Pencarian Panjang Sebuah Luweng Baru yang Berujung Pertemuan

Sabtu, April 01, 2017





Hari ketika kakiku merdeka mengikuti arahan nurani mengomando adalah saat weekend. Sebagian besar cerita yang tertuang dalam blog ini kejadiannya pun ketika weekend. Terus apakah aku akan bertemu jodohku pas weekend juga? *eh malah.

Pada akhir bulan lalu aku berniat mencari sebuah tempat yang aku simpan screenshotnya sejak setahun yang lalu. Gambarnya adalah sebuah cekungan tanah yang luas berisi air kemudian dikelilingi pepohonan di sepanjang pinggirannya.

"Bukan danau, bukan juga sebuah telaga.“

Aku pernah mencoba mencari tempat itu bersama seorang teman asli putra daerah. Akan tetapi yang ada malah kesasar sampai Baron Technopark yang sungguh arahnya bertolak belakang.

Nama tempat itu dan di mana keberadaannya masih misterius. Setahuku, alamatnya hanya berada di sekitar Lembah Ngingrong Gunungkidul. Sampai kini, tak ada petunjuk baru yang bisa menuntunku untuk dapat menjangkau tempat itu.

Rasa penasaran yang disimpan terlalu lama sungguh tak ber-efek baik.

Acap kali kilas bayangan tentang tempat itu mengetok lamunanku sehabis makan, kadang-kadang juga muncul ketika aku sedang konsentrasi mengendarai motor. Keadaan itu nyatanya lama-lama semakin menyiksa.

Menghantui.
Semacam bayang-bayang senyummu terakhir kali pas kita ketemu kemarin.

“Baiklah, aku akan segera menemukannya meskipun sendirian.”

Aku kendarai sepeda motor seorang diri menerobos kemacetan jalan wonosari. Berbekal tekad, kuingat baik-baik rute jalan menuju Lembah Ngingrong itu. Butuh waktu sekitar dua jam untuk menuju tempat yang dicari.

Gas motorku kurem pelan mendekati seorang ibu-ibu yang sedang menunggui dagangan belalang goreng di tepi jalan menuju Pantai Siung. Atas petunjuk yang aku tunjukkan kepada beliau, akhirnnya aku menemukan jalan terang untuk menemukan apa yang kucari.

“Lembah Ngingrong ke timur, gapura pertama masuk ketemu telaga. Nanti di pojokan ada siskamling ke kanan lurus, nanti nanya sama rumah paling ujung saja mbak.”

Petunjuk dari Ibu itu mengantarkanku kepada rumah paling ujung timur di dusun ini. Aku memperhatikan sekeliling. Sepi.

Tak lama kemudian aku melihat perempuan yang mengenakan jarit muncul di balik kandang ternak. Langkah mantap kutempuh tergesa mendekati beliau.

“Mbah, maaf apakah benar di daerah sini terdapat sebuah luweng?”

Beliau diam memperhatikanku sekian detik. Aku masih menantikan jawabannya dengan memandangi wajahnya.

“Ke sini sama siapa mbak?.” Tanya beliau sambil memastikan jumlah kendaraan di belakangku.

“Sendirian mbah.”

“Ada perlu apa ke sana? kalau sendirian mending sana pulang saja.” Jawab beliau dengan nada agak tinggi.

Sebenarnya aku agak kaget mendengar jawaban itu.

Ah, yang benar saja. Nafasku belum berirama normal. Kaosku juga masih basah karena mondar-mandir mencari kejelasan rute dengan terik matahari yang sempurna, eh ditambah mendengar jawaban itu kok rasanya semakin lemes ya?.

“Masa kamu belum tau mbak, kan sudah ada 3 mahasiswa yang meninggal di luweng itu?.”

“Jleb.” Aku menahan nafas sesaat. Saat itu, hasratku untuk menemukannya tidak lagi seperti semula. Sudah ciut rasanya.

Tatapanku tak berbinar seperti sebelumnya. Wajahku tertunduk kemudian menatap motor yang menunggu di ujung jalan sana.

Di tengah kepasrahanku itu, tiba-tiba terdengar suara dari arah timur.

“Saya antar mbak, mesakke wes adoh-adoh (saya antar mbak, kasihan sudah jauh-jauh).”

