Merekam Wajah Kemarau di Waduk Sermo
Senin, Oktober 08, 2018
Saya lupa kapan terakhir
kali bangun sebelum subuh untuk bergegas menikmati matahari terbit. Bagi
pembaca yang beberapa kali menunjungi coretan saya, mungkin paham bahwa waktu
pagi dan senja adalah waktu kesukaan saya untuk mengembala imajinasi menjadi narasi.
Sepertinya, kenangan itu
menjadi cerita yang kadang ingin terulang. Tapi jujur saja itu tidaklah mudah.
Bukankah banyak orang yang
lebih memilih menikmati matahari terbenam daripada menantinya ketika terbit?
Mereka enggan jika harus bangun pagi buta, melawan kantuk, malas, dan dingin.
Maka senja lebih dipilih karena waktunya lebih santai, berangkat siang bisa,
sore pun jadi.
Saya pernah begitu menyukai rakit-rakit bambu begini. Foto oleh: Wihikanwijna |
Tapi sekarang keadaannya
lah yang sedikit berubah. Bukannya mau menyalahkan keadaan, hanya saat ini saya
tidak mempunyai jujugan tempat terdekat menanti matahari terbit atau tenggelam
yang "tinggal locat" seperti kala saya tinggal di Bantul.
Kini juga harus ada izin
dari suami. Eh, merayu izinnya ibuk sama suami itu lebih gampang yang mana
ya?
Saya harus lebih banyak
lagi belajar tentang seni merayu suami, agar izin menyambut pagi di Waduk Sermo
ini bisa terulang lain waktu. Di buanyakk tempat lagi.
***
Warga sekitar dan bekal jala |
Dibanding harus mengulur
waktu keberangkatan, kami memang memilih untuk menunaikan salat subuh di
salahsatu masjid terdekat Waduk Sermo. Tidak jauh dari masjid yang letaknya
agak masuk di gang dusun ini, terdapat tempat pemberhentian retribusi Waduk
Sermo ternyata masih tutup.
Jalanan yang mulai
meliuk dan remang-remang itu, sempat membuat kami bingung menempuh arah.
Syukurlah banyak papan petunjuk. Kami bisa melanjutkan mengitari Waduk Sermo
dengan kecepatan sedang.
Memotret Tirta. Foto oleh: @mardiya37 |
Pintu gerbang masih
tertutup. Sepeda motor kami parkir di depan pintu masuk dengan plang menutup.
Ternyata, di sana sudah
banyak sekali tenda-tenda berdiri, kendaraan berjejer, dan kerumunan orang
menyantap sarapan yang usai dimasak. Padahal, jika musim penghujan, tempat ini
tenggelam tidak terlihat. Genangan luas itu hanya menampakkan rakit bambu
bertulis Taman Bambu Air.
Pada musim penghujan
silam, saya pernah memotretnya ketika air waduk begitu penuh. Pengunjung yang
hendak berfoto di panggung bambu itu harus lewat perantara naik perahu.
Taman Bambu Air ketika musim penghujan |
Ketika musim kemarau, masih terlihat rakitnya (tempat swafoto) di tengah danau |
Wajah Waduk Sermo ketika
kemarau ternyata berubah. Banyak sekali sisi waduk yang mengering kemudian
berubah menjadi semacam sabana hijau.
Lumayan, warga sekitar
memanfaatkan sisi waduk yang mengering itu untuk menanam tanaman kalanjana
untuk stok pakan sapi dan kambing di rumah. Toh kalau musim penghujan, lahan
itu akan kembali terisi air.
Pada akhir musim kemarau
ini, spot swafoto yang sebelumnya bak cendawan di musim hujan ini juga banyak
yang gulung tikar. Entah untuk sementara saja, atau selamanya. Lahannya yang
sebagian besar ada di pinggiran terkena dampak kekeringan.
