Rumah Pocong, Sebuah Perjumpaan yang Tak Disengaja

Selasa, Juni 13, 2017



Aku bersama Bani dan Windri hanya sebentar saja menambah sesak Pasar Legi Kotagede. Kedua temanku kompak mengirimkan isyarat untuk secepatnya berlalu dari keramaian itu. Aku mengikutinya, berjalan dengan agak mengejar ke arah selatan. Selanjutnya dengan ditemani matahari yang meninggi sendirian, langkah kaki serentak mengukur jalanan lain yang lebih lengang.

Kali itu tanpa berbekal jajanan pasar yang sempat menggoda. Rasanya sudah cukup terhibur dengan suara “kapyuk-kapyuk” dari botol air mineral yang menyisakan rongga udara. Suaranya mengiringi hentakan langkah kaki menuju sudut-sudut lain Kotagede yang belum pernah kujamah. Masjid Agung Mataram Kotagede yang berdiri gagah kulewati tanpa berlama-lama. Hanya sekilas saja kemudian keluar dari gerbang pintunya yang terbuka di sisi timur.

Aku dan kedua temanku mencoba untuk menelusup memasuki gang sempit dengan penjagaan benteng tinggi di kompleks makam. Tak habis mata memandang. Rumah-rumah dengan arsitektur Jawa khas Kotagede berjejer rapat sepaket dengan aktifitas penghuninya. Kebanyakan dari rumah yang telah masuk sebagai cagar budaya tersebut berjejer berhimpitan menjempit gang-gang sempit.

Sungguh pas jika menyusuri setiap sudut Kotagede dengan berjalan kaki. Dengan lebar jalan kurang lebih dua meter, aku memosisikan diri agar berjalan berbaris bukan berjejer agar berbagi jalan dengan warga sekitar yang lewat. Di tengah perjalanan, jika sesekali berpapasan dengan anak-anak yang asyik mengendarai sepeda kecilnya, kucoba untuk merapatkan tubuh di tepi dinding-dinding rumah maupun pagar. Interaksi tersebut menciptakan saling balas senyuman yang meluncur tenang.

Di setiap gang sempit, biasanya dilengkapi dengan kaca cembung seperti ini
Rumah-rumahnya yang unik itu...
Pemandangan yang seragam akan rumah joglo dan limasan telah berganti sejak memasuki Gang Soka. Ruas jalan menjadi agak sedikit lebar dengan penampakan dinding raksasa nan tinggi di depan mata. Sebuah bangunan kokoh menjulang dengan banyak jendela. Dindingnya memiliki ukir-ukiran sedangkan lantainya memiliki tatanan tegel putih dengan motif daun-daun.

Rumah Kalang menyapaku agak berbeda dari rumah-rumah di sepanjang gang sempit tadi. Jujur, penampakan rumah milik Rudi Pesik ini menguras perhatianku. Sepanjang dinding-dinding rumah ini pun semacam punya rekaman cerita tentang kejayaan si empunya pada masanya. Memang Gang Soka memiliki atmosfer berbeda. Pemukiman rumah tradisional khas Jawa telah berdampingan dengan gagahnya bangunan corak khas arsitektur Eropa.

Penampakan Rumah Pesik

Kuteruskan berjalan ke arah timur sambil menunggu kedua temanku sibuk memainkan kameranya. Mataku menjelajah kemudian terhenti oleh sebuah bangunan yang berhasil menyita perhatianku. Di balik pagar bercat putih itu, rasa penasaranku menyeruak tiba-tiba. Aku hanya bisa mengintip dari lubang kecil. Terlihat keberadaan bangunan tua khas Eropa yang berbeda dari deretan rumah-rumah sebelumnya. Pagarnya terkunci. Aku hanya menatap keberadaan pohon yang menyisakan ranting-ranting gersang menjulang di depan rumah.

