Mengawali suatu pagi yang syahdu di Hari Minggu, aku
mulai mengemas barang-barangku ke dalam tas. Kulihat Mbak Rizka sedang sibuk
merapikan dandanannya, sedangkan Aya tengah menunaikan kewajiban terberatnya:
mandi pagi.
Di tengah kesibukan memastikan tidak ada barang yang
tertingal, aku sedang bimbang memilih di antara dua. *tsah.
Aku minta pendapatnya Mbak Rizka sambil menyodorkan dua warna jilbab yang berbeda.
“Mbak, aku mending pakai jilbab warna ini apa ini?.”
“Pink ini aja lho yang kontras, kan mau ke kebun teh?.”
Aku pun mengangguk.
Pagi itu, aku sudah membayangkan langit biru berpadu
hamparan hijau kebun teh yang tak berbatas.
Pagi itu, aku membayangkan rok motif bunga-bungaku menari tipis mengikuti desiran angin yang membawa. Mata ini rasa-rasanya sudah tak sabar menemukan waktu terbaiknya untuk disejukkan.
Pagi itu, aku membayangkan rok motif bunga-bungaku menari tipis mengikuti desiran angin yang membawa. Mata ini rasa-rasanya sudah tak sabar menemukan waktu terbaiknya untuk disejukkan.
***
Perbukitan menoreh Kulon Progo, berada kurang lebih 800 mdpl. Tempat
ideal untuk tanaman teh bertumbuh subur. Terang saja bahwa tanaman teh memang
tumbuh baik di dataran tinggi pada suhu 13-25°C.
Baru tadi pagi menghirup nafas segar di lereng kaki Gunung
Merapi siang ini sudah mau berpindah menuju perbukitan di ujung kulon Kota
Yogyakarta.
Khusus perjalanan menuju Kabupaten Kulon Progo ini, kami tak dipisahkan dalam dua mobil yang berbeda. Ya, siang itu kami bersembilan menumpangi kendaraan yang sama. Ruang harus dibagi sedemikian agar masing-masing dari kami tetap kebagian tempat duduk meskipun harus berhimpitan.
Khusus perjalanan menuju Kabupaten Kulon Progo ini, kami tak dipisahkan dalam dua mobil yang berbeda. Ya, siang itu kami bersembilan menumpangi kendaraan yang sama. Ruang harus dibagi sedemikian agar masing-masing dari kami tetap kebagian tempat duduk meskipun harus berhimpitan.
Hmmm padahal medan perjalanan untuk menujunya tidaklah
datar-datar saja seperti sikapmu. Terbukti beberapa kali kami dibuat menahan
tumpuan ketika kendaraan berkelok secara tiba-tiba.
Tak terasa, perjalanan itu mengantarkan kendaraan
yang kami tumpangi sampai juga di parkiran Kebun Teh Nglinggo.
Kutatap undakan-undakan kebun teh yang penuh hijau. Jika ke sini pagi hari sebelum matahari mulai tinggi, pasti disuguhi pemandangan ibu-ibu yang sedang asyik memetik pucuk-pucuk daun teh. Ah syahdunyaaa.
Undakan Kebun Teh Nglinggo. Dokumentasi penulis ketika ke sini beberapa tahun yang lalu. |
Kutatap undakan-undakan kebun teh yang penuh hijau. Jika ke sini pagi hari sebelum matahari mulai tinggi, pasti disuguhi pemandangan ibu-ibu yang sedang asyik memetik pucuk-pucuk daun teh. Ah syahdunyaaa.
Kulirik tasku yang sengaja kupindah di samping.
Sesungguhnya aku sudah siap membawa payung untuk properti foto nanti. Payung
polos berwarna pink magenta yang
senada dengan rok dan jilbab yang kukenakan saat itu. Kulihat Mbak Rizka pun
sedang menyiapkan topinya yang sejak dua hari yang lalu tersimpan rapi dalam
tasnya.
Belum juga kaki melangkah menjauh, ternyata kendaraan
kami diarahkan untuk kembali turun. Belum waktunya untuk parkir di sini. Nah
akhirnya ya harus memutar balik untuk turun pas di belokan yang banyak
jip-jipnya tadi.
Tak lama berselang, pemandangan jip dengan roda-roda
yang masih berbalut lumpur mengangkut beberapa penumpangnya pergi berlalu.
Bang Milki dan Yanuar menyambut kami dengan salam
ramahnya kemudian mempersilakan kami untuk memasuki Rimbono Homestay.
Dalam bingkai: Nasirullah Sitam saat menikmati duduk santai di Rimbono Homestay |
Wah!
Sejak pertama kali menatap, langsung adem rasanya
kaya sedang memandangi mata kamu yang mengandung embun-embun sejuk. Ya, tak
perlu lama. Hijaunya pohon pakis seperti payung yang tumbuh di tengah
rerumputan hijau. Rumah-rumah yang
didominasi kayu dan bambu berjejer rapat semacam melambai-lambaikan tangannya
untuk disinggahi. Suasananya itu lho! tenang, adem, menghanyutkan.
