Pemburu sunrise di Gunung Bantal, setelah matahari menang dari mendung. Dokumentasi oleh: Rifqy Faiza R |
Sore itu, dalam perjalanan menuju Kawasan Ekowisata Nglanggeran
aku masuk dalam tim basah. Satu mobil yang diisi oleh Hannif, Aku, Aya, Mbak Rizka dan Mas Alid kesemua personilnya berbasah kuyup tanpa ganti baju setelah
berlumpur pasca off road kemudian diguyur
aliran Air Terjun Sri Gethuk.
Sungguh jika mobil yang kami tumpangi saat itu bisa
mengeluh: “Apes”. Batinnya mungkin begitu. Beberapa tetes air menggenangi
karpet begitupun joknya.
Tanganku menangkup kedinginan. Samar-samar hembusan AC menambah sekian dingin semakin
terasa. Tertahan menggigil sambil terus memandangi pemandangan luar jendela.
Ada rapatnya hutan jati, sawah nan hijau bertingkat, hamparan pohon kayu putih,
sesekali juga memandang dalam lekuk bentuk rumah warga yang khas masih terjaga.
Di luar sana, langit mendung seakan tak mendukung terbayarnya rinduku kepada senja yang tenggelam
di ufuk Nglanggeran.
Tuhan, ternyata selain Maha membolak-balikkan hati,
juga Maha membolak-balikkan kondisi langit.
Tiba-tiba perhatian kami kompak memperhatikan
pemandangan di luar jendela sisi kiri. Tak mengira, langit mendung masih sudi
menyisakan sedikit ruang bagi baskara menampilkan bulatan sempurnanya.
Semacam mengucapkan “sugeng rawuh wonten ing Nglanggeran” melegakan rindu kami menyaksikan
senja bersembilan.
Dua rombongan mobil kompak berbelok ke arah Embung
Nglanggeran. Lega bercampur suka-cita. Mas Aris Purba cukup peka membaca
keinginan kami menjumpai senja yang sempat menggoda di balik jendela.
Dari bawah, anak tangganya sudah terlihat mengular
naik sebagai penguji kesungguhan kami bertatap senyap kepada senja.
Embung Nglanggeran dalam senyap senja. Dokumentasi oleh: Insanwisata. |
Menatap dalam, refleksi magis senja di Embung Nglanggeran. Dokumentasi oleh: Insanwisata |
Tak butuh lama, kami sudah sampai di bibir embung dengan
masih berbalut baju basah.
Dingin, sendu berlatar semburat merah di kaki
cakrawala. Keberadaan baskara tak seutuh penampakan cantiknya sepanjang
perjalanan tadi. Kali ini menyisakan refleksi magis terlukis di sepanjang
genangan tenang sepanjang pinggiran embung.
Di tepian embung berjejer tripod menghadap
tenggelamnya sang baskara. Beberapa pengunjung nampak serius berkompromi kepada
sisa waktu untuk merekam lukisan jingga yang tersisa. Sebagian mereka berburu siluet dengan membelakangi lensa.
Kami berada di antaranya.
“Oh begini
romantisme senja di Embung Nglanggeran di kala senja menjelang petang?”
Sesungguhnya, menikmati Embung Nglanggeran tak
berbatas waktu. Pintunya buka 24 jam untuk siapapun yang berniat tinggal tenang
sesaat menikmati keindahannya. Namun, pendar kelap-kelip lampu telah berderet teratur
di tepian embung laksana alarm bagi kami
untuk kembali menuruni anak tangga. Kami harus pulang menuju homestay. Mengganti basah yang masih
melekat sepanjang senja, istirahat untuk menyiapkan sebaik-baiknya esok pagi.
Seiring tapak kakiku berlalu menjauhi bibir embung, rasanya
seperti sekilas pertemuan namun menyisakan kesan mendalam. Batinku tak banyak, sambil berlalu membuka pintu mobil yang telah
menunggu lama rombongan kami di parkiran.