Salahsatu contoh tempat swafoto di sekitaran Waduk Sermo pada musim penghujan. |
Namun mujur betul
pengelola Taman Bambu Air. Di saat tetangganya telah banyak yang ditinggal
pengunjungnya, Ia menawarkan pesona lain ketika musim kemarau tiba.
Genangan waduk menyurut,
ada lekukan daratan yang membentuk miniatur pulau kecil. Di atasnya adalah
rerumputan, tanah gersang, dan tenda-tenda yang menghuni.
Saya berharap, bisa
menyaksikan terbitnya matahari di lekuk pulau kecil yang takselamanya ini.
Langit, bisakah kamu menyingkirkan kelabumu?
Mendung tiba-tiba merenggut
bayangan baskara yang hendak meninggi. Gelap, saya tak lagi bersemangat menekan
tombol shutter kamera. Badan berbalik
ke arah utara, taklagi sesemangat tadi menghadap lama ke arah timur. Di sisi
inilah saya baru sadar, ternyata sebuah dataran kecil yang tengah kami pijak penuh
dengan bongkahan nisan.
Ada rasa bersalah yang menyesak begitu saja. Tadi saya sempat berfoto melewati sela-sela rumput kemerah-merahan itu yang ternyata banyak batu-batu nisan dan bangunan cungkup makam yang sudah ambruk, hanya tersisa beberapa saja yang berdiri setengah utuh. Saya kira itu gazebo.
Pantas saja orang-orang yang tengah asyik berkemah itu memilih mendirikan tenda agak menjaga jarak dari kumpulan nisan ini. Mungkin dulunya tempat ini adalah tempat pemakaman sebelum diairi penuh air untuk waduk.
Saya sejenak terdiam, semoga beliau-beliau yang telah lama meninggalkan raganya terkubur di tempat ini mendapatkan tempat terbaik di sisiNya. Mohon maaf atas ketidaktahuan saya selama di tempat ini. Tentu setelah sadar, saya lebih berhati-hati dalam melangkah, semoga tidak mengusik peristirahatan mereka.
Ada tanya yang terjawab oleh akun @watespahpoh di twitter saya. Admin menjelaskan: sebelum ratusan kepala keluarga bedol desa ke Riau dan Bengkulu tahun 1996, makam telah dipindah. Puing-puing nisan dan sisa makam masih menyisa, karena Waduk Sermo itu dibangun dengan ledakan dinamit.
***
Kemarin teman-teman saya
sempat kecelik datang ke sini. Alasannya: tempat ini sedang ditutup karena dijadikan
salahsatu lokasi syuting “Bumi Manusia”. Setelah nanti filmnya diputar, mungkin tempat ini akan
bertambah ramai lagi. Atau setelah film tersebut diputar, tempat ini akan
kembali tenggelam karena musim penghujan.
Semakin siang,
pengunjung semakin berdatangan. Kami memilih berpamit untuk mengakhiri
penantian pagi di “dataran kecil sementara” ini.
***
Selama perjalanan pulang
yang cukup terik, saya teringat akan sebuah hutan lindung di sekitaran waduk. Dalam
bayangan saya, pasti banyak daun cokelat yang tengah gugur karena kemarau.
Suami menurut untuk meminggirkan sepeda motor di pinggir jalan. Kami naik dengan tergopoh meniti akar-akar dan daun cokelat yang menjadi selimut tanah. Lumayan licin, tapi akhirnya sampai juga di tempat ini.
Suami menurut untuk meminggirkan sepeda motor di pinggir jalan. Kami naik dengan tergopoh meniti akar-akar dan daun cokelat yang menjadi selimut tanah. Lumayan licin, tapi akhirnya sampai juga di tempat ini.
Menyurut hanya sementara, bergugur akan lagi bertunas
Dari musim lalu, aku adalah ceritamu. Musim ini aku tak lagi
menjadi tempat rasamu.
Karena seperti keyakinanku, menurut himpit yang menuntun turun.
Genggam selalu pelajaran, karena dia teman.
