Saya lupa kapan terakhir
kali bangun sebelum subuh untuk bergegas menikmati matahari terbit. Bagi
pembaca yang beberapa kali menunjungi coretan saya, mungkin paham bahwa waktu
pagi dan senja adalah waktu kesukaan saya untuk mengembala imajinasi menjadi narasi.
Sepertinya, kenangan itu
menjadi cerita yang kadang ingin terulang. Tapi jujur saja itu tidaklah mudah.
Bukankah banyak orang yang
lebih memilih menikmati matahari terbenam daripada menantinya ketika terbit?
Mereka enggan jika harus bangun pagi buta, melawan kantuk, malas, dan dingin.
Maka senja lebih dipilih karena waktunya lebih santai, berangkat siang bisa,
sore pun jadi.
Saya pernah begitu menyukai rakit-rakit bambu begini. Foto oleh: Wihikanwijna |
Tapi sekarang keadaannya
lah yang sedikit berubah. Bukannya mau menyalahkan keadaan, hanya saat ini saya
tidak mempunyai jujugan tempat terdekat menanti matahari terbit atau tenggelam
yang "tinggal locat" seperti kala saya tinggal di Bantul.
Kini juga harus ada izin
dari suami. Eh, merayu izinnya ibuk sama suami itu lebih gampang yang mana
ya?
Saya harus lebih banyak
lagi belajar tentang seni merayu suami, agar izin menyambut pagi di Waduk Sermo
ini bisa terulang lain waktu. Di buanyakk tempat lagi.
***
Warga sekitar dan bekal jala |
Dibanding harus mengulur
waktu keberangkatan, kami memang memilih untuk menunaikan salat subuh di
salahsatu masjid terdekat Waduk Sermo. Tidak jauh dari masjid yang letaknya
agak masuk di gang dusun ini, terdapat tempat pemberhentian retribusi Waduk
Sermo ternyata masih tutup.
Jalanan yang mulai
meliuk dan remang-remang itu, sempat membuat kami bingung menempuh arah.
Syukurlah banyak papan petunjuk. Kami bisa melanjutkan mengitari Waduk Sermo
dengan kecepatan sedang.
Memotret Tirta. Foto oleh: @mardiya37 |
Pintu gerbang masih
tertutup. Sepeda motor kami parkir di depan pintu masuk dengan plang menutup.
Ternyata, di sana sudah
banyak sekali tenda-tenda berdiri, kendaraan berjejer, dan kerumunan orang
menyantap sarapan yang usai dimasak. Padahal, jika musim penghujan, tempat ini
tenggelam tidak terlihat. Genangan luas itu hanya menampakkan rakit bambu
bertulis Taman Bambu Air.
Pada musim penghujan
silam, saya pernah memotretnya ketika air waduk begitu penuh. Pengunjung yang
hendak berfoto di panggung bambu itu harus lewat perantara naik perahu.
Taman Bambu Air ketika musim penghujan |
Ketika musim kemarau, masih terlihat rakitnya (tempat swafoto) di tengah danau |
Wajah Waduk Sermo ketika
kemarau ternyata berubah. Banyak sekali sisi waduk yang mengering kemudian
berubah menjadi semacam sabana hijau.
Lumayan, warga sekitar
memanfaatkan sisi waduk yang mengering itu untuk menanam tanaman kalanjana
untuk stok pakan sapi dan kambing di rumah. Toh kalau musim penghujan, lahan
itu akan kembali terisi air.
Pada akhir musim kemarau
ini, spot swafoto yang sebelumnya bak cendawan di musim hujan ini juga banyak
yang gulung tikar. Entah untuk sementara saja, atau selamanya. Lahannya yang
sebagian besar ada di pinggiran terkena dampak kekeringan.
Salahsatu contoh tempat swafoto di sekitaran Waduk Sermo pada musim penghujan. |
Namun mujur betul
pengelola Taman Bambu Air. Di saat tetangganya telah banyak yang ditinggal
pengunjungnya, Ia menawarkan pesona lain ketika musim kemarau tiba.
