Dimanapun aku pernah menginjakkan kaki di tempat menenangkan, akan selalu menjadi kenangan mendalam bagiku. Apalagi jika tempat itu beratmosfer sepi, teduh, jauh dari hiruk pikuk pencemaran suara yang tak diinginkan.
Magnet sekuat itu akan selalu menjadi pemenang menarikku ke sana lagi meskipun tak masalah jika nantinya
kembali dengan cara seorang diri. Atau jika tak memungkinkan untuk kembali, aku akan
menyimpan, merekam, setiap lekuk
sudutnya dengan rapi.
Setelah Pundong yang memiliki banyak sudut romantic nya, aku memiliki rekomendasi bagi diri sendiri untuk terkadang
melarikan diri.
Yaaah apaa? masa melarikan diri?
yang penting enggak melarikan diri dari masalah, apalagi melarikan diri
dari perasaan.
Terkadang hanya ingin melarikan diri dari kepenatan rutinitas. Yaa seperti
itulah.
***
Tempat itu bernama Selopamioro.
Sudut pojoknya Imogiri yang sedikit jauh dari hiruk-pikuknya kios-kios
berjejer, sedikit jauh dari megahnya POM Bensin, sedikit jauh dari rayuan
penjaja kuliner sepanjang jalan.
Tempat itu bernama Selopamioro.
Dahulu aku mengenalnya pertama kali semenjak masih duduk di bangku sekolah
diajak sepedaan sama banyak tetangga.
Di sepanjang perjalanan aku pernah dibuat nggak fokus sama pemandangan
kanan-kirinya, dan mungkin sampai saat ini masih begitu.
Masih kebawa nolah-noleh sana
sini dan nggak fokus pegangin stang sepeda, tapi Alhamdulillahnya nggak sampai jatuh :p
Karena lahir dan besar di Bantul, aku melihat tempat ini berbeda dari
Bantul kebanyakan. Keganjilan itu telah melahirkan pertanyaan melingkar
muter-muter di benakku waktu itu, :
“Ini masih Bantul?”
Ya tentu saja masih, Imogiri kan masih masuk Bantul kan ya?
Jalanan beraspal yang sering bergesekan dengan roda-roda sepeda ontel itu
berpenampakan semakin hitam jika terguyur hujan semalaman. Sepatu-sepatu kecil
yang melekat dengan pedal sepeda penuh
semangat sampai sekolah juga menjadi warna di lukisan pagi kala itu.
Kayuhan pedal sepeda dari kaki-kaki kecil |
Pertanyaan: “ini masih Bantul?”
Akan semakin terasa lagi jika roda-roda semakin menggelinding lancar ke
arah timur.
Tempat ini seperti tempat syutingnya FTV-FTV itu ya?
Desa Wisata Kedung Miri pasca Festival Sewu Kitiran |
Tebing semacam gunung sebelah utara-barat bertugas menjaga cekungan yang berisi hamparan hijau sawah yang diselang-selingi bangunan penduduk yang masih sederhana. Kolaborasi serasi ruang terbuka tebing, kali dan sawah.
Terasiring masih langka dijumpai di Bantul |
Kedungmiri, salah satu desa yang berada tak jauh sebelum masuk ke Selopamioro
memang sedang dikembangkan menjadi Desa Wisata.
Ini adalah sisa-sisa Festival 1000 Kitiran di Kedungmiri:
Jogja memang lagi getol banget bangun kursi-kursi putih kaya gini semacam di Tebing Breksi |
Memegang erat kitiran raksasa |
Kolaborasi kitiran dan birunya langit |
Jika kita mengarahkan pandangan dari sawah ijo-ijo beralih kepada Kali Oya, terdapat jejeran tebing menjulang tinggi kokoh yang senantiasa menjaga aliran Kali Oya dengan tulusnya tanpa minta perhatian balik.
Kali Oyo beratap kabut berdelta batuan putih yang terbawa aliran Kali Oya |
Jika air sungai mulai surut, kita bisa berjalan turun ke arah bebatuan putih yang menjadi daratan tersebut.
Pemandangan di Kali ketika air tak terlalu deras, biasanya banyak aktivitas penduduk yang memanfaatkan momen tersebut untuk mencari batu putih, mandi, mencuci, memandikan sapi, atau mencuci sepeda motor.