Haru dengan baru, kenang yang terkenang.
-Dalam dekap relung kemarau-
Terima kasih kepada
suami yang masih sudi bangun sebelum subuh, menjadi nakhoda tertanda cinta.
35 comments
Seminggu kemarin diajak gowes ke Waduk Sermo, tapi apa daya lagi ngumpulin receh buat wedangan :-(
BalasHapusPadahal apik yen pas kecokelatan njuk pit-pitan neng kono
Aku pakai motor aja muterin Sermo kerasa juauhh nggak sampai-sampai lho mas :(
HapusNggak bayangin kalau kudu nyepeda. Mas Sitam kan tapi udah nyepeda sampai Jembatan Jokowi Magelang :p
wah baru tau kalo kemarau ternyata ada view dan feel yang berbeda dengan musim biasanya ya.
BalasHapussemoga walau sudah tayang di film nya nanti, kealamian waduk sermo tetap terjaga dan lebih banyak dikunjungi wisatawan bertanggung jawab.
btw aku juga gumun kok bisa kompakan gini sih kita sama sama bahas kemarau dan posting di hari yang sama pula. hahaha
Pas liat postinganmu, aku juga kaget mbak... Waaahhh bisa samaan ala kemarau dan sabana (punyaku sabana kw)
HapusSermo kala kemarau ini aku baru pertamakalinya liat penampakannya yang begini. Syahdu sekali kalau pagi, atau mungkin sore. Aihhh kalian akhirnya hari ini udah sampai sana :))
Kalimat penutupnya sungguh uwuwuwuw sekali 😗
BalasHapusKalo aku, yg sekarang udh terbiasa bangun pagi sebenernya ga terlalu masalah ketika mau nyunrise. Lha wong malah alarm yg tak bangunin hahahaha.
Mencintai sore bukan berarti membenci pagi. Aku malah lebih menikmati proses terbitnya matahari hingga suasana sesaat setelah terbit, daripada memburu sunset. Rasanya damai, adem sekaligus menghangatkan :)))
Kalimat penutupnya adalah kalimat sogokan untuk merayu biar besok-besok dianter lagi :p
HapusMas Jo mbok kapan-kapan nyunrise gitu, wong alarm aja dibangunin. Haha. Kan bisa tu ngajakin temen di Kulon Progo siapa gitu buat nyunrise bareng pas di Jogja.
Kalau aku, jujur sih nggak terlalu suka pas puanas ngentang-ngentangnya hahaha. Aku suka pusing kalau panas e menyengat dan kurang minum *auto kliyengan*
Ternyata ada beberapa bagian permukiman juga ya yang sekarang jadi Waduk Sermo... Baru tahu saia..
BalasHapusSeperti Waduk Gajah Mungkur, yang mana peninggalan permukiman masa lalunya lebih banyak, nggak cuman makam...
Udah di draft postingan spesial tentang peninggalan permukiman masa lalu di Waduk Gajah Mungkur..
Salah satunya udah diposting di Menggapai Angkasa yang peninggalan jalur KA...
Yeayy, kapan terbit mas?
HapusAku juga bertanya-tanya. Apa dulu wilayah pemakaman itu langsung dialiri air waduk aja ya? atau memang dipindah-pindahin dulu sama keluarga terus itu hanya sisa-sisa nisannya.
InsyaAllah besok Jumat..
HapusSepertinya enggak sempet dipindahin..
Ya semuanya langsung ditenggelamkan...
This waduk got me owow!! Soooo stunning!
BalasHapusSaya membayangkan betapa relaks nya main di sini kalau lagi musim hujan, trus rerumputannya menghijau. Atau ketika sedang musim kemarau dan rumputnya menguning kecokelatan!
Anyway kak, itu kalau diperhatikan ada bagian yang kayak di Pantai Kelingking nya Nusa Penida, kayak kepalanya dinosaurus!