***
Kami rombongan kecil perempuan-perempuan anggun berjumlah tiga, menghuni dalam satu kamar di Homestay Linda
Gunawan. Letaknya hanya beberapa meter. Tak jauh dari Gunung Api Purba
Nglanggeran.
Beritanya, riwayat kesuksesan sunset tadi sore akan
dibuat lebih sempurna lagi oleh sunrise di Gunung Bantal, kemudian akan ditutup
oleh silaturahmi ke Kampung Pitu.
“Siapa yang tak girang?.”
“Siapa juga yang tak bahagia jika harus bangun pukul 03.00 WIB?.”
Kebetulan kedua temanku bersemangat.
Aya dan Mbak rizka masing-masing kompak memasang
alarm di gawai pintarnya. Benar saja, alarm itu tak hanya sekali bernyanyi
membangunkanku. Kulirik ke arah mereka. Masih terpejam.
Rasa lelah terkalahkan oleh bayang-bayang sunrise.
Membayangkan sapaan sang mentari pagi yang akan terlihat pertama kali di bumi
Nglanggeran. Mereka telah bangun. Akhirnya kami semangat berjalan meskipun
dengan langkah gontai menuju pendopo di samping Gunung Api Purba Nglanggeran.
Genap sudah kami bersembilan.
Dalam remang belum masuk waktu subuh, terlihat samar ekspresi
mereka. Tak muncul gurat lesu ataupun kantuk yang terlihat tertahan. Ekspresi
kami seragam. Semangat memapas sunrise yang dijanjikan pagi.
Sebuah kendaraan bak terbuka mengangkut kami bersembilan ditambah Mas Lilik Purba berdiri paling
belakang. Aku memilih berdiri di sisi
kanan sambil memegangi rangka besi yang menjadi batas penjaga agar terlindungi.
Kendaraan
merangkak dalam gelap. Erangan mesinnya terdengar menggetarkan berbalut cemas
yang kusimpan sendiri.
Jalan kami tak mudah. Berkelok, menanjak sempit tanpa
menyisakan ruang sebelah kanan dan kirinya. Ya, aku cemas. Bahkan aku belum
sempat melihat siapa gerangan pengemudi kendaraan bak terbuka ini. Rasanya hanya pasrah percaya saja menumpang di belakang sambil dalam diam berdoa
dengan memejamkan mata.
Kulirik sebelah kiri, lampu kelap-kelip kota berlomba
memunculkan rupa warna mengiringi lantunan azan subuh berkumandang. Kendaraan kami berhenti di samping Surau
kecil di bawah Kampung Pitu. Di sana kami salat subuh berjamaah sebelum melanjutkan
laju menanjak menjemput sunrise.
Subuh itu, langit tak kesepian dengan hiasan binar bintang. Kami berjalan menapaki tanah basah selepas hujan. Licin tanahnya seperti
janjinya yang susah dipegang, eh lebih tepatnya lengketnya nempel banyak pada
alas kaki.
Gunung Bantal masih menerima kedatangan kami. Dia
menyuguhi kami sisa kerlap-kerlip lampu kota di sekeliling kaki Gunung Merapi. Langit
kala itu juga masih bertabur bintang yang semarak dengan kerlap-kerlipnya.
Genangan kabut menyambut kehadiran sang baskara. Dokumentasi oleh: Insanwisata. |
Berdua saja. Dokumentasi oleh: Rifqy Faiza Rahman |
Tak lama, satu per satu bintang mohon diri. Tamu agung
akan menggantikannya sebentar lagi. Semburat jingga muncul perlahan. Dia yang kemarin
sore berpamit pulang di kaki langit Embung Nglanggeran telah kembali dari ufuk
timur Gunung Bantal. Kabut tipis menggenang tenang, Embung Nglanggeran pun
mulai terlihat selingkar kecil dari atas.
“Baskara memiliki caranya untuk kembali”.
