Merapi adalah magnit. Kala pagi, setiap ia gagah tebar pesona
tanpa alang-alang awan, aku selalu menjadi pengagum rahasianya dari jauh.
Apalagi ketika aku masih berumah di kutub selatan Yogyakarta, menyapanya dari
dekat adalah sebuah angan-angan yang terus terpendam.
Jika jarak adalah suatu alasan, mungkin iya. Namun kenyataannya aku pun pernah mencoba menekuk-nekuk bentangan jarak, mendatanginya beberapa waktu pada subuh-subuh.
Jika jarak adalah suatu alasan, mungkin iya. Namun kenyataannya aku pun pernah mencoba menekuk-nekuk bentangan jarak, mendatanginya beberapa waktu pada subuh-subuh.
Membiarkan jarum spedometer motor menari-nari ke arah kanan dengan lampu jarak jauh yang membelah gelap. Menantang dingin berselimut jaket, terus mengarah ke kutub utara Yogyakarta dengan setumpuk pengharapan. Namun harapan itu selalu bertepuk sebelah hati. Merapi masih enggan untuk kutemui. Jendelanya bertutup kelambu putih, tebal, sampai kakinya pun rapat berselimut.
Dua kali bertandang subuh-subuh tetap begitu. Aku tak pernah menyaksikannya dengan jelas. Bahkan ketika dingin itu belum sepenuhnya sembuh, aku harus kembali berbalik membawa bekal penasaran pulang tanpa sambutan basa-basi darinya.
Kini, Tuhan telah mendekatkan jarakku pada Merapi. Hampir
setengah jarak telah dipangkas lebih pendek olehNya. Aku semacam ingin balas
dendam memadamkan penasaran yang tak kunjung berbalas itu.
Ternyata suami mengamini. Entahlah ikhlas atau dengan
segenap rasa terpaksa, dia mengantarku selepas subuh menemui Merapi. Agenda
yang selalu kucanangkan jauh-jauh hari, agar dia tak berdalih mengulur waktu
pertemuanku dengannya.
***
Langit membara pukul lima, pertanda cerahnya pagi. Aku
bersemangat duduk di jok motor belakang sambil mengucap puja-pujian kepada
Tuhan. "Pagi ini, aku akan menyaksikan wajahnya secara dekat kembali". Aku yakin kali ini dia tak lagi sembunyi. Jalan lengang
Kalasan-Cangkringan itu semacam merestui. Sedari tadi, kami tak banyak tertahan
timbunan detik lampu merah.
Sesekali aku mengusap-usap telapak tanganku, kemudian
menenggelamkannya dalam saku rapat-rapat. Semakin menanjak, angin pun terasa
berdesir membawa hawa dingin. Akhirnya, sampailah kami di sebuah tempat parkir luas nan
sepi di Kalitalang. Di sana, hanya terlihat mas-mas berkupluk yang tengah duduk-duduk. Sepertinya, dia tengah menanti
seseorang.
"Mas, boleh lewat sini atau sana?" tanyaku sambil menunjuk arah barat dan timur kepada mas berjaket merah. "Lewat barat dan timur boleh mbak?" Jawabnya menjelaskan. Aku kemudian memberi isyarat kepada suami untuk menuju timur. Dulu, di sana aku pernah melihat sebuah tebing dengan sentuhan kabut yang dramatis. Pagi ini aku ingin menyaksikannya lagi.
"Mas, boleh lewat sini atau sana?" tanyaku sambil menunjuk arah barat dan timur kepada mas berjaket merah. "Lewat barat dan timur boleh mbak?" Jawabnya menjelaskan. Aku kemudian memberi isyarat kepada suami untuk menuju timur. Dulu, di sana aku pernah melihat sebuah tebing dengan sentuhan kabut yang dramatis. Pagi ini aku ingin menyaksikannya lagi.
Tebing berkabut yang ingin kulihat kembali. Pada kunjungan pertama, Merapi masih tak menampakkan diri. |
Kami meniti jalan rerumputan. Heningnya kerja para pencari
rumput duduk menunduk berada di sela rumput-rumput yang meninggi itu. Senyum
mereka menyimpulkan sapaan adalah peredam dingin. Setara dengan tegukan teh
yang masih mengepulkan hangat.
Merapi adalah sebuah terapi agar perasaan kembali rapi. Aku terhenti untuk memandanginya
lebih dalam sambil menghirup oksigen pagi yang tak habis-habis. Pagi ini,
akhirnya Merapi tak lagi bersembunyi. Bunyi garingpung adalah lagu pengiring,
agar perjalananku tak sepi menuju gardu pandang penghabisan di ujung utara.
Kalitalang masih sepi. Ia hanya ramai oleh gesekan ranting acacia decurrens yang
tumbuh subur setelah erupsi merapi 2010 lalu. Bahkan batang pohonnya setelah
mati, disulap oleh warga menjadi bahan baku pembuat kayu arang. Dari pohon
inilah cikal-bakal akan dihasilkan kayu arang dengan kualitas terbaik.
Di sini, tak ada bunga-bunga dan taman ala-ala buatan manusia.
