Pagi Ramadhan,
Jika kemarin Jogja sempat dilanda kepanasan dan kesumukan bukan main, Alhamdulillah Ramadhan dihadirkanNya dengan kesejukan.
Hujan rintik-rintik di kala malam, hawa dingin ketika pagi, panas yang
tak terlalu, atau angin semilir yang terkadang hadir adalah salah satu nikmat
Tuhan yang sengaja dihadirkan di Ramadhan.
Begitupun bahasan mengenai pagi ini, ketika aku sedang terheran-heran
dengan sikap salah seorang teman yang berperilaku tak seperti biasanya. Kiki,
ya dia tetangga sepantaran yang masih lumayan sering mengontakku atau
ketok-ketok pintu.
Dari malam, dia chat tentang
rencana esok pagi. Padahal nii, padahal…
setiap aku ajakin dia menantikan sunrise misalnya, jawabannya adalah:
“males e”
atau jika mau ngajakin dia pergi harus memenuhi beberapa persyaratan,
termasuk mengenai: “ada sinyal enggak tempatnya?” * ya mana tau* , iya maklum soalnya
kalau nggak ada sinyal nanti dia ada yang nyariin. Aku mana peduli dengan
sinyal ketika sudah mengasingkan diri di tempat tertentu?
***
Tepat ba’da sholat shubuh dia sudah berada di teras rumah.
“Semangat bener ga kaya biasanya,
aku jadi curiga”.
Aku tau apa yang dia mau? Dia pingin ke Hutan Pinus Mangunan.
Gantian kujawab: “males ah mainstream banget e”
Tapi melihat semangatnya yang sebegitunya, aku luluh juga. Disamperin, dijemput, diboncengin jadi sih ya ayoo aja aku
mau.
Baik, kita sepakat memutuskan untuk
menuju ke Hutan Pinus Mangunan, Dlingo,
Bantul. Weee lha kok di bold
segala?
Iya, soalnya banyak sekali yang sudah salah kaprah menyebutkannya Hutan
Pinus Imogiri. Mungkin karena letaknya yang tak jauh dari Kecamatan Imogiri? ya
tapi hal ini tentu perlu diluruskan karena Imogiri dengan Dlingo adalah dua
kecamatan yang sudah berlainan.
Herannya kalau ngetik “hutan pinus” dalam pencarian google yang muncul ya
hutan pinus Imogiri, atau juga banyak postingan artikel yang menyebutkan Hutan Pinus Imogiri. Apalagi banyak admin yang merepost
foto via twitpict atau instagram yang kurang memperhatikan dan mengecek kembali kebenaran wilayahnya,
jadinya yang sebenarnya salah malah jadi disebar-sebarin jadi salah kaprah.
Cukup ya?
Biasanya aku hanya sekadar lewat berlalu saja sambil memandangi ramai
sesaknya tempat ini oleh pengunjung dan hiasan gantungan hammock yang mengikat batang-batangnya.
Tapi tumben kali ini mau ke sini, ke tempat yang memang mainstream banget lah.
Jujugannya orang luar kota
maupun dalam kota, jujugannya orang
pacaran, jujugannya orang yang pada
mau prewed an, dan berbagai modus
yang mengatasnamakan dipotoin bagus :p
Kenapa mau?
Karena ini masih pagi sekali pastinya belum penuh oleh sesak orang, bahkan
sedaritadi membelah jalanan Dlingo juga masih dalam keadaan gelap.
Tiba-tiba terbayang bisa menghirup sepuasnya oksigen pagi dari
pinus-pinus yang masih sejuk.
Duduk-duduk menunggu semburat
cahaya pagi yang masuk melalui celah-celah batang pohonnya. Memandangi
sepuasnya barisan batang-batang pinus yang meninggi semakin rapat, atau
sesekali memunguti biji pinus yang berjatuhan memeluk tanah.
Yang masih belum punya sandaran, boleh lho sandaran ke batang pohon pinus |
Benar pagi ini masih sepi, kulalui gapura masuk yang melengkung dari
kayu. Tanahnya basah, termasuk daun-daun pinus yang berguguran menjadi karpet
cokelat melapisi atasnya.
Memang suasananya tidak seperti dulu. Semua sudah direnovasi kembali, didesain
sedemikian rupa oleh pengelola untuk memenuhi kebutuhan zamannya, misalnya
untuk kebutuhan foto-foto dan publikasi orang-orang yang hidup di zaman serba
kekinian?
Kulihat warna-warni hammock
yang bertingkat melilit beberapa batang pinus. Di sebelah timur tergelar
papan-papan kayu yang ditata sedemikian seperti singgasana pelaminan diselingi
tanaman-tanaman hias.
Potongan-potongan kayu dijejer mengular naik seperti anak tangga sebagai
tumpuan kaki jika tanah licin pasca
hujan.