Genangan kabut, selingkar embung, dan jepretan pagi. Dokumentasi oleh: Insanwisata |
Di atas Gunung Bantal, anginnya sungguh sembribit. Dokumentasi oleh: Nasirullah Sitam |
Potret Embung Nglanggeran dari puncak Gunung Bantal. Dokumentasi oleh: Nasirullah Sitam |
Kami bersembilan belum ada yang mandi pagi itu. Gaya poto: pinjem yang udah jadi trademarknya Mas Alid. Difoto oleh: Mas Lilik Purba. Dokumentasi oleh: Insanwisata |
Hadirnya menghangatkan dingin yang sempat dirasa ketika menujunya. Mata merem-merem semacam tersihir ketika menatapnya dengan dalam di ujung timur. Sirna sudah kantuk menggelayut itu, lenyap. Menantikannya dari sedikit cemas banyak mendungnya, sampai kini matahari sudah tinggi. Kami sudah diingatkan oleh Mas Lilik Purba bahwa waktu telah beranjak siang. Berduyun kami turun menuju Kampung Pitu.
Tak banyak yang tahu tentangnya. Sebuah dusun kecil
yang berada di ketinggian 750 mdpl terletak di sisi timur Gunung Api Purba
Nglanggeran.
Beruntung kami masih diizinkan Tuhan bisa bertemu
dengan Mbah Redjo Dimulyo (100 tahun). Beliau adalah generasi keempat di
Kampung Pitu. Di usianya yang telah genap seabad, beliau merunutkan cerita
tentang Kampung Pitu kepada kami dengan Bahasa Jawa Kromo. Pak Heru
menerjemahkan sambil sesekali menjadi jembatan setiap pertanyaan kami kepada
Mbah Redjo.
Dahulu Rt: 19 yang masih menjadi bagian dari Dusun Nglanggeran
Wetan ini bernama Dusun Tlogo. Tlogo ini diambil dari nama “telaga” yang
menjadi sumber air Kampung Pitu, sehingga meskipun musim kering berkepanjangan
tak pernah ada istilah sampai kekurangan stok air.
Nah baru sekitar tiga tahun yang lalu Dusun Tlogo tersebut
diubah namanya menjadi Kampung Pitu agar orang lebih mudah mengingat.
Pitu dalam
Bahasa Jawa artinya adalah tujuh. Sebuah dusun yang sudah sejak ratusan tahun
yang lalu turun temurun hanya dihuni tujuh kepala keluarga, tidak lebih ataupun
kurang.
Bagaimana jika terdapat pergeseran jumlah kepala keluarga?
Menurut kepercayaan adat di Kampung Pitu, jika terjadi
kelebihan jumlah kepala keluarga harus dikurangi menjadi tujuh kepala keluarga,
jika kekurangan juga harus ditambah agar tetap menjadi tujuh kepala keluarga. Sebab
jika ada yang memaksakan untuk menambah atau mengurangkan jumlah kepala
keluarga menurut keyakinan setempat akan terjadi “sesuatu” yang buruk. Kepercayaan
itu sudah turun temurun dan dipegang kuat sampai saat ini.
Setelah kami dirasa cukup berbincang dengan Mbah
Redjo, kami berpamit. Ajakan Pak Heru untuk berkeliling di Kampung Pitu sulit
kami tolak.
Sesaat sebelum kami berpamit, diberikan kesempatan untuk mengambil gambar bersama Mbah Redjo Dimulyo (100 tahun) Sesepuh Kampung Pitu. Dokumentasi oleh: Insanwisata |
Langkah kaki kami seirama, mata terus haus memandang setiap hal yang kami temui sepanjang jalan. Terlihat rimbunnya pohon bambu menjadi payung kami. Beberapa rumah di Kampung Pitu sebagian besar adalah rumah limasan dengan bentuk atap yang tak terlalu tinggi dengan didominasi oleh kayu. Di depan atau samping rumah, mereka memiliki beberapa kandang hewan ternak berpenghuni tak hanya seekor.
Awalnya, kami pikir letak rumah di Kampung Pitu itu
jaraknya berdekatan atau bahkan berhimpitan. Ternyata tidak demikian. Malah bisa
dibilang letak rumahnya memencar berjauhan satu dengan yang lainnya. Sebenarnya
ada Sembilan rumah, namun dua rumah dikosongkan sehingga tetap ada tujuh rumah
saja yang ditempati oleh total 25 jiwa.