Rimbono Homestay memiliki 10 kamar yang berkonsep ekomaterial dengan range harga sekitar 150-250k per malam. Jika ingin menginap, pastikan bahwa gebetan dalam keadaan stabil emosinya sehingga dia tak terus menanyakan: "kamu lagi di mana?" "kok ga ada kabar?."
Rimbono Homestay memiliki 10 kamar yang berkonsep ekomaterial dengan range harga sekitar 150-250k per malam. Jika ingin menginap, pastikan bahwa gebetan dalam keadaan stabil emosinya sehingga dia tak terus menanyakan: "kamu lagi di mana?" "kok ga ada kabar?."
Lha apalagi sampai bilang: “yaudah sana senang-senang
sendiri, terserah kamu! aku gapapa.”
Duh jangan ya? di sini memang lumayan sulit ditemukan sinyal, sedangkan Rimbono Homestay pun tidak menyediakan wifi.
Duh jangan ya? di sini memang lumayan sulit ditemukan sinyal, sedangkan Rimbono Homestay pun tidak menyediakan wifi.
Ya memang sengaja begitu, keadaan dikondisikan
demikian agar seseorang yang ingin menepi mencari ketenangan bisa sejenak jauh
dari gadget, jauh dari bersliwerannya
foto dia sama “yang baru” di timeline, jauh dari telponan juragan yang minta
kerjaannya cepet-cepet dikelarin, nah tepat, kamu butuh tempat ini.
***
Langit tak secerah pagi tadi. Gerombol awan hitam
dalam proses menyatu di sisi barat. Kami diminta bersiap untuk memulai hari menyusuri
setiap keindahan Nglinggo. Tak sabar. Aku ingin imajinasiku sejak pagi terwujud
tak lama lagi.
“Kira-kira mau ke mana nih? hmm pastinya tak
jauh-jauh dari teh. Apa kita hendak diajari cara memetik teh? atau bagaimana mengolah
teh?.” Batinku menebak.
Perjalanan kali ini akan semakin greget ditemani dua jip
telah terparkir menunggu di depan homestay. Yeayy, seruu banget nih! hari
pertama kemarin sudah diawali dengan jip, hari terakhir dipungkasi jip lagi.
“Jadi kita mau kemana?”
“Hutan pinus.” Jawab mas Melki.
Aku melongo sesaat, kuulangi sekali lagi menanyakan:
“apa mas, hutan pinus?”
“Iya, hutan pinus. Kulon Progo juga punya hutan pinus. Memangnya dikira
cuma Mangunan Dlingo saja yang punya?” jawab Mas Melki sambil tersenyum tipis.
Baru kali ini aku mendengar keberadaan
Hutan Pinus di Kulon Progo. Selama ini keberadaannya minim publikasi. Luasnya
kebun teh, gelapnya lorong gua, bermacam nama air terjun, perbukitan lengkap
bersama gardu pandang, atau Waduk Sermo lah yang selama ini lebih dulu tenar.
Rasa penasaran yang masih mengambang mengawang-awang akan
keberadaan hutan pinus itu langsung dibawa jip berlalu. Melaju menyusuri jalan
aspal dengan laju sedang. Jip lain telah lebih dulu di depan dengan rombongan lima
orang penumpang yang kesemuanya laki-laki.
Jip kami diisi oleh Aya yang jejeran dengan mas sopir
di depan, sedangkan di bak belakang ada satu pangeran jombang dan dua perempuan
yang sedang sibuk merapikan perasaan.
Sesungguhnya pandangan kami sedang fokus ke depan mengamati dengan saksama
ke mana kah rute menuju hutan pinus misterius itu. Tapi, kemudian terkaget ketika
jip kami tiba-tiba berbelok ke kiri begitu saja tanpa aba-aba.
Dalam gamang aku masih sempat melihat sekitar tiga atap rumah warga yang penampakannya belumlah sempurna. Beberapa meter kemudian, jip kami harus menemui turunan menukik dari bebatuan yang kemiringannya hampir 90°. Badanku spontan memeluk kepala jip. Demi apa teriakan itu bercampur aduk dengan njempaliknya ekspektasi kami tentang hijaunya kebun teh. Tak sempat mengambil nafas terlalu panjang, jip menerobos jalanan sempit dengan gunukan lumpur dan belaian kejam ranting-ranting sebelah samping. Teriakan tak pernah hening. Bersahut-sahutan mengisi sunyi.
Dalam gamang aku masih sempat melihat sekitar tiga atap rumah warga yang penampakannya belumlah sempurna. Beberapa meter kemudian, jip kami harus menemui turunan menukik dari bebatuan yang kemiringannya hampir 90°. Badanku spontan memeluk kepala jip. Demi apa teriakan itu bercampur aduk dengan njempaliknya ekspektasi kami tentang hijaunya kebun teh. Tak sempat mengambil nafas terlalu panjang, jip menerobos jalanan sempit dengan gunukan lumpur dan belaian kejam ranting-ranting sebelah samping. Teriakan tak pernah hening. Bersahut-sahutan mengisi sunyi.