Karena bisa dilihat bahwa penghuni sepanjang aliran Kali Oya di Selopamioro adalah batu putih seperti ini, jadi sangat jarang ditemui penambangan pasir ataupun truk-truk pengangkutnya seperti yang ada di Kali Opak.
Berikut adalah secuil suasana jika kita turun ke arah Kali Oya yang surut. Begini suasananya:
Pemandangan di Kali ketika air tak terlalu deras, biasanya banyak aktivitas penduduk yang memanfaatkan momen tersebut untuk mencari batu putih, mandi, mencuci, memandikan sapi, atau mencuci sepeda motor.
Karena bisa dilihat bahwa penghuni sepanjang aliran Kali Oya di Selopamioro adalah batu putih seperti ini, jadi sangat jarang ditemui penambangan pasir ataupun truk-truk pengangkutnya seperti yang ada di Kali Opak.
Berikut adalah secuil suasana jika kita turun ke arah Kali Oya yang surut. Begini suasananya:
Simbah sedang menggendong rumput pakan ternak di punggungnya |
Motoin tetangga |
Kemudian pertanyaan : “ini masih Bantul?”
Akan mendapat pencerahan dan semakin terjawab jelas oleh beberapa senyuman yang kutemui sepanjang
perjalanan.
Yaaaa…. ternyata “ini masih Bantul” setahuku orang Bantul kan kalau senyum ya
semanis-manis mereka.
*eeeeh kemudian ngaca sambil senyum-senyum benerin jilbab*
Selopamioro pernah hits karena jembatan gantung kuningnya menjadi lokasi syuting
video klip salah satu band Indonesia. Setelahnya,
semakin banyak dikenal orang dan menarik banyak
orang yang datang berbondong-bondong ke sini.
Penampakan Jembatan Gantung Kuning Selopamioro dari bawah |
Jembatan yang tidur terlentang tepat di atas Kali Oya ini dibangun pada tanggal 5 Februari tahun 2002 bekerja sama dengan Pemda Bantul.
Jika kamu pernah melihatnya dari ketinggian Kebun Buah Mangunan, boleh lho sekali-kali menyapanya secara langsung.
Jembatan sebagai akses utama warga |
Bertemu dan ngobrol dengan simbah yang jagain parkiran sebelah selatan jembatan gantung ini hampir selama satu jam, membuat kepalaku ngangguk-angguk terus-terusan. Ahahaha.
Beliau menceritakan panjang-lebar tentang bagaimana sejarah jembatan ini dibangun.
Dahulu, jika penduduk sekitar ingin beraktifitas dan mengharuskan melintasi Kali
Oya, mereka harus berenang.
“Waaa berenang mbah?” tanyaku sedikit tak percaya
“Ooo iya, jadi jangan heran meskipun sudah simbah-simbah, penduduk sini
pada jago berenang semua” kata beliau sambil sedikit terbahak.
Berenang menyebrangi Kali Oya memang menjadi hal yang sangat biasa bagi penduduk setempat. Karena memang tak ada fasilitas seperti jembatan bambu, ataupun perahu getek.
Kebiasaan berenang membelah Kali Oyo terus menerus berjalan secara turun temurun sampai tibalah pada suatu Hari Jumat, sekitar 14 siswa berseragam hendak pulang sekolah menyebrangi Kali Oya ini dengan tangan diangkat ke atas guna mengamankan barang-barang mereka agar tidak basah.
Aktivitas siang menjelang jumatan itu secara tidak sengaja dilihat oleh seorang wartawan yang kebetulan berhasil mendokumentasikan kejadian tersebut dan selanjutnya diproses lebih lanjut oleh Pemda Bantul.
Waktu diceritain, aku sih sedikit heran kenapa baru 2002? selama itu pemerintah daerah kemana?
*eh stop, ini bukan tulisan politik*
***
Ketika warga mendengar akan dibangun akses jembatan oleh Pemerintah
Daerah, mereka senang bukan main.
“Pokoknya kami senang sekali mbak, warga sini bantunya ora etungan, entah itu tenaga, uang,
makanan untuk kelancaran pembangunan jembatan ini” sampai dengan jembatan ini jadi tahun 2002.
Akan tetapi, pada tahun 2008 jembatan ini sempat rusak hampir ambruk karena beberapa
baut a.k.a skrup jembatan pada hilang di curi orang-orang tak bertanggung jawab. Setelah itu, diadakan perbaikan
jembatan lagi sampai saat ini. Namun, setelah jembatan kembali kokoh pun masih juga kena vandal :( .
