Tulisan ini
ditoreh, saat ditemani hujan yang menderas di Sitisewu.
Malam ini, aku masih saja memperhatikan sosok yang
sedang berbaring rapat dengan selimut itu. Kuseka dahinya yang tengah berkeringat
karena badannya masih anget.
Dia meminta untuk dibuatkan segelas wedang jahe panas-panas. Setelah menyicipi beberapa teguk, dia mengeluhkan jika minuman itu terlalu manis.
Aku berjalan kembali ke dapur,
memenuhi seisi gelas dengan tuangan air panas dan kembali duduk di sampingnya
terbaring. Setengah melihatku, dia terbangun kemudian meneguk pelan segelas wedang
jahe itu dan kembali terlelap.
Tanpa bermaksud mengusik lelapnya malam itu, aku mencoba menulis jawaban tulisannya: Jodoh yang datang dari komentar blog yang diposting tepat pada tanggal di
mana kami menikah.
Hmmm, ada bagian-bagian dari tulisannya yang kuanggap
terlalu tendensius dan perlu untuk diluruskan. Salah satu diantaranya: masa aku dianggap fans
mblusuk.com. Mungkin jika ada bagian-bagian darinya yang perlu diinstall ulang
adalah tentang ke-GR-annya yang berlebihan. Baiklah, mari lekas memulai cerita ini tanpa prolog yang lebih panjang lagi.
Aku mengenalnya pertama kali lewat tulisannya tentang
curug-curug yang ada di Bantul (aku lupa apa judulnya). Ketika bosan dan hendak
keluyuran di curug dekat-dekat rumah, kok nemu tulisan orang kurang gawean di Google. Sekitar tahun 2015, beberapa kali aku sempat berinteraksi lewat
komentar blognya, mmm juga melalui beberapa kali berkirim surat elektronik
tentang dunia blogging.
![]() |
Halaman satu, *langsung lanjut foto di bawahnya* |
![]() |
Lanjutan, ~ halaman dua |
Setahuku dia memang tak pernah pelit ilmu jika ditanyai sesuatu. Karena alasan itu, aku kerap bertanya dan diskusi tentang dunia blogging ataupun dunia fotografi. Cuplikan obrolan di atas, mungkin juga bisa jadi ilmu baru bagi pembaca :)
***
19 Desember 2017 ketika kata pertama dalam tulisan
ini kuketik dengan terbata, aku masih belum juga percaya. Oh lebih tepatnya
mencoba untuk percaya bahwa sejak 17 Desember 2017, seseorang itu telah sah
menjadi imamku.
Padahal setahun yang lalu tepatnya tanggal 14 Mei
2016 ketika untuk pertama kalinya bertemu, aku pernah dibuatnya agak jengkel
karena telah membuatku menunggu lama di serambi masjid sekitar Candi Prambanan.
Dia yang menentukan waktu, dia juga yang ngaret.
Tadi aku sudah ngebut-ngebut sampai tempat ini agar bisa datang
tepat waktu. Namun begitu, aku memutuskan untuk memaklumi. Bersikap biasa aja
ketika dia sudah tiba.
“Sudah lama nunggunya?” tanyanya senyum-senyum sambil
menyenderkan sepedanya. “Beluum sih mas” jawabku berbohong. Sudah dua jam-an
deh kira-kira aku duduk nganggur di serambi masjid. Peristiwa itu agaknya
sedikit mengganggu moodku. Namun, hal tersebut sedikit teralihkan setelah
mendengar ajakannya untuk mengisi perut dengan semangkuk soto di seberang rel.
Tentu saja tak bisa kutolak. Yaiya, nunggu dua jam jengkel itu ternyata cukup
menguras energi. Hehehe.
Aku mengikuti arahnya untuk menyebrangi rel di
sekitar Candi Prambanan kemudian memarkirkan sepeda dan motorku di parkiran Soto Sapi Tarunojoyo. Sambil menunggu pesanan
datang, obrolan itu mengalir dengan sedikit kaku. Entahlah, mungkin
karena kami baru pertama kali bertemu. Bahkan ada beberapa hal yang mustinya
ingin kusampaikan, kutanyakan, tapi aku memutuskan untuk menahannya tanpa kuutarakan.
Agar suasana tak
terlalu hening, sambil menikmati suap demi suap soto, kuberanikan diri melempar
sebuah sebuah pertanyaan:
“mas nggak
pakai sambel atau kecap?”
“nggak, emang
nggak boleh?”
“hehe
boleh-boleh” jawabku dengan tersenyum. Haduuh
ngapain juga aku harus tanya begitu.
![]() |
Candi Sojiwan, Klaten. Dokumentasi oleh: mblusuk.com |
Selesai
menunaikan makan soto bersama, dia mengajakku untuk mengikutinya dari belakang.
Tujuan pertama adalah: mengunjungi Candi Sojiwan. Baru pertama kalinya aku
menginjakkan kaki di sini. Mataku mengamati letak candi, juga pohon besar yang
terletak di depannya. Dia mengajakku berkeliling sambil mengisahkan relief Candi
Sojiwan. Aku mengangguk-angguk, mencoba meresapi makna cerita di balik relief
candi. Perjumpaanku hari itu dengannya berkisar tentang percandian.