Kulanjutkan langkah menuju pinggir jalan sebelum gapura. Rasanya ini waktu yang tepat untuk duduk-duduk berlindung dari sengatan matahari yang tak lagi bisa diajak kompromi. Glegg glegg glegg tiga tegukan penyembuh dahaga telah menyeka. Pemandangan lalu-lalang warga menyelingi. Sesekali ibu-ibu membonceng anaknya berlalu sambil tersenyum, juga riuh-ramai suara rombongan anak kecil yang berjalan kaki membawa layang-layang lalu lalang menantang panas. 

Tak lama kemudian, seorang bapak-bapak menghampiriku dengan keramahannya. Beliau membawa beberapa buah kunci di tangannya. Pak Nono, beliau menyebut namanya ketika memperkenalkan diri. “Mbak, pingin ke sana?” kata beliau sambil menunjuk rumah bercat putih yang masih menyisakan rasa penasaran itu.

Mengintip dari lubang pagar

Dinding putihnya dengan banyak jendela

Aku menatap kedua temanku seraya meminta persetujuan. Keduanya mengangguk. “Eh tapi bapak itu semacam guide terus nanti harus bayar nggak ya?” kata salah satu temanku sambil berbisik. Ah sepertinya sih bukan, kalau toh iya yasudah nanti gimana baiknya. Aku masih ingin menyembuhkan penasaran untuk memasuki rumah tua itu.

***

Pelan-pelan gerbang pagar telah dibuka. Pak Nono memulai langkah masuk, aku dan kedua temanku mengikuti. Beliau mulai mempersilakanku duduk di teras rumah. Windri duduk serta di sampingku. Ada beberapa kursi juga meja yang berhias cangkir dan teko yang menghuni teras itu. Dindingnya Nampak retak sana-sini namun tetap kokoh menyangga atap. Beberapa patung dengan wajah manusia juga bentuk-bentuk hewan terpajang di teras rumah. Pak Nono yang membuat sendiri hias-hias topeng itu. Rumah ini seperti menghadirkan energi yang tiba-tiba. Entah bagaimana cara menceritakan, tapi ada hawa singup mengisi begitu saja terasa.

Bani masih sibuk jalan-jalan mengamati sisi perkarangan rumah. Sebelum memulai cerita, Pak Nono mengajukan satu pertanyaan ke arahku:

“mbak sudah tahu kan tentang rumah ini?”
aku hanya menjawab dengan gelengan kepala.
“Serius belum tahu?” tanyanya lagi kemudian.
“Belum…” sambil menggeleng untuk kali kedua.
“Masa belum tahu rumah ini? ini rumah terangker nomor dua se-Kotagede setelah Rumah Kantil.” Ucapnya. Aku terkejut. Pantas saja beberapa saat setelah duduk di teras ini kok rasa-rasanya mataku sungguh berat, terutama dekat pelipis. Semenjak itu, aku mulai menyibukkan diri berzikir sambil tetap memperhatikan penjelasan beliau.

Aku dan Windri yang berpura-pura cool tapi gagal

Rumah ini dibangun sejak tahun 1800n dan telah kosong selama kurang lebih selama 40 tahun. “Jadi bisa dibayangkan jika rumah kosong selama 40 tahun itu seperti apa penghuninya” kata Pak Nono sambil tersenyum. Selama rumah ini kosong, perkarangan penuh diisi ilalang. Dari ahli waris memang tidak ada yang bersedia menghuni. Mereka hanya memberikan kepercayaan kepada Pak Nono untuk merawat rumah ini sehingga kini penampakannya sudah agak bersih meskipun masih menyisakan hawa aneh. Nah kata beliau, rumah ini juga sempat sangat tenar karena kemunculannya berkali-kali dalam acara uji nyali yang pernah ditayangkan oleh salah satu stasiun televisi swasta.

