Saya membuka kaca helm sambil menyondongkan wajah ke
depan. Tepat di samping kiri telinganya suami, saya bercerita bahwa hamparan
sawah di sisi kiri itu adalah salah satu tempat kesayangan menemui pagi di
Imogiri.
Kemudian kendaraan dipelankan menuju berhenti. Sebentar,
masihkah ada gerombolan kerbau yang seringkali
mondar-mandir menarik bajak sawah?
Oh ternyata, sawah telah usai dipanen. Perasaan
beberapa waktu lalu lewat jalan ini, tanaman padi itu masih bayi. Kini telah
dibabati, menyisa kaki-kaki tanaman padi yang masih kuat bertopang akar. Ia
telah menguning, hampir berubah cokelat warnanya.
Beberapa saat menunggu, saya tak kunjung bertemu
kerbau. Hanya ada gerombolan kambing yang ditunggui oleh pemilik yang tengah
asyik bercerita dengan bapak-bapak pembawa sabit.
Dengan sedikit berlari mencincing rok bunga-bunga,
saya berlomba cepat dengan sinar pagi yang mulai meninggi. Ini masih pukul enam
pagi lebih sedikit, panas belum lah terlalu menclekit.
Ide untuk duduk-duduk di tengah sawah sepertinya bukan ide yang buruk.
Meski jalan raya di sebelah nampak hingar-bingar, di
tengah sawah ini serasa senyap. Bahkan gerombolan kambing itu tak bergeming
akan kehadiranku. Mereka tetap hening sarapan rumput tanpa basa-basi menawari.
Kabut semakin menjadi pengisi ruang luas ini. Kambing-kambing
putih itu jadi tersamar oleh warna kabut. Beberapa Petani pun mulai
meninggalkan garapan sawahnya. Mereka menuju galengan lebar itu kemudian mulai menggenjot sepedanya pulang.
Sepertinya ada yang berubah dari tempat ini.
Ketika kita sudah
terbiasa dengan sesuatu kemudian ada satu hal kecil pun yang berubah, pasti terasa.
Begitupula saya. Baru sesaat kemudian saya tersadar. Pohon-pohon yang dulu
menghuni pembatas tiap petak sawah itu perlahan telah hilang. Sudah taksebanyak
dulu. Tinggal beberapa yang tertinggal, lainnya telah tanggal.
“Kamu jangan mau dicabut, terganti tiang besi dan
beton ya hon?” Saya berbisik kepada pohon yang masih tersisa tegak berjarak 100 meter.
Semoga suaraku disampaikan dengan baik oleh kabut.
Tapi pohon bisa apa? Ia
hanya terus memberi oksigen sebanyak-banyaknya, memberi batangnya, daunnya, rantingnya,
dan teduhnya. Sisanya, bagaimana manusia memperlakukan.
Saya mencoba untuk mengulang-ulang memencet tombol shutter kamera. Jadi mendadak melankolis
jika suatu saat tempat ini perlahan menghilang sebagai tempat nyaman menemui pagi
di Imogiri.
Hei, kenapa kabut pagi ini awetnya seperti kenangan?
Saat ini memang menuju musim kemarau. Selain kabut, aliran Kali Oya juga sedang hijau-hijaunya. Akhir-akhir lalu saya berkali-kali memberi kode suami
ingin bertemu Kali Oya. Sudah pindah rumah berpuluh kilometer pun tetap tak
mengurangi kadar rindunya.
Takheran, Ibu saya saja sudah hafal benar jika hari
libur tiba kemudian pagi-pagi saya sudah menghilang. Kalau tidak kabur ke Dlingo
ya Imogiri (Selopamioro). Beliau pernah menyampaikan pesan: “hati-hati kalau sobo kali, kamu ki nggak tau dalemnya itu seberapa?”
Padahal saya tidak pernah menyemplungkan diri, eh
beberapa kali sih kalau dasarnya memang kelihatan dangkal. Kalau tercebur dalam
perasaan yang dalam, mmmh pernah.
Sepanjang aliran Kali Oya adalah tempat-tempat yang
sering saya jadikan pelarian. Beberapa tulisan saya telah merekamnya:
Namun sepeninggalan jembatan gantung kuning
Selopamiro yang hanyut dibawa banjir besar awal Desember 2017 lalu, sampai saat
ini belum ada penghubung antara Sriharjo-Selopamioro. Kami memilih menyusuri
jalanan sisi selatan Kali Oya, tepatnya di Desa Selopamioro.
Raga telah berpindah dari sawah, tetapi ini masih berada di belahan bumi Imogiri. Bibir Kali Oya, pada batuan menanjung mengikuti liukan kali. Tak berbeda, di sini juga sepi. Rumah-rumah
masih dengan pintu tertutup, keramaian pecah di sawah tengah-tengah seberang kali. Dari kejauhan terlihat, mimik
wajah mereka sepertinya sedang terlibat percakapan.
Aku juga tengah bercakap, pada rindu yang tak kunjung
merasa cukup.
Sihir apa yang kamu punya?