Sebagai seseorang yang pernah mendeklarasikan batin
sebagai pecinta mi, rasa penasaran saya belum lunas terbayar ketika menyadari bahwa saya belum pernah menginjakkan
kaki di tempat produksi Mi Lethek. (Huruf e
pada “Lethek” dilafalkan seperti huruf e
pada kata “lengkuas”).
Meski “lethek” berarti: kusam, kucel, kotor, tak bersih, namun jangan
salah! Mi ini telah memiliki tempat di hati penggemarnya. Asalnya memang dari
Bantul, tapi paling tidak kini sudah mulai dikenal lebih luas di lingkup Pasar Beringharjo
dan sekitarnya.
Coba perhatikan jika melewati pintu masuk Pasar
Beringharjo, Mi Lethek sudah bersanding mesra dengan pecel bumbu kacang di
dalam wadah panci-panci besar. Saya berharap, suatu saat Mides Pundong juga
akan go nasional. Hahahaha.
Tahun 2018 sudah, masihkah ada dari pembaca yang belum
pernah menyicip Mi Lethek?
Keberadaan tempat produksi Mi Lethek di Dusun Bendo,
Desa Trimurti, Kecamatan Srandakan, Kabupaten Bantul, DIY ini sudah cukup lama
memancing rasa penasaran saya. Sebenarnya ada dua tempat produksi Mi Lethek di
Kecamatan tersebut, namun pagi itu saya baru berjodoh untuk “bertamu” ke tempat produksi Mi Lethek
Garuda karena tempat produksi yang satunya sedang libur produksi.
Tiba-tiba terlintas penggalan lirik dari Fourtwnty
ketika saya menyaksikan seekor sapi sudah mulai bekerja sepagi ini.
Pukul delapan pagi lebih sedikit, ia sudah mulai
memutar sambil memikul batangan kayu, memutar silinder, mengitari lingkaran besar berisi
kuranglebih dua karung tepung singkong (gaplek). Sapi terus mengitari tempat penggilingan dengan tiga orang teman, di depan, tengah, dan belakang. Seseorang sebagai pengawal, dua orang lagi bertugas mengaduk adonan Mi Lethek.
Takterdengar suara sapi itu. Sesekali Ia hanya mengipatkan ekornya atau menggerak-gerakkan
kepalanya. Terkadang berhenti sesaat, kemudian meneruskan putarannya ketika
bapak-bapak di belakangnya tengah memberi kode “cetokk…cetookk” bunyi sebuah tongkat yang dipukulkan ke dinding
penggilingan.
Bisa dilihat dari gambar. Kendati sapi itu memiliki
tugas membantu memutar batang kayu pada tumpuan besi, namun badannya juga
sungguh berisi. Pemilik tempat produksi sepertinya tak abai dalam pemenuhan
nutrisi dan kesehatan si sapi. Putih, berisi, tinggi semampai.
Di dalam ruangan tempat produksi Mi Lethek tersebut,
beberapa kursi telah terisi oleh pekerja yang hampir seluruhnya berjenis
kelamin laki-laki. Mereka sedang menikmati satu piring sarapan sambil saling
bergurau, penuh senyum diiringi suara musik dari radio yang tengah diputar.
“Monggo
mbak, sarapan.”
“Nggih pak maturnuwun,
kolo wau sampun.”
Tak ada raut tegang atau ekspresi serius. Aktivitas pekerja
sangat sibuk lalu-lalang, namun mereka tetap membaur dengan nuansa kekeluargaannya
kental terasa. Tempat produksi ini lebih terlihat seperti sebuah rumah, dan
mereka sebagai anggota keluarga besarnya.
Masing-masing pekerja bertugas sesuai pembagian
kerjanya. Ada bagian yang mencampur tepung tapioka sebelum digiling dengan
bantuan sapi, ada yang bertugas mengawal sapi saat proses penggilingan,
pemisahan mi, juga mengangkat papan-papan penjemuran Mi Lethek di halaman.
