Dua hari berturut-turut,
senja menampilkan lembayungnya. Jingga, semburat ungu bergaris-garis merah
memoles langit.
Memikat memang, meski kenyataannya untuk sekadar menatapnya pun harus terpisah dinding tinggi hotel yang mengepung rumah. Eh iya,
saya lupa jika telah menuliskannya berulangkali. Bahwa sejujurnya saya memang
kurang asupan lukisan langit.
Kala setengah sore, saya
seringkali mengintipnya lewat sepetak langit yang menyisa di belakang rumah
ketika mengambil jemuran. Mata menatap, tangan sigap menarik-narik kain di atas
tali.
Tapi di sini sudutnya
sempit, kurang meluas ke arah barat. Itu pun masih dibumbui hiasan kabel-kabel
dan layang-layang tersangkut tiang listrik.
***
"Mas, pulang kerja
tadi senjanya bagus nggak?"
"Bagus, ada
lembayungnya."
Potret Lembayung Senja kepunyaan Untari yang diambil di depan rumah, Pundong, 13 September 2018 |
Konsisten ya? Dua hari
berturut-turut sore menghadirkan lembayung. Saya jadi berharap langit sudi
memperpanjang kontrak si lembayung menjadi tiga hari.
Sejalan dengan harapan
itu, sore berikutnya tanggal: 15 September 2018, kami mantap menjemput senja di bibir Pantai Glagah. Dalam
benak, saya ingin berkesempatan bisa menatap senja berlembayung megah di
Pantai Glagah.
Riuh ombak, Pemancing, dan matahari hampir terbenam di Pantai Glagah |
Saking semangatnya,
pukul setengah tiga sore kami sudah sampai saja di jalan utama menuju Pantai Glagah. Jam
yang masih menunjuk waktu siang untuk ukuran kepulangan senja.
Maka, untuk sekadar
mampir ke arah pantai-pantai terdekat sebelum sampai ke Pantai Glagah
tidaklah diharamkan. Kami mulai melirik-lirik papan arah hijau di pinggiran
jalan. Dengan didukung oleh kata hati dan pertimbangan yang searah, kami
mengikuti papan petunjuk panah ke Pantai Bugel.
Pantai Bugel
Jalan mulus telah usai |
Ternyata dalam
perjalanannya, tidak ada acara jeda pemberhentian pungutan retribusi. Jalan mulus
diapit kebun palawija warga telah habis tergantikan jalur tanah kerikil
menerbangkan debu-debu berwarna putih. Maklum, terhitung masih kemarau.
Taklama melewati jalan
penuh geronjalan itu, sampailah pada belokan arah Pantai Bugel. Ah, ternyata
pantai ini menyisa ruang sepi.
Ranting pohon cemara udang yang tengah merebah pasrah |
Bibir Pantainya lumayan landai |
Di sana hanya ada
kakek-kakek penunggu parkir yang duduk di depan toilet, sepasang yang tengah
berbincang, dan beberapa batang cemara udang yang nyenyak merebah di bibir
pantai.
Jujur, ini baru kali
pertama saya menjamah pantai di Kabupaten Binangun. Meski hanya kabupaten
tetangga, saya lebih sering singgah ke sini untuk mencari waduk, curug, bukit dan kebun tehnya dibandingkan berkunjung ke pantainya.
Nah benar saja, Pantai
Bugel ini hampir-hampir mirip dengan pantai-pantai yang ada di Bantul. Warna
dan wujud pasirnya, bentuk-bentuk bibir pantainya, juga keberadaan cemara
udangnya itu.
Saya lemah dalam hal menjaga keseimbangan |
Saya agak heran kenapa
Pantai Bugel kala akhir pekan bisa sesepi ini? Kontras sekali dengan
berjubelnya kendaraan yang memenuhi ruang parkir Pantai Indrayanti dan
pantai-pantai deretannya di Jogja lantai dua sana.
Hikmah dari sepi adalah:
kami semacam menjadi pemilik. Ya pura-puranya pemilik Pantai Bugel dalam
beberapa menit. Karena cemara udang yang meranggas dan tumbang, ayunan kosong
yang temalinya menggantung di ranting rapuh, juga perahu nelayan yang teronggok
di antara sampah pantai, bisa-bisa mencipta puisi yang tak diinginkan. Hmm saya
terlalu melankolis menangkap sinyal pemandangan pantai ini.