Usai
mengunjungi Candi Sojiwan, aku diajaknya berjalan agak masuk hutan untuk
bertemu Arca Ganesha. Di tengah-tengah perjalanan, hujan turun disertai angin
tanpa permisi. Peristiwa tersebut bersamaan dengan tengah perjalanan kami meniti
sebuah bukit kecil yang sepanjang undak-undaknya dipenuhi oleh tanaman padi dan
singkong.
![]() |
Arca Ganesha di tengah hutan |
Hujan semakin
deras. Berkali-kali aku hampir terpeleset karena tanah sawah yang licin.
Sedangkan ranting pohon nyatanya terlalu dermawan menyedekahkan rontokan dedaunan
jati yang dibawa angin hujan. Agaknya aku sedikit takut.
“Mas, serius
ini lanjut? tanyaku sambil menatapnya cemas.”
“Lanjut.”
Jawabnya singkat.
“Yakin aman?”
“Aman, tenang
wae.”
![]() |
Candi Miri, yang entah mana jalannya. Aku sudah tak mengingatnya :( |
Ternyata
tempat inilah yang hendak dia tunjukkan kepadaku. Candi Miri, sebuah candi yang
sebagian batunya mewujudkan tumpukan laiknya candi. Sebuah candi yang tak ada
papan petunjuk untuk menjangkaunya kecuali deretan tiang dan kabel listrik yang
digunakan sebagai petunjuk jalan.
Kami menemukan
sebuah gubug kecil sebagai tempat berteduh sambil saling bercerita. Cerita ngalor-ngidul tentang banyak hal.
Termasuk tentang segudang cerita perjalanannya blusukan ke Pulau Sumatra demi
menuntaskan mencari curug-curug sebelum usianya yang ke-30 tahun. Sampai pada akhirnya
dia mengeluarkan sesuatu dan mengucapkan “selamat ulang tahun”. Aku agak
terkejut.
“Kok tau mas
kalau aku habis ulang tahun?” tanyaku heran. “Tau lah” jawabnya. Oh mungkin
sebelum bertemu denganku, dia stalking
dulu untuk bekal yang bermanfaat.
Hujan telah mereda.
Dia mengajakku beranjak dari Candi Miri untuk menuju suatu tempat yang entah
berantah. Sebuah tempat menyempil
yang terdiri dari batu-batu yang bercekung-cekung
di atas bukit. “Ini adalah
tempat mendaratnya UFO” terangnya sambil tertawa.
Aku tak percaya. Batinku tersenyum.
![]() |
"Tempat mendaratnya ufo, di sini ini" ceritanya ala-ala ngapusi cah cilik |
Aku memilih
duduk menanti angin sambil mengeringkan rokku yang basah karena hujan sepanjang
perjalanan tadi. Di seberang sawah sana, terlihat kereta telah lewat hilir
mudik. Kami menuntaskan cerita, ditutup dengan salat asar berjamaah.
Begitu cerita
tentang pertemuan pertama. Agak gila, tapi tak ada kelanjutan apapun. Chat seperlunya, email berkisar tentang
perfotoan dan pertanyaan-pertanyaan dunia blogging. Bahkan untuk beberapa saat
lamanya kami tak saling bersua.
![]() |
Dokumentasi oleh: Halim Santoso |
Beberapa kesempatan kami bertemu di suatu acara. Pada tanggal 29 Mei 2016, ketika @malamuseum mengadakan kelas heritage ke Candi Borobudur, dia mengirimiku sebuah foto poster lewat whatsapp.
“Ikut saja,
kan belum pernah ke Candi Borobudur,” tulisnya khas mengece. Setelah mempertimbangkan banyak hal, aku akhirnya ikut. Saat acara kami hanya melalui beberapa obrolan, tapi kami sempat berbincang
di sela hujan sampai detik-detik terakhir pulang.
Kami bertemu di acara buka bersama ramai-ramai di rumah Mbak Aqied selama dua periode puasa. Selain itu juga ketemu ketika dia mengajakku buka bersama di Rumah Makan Tembi sambil serah
terima kaos mblusuk.com berwarna cokelat itu.
Sudah. Kami jarang chat, mungkin sesekali menyapa melalui
media sosial dan tombol love-love di twitter :p
Aku udah disesatkan di hutan lagii :o Eh, ceritanya bisa dibaca di blognya tetangga ini: Ini hanya ke Pundong, ke Grojogan Pucung Seloharjo. |
Sampai pada
akhir Oktober 2016, aku menemaninya nyepeda menyambangi Curug Pucung di
Pundong. Sebenernya sih aku memiliki misi khusus buat minta tolong ke dia ngutek-ngutekin blogku yang jika linknya dibagikan ke media sosial, foto thumbnailsnya nggak muncul.
