Sebenarnya tiap pulang dari menyunrise,
Tirta sudah beberapa kali mengarahkanku untuk sarapan mie ayam Bendungan Tegal.
Rekomendasi yang ditawarkannya memang anti mainstream.
Sarapan bukannya dengan bubur di sekitar Makam Imogiri, atau nasi gudeg di
dekat Jembatan Siluk, eh malah dengan mie ayam. Namun sering kali sesampai di
warung mie ayam itu selalu disambut dengan ucapan penjualnya: “maaf mbak masih
tutup.” Maklum, mungkin terlalu pagi.
Di awal hari itu tiba-tiba membawa rasa penasaran untuk kembali menyambanginya lagi. Tepatnya sepulang menyaksikan matahari terbit dari Bukit Turunan, Aku,
Tirta, Mbak Mardiya, dan Adiknya bergegas menunggui warung mie ayam ini buka. Di
sana sudah berjejer beberapa motor pembeli yang juga sudah menghuni parkiran.
Aku sudah pesan, kemudian tinggal menunggu sambil duduk lesehan di pendopo sisi
pojok utara. Tangan-tangan masih sibuk memainkan tombol display di kamera masing-masing, saling memperlihatkan hasil
jepretan sunrise syahdu pagi tadi.
Suasana Pendopo, tempat pembeli menunggu pesanan |
Penampakan ruang utama. Jika penuh, biasanya pengunjung berpindah ke pendopo |
Suasana masih hening. Pendopo nan luas ini masih lengang, tikar sudah tergelar berlembar-lembar, namun bangku-bangkunya masih banyak yang kosong. Biasanya ruang utama bisa penuh, pendopo yang baru dibangun lima tahun yang lalu ini pun ikutan penuh. Jika sudah begitu, sabar mutlak dibutuhkan untuk menunggu satu per satu pembeli kembali pulang dan menggantikan posisi tempat duduknya. Tapi beruntung pagi itu belum terlalu antre.
Tak lama menunggu, pesananku datang. Pertama beberapa gelas minuman,
disusul dua nampan mie ayam. Kamera di atas meja mulai diungsikan. Sepertinya
meja ini terlalu sempit untuk menampung pesanan empat minuman, dua mangkok mie
ayam jumbo, dua mangkok mie ayam biasa, dan beberapa mangkok sayur ayam. Heiiii
padahal kan yang mau makan adalah perempuan-perempuan ya? tapi kok menunya kaya
orang puasa dua hari dua malam? :p
Nah ini perbandingan antara porsi mie ayam jumbo dan mie ayam biasa. Eh ada sayur ayamnya juga (mangkok tengah). |
Aku memandangi Tirta dan Mbak Mardiya. “Yakin habis?” tanyaku dengan
sedikit ragu. “Ah santaii” jawab mereka kompak. Dengan sedikit menunduk kuaduk perlahan
semangkok mie ayam biasa yang telah kupesan sambil memastikan bumbunya telah
teraduk rata sempurna. Berbeda bagi si pemesan mie ayam jumbo, mereka agak berhati-hati
mengaduk isi mangkok yang menggunung sambil sesekali mengurangi isi mangkok
untuk masuk ke dalam mulut.
Sekilas, penyajian mie ayam Bendungan Tegal sama dengan mie ayam di
warung-warung lain. Yang membedakan, di sini pembeli bisa memesan sayur ayam, yaitu
mangkok yang berisi sawi hijau, kuah, dan irisan daging ayam. Semacam mie ayam
tanpa mie. Sedangkan untuk penyajian mie ayamnya tak jauh beda dengan mie ayam
kebanyakan. Daging ayamnya dipotong dadu, disangga gunungan mie yang matengnya
pas dengan pinggiran ijo-ijo sawi dan acar timun di satu pinggir.
Penampakan mie ayam dari dekat *sluuurrrrp |
Warna kuahnya sudah cokelat namun agak berminyak, jadi bagi yang kurang
suka manis sebaiknya tak usah banyak menambahkan kecap. Saat itu aku hanya
sedikit menambahkan sambal, karena sudah paham ciri khas mie ayam Bendungan
Tegal adalah rasa mericanya. Benar saja, mie ayam yang buka sejak 1994 ini
masih mempertahankan ciri khasnya. Bumbunya masih kerasa, rempah dan mericanya
juga masih cenderung kuat. Jadi setelah makan mie ayam ini, perut dan
tenggorokan akan terasa lebih hangat.
Sayangnya, bagi yang terbiasa makan mie ayam ditemani kriuk-kriuk kerupuk
ya siap-siap agak kecewa. Seringkali jika makan di sini, tak ada penampakan blek kerupuk dengan tutup warna-warni
itu. Jadi, ya harus ada sedikit pengorbanan untuk berjalan kaki. Tidak jauh. Tepat
di sebelah timur warung mie ayam ini ada warung kelontong yang menyediakan
kerupuk Rp.2.500,- per plastiknya. Apa mungkin ini salah satu bentuk kerja sama
berbagi rezeki antar tetangga?
Namun sedikit kekurangan itu tak membuat mie ayam ini sepi peminat. 23 tahun
bisa bertahan dari pasang surut bagi sebuah warung mie ayam yang letaknya pun tak
begitu strategis, adalah bukti nyata dari sebuah kerja keras. Bahkan kini
warung mie ayam yang dikelola oleh pasangan suami istri, Edi Sutrisno ini telah
memiliki enam karyawan yang berasal dari tetangga sekitar. Bu Edi menceritakan,
di Hari Minggu atau tanggal merah, omset paling banyak bisa menghabiskan satu
kuintal mie dalam sehari. Padahal satu kilogram mie bisa untuk membuat 14
mangkok. Satu mangkok mie ayam biasa harganya: Rp.6000,- yang mie ayam jumbo:
Rp.9.000,- Coba hitung, ada berapa pendapatan kotor per harinya? *soal
matematika.
Penjualnya juga baik, jika beli dua mangkok mie ayam dapat diskon
Rp.500,- per mangkoknya. Jadi jangan ragu untuk mengajak teman tapi mesra, adek
tapi sayang, atau mantan biar lancar balikan, buat makan di sini sambil
ngomongin masa depan. Selain kenyangnya bisa barengan, juga dapat diskon karena
beli lebih dari satu mangkok mie. Hehe. Jika ingin ke sini, mending jangan
memilih Sabtu-Minggu atau tanggal merah ya? bakal padat keburu lapernya nggak
jadi laper lagi.
Mie Ayam Bendungan Tegal - Mie Ayam Ibu Edi Sutrisno
Alamat: Kebonagung, Imogiri,
Bantul, Yogyakarta. Ada di sebelah timur Bendungan Tegal.
Buka: 09.00-21.00 WIB
Harga Mie Ayam per Awal Mei 2017:
Mie Ayam Biasa: Rp.6.000,-
Sayur Ayam: Rp.6.000,-
Sayur Ayam: Rp.6.000,-
Mie Ayam Jumbo: Rp.9.000,-
Es Teh: Rp.2.000,-
*Penulis menulis tanpa endorsan :p hanya ingin sedikit nostalgia rasa
dengan mie ayam yang sudah ada semenjak aku masih kecil, dan sampai kini masih
tetap laris.