Nah, tahap penjemuran Mi Lethek ini benar-benar
mengandalkan sinar matahari. Setelah mi dipisah-pisah dan dikelompokkan dalam
papan-papan kayu, bapak-bapak yang bertugas mengusung Mi Lethek yang siap menata
rapi papan penjemuran di halaman. Jika cuaca
cerah, butuh waktu sekitar satu hari, jika sebaliknya ya butuh waktu lebih lama
lagi.
“Keberadaan tempat produksi ini sungguh perantara
rezeki dari Tuhan, mbak.”
Tempat produksi yang berdiri sejak tahun 1940-an yang masih
memertahankan kesan tradisional ini memang seperti antimainstream melawan derasnya arus modernisasi termasuk dalam
peranti alat produksi.
Kenyataannya, sampai tahun 2018 ketika tulisan ini tengah saya terbitkan, tempat produksi Mi Lethek Garuda ini masih mampu menghasilkan satu ton Mi Lethek setiap harinya. Ia tetap percaya diri bersaing dengan Mi buatan pabrik yang selama ini sudah ramai beredar di pasaran.
Kenyataannya, sampai tahun 2018 ketika tulisan ini tengah saya terbitkan, tempat produksi Mi Lethek Garuda ini masih mampu menghasilkan satu ton Mi Lethek setiap harinya. Ia tetap percaya diri bersaing dengan Mi buatan pabrik yang selama ini sudah ramai beredar di pasaran.
Keberadaan sapi, tempat produksi tradisional yang belum terganti oleh suara bising mesin produksi modern ini ternyata memberikan hikmah. Karena dari sanalah salahsatu sumber penghidupan sekitar 25 pekerja yang sampai saat ini berkarya.
“Sudah dapat jatah makan, juga gaji.” Terang salah seorang pekerja sambil tertawa lebar.
“Dari sinilah kami bisa membiayai anak-cucu kami sampai bisa jadi “orang”. Ada yang jadi Guru, Polisi, Tentara, Bupati, ya dari jerih payah di sini.” Saya mengangguk mengisyaratkan paham.
Banyak anak cucu beliau yang berusaha membujuk agar
berhenti bekerja ketika menemu kenyataan bahwa orangtuanya semakin renta,
tetapi beliau menolak. Beliau memilih untuk tetap melanjutkan bekerja agar
badan tetap bergerak sehingga tidak gampang dihampiri oleh penyakit. “Jika memang bekerja dari hati, bahagia, ikhlas, waktu itu sungguh tak terasa sudah
berubah menjadi malam”.
Bersyukur sekali beliau merasa senyaman itu menjalankan
pekerjaannya. Nikmat yang tak semua orang bisa merasakan meski oleh seseorang memiliki
jabatan dan gaji yang tinggi. Tentang “mencintai pekerjaannya dengan penuh rasa
tanggungjawab” memang tidak sembarang orang bisa merasakan.
Tiba-tiba juga ada perasaan menyelinap, saya mengakui dengan sepenuhnya, bahwa di
balik keadaan yang saya rasakan sampai detik ini, ada doa-doa orangtua yang telah
menembus langit, ada cucuran peluhnya yang sungguh belum dan tak akan pernah bisa
terbayar.
Saya sampai lupa untuk bertanya mendalam mengenai langkah-langkah
pembuatan Mi Lethek ini secara rinci. Namun di beberapa tulisan teman-teman
bloger ada yang telah mengupasnya lebih dalam.
Pagi itu, obrolan kami malah bermuara pada nilai-nilai
ketulusan, pemupuk semangat, yang sungguh tidak di sembarang tempat saya bisa
memperolehnya.
Coba tanyakan pada Ibu saya di rumah. Dulu mana mau saya menyantap Mi Lethek? penyebabnya karena sebuah ketidakpahaman saya tentang proses produksinya yang menggunakan tenaga sapi. Saya mengira, warna Lethek itu disebabkan karena proses pembuatannya diinjak-injak sapi. Ternyata, penjelasan yang datang kepada saya saat itu belumlah sempurna. Namanya juga imajinasi anak kecil.