Aku mencari sumber suara itu. Seorang bapak-bapak bersama anak putrinya mendekat ke arahku. Dia adalah putra dan cucu dari simbah yang kuajak berbincang ini.

Aku tersenyum sambil meyakinkannya sekali lagi:

“Bapak mau mengantarku pak? apakah sungguh hari ini bapak sedang tidak mempunyai urusan lain?”.

Terimakasih sangat kepada mereka, yang mengantarku, menuruti kekonyolanku, dan menjambatani pertemuanku.

Beliau hanya tersenyum sambil memberikan isyarat kepadaku untuk berjalan mengikutinya. Kami membelah kebuh singkong, hutan jati, berbelok menanjaki bukit. Entah berapa kilo kami berjalan. Keringat membanjiri. Jilbab yang membungkus pipi kanan dan kiri pun sudah basah payah.

Sampailah kami kepada cekungan panjang berbentuk sungai kecil yang sudah tak ada airnya.
Batu-batuannya besar mengisi, kerikilnya lumayan tajam jika tertekan telapak kaki. Ilalang dan rerumputan merambat menghias di pinggiran. Tempat ini seperti tak banyak dijamah orang.

Perempuan kecil yang mengikuti langkah bapaknya itu pun ter-engah sepertiku. Hingga langkah kami terhenti di pinggiran cekungan dalam, gelap, menyerupai sumur.

Begini penampakan di Gua Seropan II, di Dusun Serpeng, Desa Pacarejo, Semanu, Gunungkidul.

Di lorong vertikal gelap nan sempit itu, siapa menyangka pernah disebut sebagai goa maut empat tahun yag lalu.

Di Gunungkidul, tak sulit menemukan gua vertikal maupun horizontal.

Dari mulai yang sudah memiliki nama dan dikenal maupun yang belum diketahui banyak orang. Penyebutan luweng, adalah istilah untuk sumur yang sangat dalam yang terdapat di dalam gua. Secara geomorfologis, Gunungkidul merupakan daerah karst yang sering dikenal sebagai wilayah yang kering dan tandus. Hmmm siapa yang menyangka bahwa di bawah tanahnya terdapat aliran-aliran sungai yang sambung menyambung.

Beliau menceritakan ketika turun di Gua Seropan II, kita akan melihat aliran sungai itu. Stalaktit dan stalagmitnya masih aktif. “Indah.” Ujarnya. Aku sedikitpun tak meragukannya.

***

Aku masih tidak menyangka bisa berdiri di bibir gua yang telah merenggut nyawa tiga mahasiswa empat tahun yang lalu. Saat itu, aku hanya bisa melihat berita tentang kecelakaan itu melalui televisi dan membaca berita dari surat kabar.

Bapak yang mengantarku saat itu sempat mengkisahkan singkat peristiwa nahas itu. Ketika beberapa rombongan kendaraan yang berisi mahasiswa pecinta alam berduyun ke Goa Seropan II. Sayangnya tanpa izin, tanpa sepengetahuan warga. Cuaca yang dikira cerah pun tak bisa diprediksi. Hujan turun dengan derasnya, membawa air dan batu-batuan sungai jatuh ke dalam goa. Mereka yang sedang bergantung pada seutas tali tak bisa menghindari. Batuan itu terlanjur menghujani mereka yang sedang tergantung. Kejadiannya berlangsung sangat cepat dan tiba-tiba. Tiga nyawa tak bisa diselamatkan.

Hari itu aku berdiri di bibir guanya. Memandangi sekeliling, atap gua, kemudian menunduk memperhatikan lorong gelap vertikal yang tak terjangkau mata. Sejenak mengirim doa.

Mau turun ke dalam mbak? pakai tali itu.” Ucap bapak yang mengantarku saat itu.
Tidak pak, saya belum menikah.” Jawabku tersenyum. Bapak itu langsung tertawa terbahak.

Sebuah ukiran untuk mengenang ~

Mataku kembali tertuju di sisi kanan goa, terdapat satu nama yang diukir oleh yang terkasih.

Itu pacarnya mbak yang membuat. Dia sering ke sini mengirim bunga dan doa.

Seseorang memang datang dan pergi dengan caranya.