Genangan waduk menyurut,
ada lekukan daratan yang membentuk miniatur pulau kecil. Di atasnya adalah
rerumputan, tanah gersang, dan tenda-tenda yang menghuni.
Saya berharap, bisa
menyaksikan terbitnya matahari di lekuk pulau kecil yang takselamanya ini.
Langit, bisakah kamu menyingkirkan kelabumu?
Mendung tiba-tiba merenggut
bayangan baskara yang hendak meninggi. Gelap, saya tak lagi bersemangat menekan
tombol shutter kamera. Badan berbalik
ke arah utara, taklagi sesemangat tadi menghadap lama ke arah timur. Di sisi
inilah saya baru sadar, ternyata sebuah dataran kecil yang tengah kami pijak penuh
dengan bongkahan nisan.
Ada rasa bersalah yang menyesak begitu saja. Tadi saya sempat berfoto melewati sela-sela rumput kemerah-merahan itu yang ternyata banyak batu-batu nisan dan bangunan cungkup makam yang sudah ambruk, hanya tersisa beberapa saja yang berdiri setengah utuh. Saya kira itu gazebo.
Pantas saja orang-orang yang tengah asyik berkemah itu memilih mendirikan tenda agak menjaga jarak dari kumpulan nisan ini. Mungkin dulunya tempat ini adalah tempat pemakaman sebelum diairi penuh air untuk waduk.
Saya sejenak terdiam, semoga beliau-beliau yang telah lama meninggalkan raganya terkubur di tempat ini mendapatkan tempat terbaik di sisiNya. Mohon maaf atas ketidaktahuan saya selama di tempat ini. Tentu setelah sadar, saya lebih berhati-hati dalam melangkah, semoga tidak mengusik peristirahatan mereka.
Ada tanya yang terjawab oleh akun @watespahpoh di twitter saya. Admin menjelaskan: sebelum ratusan kepala keluarga bedol desa ke Riau dan Bengkulu tahun 1996, makam telah dipindah. Puing-puing nisan dan sisa makam masih menyisa, karena Waduk Sermo itu dibangun dengan ledakan dinamit.
***
Kemarin teman-teman saya
sempat kecelik datang ke sini. Alasannya: tempat ini sedang ditutup karena dijadikan
salahsatu lokasi syuting “Bumi Manusia”. Setelah nanti filmnya diputar, mungkin tempat ini akan
bertambah ramai lagi. Atau setelah film tersebut diputar, tempat ini akan
kembali tenggelam karena musim penghujan.
Semakin siang,
pengunjung semakin berdatangan. Kami memilih berpamit untuk mengakhiri
penantian pagi di “dataran kecil sementara” ini.
***
Selama perjalanan pulang
yang cukup terik, saya teringat akan sebuah hutan lindung di sekitaran waduk. Dalam
bayangan saya, pasti banyak daun cokelat yang tengah gugur karena kemarau.
Suami menurut untuk meminggirkan sepeda motor di pinggir jalan. Kami naik dengan tergopoh meniti akar-akar dan daun cokelat yang menjadi selimut tanah. Lumayan licin, tapi akhirnya sampai juga di tempat ini.
Suami menurut untuk meminggirkan sepeda motor di pinggir jalan. Kami naik dengan tergopoh meniti akar-akar dan daun cokelat yang menjadi selimut tanah. Lumayan licin, tapi akhirnya sampai juga di tempat ini.
Menyurut hanya sementara, bergugur akan lagi bertunas
Dari musim lalu, aku adalah ceritamu. Musim ini aku tak lagi
menjadi tempat rasamu.
Karena seperti keyakinanku, menurut himpit yang menuntun turun.
Genggam selalu pelajaran, karena dia teman.
Haru dengan baru, kenang yang terkenang.
-Dalam dekap relung kemarau-
Terima kasih kepada
suami yang masih sudi bangun sebelum subuh, menjadi nakhoda tertanda cinta.