Ingin rasanya menahan nafas lebih lama, tapi saya masih termasuk makhluk
yang teramat bergantung pada oksigen. Mobil Ford berwarna hijau itu terus
menerus membuang asap hitam tanpa ampun dari tanjakan naik Patuk, sampai
sepanjang Jalan Wonosari.
Saya yang sedari tadi ada di belakang persis Ford semakin gregetan,
hendak mengerem kok ya posisi jalan sedang menanjak terus. Akhirnya saya meminta
suami untuk menyalip saja mobil yang begitu dermawan asap itu agar lekas
terbebas dari jeratan polusi.
“Nggak boleh yo nyalip di tikungan”. Jawabnya sambil mengomentari
kendaraan-kendaraan lain yang saling mendahului di tanjakan yang menikung itu.
Oh iya, saya lupa bahwa suami termasuk seseorang yang menjunjung tinggi
rambu-rambu lalu-lintas. Seperti contohnya: pernah, dia tiba-tiba melambatkan
laju kendaraannya. Sebelumnya saya kira ada kodok tengah lewat. Namun setelah
saya tanya, ternyata ada rambu-rambu maksimal 30km/jam. Atau menarik tangan
saya ketika hendak menyeberang jalan tidak melewati zebra cross. “Mbok yo yang
tahu aturan”, katanya.
Keberangkatan kami menuruti aspal Jalan Wonosari pada waktu yang hampir
menuju siang itu memang tidak direncanakan. Alih-alih berangkat pagi, sejak
habis subuh tadi kami malah berdebat berdiskusi tentang ke mana lagi kami akan
mengawali keceh curug di awal 2019
ini?
Suami masih mengidolakan curug-curug di sekitar Purworejo, Kulonprogo,
sedangkan saya menginginkan variasi perjalanan menuju timur. “Curugnya Gunungkidul
masih kering yo, nggak ada airnya,” sanggahnya sambil menunjukkan bukti
penampakan curug-curug di Gunungkidul setelah dia bersepeda ke sana bersama
Mbah Gundul dua minggu yang lalu.
Benar memang, curug-curug itu lebih cocok diberi nama kubang kering
tempat penetasan nyamuk. Tidak ada air yang mengalir sama sekali. Ceruk-ceruk
batu hanya menampung air sisa hujan, menyediakan tempat penetasan nyamuk-nyamuk
yang hendak berkembang biak.
“Lha siapa tahu kan habis hujan dua minggu ini airnya mengalir.” Jawab
saya sambil sedikit berpikir.
Jujur, saya hanya sedikit bosan dari beberapa minggu yang lalu selalu
melewati Jalan Wates atau Jalan Godean untuk mengantar suami menuju Kulon
Progo. Yaa ke Stasiun Kedundang yang terabaikan, ya ke Curug Bendo, atau ke
Puworejo melewati Kulon Progo.
Ternyata, diskusi yang lumayan memakan waktu setengah pagi itu melahirkan
keputusan akhir untuk menuruti usul istri. Ahaha. Ya sebenarnya agak-agak takut
jika benar nanti curug di Gunungkidul itu benar-benar kenyataan tidak berair
alias kering-kerontang.
Alih-alih belum melihat penampakan wujud si curug, malah tenggorokan dan
lambung yang terasa kerontang. Akhirnya, kami memutuskan untuk mampir sarapan
menyantap soto Tan Proyek di pinggir jalan sebelum Perempatan Siyono,
Gunungkidul.
Sabar satu jam untuk menunggu antrean sajian hidang semangkuk soto itu
kembali mengulur waktu menuju siang. Anggap
saja semangkuk soto dan segelas es jeruk itu juga sebagai cadangan amunisi jika
mendadak bertemu calo-calo Gua Pindul di sepanjang perjalanan Perempatan Siyono
ke utara.