Pengelola hanya mengizinkan tumbuhan vegetasi asli saja yang menghuni.
Lumut-lumut, rumput-rumput, juga pohon berdaun jarum di seberang tebing.
Tak lama aku mengagumi kegagahannya pagi ini melalui sebuah
gardu pandang, rombongan sapaan menyeru dari belakang. Ada Tirta, Noveria dan
adik laki-lakinya, Mbak Mardiya, serta Habib telah tiba. Tak ada janjian
sebelumnya, namun nyatanya pagi itu kami mengenakan busana senada. Merah, pink
menanda ceria. Ya, tentu kami ingin mengabadikan kekompakan ini dengan Merapi
sebagai backgroundnya.
Nove dan Adiknya :) |
Puas mengulang-ulang memencet tombol shutter, seseorang bergabung bersama kami. Ternyata dia adalah seseorang yang duduk di pinggir pelataran parkir Kalitalang tadi. Mas Rofiq namanya. Dia adalah salah satu pengelola Kalitalang sekaligus teman dari Habib. Ah, jadinya kami bebas retribusi masuk dan parkir. Yeayyy, terima kasih mas :)
Penasaran dengan hamparan hutan yang lebih tinggi di sisi barat,
aku dan suami sempat menelusuri jalan sempit bekas jalur downhill. Tiba di
atas, yang terlihat masih tentang hamparan rumput dan rimbunnya pohon acacia
decurrens yang sedikit menghalangi penampakan Merapi yang masih gagah
cerah.
Tak lama berjalan, muncul perasaan takut di tengah sini ketika
tiba-tiba datang dua anjing menggonggong seperti memanggil temannya. Padahal
sungguh, aku tak mengerti bahasa peranjingan. Mereka menatapku tajam dengan
terus menggonggong. Aku merengek kepada suami untuk segera turun bergabung
dengan Tirta dan rombongan di bawah. Eh, beliaunya malah masih penasaran sambil
terus berjalan ke arah utara.
Aku berpamit tanpa kata untuk duluan bergegas turun dengan
sedikit cemas. Ternyata suami mengikuti dari belakang. Sesampainya bawah di panggung-panggung
gardu pandang, mereka masih memberikan perhatian penuh kepada Merapi. Dari
sini terlihat kesibukan lalu-lalang warga yang akan berangkat mencari rumput meniti jalan
menanjak. Sedangkan di ujung utara, Merapi masih setia tanpa awan.
Harmoni Merapi dan kesibukan warganya |
Memang ada beberapa pilihan untuk menyapa Merapi. Dari jauh seperti: lewat penampakannya dari dalam kereta ketika melintasi Jogja, di ujung utara hamparan hijau sawah, atau dalam mimpi. Namun, jika pembaca ingin lebih dekat, bisa mencoba mengunjungi Kaliurang, Kaliadem, Bukit Klangon, atau ke Kalitalang.
Berikut adalah foto gagahnya Merapi via Kaliadem:
Kaliadem sudah semakin ramai. Jip-jip hilir mudik, parkiran penuh, dan pengunjung antusias memenuhi sekitaran bunker ke utara. Rupanya, ada satu hal yang sudah semakin mahal, yaitu ketika bisa puas menatapnya dalam keheningan.
Pernahkah pembaca tiba-tiba menjadi pecinta yang sedang posesif? ya, itu adalah aku pagi itu. Aku memilih untuk memandangi setiap lekukan indah Merapi dari Kalitalang, Balerante, Kemalang, Klaten. Dari sini, mulut Merapi tepat menganga.
Uhuu, pinjam potonya Mas Mawi ya. Tele-ku nggak nyampaii :( |
Akhir-akhir ini, Merapi sedang sibuk. Sesekali batuk, bergemuruh, atau menebar hujan abu. Semoga tak lama, dan semuanya aman sentosa.
Terima kasih kepadanya yang telah membayar lunas akan pengharapanku menemuinya beberapa waktu lalu. Kalitalang, di tempat ini aku menemukan sudut sunyi untuk terus memandangi lekuk Merapi. Aku kumpulkan tatapku sebanyak-banyaknya, kumasukkan ke dalam karung besar, kemudian kutali rapat untuk bekal pada hari-hari yang akan datang. Ada tanya dalam hati, "kapan lagi aku dikasih kesempatan bisa menemuinya segagah itu dalam cerah?".
Terima kasih kepadanya yang telah membayar lunas akan pengharapanku menemuinya beberapa waktu lalu. Kalitalang, di tempat ini aku menemukan sudut sunyi untuk terus memandangi lekuk Merapi. Aku kumpulkan tatapku sebanyak-banyaknya, kumasukkan ke dalam karung besar, kemudian kutali rapat untuk bekal pada hari-hari yang akan datang. Ada tanya dalam hati, "kapan lagi aku dikasih kesempatan bisa menemuinya segagah itu dalam cerah?".
***
Informasi untuk pembaca:
Ekowisata Kalitalang: Ekowisata, Konservasi, dan Mitigasi.
Alamat: Balerante, Kemalang, Klaten
Instagram: @kali_talang
Htm: Rp.8.000,00
Ada camping groundnya jugaa :)