***

Sesungguhnya, luweng yang aku cari bukanlah ini. Bukan Gua Seropan II. Penampakannya saja berbeda. Luweng yang aku cari kan menyerupai danau, bukan seperti sumur. Sejujurnya aku masih penasaran, tetapi bingung cara mengungkapkan kepada bapak itu, bahwa luweng yang aku maksud belumlah ketemu.

Kami berjalan pulang dengan rute yang berbeda ketika kami datang tadi. Sepanjang jalan, kami membicarakan banyak hal. Dari perkerjaan hingga kesibukan keseharian. Dari minta berhenti sejenak untuk ngelap keringat sampai menuntaskan sisa-sisa tetes air mineral di dalam botol.

Tak lama seiring matahari mulai tinggi dan aku mulai melambatkan langkah. Aku melihatnya. Cekungan besar nan luas di tengah perbukitan.

Ini pak, iniii” teriakku sambil mengejutkan gadis kecil yang berjalan disampingku.

 
Luweng Baru di lembah serpeng, Seropan,Gunungkidul

Nah ini dia penampakan luweng yang menghatui rasa penasaranku selama ini. Keberadaannya masih sama, dijaga rapat beberapa batang pohon di pinggiran.

Bapak yang mengantarku saat itu menjelaskan, bahwa luweng itu belumlah memiliki nama. Penduduk sekitar menyebutnya dengan “Luweng Baru” atau dalam bahasa jawa “Luweng Anyar”.

Meskipun penampakannya tak seperti dalam foto screenshot itu:

Dahulu ketika cekungan luweng masih berisi air hijau tenang seperti ini. Screenshot, source: Hery Fosil

Ya, genangan tenang air hijau yang kulihat layaknya danau tak kujumpai siang itu tapi bagiku ini adalah sebuah pelajaran tentang kebesaran Tuhan. 

"Tentang pertemuan akan pencarian."

***

Itu airnya ke mana pak?” tanyaku masih mengawang.

Keberadaan lubang-lubang di cekungan luweng yang menyebabkan luweng tak lagi digenangi air

Nah sejak ada lubang-lubang itu luweng ini sudah tak diisi air lagi mbak.” Jawab beliau sambil menunjuk lubang-lubang yang mengisi tengah luweng. 

Oh, ternyata lubang-lubang itu telah menguras airnya masuk ke perut bumi sehingga ruang cekungnya tak lagi berpengisi. Lha terus hatimu sudah ada yang ngisi belum?

Beliau bercerita bahwa dahulu, diameter luweng tak seluas ini. Lama-lama jadi semakin melebar tambah jembar. Bahkan longsoran tanahnya memakan bibir luweng yang tadinya adalah jalan setapak warga. 

Karakter tanahnya yang mudah gumpal tanpa gandengan akar-akar pohon, tak mustahil beberapa tahun lagi ke sini mungkin diameternya akan semakin luas lagi.

Seekor sapi penduduk pun pernah terperosok sampai tengah luweng. Kamu pun tak ingin bukan semakin terjebak dalam kode-kode manisnya?

Aku mundur, menjaga jarak kaki dengan bibir luweng. Mencoba menatap sekeliling luweng ini memutar, di segala lekuknya tanpa terlewatkan. Matahari yang semakin tinggi tak membuat mataku berpaling kepada yang lain. Tetap menatapnya dengan mata menyipit menahan silau.

Terkadang aku merasa aneh, dengan bekal rasa penasaran aku bisa melangkah sejauh ini sendirian.

Ketika ditanyai oleh penduduk: "ada keperluan apa? penelitian? survey untuk pecinta alam?." Aku menggeleng. Tak punya alasan, hanya dikomando hati untuk menemui.

Ya, aku menikmati pertemuan dengannya. Sebuah pertemuan yang harus diselingi perjumpaan dengan luweng lain. Sebuah pertemuan dari pencarian panjang yang berujung di terik siang.


