Sabtu Pagi Sarapan Curug mungkin bakal jadi suatu agenda yang sedang
kuajukan kepadanya, barang minimal dua atau tiga bulan sekali. Nyatanya yang adem-adem
begitu masih dibutuhkan untuk menyiram bara-bara belum padam yang mungkin tak
sengaja masih tersimpan.
Bulan Januari 2018, hujan masih terus membasahi setiap celah sempit tanah
tak beratap. Mungkin siramannya yang merata, turut menambah aliran deras
curug-curug di luaran sana. Bayanganku terlanjur menerjang dinding-dinding
beton, mendadak terlarut dalam suara gemericik air yang jatuh dengan deras
dalam kubangan kedung.
***
Sabtu pagi tanpa ritual masak sarapan, aku begitu bersemangat menjinjing
tas dan menunggunya di depan pintu. “Kenapa kamu semangat sekali?” tanyanya
setiap kali aku akan menjadi salah seorang tamu curug. Biasanya pertanyaan itu
akan kujawab dengan senyuman bahagia tanpa kata.
Jalan sepi tatkala pagi, tak berlaku di Jalan Wonosari. Truk, Bis
memenuhi sisi kiri jalan dengan merambat pelan dan mengular. Selang-seling
kendaraan roda dua mengisi selanya. Namun kami memilih untuk menyudahi antrean itu dengan mengambil cabang jalan ke arah Gedangsari.
Sepanjang perjalanan itu, aku ceriwis
cerita tak henti. Ini adalah tentang kesukaanku kepada Gedangsari. Secuil damai
di tanah Handayani. Jalannya, apitan
sungainya, juga sawah-sawahnya. Lukisan hidup itu ternyata masih sama seperti
setahun lalu terakhir aku ke sini sendiri.
Misi-misi perjalanan lalu adalah
menaiki bukit-bukit pegunungan yang masih sepi. Kali ini misi berganti. Menelusur
kali hingga menemui deras jatuh dari atas. Curug-curug dalam tampungan kedung,
yang menyimpan misteri betapa dalamnya ia.
***
Seusai perjalanan berliku menempuh tikungan dalam selingan tanjakan di
Gedangsari, aku terus saja mengikuti radar percurugannya
untuk menempuh langkah di pematang sawah. Kendaraan telah aman dititip di rumah
warga. Kata Mas Mawi, curug itu bisa ditempuh dengan cara menyusuri Kali. “Kamu
masih sanggup treking?”
“sanggup” jawabku cepat.
“Mau ke Curug Nglarangan?” tanya bapak-bapak yang sedang membuat pondasi
rumah di pinggir sawah. Aku mengangguk mengisyaratkan permisi. Langkah tak
terhenti meniti pematang. Sepanjang perjalanan itu, aku dibayangi oleh sesuatu.
Pesan seorang warga yang mengungkapkan bahwa debit air di musim penghujan
ini cukup deras, sesungguhnya cukup membuatku was-was. Jika Kali adalah
satu-satunya jalan yang musti ditempuh untuk menjangkau curug, status “aman” tentang
kondisi Kali mutlak dikantongi. Nyatanya, tak sesuram yang ada di bayangan.
Aliran itu masih cukup bersahabat untuk disusuri dengan hati.
Oh ya, sesungguhnya diam-diam aku pernah menyimpan keinginan untuk membuat
basah setengah badanku menyebur di Kali Gedangsari. Lha ini kok kebetulan aku
dapat kesempatan itu.
Aku sempat senyam-senyum nggak jelas. Eh tapi niat itu
tiba-tiba musnah ketika aku ingat hari itu aku sedang ada halangan. Hiks. Kapan-kapan
lagi, aku musti nyebur di sini ya?
Seperti penampakan keadaan Kali di pinggiran jalan-jalan Gedangsari, Kali
ini juga mirip wujudnya. Airnya bening, dasarnya seperti lantai. Kerikil-kerikilnya
batu-batu kecil berwarna-warni dan beraneka bentuk.
Sepanjang pinggir dan bahkan tengah Kali, dihuni batu-batu besar mirip bangku. Ada yang berbentuk kotak, ada juga yang bulat. Pohon dengan batang melengkung dan daun-daun yang rimbun melarik rapi. Kadang diseling sawah, ladang, dan semak-semak.
Sepanjang pinggir dan bahkan tengah Kali, dihuni batu-batu besar mirip bangku. Ada yang berbentuk kotak, ada juga yang bulat. Pohon dengan batang melengkung dan daun-daun yang rimbun melarik rapi. Kadang diseling sawah, ladang, dan semak-semak.
Tanganku, terus diarahkannya mencari jalan. Kadang harus naik di semak-semak, menyibak hamparan putri malu berbunga. Kadang harus meniti sela batu sempit, atau juga menyeberang melawan arus Kali. Sekitar dua puluh menit waktu berangsur pergi. Lelah tak dirasa, sebuah pertanda aku terlanjur menikmati perjalanan ini.
Tiba-tiba merasa semacam sedang berada di suatu tempat yang pernah
menjadi imajinasi, tapi aku lupa kapan tepatnya. “Ini masih di Jogja yaaa”
ucapku sambil sibuk menelusur pemandangan kanan kiri. Nyatanya tak ada manusia
lain selain kami. Sungguh sepi, sampai pemberhentian pertama ini: Air terjun
dengan berundak-undak batu.
“Ini Curug Tangga” katanya
menjelaskan. Bentuknya memang mirip tangga. Untuk naik ya harus menerobos dalam
deras air dari tingkat demi tingkatnya itu. Aku kegirangan lagi. Kukira ini
adalah Curug Nglarangan itu, eh ternyata bukan. Masih ada lagi curug di ujung
sana.
Di atas sini, jalan setelah naik dari Curug Tangga, pemandangannya lebih
menawan. Alam menyediakanku sebuah dipan
dari batu luas untuk tiduran. Spontan langsung kuposisikan mengistirahatkan
diri meluruskan kaki. Pipi menyentuh batu, kaki disapa aliran kali. Daun-daun
selebar koin jatuh karena waktunya. “Aku betah tidur di sini setengah harii”
bisikku ambil mengulur waktu.
Tak lama meneruskan perjalanan, sampailah kepada Curug Nglarangan itu. Entah
apakah namanya Nglarangan atau Larangan, hanya beda penyebutannya saja. Namun yang
pasti, tak ada Larangan untuk jatuh cinta kepada curug ini. Alirannya dua
tingkat. Dari atas, tertampung sejenak kemudian mengalir ke tingkat kedua.
Jatuhnya yang kedua, sempat terhenti dalam genangan diam kedung dengan
kedalaman tak terukur. Kala itu kulihat sekeliling. Curug Nglarangan masih bebas
dari segala sampah dan limbah rumah tangga. Tak ada vandal di manapun, aku berharap begitu seterusnya sampai kapanpun
nanti J
Pada Januari yang sepi, di setengah hari menuju azan zuhur, aku ingin
menghenti waktu untuk memungut sunyi di sini. Tak ada orang, hanya lalu-lalang
pamit pergi aliran jernih Kali. Sepenggal sepi dengan hias bunyi-bunyi harmoni yang melaras.
Aku melirik seseorang yang tengah sibuk memegangi tripodnya. Terima kasih,
pagi ini aku diizinkan lagi jatuh cinta pada selainnya :p