Masih pagi sepi |
Jujur sih aku sangat jarang berhenti berlama-lama di jembatan ini.
Kenapa?
Karena jembatan yang menghubungkan dua desa: Selopamioro dan Sriharjo ini adalah akses jalan utama warga sekitar.
Jembatan yang memiliki panjang: 99 meter serta lebar 1.5 meter ini menjadi sarana utama akses ekonomi, akses pendidikan, akses sosial, atau akses mencari jodoh di desa sebelah mungkin? pokoknya akses penting sebagai sarana mobilisasi kedua desa.
Karena alasan itu, jika ingin sedikit mengambil beberapa gambar di jembatan ini, tetap utamakan kepentingan hak warga untuk melintasi jembatan ini dengan lancar ya?
Di sebelah selatan jembatan, juga terdapat hamparan pohon
jati yang selalu bersih terjaga. Tempat ini juga sering dijadikan tempat pelatihan
bagi peserta pendidikan SPN (Sekolah Polisi Negara) Selopamioro.
Kebun jati menghadap Kali Oya dan Simbah yang menjadi teman ngobrolku sedari tadi |
Selopamioro bukan hanya melulu tentang jembatan gantung kuning ya?
Backlight |
Jika kita menyebrangi jembatan dari Sriharjo ke arah Selopamioro kemudian
belok kiri, terdapat tebing raksasa yang mencuri perhatianku.
Penampakan tebing kokoh sebelah kiri jembatan |
Aku berjalan pelan ke arah sungai yang saat itu sedang digunakan warga
untuk mencuci baju dan mandi. Karena takut mengganggu aku belum berani mendekat,
cukup ngobrol ringan dengan warga yang rumahnya tak jauh dari Kali Oya.
Beberapa anak perempuan seumuran anak SD selesai mandi berjalan ke arahku dengan membawa
handuk:
“dek, bisa minta tolong fotoin?”
“aduh mbak, nggak tau caranya”
Kemudian aku menunjukkan beberapa tombol pada kameraku dan fungsinya sebentar, dan inilah hasil karya mereka:
Oke.... suka :) |
Jika kamu ke sini ketika pagi, kemudian tebing ini masih berani berjalan ke arah timur, kamu akan menemukan pertemuan dua tebing sebagai celah munculnya matahari.
Sunrise pagi di Kali Oya |
Ceritanya masih dari simbah tadi, bahwa memang jika air dalam keadaan jernih hijau, rasa-rasanya akan menarik siapapun untuk mandi ke sini.
“Jadi mbak, kali oya di sebelah timur bawah pohon besar itu memang kaya punya daya magis untuk menarik orang-orang nyebyur”
Eh jangan salah ya? di tempat ini sudah sekitar 13 orang meninggal
tenggelam karena nekat nyebur berenang.
Kebanyakan dari mereka adalah para pendatang. Misalnya: orang jauh yang main, mahasiswa yang lagi KKN, dan anak-anak sekolah yang pacaran nggak sopan di pinggir kali yang jika dinasehati penduduk sekitar untuk berhati-hati malah ngeyel tak menghiraukan.
Mereka ditemukan meninggal di posisi terjepit sebelah bawah batu, jadi semacam ada palung atau cekungan dalam di antara batu-batu itu.
Innalillahi, semoga ini menjadi pengingat kita agar selalu berhati-hati di tempat manapun yang kita kunjungi.
Kita kan orang asing yang masih belum paham betul dengan tradisi maupun seluk-beluk tempat tersebut? jadi jangan pernah berbuat nekat semau wudelnya ya?
Kebanyakan dari mereka adalah para pendatang. Misalnya: orang jauh yang main, mahasiswa yang lagi KKN, dan anak-anak sekolah yang pacaran nggak sopan di pinggir kali yang jika dinasehati penduduk sekitar untuk berhati-hati malah ngeyel tak menghiraukan.
Mereka ditemukan meninggal di posisi terjepit sebelah bawah batu, jadi semacam ada palung atau cekungan dalam di antara batu-batu itu.
Innalillahi, semoga ini menjadi pengingat kita agar selalu berhati-hati di tempat manapun yang kita kunjungi.
Kita kan orang asing yang masih belum paham betul dengan tradisi maupun seluk-beluk tempat tersebut? jadi jangan pernah berbuat nekat semau wudelnya ya?