Sesekali Bani jalan-jalan berkeliling di sekitar perkarangan rumah. Dari luar, terdengar seruan suara: “kalian kok berani-beraninya masuk ke situ” kata seorang anak muda dengan nada agak berteriak. Namun setelah melihat keberadaan Pak Nono, pemuda itu langsung meneruskan langkah berlalu. Ya, Pak Nono mengungkapkan, bahwa memang ada beberapa kasus orang-orang yang penasaran menyelinap di rumah ini tanpa izin dan berakhir dengan kasus kesurupan. Tak salah memang jika warga sekitar sempat mengingatkan seperti itu.

Penampakan Rumah Pocong Kotagede dari depan

Pak Nono melanjutkan cerita. Ia menunjuk salah satu ruang yang pintunya langsung berhadapan dengan teras. “Ruang itu, satu-satunya ruang yang selalu terkunci. Tidak sembarangan orang bisa membuka karena yang menghuni ruang itu seorang perempuan.” Sahutnya. Percaya tidak percaya. Mungkin aku bukan salah satu orang penggemar cerita-cerita berbau mistis. Jadi memang benar sebelum ini aku tak pernah sekalipun mendengar kabar cerita mengenai keangkeran rumah yang saat ini terasnya sedang kududuki. Namun sesaat setelah Pak Nono menyebutkan kata Pocong Sumi, aku terkejut. Sepertinya aku ingat pernah mendengar ketenaran cerita itu. “Apakah rumahnya di sini pak?” tanyaku spontan. “Lha ya di sini ini” jawab beliau sambil mengangguk-angguk. “Oh tapi tidak hanya itu mbak, segala macam jenis makhluk astral ada di sini. Itu dia mulai gabung duduk di sampingmu. Nggak usah takut, dia tidak mengganggu.” Ungkapnya santai. Aku seperti langsung membatasi gerak sambil sok-sok an tersenyum. Sejujurnya aku hanya takut menyenggol dia yang baru duduk bergabung di sampingku.

Hawa panas luar dalam seperti semakin menyerang. Aku memandangi Windri. Dari ekspresinya, ia mengisyaratkan rasa tidak nyaman. Aku pun merasa begitu meskipun sejujurnya masih ingin mengobrol lama dengan Pak Nono. Rasanya juga masih ingin menantang nyali untuk mengiyakan ajakan beliau untuk memasuki ruang-ruang rumah yang masih terkunci.

Hmm tetapi jika diterus-teruskan juga rasanya tidak adil mengorbankan temanku lebih lama untuk menahan gelisahnya. Aku, Windri dan Bani mulai berpamit menyalami Pak Nono sambil mengucapkan terima kasih. Di akhir perjumpaan itu, beliau masih sempat melempar sebuah tawaran. “Jika di antara kalian ada yang mau ngekost di sini, tidak usah membayar alias gratis saja. Atau ada temannya yang berminat?” tanyanya lagi. Kami nyengir saja sambil menggeleng mantap. Beberapa jam saja di sini aku sudah pusing pak, batinku tak terdengar. Atau mungkin di antara pembaca ada yang berminat kost di sini sekalian bertamasya bersama makhluk astral?

Terima Kasih Sudah Berkunjung

44 comments

  1. Kurang seru, pocongnya nggak nampak waktu dipotret :-)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yaelah mas pocongnya enggak senarsis kamuuu ~ hobi pencitraan masak setahun sekali :p

      Hapus
  2. Mbak Dwi... kamu uji nyali siang-siang. Maleman donk trus live di ig. Pasti aku nonton T.T

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haaa aku dikomen Kendall? :o suatu kehormatan :p
      Haaa dipikire aku mas aji yang hobi live? wkwk
      Siang aja hawanya ga enak banget lha apa lagi malam. Coba cari di youtube: "rumah pocong kotagede" atau "rumah pocong banguntapan" nah nanti rumah itu muncul terus ada orang ksrupan di situ :(

      Hapus
  3. Tempatnya unik, terlihat bangungn tua banget, tapi keren untuk mengabadikan foto teh. Jadi pengen narsisi disitu juga. Untung pocongnya gak ikut narsis ya, Teh..hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waduh jangan sampai ada penampakan pocong segala mas, mengharapnya penampakan jodoh saja :)