Terima kasih mbak :))
HapusWah itu kalau musim penghujan nggak ada lagi daratannya mbak, malah tenggelam dan takterlihat lagi :)
Iya, aku dulu nggak percaya ada semacam dataran pulau kecil itu di sermo. Ternyata beneran ada di Sermo.
Yakin, habis ini rame ini tempat. Mbak Dwi udah posting di instagram, terus Mas Aji dan Mbak Aqied udah bersiap ke sini.
BalasHapusNggak lama lagi, direpost oleh akun wisata wisata jogja. Terus rame. Untungnya, bentar lagi udah masuk musim penghujan sih. Hahaha.
Eh lho itu makam?
Mereka udah pada ke sini hari ini :DD
HapusIya, aku malah berharap segera penghujan, takut kalau tempat ini nggak siap ramai dan jadi banyak sampah. Huhuhuhu.
Nggak yo, ga ada yang repost :p
Iya mas, banyak nisan-nisannya jal. Pas pulang sempet deg-degan, haduuhh udah nginjek-nginjek bekas makam :((
Lihat rumput-rumput yang mbentuk macam sabana gitu, jadi inget Kedung Ombo yang pernah saya datangi setahun silam. Tapi sayang, pas main ke Kedung Ombo, dulu masih musim kemarau, jadi rumputnya cokelat. Nggak ijo royo-royo kaya di Sermo ini.
BalasHapusKok horor, mbak. Ternyata sebagian lahan dari Waduk Sermo itu bekas pemakaman? Tapi misal digusur, kok ya, itu puing-puing batu nisan nggak sekalian dipindahkan, ya?
Aku malah sukaa misal macam sabananya berwarna hijau menjelang cokelat :p asyik gitu di mata :p
HapusIya, aku juga nggak nyangka sebelumnya. Lha kami datang pas tempat itu bener-bener masih gelap, remang-remang, kemudian terang. Pas terang itu baru sadar.
Terus juga, kalau nisan-nisan itu tenggelam (seumur Waduk Sermo pas penghujan) kenapa nggak berlumut atau gimana gitu. Malah masih kinclong-kinclong aja e meskipun ya sebagian besar sudah nggak utuh lagi.
Foto yang captionnya memotret tirta, batunya medeni, kayak pergelangan tangan raksasa. Btw, foto2nya apik-apik.
BalasHapusIya kaya pergelangan tangan, kaya pulau manaa gitu :p
HapusTerima kasih mas :))
wah...luar biasa indahnya.
BalasHapus@ Thank you for sharing
Sama-sama, terima kasih banyak :)
HapusIndah sekali ya, Mbak... duh foto-foto yang membuat saya ingin banget ke Sermo. Sebab, dulu ketika KKN di tahun '90-an akhir, saya pernah ke Sermo, kebetulan desa tempat KKN deket situ.
BalasHapusTerima kasih pak :))
HapusWah seru ya KKN nya deket Waduk Sermo, bisa nyunrise sewaktu-waktu :p
Wah! Terakhir ke sini pas SD.
BalasHapusUdah lama banget yo mas?
HapusAgendakan ke sini lagi pas kemarau, biar dapet wajah berbeda Waduk Sermo dari biasanya :))
ada cerita miris di balik beberapa waduk. dulu di situ adalah sebuah desa. atas nama "pemerataan" dan "manfaat umum", penduduk dicabut dari kampung halamannya, dengan program bernama transmigrasi.
BalasHapusdesa-desa tempat kenanang mereka, diledakkan, digali, diurug, diubah jadi kolam air dengan dalih atas nama kepentingan bersama..
Betapa dari dibangunnya sebuah waduk, perlu pengorbanan dari banyak orang. Termasuk menggenangkan segenap kenangan masa kecilnya di situ, meninggalkan makam leluhurnya, dan rela berpindah ke suatu pulau lain yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya :(
HapusTapi lagi-lagi, demi lancarnya irigasi dan sawah-sawah biar tetap subur.