Buah tangan dari warga ketika kami berkeliling di Kampung Pitu. Belalang sawah goreng. Rasanya lebih gurih jika dibandingkan dengan belalang kayu goreng. Dokumentasi oleh: Halim Santoso |
Tak ada kesan primitif layaknya kampung adat di
pedalaman pulau terpencil. Warga Kampung Pitu mengenyam pendidikan seperti
wajarnya. Ada motor, listrik, teknologi seperti kehidupan wajarnya. Namun tak
sembarangan orang yang bisa kuat dan bertahan tinggal di Kampung Pitu. Mereka adalah
orang-orang kuat dan terpilih. Dengan kondisi geo-ekonomi yang sedemikian
mereka bertahan. Di tengah arus deras modernisasi mereka tetap memegang teguh
tradisi.
***
Jadi memang benar, tak perlu heran jika secara resmi UNESCO telah mengakui
bahwa Nglanggeran masuk dalam jaringan geopark dunia tepat pada November
2015. Salah satu desa wisata terbaik tingkat ASEAN 2017. Bertubi penghargaan yang tentu sebagai sebuah bentuk amanah luar biasa untuk terus "menjaga". Pada kenyataannya, masyarakat Nglanggeran terus bebenah dan belajar. Perjalanan panjangnya untuk jatuh bangun, mengedukasi warga masyarakatnya dan pengunjung sungguh membuatku terkagum.
Konsep pemberdayaan masyarakat berhasil diterapkan
secara apik. Segerombol kambing etawa dibudidayakan menghasilkan berliter
susu. Kotorannya menyumbang subur pada sepetak kebun kakao yang berhasil diolah
menjadi beraneka ragam makanan berbahan cokelat.
Aneka olahan dari kakao: Cokelat bubuk, cokelat batang, pisang cokelat, dodol cokelat, sabun cokelat, dan masih banyak lagi. Dokumentasi oleh: Insanwisata. |
Pengunjung yang datang ke Nglanggeran tak hanya menikmati Lanskapnya, sibuk foto-foto, kemudian pulang. Ada “sesuatu” yang bertambah dalam diri ketika sudah kembali ke rumah.
Nglanggeran itu seperti kamu. Kamu dengan sepaket lengkap yang melekat mempesonaku. Bentang alamnya sanggup menyihir untuk tertegun kemudian tersadar untuk mengucap lirih takjub kepada yang Maha Pencipta. Adat tradisinya yang sampai kini teguh terjaga sanggup menakhlikkan rasa candu. Ia sanggup melahirkan suatu dorongan hasrat untuk kembali. Kembali lagi, melukis kenangan baru di sana, bersama kamu.
Nglanggeran itu seperti kamu. Kamu dengan sepaket lengkap yang melekat mempesonaku. Bentang alamnya sanggup menyihir untuk tertegun kemudian tersadar untuk mengucap lirih takjub kepada yang Maha Pencipta. Adat tradisinya yang sampai kini teguh terjaga sanggup menakhlikkan rasa candu. Ia sanggup melahirkan suatu dorongan hasrat untuk kembali. Kembali lagi, melukis kenangan baru di sana, bersama kamu.
Informasi lebih lanjut untuk pembaca:
Nama Desa Wisata: Desa Wisata Nglanggeran
Alamat: Nglanggeran, Patuk, Gunungkidul, Yogyakarta
Sosial Media:
Website: www.gunungapipurba.com
Twitter: @gunungapipurba
Instagram: @gunungapipurba
Email: gunungapipurba@gmail.com
CP/WA: 081802606050 (Sugeng Handoko)
CP/WA: 081804138610 (Aris Budiyono)
* Cerita ini merupakan oleh-oleh dari keseruan
rangkaian acara "Explore Desa Wisata Jogja" yang diselenggarakan oleh Forum
Komunikasi Desa Wisata Provinsi DIY, pada tanggal: 24 s.d 26 Februari 2017.