Di lain sisi, sebenarnya
saya cukup nyaman dengan desiran anginnya juga sapuan ombak yang ramah. Tapi
saya kembali teringat bahwa niat awal ke Pantai Bugel hanyalah singgah. Bukan
untuk sungguh menelan waktu senja dalam langit lembayung.
Pantai Glagah dan beton-beton pemecah ombak |
Tidak butuh waktu lama
untuk menghitung-hitung waktu, kami memutuskan bergegas menuju Pantai Glagah
untuk menutup sore. Jaraknya, lima langkah dari rumah. Tidak sejauh KUA-rumah
lah ya?
Pantai Glagah
Saya menginjakkan kaki
di Pantai Glagah ini juga untuk pertamakalinya. Wajar jika langkah saya begitu
lamban berjalan dari parkiran menuju lorong-lorong tempat warga sekitar
menjajakan dagangannya.
Bukan karena lapar,
lebih tepatnya mata tengah haus pandangan. Setelah sedaritadi sepanjang
jalan dijadikan lokasi swafoto kebun bunga matahari, juga debu yang berterbangan karena proyek Bandara Baru Yogyakarta. Sekarang setelah masuk lokasi pantai, pemandangan
berganti mulai dari kios-kios, dagangan hasil laut, aksesoris, sampai kepada sapa ramah warganya.
Ada bau-bau khas yang
menarik langkah kaki terhenti. Kami membungkus olahan warga yang dijajakan
sepanjang lorong menuju pantai. Yutuk goreng dan wader krispi. Lumayan, buat
tambahan irama kriyuk-kriyuk pengiring tenggelamnya baskara.
Saya yang memerhatikan kedua pemancing itu pun ikut senam jantung |
Berjalan kaki dari
parkiran sampai bibir pantainya ternyata lumayan membakar kalori meski jalannya
datar-datar saja kaya responnya dia. Saya harus
berjalan lagi menyusur jalan menjorok ke pantai, dikepung beton-beton pemecah
ombak.
Saya termangu sebentar.
Bahwa untuk sampai ke bawah sana, mau tidak mau ya harus ikhlas meniti setiap
beton berantakan itu. Tapi demi memangkas pandang lebih dekat dengan horizon
sisi barat, saya siap dengan adegan memanjat atau melompat menyincing rok.
Kini, saya sampai juga
di bawah. Selurus, sejajar dengan singgasana barisan para pemancing yang seolah
khusyu takpeduli darimana arah datangnya ombak.
Takterasa sampai pada
detik-detik matahari mohon izin untuk tenggelam. Saya sepertinya salah menerka. Langit memang takbisa ditebak seperti datangnya jodoh. Apa yang direncanakan,
diharapkan, dibayang-bayangkan seringkali tak sesuai kenyataan. Tuhan lah yang
Maha Perencana.
Apadaya, bulatnya
baskara yang kuharap-harap ternyata ditelan mendung sebelum tenggelam di garis
langit ufuk barat. Warna lembayung tak kunjung menyapa juga. Namun, saya
terus berharap sambil sedikit memohon kepada suami untuk bertahan di tempat itu
sampai waktu sedikit gelap.
Di atas sana, orang-orang
mulai pulang, matahari sudah menghilang terhalang mendung. Selang beberapa
menit, saya menyerah juga. Langit sudah benar-benar gelap. Padahal, kami butuh
terang untuk merangkak naik dari beton-beton pemecah ombak itu.
Bulan sabit melengkungkan senyummu :) |
Bulan sabit tersenyum
menjadi penghibur. Ternyata saya belum berjodoh dengan lembayung senja Pantai
Glagah. Eh, belum bukan berati tidak berjodoh. Karena jodoh harus diusahakan. Lain
waktu, saya akan kembali mengusahakannya. Semoga Tuhan memberi restu.
Sukaa sama foto ini :))) |
Tertanda: saya yang akan bertamu lagi, menagih lembayung yang pernah terbayang.