Waw, kereeeen, gila Sermo pas musim kering malah bisa sekece ini ya. Tapi ini efek fotografernya yang yahud juga sih mesti hihihihi. Saya berkali-kali ke Sermo nggak pernah dapat foto yang bagus. Terakhir kesana pas hamil bRe terus ala-ala maternity photoshot gitu deh hihihi. Pas itu musim surut, tapi surut yang malah jelek bukan yang kece kayak gini.
BalasHapusNgomong-ngomong soal sejarah Sermo ini juga agak nganu ya. Sempat baca-baca kemarin. Apalagi yang soal makam itu juga. Eh fotomu kan ya mbak yang muncul di twitter watespahpoh.
Aku juga pas sampai di sini gumun kok mbak. Haha. Beberapakali ke Sermo kok ya nggak pernah ketemu pemandangan kaya begini :D *girang bukan kepalang* haha
HapusIya, aku cuma dapet jepret-jepret dari para pemoto handals wkwk lumayan kan bisa buat bagus-bagusin postingan *menambal tulisan yang ala kadarnya :))
Kemarin dikasih pencerahan sama @watespahpoh gara-gara aku promosi postingan di lapaknya. ahaha
Mana dong poto maternitynya mbakk :p
Duh cakep banget sihhhh.
BalasHapusTapi emang bener sih, kalo saya cenderung lebih suka liat sunset ketimbang sunrise karena susah bangun pagi, hahahah :lol:
Pernah sekali udah getol banget bangun pagi buat liat sunrise, lah malah hujan :)))
Makasiih :))
HapusBarisan penanti sunset iniii
Iya, karena memang cuaca nggak bisa ditebak. Sunset pun begitu, cuma ya nggak senyesel dibela-belain berangkat Subuh kalau zonk :P
Kamu ke sini bareng mbak Aqied juga kan, mbak? Menarik, sama-sama ke Waduk Sermo, tapi hasil jepretannya punya nuansa yang berbeda. Waduk Sermo dalam jepretanmu terkesan sejuk, segar, teduh.
BalasHapusAku selalu suka bangun sebelum subuh untuk memulai traveling (baca: naik pesawat). Berjalan memanggul backpack melalui gang yang lengang, menerabas udara malam melalui jalan raya, terkantuk-kantuk di ruang tunggu. Buatku, momen-momen seperti itu selalu berkesan :)
Malah kebetulan beda hari mas. Aku, kemudian Mbak Aqied, Mas Aji dll.
HapusMakanya langitnya emang beda. Pas aku ke sana agak-agak mendung gitu.
Iya, pagi itu masih luar biasa leluasa untuk menghirup udara sebebas-bebasnya (kala belum tercemar di suatu tempat tertentu).
Aku juga lebih suka pergi pas pagi-pagi... daripada berangkat siang pas panas-panasnya.
sermo memang selalu menyenangkan. kadang kala sehabis kuliah, sorenya mampir kesini.
BalasHapusWaaa kan jauh lho mas.
HapusAku malah belum pernah kalau sore-sore. Pernah e pagi sama siang...
Kebayang lamanya dan sulitnya naklukin medan jalan untuk tiba di Waduk Sermo ... , berangkat subuh pula.
BalasHapusItu keren banget perjuangan kak Dwi 👍
Aku pernah mencoba melintasi Waduk Sermo untuk ke arah ke Pulesari, rasanya jauh banget muternya.
Sengaja ngga lewat Pasar Clereng.
Penasaran saja kayak gimana rutenya, ternyata ajib juga wwwkkkwwk ..
Wah kece badai ya saat air surut, tapi rada merinding disko lihat munculnya bongkahan nisan yang tersisa.
Iya mas, aku juga nggak tau sih jarak pastinya kalau muterin waduk gitu berapa km ya? emang jauuuh gitu.
HapusBetuul, sengaja berangkat dari sebelum subuh biar nggak ketinggalan sunrise, eh ternyataaa mendung.
Nisannya itu semacam surprise mas :p