjaga di pinggiran kali. Butir batuan putih di pinggiran dengan suara gemericik air menyanding bagian barat, dekat batu piramida hitam.
Aku sukaa sama batuan hitam berbentuk piramida ini. Unik yaaa... |
Bertemu dengan dua pemancing. |
“Krek-krek-krek” pijakan kakiku kepada daun bambu kering itu sepertinya
telah mengusik kekhusyukan para pemancing itu. Dua orang laki-laki tengah
konsentrasi memandangi tengah Kali dengan tangan yang menggenggam erat seutas pancing.
“Mas, bolehkah aku ambil foto di sini?” tanyaku memohon izin. “Boleh, silakan”
izinnya kemudian. Aku sedikit banyak telah berbincang singkat dengan keduanya.
Mereka mengaku sebagai pemancing “catch
and release” misalkan sudah dapat ikan, langsung dilepas kembali. Jadi, mereka tidak
membawa pulang hasil pancingan dengan alasan agar terus lestari.
Di sekitar tempat ini hanya terlihat hamparan sawah lombok. Rumah
terakhir yang menjadi batas perjalananku ke timur itu belum juga tampak.
Artinya, aku masih bisa melanjutkan perjalananku lurus ke timur. Beberapa
kali sapaan warga yang sedang menggarap sawah di pinggiran Kali mengiringi
kehati-hatianku meneruskan perjalanan.
***
Atap sebuah rumah dengan dinding anyaman bambu terlihat dari kejauhan.
Inilah batas rumah yang diberikan oleh Bu Tik tadi. Artinya, perjalananku hari ini
harus berhenti karena telah sampai kepada batas yang telah ditentukan oleh beliau sebelumnya.
Seorang nenek tengah duduk di bibir pintu rumahnya yang menghadap utara. Sambil asyik meracik sirihnya, beliau menyempatkan untuk tersenyum ke arahku.
“Mbah…” sapaku sambil membalas senyumnya. Beliau membalas sapaanku dengan mempersilakan untuk singgah. Dengan senang hati, aku segera mencari jalan menuju teras rumahnya. Beberapa kursi memanjang dengan bangku besar menghadap kandang ternak. Seusai bersalaman, cerita demi cerita beliau uraikan yang kadang dengan tambahan bumbu jenaka.
Seorang nenek tengah duduk di bibir pintu rumahnya yang menghadap utara. Sambil asyik meracik sirihnya, beliau menyempatkan untuk tersenyum ke arahku.
“Mbah…” sapaku sambil membalas senyumnya. Beliau membalas sapaanku dengan mempersilakan untuk singgah. Dengan senang hati, aku segera mencari jalan menuju teras rumahnya. Beberapa kursi memanjang dengan bangku besar menghadap kandang ternak. Seusai bersalaman, cerita demi cerita beliau uraikan yang kadang dengan tambahan bumbu jenaka.
Hidup sepasang dalam kesederhanaan |
Kandang ternaknya di depan rumah |
Mbah Kijo. Begitu namanya, semoga aku tidak salah ingat. Perlakuan ramahnya memang tidak setengah-setengah. Senyumnya kembali merekah memancingku untuk membalasnya. Ceritanya tentang suka duka hidup sendirian tanpa
tetangga di pinggiran hutan, cerita tentang kesuksesan anak cucunya, cerita tentang
cintanya kepada anjing, kambing, sapi, peliharaannya menjadi barisan kisah siang itu. Beliau mengisahkan begitu
panjang, sampai suaminya pulang dari mencari rumput untuk kambing dan sapinya.
Tiba-tiba, beliau masuk ke dalam. Mengambil air panas, teko, cangkir dari tanah liat dan menaruhnya di atas bangku, tepat di depanku. "Monggo mbak, ngeteh dulu" ajak Mbah Kijo sambil tersenyum. Beginilah rezeki Tuhan di tengah isi botol air mineralku yang sudah mulai kerontang.
Tiba-tiba, beliau masuk ke dalam. Mengambil air panas, teko, cangkir dari tanah liat dan menaruhnya di atas bangku, tepat di depanku. "Monggo mbak, ngeteh dulu" ajak Mbah Kijo sambil tersenyum. Beginilah rezeki Tuhan di tengah isi botol air mineralku yang sudah mulai kerontang.
Mbah Kijo Putri, sehat selalu simbah :)) |
Rumah nan sederhana ini, sering dijadikan tempat persinggahan orang-orang yang kehabisan bekal pas mencari kayu bakar. Sering dijadikan tempat istirahat para petani lombok yang tak kuat kepanasan di tengah terik siang. Atau, pernah juga menjadi penunjuk jalan bagi pejalan yang tersesat di tengah hutan. Terkadang, Mbah Kijo tak segan menjamu tamunya dengan minum teh, makan, atau memetikkan kelapa muda yang tumbuh subur di sekitar rumah. Betapa benar, orang-orang berhati baik masih disisakan oleh Tuhan di dunia ini.
***
Kehidupan di seberang Bukit Mojo menjelang penghujung kemarau, pernah kusaksikan begitu berbekas. Mendalam. Di seberang selatan yang masih sunyi ini, aku pernah begitu dibuat nyaman sepanjang melangkahkan kaki. Sedangkan di sisi utara, banyak orang-orang riuh ramai berfoto dengan latar belakang tempat ini agar menjadikan feeds instagramnya semakin rapi.
Setelah ini, akankah aku juga perlu mencari tahu ada kehidupan apa di seberang Bukit Panguk Kediwung?