      Iya, bangunannya masih terjaga dan unik-unik. Instagramable wkwk

      Hapus
    2. Hehe..aamiin.. Kalau ada penampakan jodoh memang seperti apa ya bentuknya.. :D

      Cocok buat ngeksis itu mah..hehe

      Hapus
    3. Haa ngeksis kok di tempat kaya begitu mas :')

      Hapus
  4. Sik! Itu di meja ada cangkir teh buat suguhan kalian bertiga atau buat "penghuni"-nya? :D

    Siap-siap latihan nyali, seumpama besok klo ke sana lagi diajak masuk ke dalamnya. :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Cangkir, tekonya sungguhan mas, tapiii isinya udara saja wong cuma buat properti wkkw.

      Coba ke sana malam ajaa biar makin greget terus ajak mbah gundul juga coba... Nanti ditunggu rekaman penampakannya yaa :))

      Hapus
  5. weh, aku mbacanya pas malem-malem ini mbak. agak merinding-merinding hehe.
    gila, kosong 40 tahun? mau ditawarin buat kost-kost'an? hayo mending mbayar 300-500ewu tapi entuk kamar kost sing jelas-jelas apik+enek kancane XD
    Lhaini gratis, tapi temennya makhluk astral semua ckckck

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wkwk kali aja ada yang minat kost di situ mas, yang butuh sensasi beda dalam hidup wkwk
      Bayarnya cukup bantuin bersih2 rumah aja hehe

      Iyaa kosong 40 tahun penghuninya sudah beranak pinak mungkin yaa

      Hapus
  6. Mbak Dwi, apa yang kamu lakukan itu juhudddd. Masa masuk ke rumah tua di KotaGede gak colek-colek daku sih. Huhuhuhu. Besok kudu anter daku ke sana. Pookonya kudu bawa daku masuk ke rumah Pocong ituuu. #mewekdipojokan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ayok agendakan mas :)) jangan nangis ya nanti ndak aku ga diajak numpak getek :(

      Kapanpun kamu oke, kabarin ajaa siap2 pusing di sana

      Hapus
  7. Sek sek, perasaan aku wes pernah baca tulisan ini. Bukannya udh kamu posting sebelumnya mbak dwi?

    BalasHapus
  8. Mosok sih. Tenan lho, perasaan aku udh pernah baca ini. Persis ceritamu duduk di rumah itu lalu diceritani bapake itu ttg pocong.
    Mosok deja vu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mungkin mas.... Orang ini lg kuposting jugaa. Atau jangan-jangan pernah baca twitterku? Biar ga lupa sering kusimpan dalam cerita di twitter mas

      Hapus
  9. Mbak aku baca cerita ini ikutan merinding ik. tapi sekaligus penasaran pengen kesana hehe. Kayaknya perlu nih jalan-jalan kesana lagi tapi rame-rame :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jangan ajak bRe tapi ya mbak, huhu kasian hawanya ga enakk banget soalnya. Hayuukk kebetulan pada penasaran sama rumah ini mbak :)
      tapiii yaitu izin dulu sama penjaganya agar tak terjadi hal-hal yang tak diinginkan :)

      Hapus
  10. Aku uda baca pelan2, berharap ada kejutan gambar sugus di bawah... *laaah?

    hahaha anti klimaks ah, ulangi lagi malam hari biar seru total. xixixi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wahaha iya anti klimaks ya mas, lha gimanaa? Habisnya kan emang ga ada penampakan siang2 wkwk
      Ayo dibaleni tapi kamu yg jadi tumba yaak :p

      Hapus
    2. sama mas aji. coba malem sambil bawa lilin, bawa cemilan. terus tau tau
      .
      .
      .
      AING MACAAAANNNN!!!! WARRWWW