Benar saja, seusai menyantap soto dan kendaraan kembali menyusuri jalan, seorang
mas-mas mengikuti kendaraan kami dari belakang. “Mau ke mana mas?” tanyanya
sambil menyejajarkan posisi kendaraan. “Mau ke sarean mas? Meh ikut po?” jawab suami secara spontan.
Hadeeehh saya terpingkal-pingkal, “galak amat” batin saya agak tak tega. Mas
itu hanya melongo kemudian berlalu mengejar target berikutnya: mbak-mbak yang
mengendarai sepeda motor berplat AE yang tengah kebingungan berhenti di pinggir
jalan.
Suami kembali mengingat rute yang dia pelajari dari google maps tadi
pagi. Seingatnya, setelah Perempatan Siyono ke kiri akan menemui lampu merah
pertama langsung ambil kiri, kemudian lurus saja sampai melihat warung sate di
sebelah kiri jalan. Masuk ambil jalan cor blok kecil sebelah kanan warung sate
tersebut.
Jalanan desa nan hening itu berupa semen cor blok sisi kanan dan kiri.
Rumah-rumah warga terlihat dengan pintu tertutup tanpa terlihat ada interaksi di
depan rumah ala masyarakat desa yang tengah berbincang santai dengan
tetangganya. Padahal hari itu adalah Hari Ahad. Ternyata setelah kami sampai dan
memarkirkan kendaraan di tempat yang kami tuju, terlihat beberapa warga tengah beraktivitas
di sana.
Saya seperti ingin balas dendam membarter udara kotor yang telah saya
hirup berkali-kali di belakang Mobil Ford tadi dengan udara nan segar di
pinggir sawah ini. Beberapa anak kecil terlihat selesai mandi dan mainan air di
sendang. Ada juga bapak-bapak meniti galengan sawah mencari lumut untuk
memancing. Di belahan sawah lain, seorang ibu mengenakan capingnya sedang
menyiangi rumput.
Nyiur melambaikan dahannya, gemericik air menyumbangkan alunan alamnya. Kaki saya memainkan air tenang di sendang. Jernihnya, memamerkan batu-batu kecil di dasarnya. Seusai meruang dalam sendang, aliran jernih itu terpecah ke segala arah. Ada yang masuk ke pipa biru kemudian tersambung di pralon-pralon warga juga mengalir merunut cabang irigasi sawah.
Saya tidak menyangka tempat sehening ini hanya berjarak kurang lebih tujuh kilo dari Gua Pindul yang telah menjadi lautan cendol manusia jika musim libur telah tiba. Di sini, masyarakat desa masih menjadi rajanya. Mereka bisa duduk-duduk tenang di bawah pohon, mengheningkan cipta di sawah, atau mandi sambil berendam di sendang bersama teman-temannya.
Melimpahnya tirta tanpa surut, turut andil dalam memulas daun padi kompak
menghijau menyegarkan benak. Kami melanjutkan langkah menyusuri pematang sawah, meski terkadang harus membenahi keseimbangan badan yang hampir oleng ke kanan,
menyicip lumpur sawah.
Masyarakat sekitar sungguh ramah, mereka menyapa dan melempar senyum. Kami juga memperoleh petunjuk jalan menuju Curug Ngembel atas petunjuk bapak-bapak yang sedang mencari lumut untuk memancing.
Masyarakat sekitar sungguh ramah, mereka menyapa dan melempar senyum. Kami juga memperoleh petunjuk jalan menuju Curug Ngembel atas petunjuk bapak-bapak yang sedang mencari lumut untuk memancing.
Ketika alarm lelah berbunyi lirih, boleh sekali berteduh di gubug-gubug
di tengah sawah. Di sana ada beberapa kursi sederhana dari papan kayu. Sambil
sedikit melemaskan kaki, pemandangan tetap menghidangkan hawa sejuk sebagai obat
letih. Naungan langit yang sedang
biru diseling awan cumulus yang tak begitu rapat menambah dosis obat lelah itu.
