Kalau pada pemutar musik biasanya ada most
played, tahun 2016 ini aku juga punya most
frequently visited place.
Sebenarnya ketika menulis ini, aku mencoba
mengingat-ingat kembali ke mana saja di tahun 2016 aku sering memarkirkan
motorku jika weekend tiba.
Setelah memutar kembali memori ingatanku, Dlingo adalah tempat yang paling
sering kukunjungi. Bahkan dalam bulan
ini, hampir setiap weekend aku ke sana. Entah sengaja menunggui pagi, menunggu
sore, ngadem ketika siang, atau sekadar lewat sambil memandangi.
Begitupun ketika kebetulan salah satu tetanggaku ada yang sebentar lagi
akan melepas masa lajangnya mengajukan permintaan untuk ngajakin nyunrise. Dia
adalah salah satu teman yang sering kuajakin menyunrise ataupun menyunset
selama ini. Lahhh tapi sebentar lagi dia mau nikah, terus??
Baiklah, dengan senang hati kuiyakan permintaannya itu meskipun harus
menunggu sebulan untuk mencari liburnya di Hari Sabtu.
Hari yang dinanti pun tiba, sekitar jam 04.00 WIB, kami sepakat menuju
sekitar Kebun Buah Mangunan untuk menyaksikan aliran kabut yang cukup magis
itu.
Sesampainya di lokasi, mataku terus mengamati setiap sudut yang bagiku
adalah pemandangan baru.
Terakhir ke Kebun Buah Mangunan adalah 2 tahun yang lalu ketika
warung-warung belum berjejer sebanyak ini, belum ada penampakan bangunan-bangunan
baru yang sudah berjejer berdiri.
Begitu berbeda jika dibandingkan dengan saat ini. Gardu pandang sudah
dibangun lebih banyak dengan undakan tangga permanen dilengkapi jembatan yang
menghubungkan ruang barat dan timur.
Lautan manusia di pinggiran lautan kabut Kebun Buah Mangunan |
Sekali lagi, bahwa keramaian (masih) belum menjadi favoritku untuk
menepi. Melihat pengunjung yang sudah memenuhi, membuat pandanganku untuk fokus
memandangi aliran kabut dan kemunculan matahari terhalangi oleh tongsis dan
kepala yang hilir mudik tak henti.
Tak butuh waktu lama, kami memutuskan untuk berpindah pergi.
Jurang Tembelan Kanigoro Mangunan yang merupakan tetangga dekat Kebun
Buah Mangunan adalah tempat yang ingin kami tuju setelah ini.
Kalau boleh jujur, di Bulan Desember 2016 sudah hampir empat kali aku ke
sana.
"Sungguh kaya lagi senang-senangnya ngapelin gebetan baru ya?"
Lah gimana lagi? beberapa teman luar kota selalu meminta untuk diantarkan
ke tempat ini. Setelah menjadi hits di akun-akun media sosial dengan ikon kapal
menjorok di atas jurang, ternyata membuat banyak orang penasaran untuk kenal
lebih dekat dengan tempat ini.
Bagaimana Rutenya?
Kalau ke kanan arah Kebun Buah Mangunan, arahkan kendaraanmu ke kiri, itu sudah terlihat kan? |
Cukup mengarahkan kendaraan berlalu dari Kebun Buah Mangunan ke timur sekitar 400 meter saja.
Jika kita ingin menikmati pagi di Kebun Buah Mangunan ditarik retribusi Rp.5.000,- per kepala, di Jurang Tembelan cukup parkir saja Rp.2.000,- selanjutnya memasukkan uang seikhlasnya di kotak yang sudah disediakan (Desember 2016).
Dari pintu masuk, kabut sudah menggelayut |
Parkir dan jejeran warung |
Lihatlah, sepagi ini pengunjung sudah segini banyaknya. Ada yang sedang
memegangi secangkir kopi, duduk-duduk di atas kursi bambu, atau mengarahkan
pose pasangan untuk mengambil beberapa jepret foto.
Hemmm sesekali kuhirup aroma pop mie yang menggelitik seisi lambung kosong,
sesekali kulihat ekspresi kesal pengunjung yang terlalu lama antre untuk menunggu giliran mengambil foto,
atau kulihat senyum dan tatapan sepasang manusia yang saling mengirim penghangat dinginnya kepada pasangan.
Kamu masih dipotoin oleh selftimer? |
Motoin tetangga |
Pagi itu, aku beruntung.
Kabut tebal menjadi penghuni setiap cekungan luas di antara dua bukit. Sisanya menggenang mengisi celah kelokan Kali Oya.
Samar-samar hamparan hijau menjadi pewarna di antara selimut kabut yang menutup.
Kabut tebal menjadi penghuni setiap cekungan luas di antara dua bukit. Sisanya menggenang mengisi celah kelokan Kali Oya.
Samar-samar hamparan hijau menjadi pewarna di antara selimut kabut yang menutup.
Aku dan lamunanku :) |
Menikmati pagi ketika kabut menyambut ternyata mampu menepis simpanan rindu dari kemarin sore. Semilir angin pagi yang membawa serta kabut mengikuti arah angin mampu menggerakkan jilbabku seiring helaan nafas panjang itu.
***
Di Jurang Tembelan memiliki sekitar empat spot gardu pandang yang
kesemuanya terbuat dari tatanan bambu. Tapi memang, setiap tepi adalah tempat
yang bisa digunakan untuk berdiri menikmati landscape.
Dari keempat gardu pandang, memang yang paling ramai diminati adalah spot
kapal.
Bahkan ketika weekend tiba,
antrean fotonya semacam antrean panjang tunas baru yang menunggu musim
gugurnya. Lamaaa dan sabar.
Papan himbauan di pinggiran kapal untuk pengunjung berfoto secukupnya agar gantian dengan pengunjung lain |
Ketika kabut masih menggenang kaya kenangan |
Ikon kapal yang belum lama ini disediakan oleh pengelola untuk spot
selfie merupakan magnet yang mampu menarik pengunjung berdatangan. Cerita dari
salah satu pengelola yang saat itu duduk-duduk bersamaku, beliau mengatakan
bahwa sesungguhnya pembangunan kapal bambu itu pun belum selesai sepenuhnya.
Namun karena membludaknya pengunjung setiap hari, menyebabkan tertundanya penyelesaian detail kapal agar mirip dengan kapal sungguhan.
Namun karena membludaknya pengunjung setiap hari, menyebabkan tertundanya penyelesaian detail kapal agar mirip dengan kapal sungguhan.
Jurang Tembelan dibuka sekitar bulan Agustus 2016 namun meskipun begitu, untuk fasilitas
seperti warung, toilet, gardu pandang, gazebo, semua sudah siap digunakan untuk
pengunjung.
Penataan ruang parkir yang luas, taman-taman di pintu masuk, dan perapian
pohon agar tak menghalangi pandangan pengunjung membuat tempat ini terlihat
semakin menyamankan.
Siapa yang menyangka bahwa tempat yang dulunya hanya ladang jagung
penduduk menjadi tempat yang begitu diminati untuk menanti pagi dan menunggu
matahari tenggelam di antara dua bukit?
Seindah-indahnya suatu tempat untuk melihat matahari terbit dan
tenggelam, aku tetap ingin menjadi tempatmu terbit tanpa harus tenggelam kemudian
gelap.