Jika didengar suaranya, tenda dome ini berisi dua laki-laki :o |
Beberapa tenda dome juga kokoh berdiri
diantara ruang selo himpitan pinus. Ayunan
yang diam tanpa penumpang, juga gardu pandang kayu yang memiliki ruang kotak sempit
untuk pengunjung.
Kualihkan tatapanku ke atas rimbunnya daun-daun jarum pinus, kemudian
memandangi kembali barisan batang pinus yang sepertinya kedinginan pasca hujan
semalaman. Selimut lapisan kayunya tak terlalu tebal, apakah kamu dingin hon?
Tenang, tunggulah sebentar lagi sinar-sinar lembut matahari akan menghangatkanmu.
Dan perlahan pengunjung semakin beriringan datang memasuki kawasan pinus. Ada
sebagian dari mereka yang masih membawa sarung, peci ataupun mukena, waaa
mungkin semacam piknikers syar’i.
Beberapa dari mereka datang rombongan dengan teman-teman, keluarga besar,
atau ada juga yang hanya datang berdua bersama pasangan.
Kami menepi, berjalan menuruti arah papan kayu bertuliskan: “gardu
pandang” yang menuntun jalan agak menanjak ke atas.
Gubug kecil untuk menyaksikan sunrise :) |
Kemudian terlihat beberapa atap dari jerami, berlorong panjang batang
kayu, juga tangga-tangga tegak bersender pohon.
Gardu pandang berbentuk lorong kayu dan papan kayu di atas pohon |
Waa… di Hutan Pinus ada seperti ini ya sekarang? bahkan setelah
berkali-kali ke sini aku belum pernah menjangkau sampai sudut tempat ini
apalagi sepagi ini.
Terlihat beberapa pasangan berwefie
di ujung lorong kayunya.
Pasangan terserasi pagi ini: Sunrise berlaut kabut |
Siluet dengan tampilan hidung minimalis |
Matahari baru bangun di ujung pagi, sinar orangenya masih
samar-samar bergaris lembut sampai pada pipiku.
Kabut masih menyelimut bahkan terlihat sebagai genangan tenang membentuk
laut. Kolaborasi mereka bagiku menjadi satu-satunya pasangan terserasi di pagi
ini.
Berdiri di sini berarti sejenak berada di tengah-tengah pasangan yang berlalu lalang tanpa
permisi. Senyum simpul mereka selalu tertuju dan saling balas. Sepertinya cukup
deh dengan pemandangan ini, sunrise dan laut kabutnya yang menjadi pasangan
paling serasi mulai banyak yang menyaingi.
Kulihat ke arah selatan masih ada ruang luas dengan hamparan laut kabut
yang sama. Aku sedikit berlari, kemudian duduk sementara di bongkahan batu.
Menikmati mengamati dari ujung ke ujung diselingi semilir angin dengan kabut
dingin.
Kemudian perlahan berjalan, untuk
sesekali menengok ke atas:
terdapat rombongan ABG sedang ngobrol dengan serunya di papan rumah
pohon.
Aku melihat ke arah mereka sambil tersenyum.
Tangga dan papan kayu rumah pohon sebelah selatan |
“eee mbak e genti mau naik”
kata salah satu dari mereka
“kok peka banget e? padahal aku ga berkata-kata apalagi meminta lho ini”
“wooo jelas dong mbak, kita kan pekok”
Aku ajak kiki naik serta setelah ruang sempit papan kayu itu tak berisi
lagi. Tangganya lumayan tinggi, papan rumah pohon itu bermuatan maksimal 5
orang saja. Pas bukan jika diisi oleh keluarga kecil? *eh
Laut kabut putih tanpa sinar ke-orange-orange nan seperti di sisi timur |
Setelah sampai atas, kami bisa melihat lautan kabut itu lebih leluasa.
Hamparan putih berbatas bukit-bukit dan berhias sepasang tower.
Langit di sisi
selatan masih putih, bukan lagi berwarna orange seperti sisi timur yang berhias
sunrise. Sesekali segerombol burung terbang menghiasi motif langit.
Aku sadar, ini adalah salah satu nikmat Tuhan untuk mendinginkan
panas-panas yang kadang tak terlihat. Menetralkan segala penat yang mungkin
menghimpit beberapa niat baik, dan aku akan menikmatinya sebagai obat itu.
***
Karena gelap tak selamanya? |
Lihatlah garis-garis cahaya matahari pagi ini mulai menelusup diantara
sela-sela batang pinus yang berjejer. Aura kabut dingin berganti oleh hangat
sinar. Begitulah tentang suasana yang akan berganti dan berganti dengan batasan
waktu yang tak lama. Termasuk pergantian dingin menjadi hangat, kemudian hangat menjadi menyengat.
Melukis kembali sebaran sinar hangat pagi ini |
Apa yang bisa kulakukan selain kembali menulis tentang kedatangan
pelan-pelan sinar hangat itu sebagai pengganti sunset singkat kemarin sore?
*terimakasih semangat pagi itu yang tak biasanya cc: @rizkiutari