Baru setelah duduk di bangku sekolah, saya mulai memperoleh informasi secara lengkap. Sapi hanya bertugas menyumbangkan tenaganya untuk memutar gilingan, sedangkan warna "lethek" berasal dari bahan bakunya: tepung gaplek (tepung singkong yang telah kering dijemur) jadi memanglah asli tanpa pewarna. Setelah tahu rasanya, ah menyesal telah melewatkan beberapa porsi masakan Mi Letheknya Ibu tanpa kujamah. Obama saja suka Mi Lethek pada kunjungannya di Jogja silam.
Selain dimasak goreng sebagai temannya pecel bumbu kacang, saya pernah beberapa kali mencoba memasak Mi Lethek rebus dengan campuran telur, ayam suwir dan sayur. Mi Lethek rebus ini lebih mantap disantap ketika hangat. Kuahnya dibuat agak kental pedas (sesuai selera). Hmm menu ini bisa dijadikan alternatif pengganti konsumsi mi instan yang over micin itu.
Sekali-kali bolehlah kita makan spaghetti, mi instan, dan teman-temannya. Tapi bolehlah sesekali juga menyempatkan diri untuk menyantap Mi Lethek. Makanan lokal takboleh semakin terpinggirkan. Apalagi ini juga salahsatu bentuk dukungan kita agar tempat produksi tradisional yang telah menghidupi banyak orang itu terus kokoh berkontribusi.
"Sluuurrrpppp"
Saya melirik sisa Mi Lethek rebus di dalam panci yang tinggal dua suap makan. Ah tadi kurang masaknya.
***
Coba tanyakan pada Ibu saya di rumah. Dulu mana mau saya menyantap Mi Lethek? penyebabnya karena sebuah ketidakpahaman saya tentang proses produksinya yang menggunakan tenaga sapi. Saya mengira, warna Lethek itu disebabkan karena proses pembuatannya diinjak-injak sapi. Ternyata, penjelasan yang datang kepada saya saat itu belumlah sempurna. Namanya juga imajinasi anak kecil.
Baru setelah duduk di bangku sekolah, saya mulai memperoleh informasi secara lengkap. Sapi hanya bertugas menyumbangkan tenaganya untuk memutar gilingan, sedangkan warna "lethek" berasal dari bahan bakunya: tepung gaplek (tepung singkong yang telah kering dijemur) jadi memanglah asli tanpa pewarna. Setelah tahu rasanya, ah menyesal telah melewatkan beberapa porsi masakan Mi Letheknya Ibu tanpa kujamah. Obama saja suka Mi Lethek pada kunjungannya di Jogja silam.
Selain dimasak goreng sebagai temannya pecel bumbu kacang, saya pernah beberapa kali mencoba memasak Mi Lethek rebus dengan campuran telur, ayam suwir dan sayur. Mi Lethek rebus ini lebih mantap disantap ketika hangat. Kuahnya dibuat agak kental pedas (sesuai selera). Hmm menu ini bisa dijadikan alternatif pengganti konsumsi mi instan yang over micin itu.
Sekali-kali bolehlah kita makan spaghetti, mi instan, dan teman-temannya. Tapi bolehlah sesekali juga menyempatkan diri untuk menyantap Mi Lethek. Makanan lokal takboleh semakin terpinggirkan. Apalagi ini juga salahsatu bentuk dukungan kita agar tempat produksi tradisional yang telah menghidupi banyak orang itu terus kokoh berkontribusi.
***
"Sluuurrrpppp"
Saya melirik sisa Mi Lethek rebus di dalam panci yang tinggal dua suap makan. Ah tadi kurang masaknya.
Info untuk pembaca:
Informasi lebih rinci tentang Mi Lethek Garuda serta pemesanan bisa menghubungi Pak Fery: 087839970680