Jadilah dia
mampir ke rumah sambil konsentrasi ngadep laptop disusul dengan makan siang bersama. Sorenya setelah bantu-bantu telah selesai, dia langsung berpamit pulang. Kemudian semua kembali seperti sedia kala. Kembali sama-sama
sibuk dengan sesekali sapa.
Jika ditarik
cerita ke belakang, mungkin kami sama-sama memiliki kisah lalu masing-masing
yang belum bisa berujung manis. Kemudian entah bagaimana caranya dengan jeda waktu
yang lumayan panjang kami dipertemukan kembali olehNya.
Pada satu
Bulan Mei 2017, kami terlibat suatu sarapan soto (lagi) di samping sebuah
candi. Ucapan “selamat ulang tahun” untukku di tahun 2017 kembali tersampaikan
langsung dengan bingkisan oleh-olehnya dari Malang.
“Wii ayo
nikah,” ucapnya mengejutkan di siang bolong. Kata-katanya hanya kudengar dengan sahutan singkat dariku:
“Barusan itu, ngejak nikah apa ngejak ke angkringan e?” Kemudian kami
terkekeh. “Lha terus aku harus gimana biar dianggap serius?” tanyanya balik sambil
tersenyum. Aku langsung mengajaknya ke arah Musala untuk menunaikan salat zuhur, mencoba
mengalihkan pembicaraan kami yang harus diluruskan itu.
***
Beberapa
minggu setelahnya, suatu judul film kembali menyatukan kami dalam kursi yang
sampingan. Di gedung bioskop itu, aku kembali datang lebih awal. Kami bertemu
lagi setelah melewati suatu diskusi hari. Dua jam lebih kami di satu ruangan
dalam hening, kecuali suara dialog dan backsound
film yang tengah kami tonton.
Lampu-lampu kembali menyala, pertanda usai
episode pertemuan kami hari ini. Aku kebetulan tengah ada janji lain. Dengan
sedikit buru-buru aku berpamit.
“Wii, aku
minta waktumu sebentar boleh? Aku pingin ngomongin masa depan.” Spontan aku
terhenti dari langkah kaki menjemput motor di parkiran. Aku menatapnya.
“Maksudnya mas?” tanyaku mencoba meyakinkannya sekali lagi. “Kamu mau nggak
nikah sama aku? aku serius.”
Aku terdiam, mataku menatap hilir mudik kendaraan
di Jalan Urip Sumoharjo yang sedikit ramai, sedikit sepi.
Sambil
sedikit membatin: Ya Allah, gini banget
ya berdiri di tengah jalan di parkiran motor?
Aku sedikit
paham, dia memang seseorang yang tak pandai berbosa-basi, begitulah karakternya
:p
Tapiii tapi, tapiiiii....
Aku tersadar
dari lamunanku. “Mmm mas, aku boleh minta waktu melalui Ramadhan? Aku pingin
minta petunjuk di bulan itu.”
“Iya boleh, nggak
usah keburu-buru, tapi pastinya aku butuh jawabanmu." Aku pun mengangguk.
Setelah
Ramadhan tiba, aku berpasrah. PetunjukNya selalu kuikhtiarkan. Pun melalui
pertimbangan Ibu. Katanya restu Ibu adalah restu Tuhan. Masih bergejolak
rasanya. Antara menimbang-nimbang dan rasa khawatir akan sesuatu. Hal itu
berjalan selama beberapa hari lamanya. Selama itu, kami berkomunikasi
membicarakan hal-hal yang menyangkut urusan-urusan ke depannya. Sedikit-banyak
aku mencoba mendalami pandangan dan sikapnya akan sesuatu. Apakah berseberangan
jauh denganku atau seperti apa?
Di suatu
malam dalam sujud sebelum sahur, aku merasakan “yakin” yang tak bisa dinalar.
Aku yakin dan rasanya tenaaaang, nyaman. Jauh dari gelisah dan khawatir seperti
sebelum-sebelumnya. Pertengahan Juni 2017, jawabanku secara sah telah dia
dengar langsung.
Di ruang
tamu, setelah dia bersepeda sejauh 21 km dari rumah, dengan diawali bismillah aku jawab “Iya.” Setelah itu dia
langsung matur sama Bapakku. Semua
berjalan sangat sederhana dan Alhamdulillah lancar sampai detik ini. Mungkin
benar, jika sudah jodohnya selalu ada jalan. Sederhana dirasa, tidak rumit dan tidak juga berbelit-belit.
Kami memang
tidak melewati fase pacaran.
Benar-benar hanya teman yang sama-sama memiliki niat baik untuk memulai tahap
ini. Terima kasih tak terhingga untuk sekenario yang tak pernah bisa kutebak
ini, Tuhan. Semoga selalu dikuatkan sampai akhir hayat, sama-sama bisa
mengantarkan hingga tiada dalam keadaan husnul khotimah.
***
“Kamu kan
yang punya blog dengan bahasa alay bin lebay itu, ngapain malam-malam masih di
sini?” suaranya kembali menghentikan pijatan tanganku pada keyboard laptop.
Sedikit dokumentasi dalam cerita, 17 Desember 2017:
Eh, ada ruangsore.com :)) |