      Hapus
    3. Wkwk jadi Mas Aji yang malah nakutin setannya ya mas? :'D

      Hapus
  11. 1800 an itu, tapi masih kokoh gitu rumahnya.
    Aku jadi penasaran tapi takut ah kalau ada pocong itu mbak.
    Padahal di sini yo ada rumah macam itu yang di mbabrik, tapi kayanya nggak seserem itu deh.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyes rin, aku malah penasaran sama rumah mbabrikmu kaya apa sih? Pernah liat sekilas di postinganmu dulu...
      Lhaiya emang kalau rumah sudah tua, apalagi kosong berpuluh2 tahun ya kayanya emang ada penghuni lain yg bersemayam :p

      Hapus
  12. Balasan
    1. Wkwk iya mas, lumayan angker kaya di cerita itu :)

      Hapus
  13. This is it, the moment of truth! #penasaran #bacasampaibawah

    Lah ternyata gak jadi eksplor seluruh rumahnya ya :/
    Tapi sungguh bikin penasaran, next time ke Jogja sepertinya kuharus menyempatkan diri menjelajah kesini deh.. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wuaaa mas maaf kena zonk yaa? 😂

      Ya sudah terlanjur terserang pusing dan kepala berat. Dari pada jika dipaksakan terjadi sesuatu yang ga diinginkan :)

      eh Mas Gio kalau ke sini jangan lupa permisi dulu, lebih baik jika dianter juru kuncinya :))

      Hapus
  14. waduch beruntung nich Mbak bisa berkunjung ke rumah pocong...apalagi sempat berfhoto2 segala.

    sepertinya lebih enak berkunjung saat malam dech... Mbak,:) tuan rumahnya biasanya sedang ada.... :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wkwk pas siang hari juga tuan rumahnya ada mas, tapi alhamdulillah nggak menampakkan diri :)

      ee tapi memang kalau berkunjung ke tempat manapun itu tetap diutamakan sopan, santunnya agar tidak terjadi hal-hal yang g diinginkan

      Hapus
  15. Salah satu ciri khas masyarakat yang masih guyub kalau papasan dengan orang saling lempar senyum meski tak kenal ya..

    Waduh, sayang saya sudah tidak sekolah lagi, itu tawaran nge-kost gratis menarik juga.. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Senyum adalah ibadah hehehe
      Wah seriusan berani ngekost di situ?

      Hapus
  16. Parah dah mbolangnya...
    Kok bisa nemu tempat ginian..? hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mas, kebetulann kok ya bisa ketemu dan dibonusi boleh masuk juga :p

      Hapus
  17. Yah sayang sekali ga ada jump scare nya xD
    /tapi ga pingin kok, serius Dx

    Yang horror2 tuh ga abgus untuk kesehatan jantung. Ya kan kak? ._. heheh

    Wah, aku pernah lihat di youtube tuh. Kalau ada perubahan suhu yang rasanya aneh, berarti ya emang benar ada begitu2annya.....

    Boleh deh nge kost di sana asal ngajak satu RW biar rame ._.

    BalasHapus
    Balasan
    1. wkwk Iyaa sayangnya ini cerita sebenernya ga ada klimaksnya, aliass cuma dibohongin di judul ya? *maafkan
      Cuma cerita suatu pengalaman kesasar di sini dalam suatu jalan-jalan. hehehe

      Serius minat? haaa kalau minat ngekos di sini harus rajin bersih-bersih dan berdoa ya :p

      Hapus
  18. Seperti flashback kemasa lalu melihat bangunan seperti ini, kalau saya jangankan kost disuruh tidur siang disana pasti saya tolak ngeri sekali yah he he

    BalasHapus
    Balasan
    1. Di Kotagede banyak mas, bangunan-bangunan begini. Hehe aku kalau misal ke sananya malam juga mikir-mikir banget

      Hapus
  19. Wah, ternyata gitu ya.. btw, pak nono lucu juga ya.. di tempat kaya gitu masih seneng bercanda.. ��

    BalasHapus