Terima Kasih Sudah Berkunjung

33 comments

  1. Bapaknya kuatir sampean nyemplung bunuh diri mbak :D
    Luweng itu semacam koyok galian C toh mbak? Di Jombang galian c juga bagus airnya ijo gitu dan sudah makan banyak korban dari mulai anak-anak sampai dewasa.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ahahaha iya lha kan sudah memakan korban. Mereka mungkin khawatir padahal ekspresiku ga ada muka-muka frustasi sama sekali *eh

      Kalau menurut KBBI: sumur yang sangat dalam yang terdapat di dalam gua atau pegunungan. Dan bukan galian buatan manusia.
      Nah berarti kalau yang di Jombang galian bekas tambang mungkin ya? itu beda lagi :). Tapi kalau airnya ijo begitu kan lumayan menyejukkan mata... hmmm

      Hapus
  2. luweng itu bukannya yg buat masak itu ya :/
    semacam pawon

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wkwk iya juga Mas Jo, di tempatku juga tungku panjang dari batu bata dilapisi tanah liat itu namanya luweng.

      Ini semacam penyebutan khusus aja kali ya

      Hapus
  3. Lewat jalan wonosari opo ora kadohan mbak hehe, ngertio ngajak aku tak kandani nggone. Sedih lihat memoriam tempat kekasih yang meninggal, gua di GK memang susah ditebak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya ya mas, harus e lewat jembatan getas lurus trs pasar playen ke timur lurusss lebih deket. Kenapa ga kepikiran akuu. Huhu.


      Iya susah ditebak apalagi misal tanpa izin dan pertimbangan yg lebih ngerti. Permisi, atau minta pertimbangan warga juga.
      Kaya ngimpi deh bisa sampai sana.

      Hapus
  4. Mbahas luweng di Gunungkidul malah ingetnya sama luweng yang jadi tempat eksekusi tersangka PKI zaman dulu. :(

    Kalau tentang air telaga yang hilang itu, kayaknya dulu di Gunungkidul juga ada telaga yang bernasib serupa. Airnya mendadak hilang gitu. Beritanya di sini:
    http://news.okezone.com/read/2012/01/10/340/554823/ini-penyebab-air-telaga-di-gunungkidul-susut-dalam-semalam

    Katanya sih karena karakteristik tanah di Gunungkidul itu kan tanah kapur, nggak bisa menyimpan air, rawan ambles pula.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mas kalau untuk eksekusi pki kan lubang buaya ya namanya?

      Lah aku kalau bahas luweng malah inget e luweng sampang yang belum kelakon ke sana. Huhu.

      Kasian kalau telaga tiba-tiba kering, gimana warganya kalau lagi butuh air. Huhu.
      Iya ternyata karakteristik tanahnya begitu... Air sebanyak itu di luweng bisa lenyap.

      Hapus
  5. Hatiku sudah terisi kok, Mbak. Wkwk salah komen.
    Mbak, ini itu dekat rumah temenku ngga ya. Aku ada temen rumahnya wonosari kayanya pernah cerita luweng-luweng gini.Tapi Wonosari kan luas ya. Yaiyalah wkwk.


    Mbak setrong deh keren, lewat Jalan Wonosari, nanjak 😍😍

    BalasHapus
    Balasan
    1. Rini sekali-kali lewat jalan nanjak-nanjak biar afdol wkkw
      Waaa ceritanya gimana tentang luwengnya?

      Ini tempat sudah berhasil membuatku penasaran sekian lamaaa
      Dan alhamdulillah akhirnya ketemu jugaa

      Hapus
    2. Hooh mbak ini kudumen aku mulai ajar sik nanjak-nanjak. Oke baiklah! Jadi kapan 😊😊

      Ya begitu mbak, rini agak lupa tapi pokoknya alami bukan bekas galian. Tapi nggatau kalau soal airnya itu. Menghilangkan nyawa juga.😱

      Hm, alhamdulillah ya, penasaran terbayar sudah dengan perjuangan luar biasa😍

      Hapus
    3. Oh bisa dimulai dengan dilatih boncengin aku ke girimulyo kan lumayan tuh nanjaknya? wkkw

      Iya e itu padahal kalau ada air ijonya syahdu banget kan dipandang mata? Ademm.

      Semoga rasa penasaranku tentang "itu" juga segera terjawab yaaa

      Aamiin

      Hapus
    4. Boleh-boleh Mbak. Akhir pekan ini gitu? Wapri ya :))

      Hooh ya Mbak. Ijo beneran bukan editan heheheh.