Setelah celana dan rok
basah terendam air dan kaos juga begitu tersiram peluh, akhirnya langkah kami
terhenti di pengujung tebing. Tepat tempat di mana aliran irigasi sawah itu mengucur
terjun menyatu dengan Kali Oya.
Oh ini Curug Ngembel itu?
Tidak seperti Curug Gede, Curug Kedung Kandang, Curug Indah Gedangsari,
atau Curug Luweng Sampang yang kini ada parkir dan tiket masuk, curug ini
adalah sisa sunyi dari ramai-ramai itu di Gunungkidul.
Saya semacam menemukan kembali ruang alam yang menyatu dengan hawa rasa.
Sudah berapa banyak saudara kandungnya yang semakin dihimpit, terlalu
dipaksakan untuk dipoles menangguhkan rasa untuk memeluknya erat berlama-lama.
Sejurus dengan keanggunannya, tebing Kali Oya ini tak menyediakan jalan
landai untuk turun. Sedari tadi, kami mondar-mandir sambil memasang mata untuk
memperhatikan secara saksama, adakah cela agar segera berjumpa dengan curug
yang sumber alirannya bahkan menjadi pijakan kami?
Akhirnya, di atas semak-semak dan lumpur basah itu terdapat tangga kayu
yang tengah pulas tertidur. Mungkin inilah tangga turun itu. Suami menggendong tubuh
tangga itu sambil nyengir. Dia berjalan pelan di pinggir bibir tebing, bersiap
mendirikan tangga untuk jalan turun.
Saya bersiap berdiri di seperempat tebing yang ada undaknya ke bawah.
Sisanya ya tebing menganga yang lumayan tinggi. Untuk anjlok ke bawah terlalu
berisiko, saya masih mau hidup mendampinginya lebih lama lagii :p
Akhirnya pelan-pelan saya bisa mendaratkan tubuh di bebatuan pinggir
Kali Oya itu. Angin berembus membawa tiupan bulir curug ngembel ke arah saya.
Sambutan ramah selamat datang yang membuat semakin ingin cepat untuk merapat di dekat
dinding tebingnya. Kupu-kupu hijau terbang berkerumun pertanda udara masih suci dari polusi.
Setelah sampai bawah, saya menatap sepanjang tebing Kali Oya ini dari
kanan, kiri, dan mengurut dari ujung. Ternyata di ujung sana juga ada curug
semacam ini. Sedangkan di seberang Kali, pahatan tebing karya Tuhan membuatku
terkesima.
“Mas, nanti mampir ke tebing itu ya?” rayu saya sambil menunjuk arah tebing.
Satu batu saya lempar di sela garis aliran Kali Oya yang cukup deras.
Suaranya mendanda jika aliran Kali Oya sedang tidak bisa diajak kompromi untuk
diseberangi. Dari suara batu yang menyemplung dalam air, membuat saya yakin
jika Ia menyimpan kedalaman yang lumayan. Akhirnya menyerah juga. Saya mengurungkan
diri untuk menyapa ukir-ukiran tebing di sisi Kali Oya itu sambil menelan
dalam-dalam penasaran.
Bagi saya, tempat ini layak disebut secuil suralaya di tepi Kali Oya.
Sendang, Sawah, Curug, Kali Oya dan dinding tebingnya kompak siap mencipta
jernih jiwa tamunya. Jika tidak mengingat sedang tergesa, ingin rasanya membentangkan tikar di atas batu, mengunyah buah, sambil meneguk minuman dingin di sini.
Informasi untuk pembaca:
Berada di Jl. Nglipar-Wonosari, Ngembel, Karang Tengah, Wonosari, Gunungkidul.
Tiket masuk: -
Parkir: -
Toilet: -
Bawa pulang sampahmu ya :)
Parkir: -
Toilet: -
Bawa pulang sampahmu ya :)