Berhenti sejenak. Dokumentasi oleh: Insanwisata. |
“Srettt srettt…” aku pejamkan mataku rapat. Cukup pipiku yang merah karena belaian anti mainstream dedaunan menyambar mata dan pipi kiri. Roda menerjang apapun, menggoyang-goyangkan posisi kami. Terlempar ke kanan, menimpa Mbak Rizka, kembali berdiri lagi. Jip kemudian berhenti.
Aku kembali membuka mata. Melihat apa yang sedang
terjadi di depan. Rombongan jip yang berisi kawan lima laki-laki sedang menunaikan
gilirannya menyebrangi sungai kecil.
Mereka berteriak. Kami yang berada di belakangnya pun ikut terhanyut.
Tiba lah gilirannya jip kami. Sungai kecil itu
dilibas langsung menanjak menaiki tebing sungai yang masih bertanah lumpur.
Menanjak lagi sampai tubuh kami kembali tak seimbang mendongek ke belakang. Sekilas terlihat jejeran batang hutan pinus misterius itu dari pinggiran. Dan kami hanya
lewat tanpa dalam memandangi.
Setelah berlumur lumpur, kini tibalah waktunya jip
mandi.
Haaaa sungai sesempit itu. Cukup empat roda jip yang
bisa menerobos mengikuti alirannya. Hulu sungai itu tak menyisikan sisi ruang
lagi sebelah kanan dan kirinya.
Lagi! Sabetan ranting menyiksa pipi kiri.
Berkali-kali aku mengaduh. Di sisi lain aku pun
dibuat terpingkal oleh tingkah pangeran jombang yang teriakannya bukan main
kerasnya.
“Aduuuhh perutku, aduh kandunganku tiga bulan
keguguran.”
Paham kan, bebatuannya seperti apa wujudnya?. Dokumentasi oleh: Insanwisata. |
Badanku masih diguncang ke segala sisi, ditimpa dari
kanan. Rasanya tak ada waktu sedikitpun untuk meluruskan posisi tubuh. Huhhhh
aku sengaja menahan tawa. Pipi dan mataku perih. Perutku kram rasanya, air mata
campur aduk tak terbendung. Suara: “aduuuh” bersahutan di antara kami.
Mas supir semakin menjadi. Yah, berbanding lurus
dengan ekstrimnya medan terakhir yang harus kami tempuh. Batu-batu besar
layaknya meja menghadang. Mau tak mau jip berjalan miring. Tak karuan rasanya.
Terkoyak sudah perasaan yang sedari pagi telah dirapikan. Kami saling menimpa
lagi. Kali ini menjepit Mas Alid di sisi kanan.
Mbak Rizka menahan jongkok. Dia berbisik ke arahku:
“sepertinyaaa celanaku robek.” Aku mendongak ke samping. Kuperiksa. “Iyaaa
mbak, iyaa robek.” Jawabku ikut cemas. Tangannya langsung menangkup ke
belakang merapikan. Hanya satu pegangan tangan terus bertahan. Jip terus melaju menerobos
tanpa peduli.
Huhhh rasanya ya! Dokumentasi oleh: Insanwisata. |
Sahhh sudah. Sebuah lukisan indah imajinasiku sedari
pagi jadi njempalik siang ini!
***
Nglinggo memang surganya offroad. Karakter tracknya
dengan tanah merah dan bebatuan kali memang menjadi sarana ampuh untuk melepas
teriakan yang selama ini tertahan, atau sekadar meluapkan perasaan yang belum menemukan waktunya untuk tersampaikan.
Track yang baru kami jajal ternyata barulah track
se-upil dengan rute super pendek. Pembaca mau mencoba dengan track panjang yang
durasinya satu hingga lima jam?. Finish Suroloyo? ada. Finishnya Borobudur pun
ada.
Haaa tak bisa terlupa begitu saja setiap teriakan
yang pernah menggema bercampur cemas buah hasil offroad jip Nglinggo ini. Terbukti
jika offroad kali ini tak hanya sanggup mengoyak celana, tapi
seiisi perasaan pun ikut terkoyak berantakan!
Informasi
lebih lanjut untuk pembaca:
Nama Desa Wisata:
Desa Wisata Nglinggo
Alamat: JL. Dekso - Plono, Kelurahan Pagerhajo,
Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta. CP: 0822262283
Sosial Media:
Instagram: homestayrimbono
Informasi paket offroad jip, satu jip bisa diisi 3 atau 4 orang:
Offroad jip dengan track pendek: 350k
Offroad jip dengan track sedang: 450k
Offroad jip dengan track panjang: 600k
Offroad dan paket camping: 1.5 jt
Offroad jip dengan track pendek: 350k
Offroad jip dengan track sedang: 450k
Offroad jip dengan track panjang: 600k
Offroad dan paket camping: 1.5 jt
#EksplorDeswitaJogja
Cerita ini merupakan
oleh-oleh dari keseruan rangkaian acara "Explore Desa Wisata
Jogja" yang diselenggarakan oleh Forum Komunikasi Desa Wisata Provinsi
DIY, pada tanggal: 24 s.d 26 Februari 2017.