      Malah jadi ikutan penasaran juga sama lubang-lubangnya itu sih.
      Amin amin.

      Hapus
  6. kui bukan bekas tambang mbak? tapi masih "hidup" ya?
    bisa makin membesar

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bukan mas kalau kata bapaknya sih alami... jadi dinamakan luweng. Karena munculnya baru, dinamakan "luweng anyar"
      Iyaa membesar terus diameternya :o huhu

      Hapus
  7. Emang kamu hebat kalau disuruh blusukan mbak. Besok-besok kalau blusukan ajak teman banyak, biar dikira famtrip.

    Itu waktu sama putra daerah nggak nyasar ke hati? Kasian loh kalo cuma nyasar di destinasi aja *eh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau ngajak temen ki takutnya dia berekspektasi macem-macem terus ternyata zonk kan kasian mas. Ahaha. Yang kudatangi juga belum jelas begitu tempatnya...

      Putra daerahnya payah wkwk jadi ga pake kesasar di hatinya. Mas sitam kapan ngadain famtrip ke karjaw? Pantai yang berdermaga :))) huhuhuhu

      Hapus
  8. Wah..
    sayang sekali ya mbak, padahal cekunganya bagus pas airnya ijo kebiruan :-)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mas, setelah ada lubang-lubang di tengah luweng airnya sudah terkuras habis entah...

      Hapus
  9. "Oh, ternyata lubang-lubang itu telah menguras airnya masuk ke perut bumi sehingga ruang cekungnya tak lagi berpengisi. Lha terus hatimu sudah ada yang ngisi belum?"
    *gubrag


    memang daerah gunung kidul seperti itu ya mbak, daerah berkapur yang membuat air tidak betah berada di permukaanya. Makanya bila musim hujan datang sering bermunculan danau musiman, hilang ya bila tersedot oleh pori-pori tanah kapur di sekitarannya.

    Saya sampai sekarang masih belum bisa-bisa mempelajari dengan baik bentang lahan tanah kapur dengan lenkap... :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Belumm mas belum *ini apa sih? :p

      Iya jadi lubang-lubang itulah yang menyedot airnya sampai asat. Mas ghoz jurusan geografi? geologi?
      Di sana sering dijadikan penelitian para profesor lhoo wkwk
      Aku aja dikira mau penelitian..

      Hapus
  10. pas lihat airnya hijau gt, kayak kelimutu haha..

    Wah mbak kamu hebat nan berani belusuk-belusuk di goa goa gt.

    Gunung kidul ini banyak goa-goanya ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lhaiya bener banget lid, makanya aku penasaran pingin deh bisa menyejukkan mata dengan menatapnya lebih dekat.
      Eh ternyata pas dalam perjalanan menuju ketemu jadi banyak cerita yang dialami :)

      Beraninya kalau kepepet. wkwk. Iya, di sana banyak gua-gua yang amazing :)

      Hapus
  11. yah sayang sekarang sudah ga hijau lagi airnya alias kering,tapi perjalanan nya ituloh seru mbak hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak, yang menarik adalah cerita dari perjalanannya ini yang berkesann banget. Menemukan gua yang satu dulu sebelum menemukan luweng yang dicari :)

      Hapus
  12. ehmm sekarang tidak seindah yang dulu . mungkin bisa sama saya kak siapa tau jodoh *eh

    BalasHapus
  13. Bicara luweng, jadi ingat Luweng Sampang mbak :D...pergantian musim waktu yang tepat buat cr luweng di masa dgn musim yang ga tentu kayak gini hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mas, aku pingin ke luweng sampang sampai saat ini belum kelakon :(
      Nggak tau jalannya ke sana...

      Hapus
  14. Menarik sekali nih, ya memang ada kala pertemuan berakhir namun pasti ada pertemuan lain

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya bener, kaya harus ketemu calon jodoh orang dulu sebelum ketemu jodoh yang sebenarnya. Hikhik

      Hapus
  15. Keren mba, luar biasa! Bisa sampe sejauh itu meskipun sendiri, joss lah pokok e 🤗

    BalasHapus
    Balasan
    1. Penasaran yang melahirkan sebuha kenekatan mas. Kalau nggak begitu nggak kelakon-kelakon ketemu :)

      Hapus