Air tenang menghanyutkan itu benar adanya? |
Apakah kalian juga pernah dibuat tenggelam semakin dalam oleh orang-orang bertipikal pendiam misterius?
*ini apa sih malah ngelantur*
Beranjak dari batu rasa sofa itu, sungguh aku dibuat agak terkejut melihat dengan mata kepala sendiri ada anak sekecil ini tiba-tiba muncul dari arah belakang tebing.
Bahkan rumahnya dimana pun tak tampak, ga ngebayangin kalau musim hujan, licin :( |
Dia memakai seragam sekolah lengkap dengan tapakan sepatu kecilnya yang penuh hati-hati meniti tebing itu.
Memang benar kata simbah, bahwa anak-anak di Dusun Dungjati yang rumahnya berada di balik tebing sehingga memiliki akses jalan ke sekolah lumayan susah, justru kebanyakan dari mereka adalah anak-anak yang pintar dan berprestasi.
Apa korelasinya ya?
Ya nggak heran sih, karena sudah terlihat sekaliii dari pancaran mata mereka yang penuh semangat. Padahal sekolah mereka berada di Kedungmiri lho, jadi harus meyebrangi Kali Oya memalui jembatan gantung kuning terus jaraknya juga dalam hitungan kilo :')
Semoga adek ini senatiasa dilindungi Tuhan, dan terus menerus mengukir prestasinya. Aamiin.
Baiklah, karena ini adalah ujung timur dari jembatan sisi selatan yang bilamana mau ke timur lagi sudah mentog tidak ada jalan yang layak dilalui, mari kita balik arah dari jembatan ke arah kanan.
***
Di Selopamioro sisi kanan sangat mudah ditemui persawahan hijau. Rumah-rumah penduduk depannya langsung sawah hijau, atau memang setiap halaman rumah dipergunakan sebagai kebun. Ada tanaman lombok, tomat, dan segala sayur mayur tumbuh subur di sini.
“Kalau tidak disirami setiap pagi ya tanahnya atos (kering, keras) ndug…”
Bahkan meskipun berada di pinggiran Kali Oya, irigasi sawah di sini masih sulit. Permukaan tanah sawah yang lebih tinggi, juga belum didukung kebijakan pemerintah ataupun teknologi yang memadai untuk sistem irigasinya, mendorong mereka kreatif membuat bak-bak penampungan mandiri dari cekungan tanah yang dilapisi terpal plastik. Selanjutnya mereka membawa airnya dengan menggunakan kaleng-kaleng besar ditali diikatkan bambu dipanggul di pundak-pundak kekar itu.
Selopamioro di sisi barat ini, juga terdapat batu besar menjorok ke Kali Oya yang sering dijadikan tempat foto anak-anak kekinian :p
Titipan Tuhan ini nyata sangat indah.
Bantul punya Gumuk Pasir Parangkusumo sebagai magnet (laboraturium alam) penting sarana obyek penelitian ilmu geologi dan morfologi.
Jika mereka niat membeli gadget pun bisa banget lah. Lihatlah sapi mereka sebesar dan segemuk itu, sawah mereka luas-luas, tapi?
***
Pak tani sedang membasmi parasit tanaman lombok |
Di Selopamioro sisi kanan sangat mudah ditemui persawahan hijau. Rumah-rumah penduduk depannya langsung sawah hijau, atau memang setiap halaman rumah dipergunakan sebagai kebun. Ada tanaman lombok, tomat, dan segala sayur mayur tumbuh subur di sini.
Sepasang suami istri, atau sesama anggota keluarga bahu membahu menyuburkan
yang telah ditanami beberapa tanaman yang diusahakannya tumbuh subur. Setiap pagi, mereka menyirami sawah mereka dengan
teratur.
Karena masih terlalu pagi, capingnya disingkirkan agar bisa fokus memperhatikan tanaman lomboknya |
“Kalau tidak disirami setiap pagi ya tanahnya atos (kering, keras) ndug…”
kata simbah tersebut sambil menyiangi rumput-rumput yang mengganggu tumbuhnya tanamannya.
Karakter tanahnya memang agak padat mirip tanah liat tapi bukan tanah liat, yaa tidak segembur tanah sawah pada umumnya jadi benar saja harus rajin disirami.
Beliau benar-benar terlihat kuat, aktif, energik meskipun usianya tak lagi terbilang muda.
Simbah total sekali :') |
Bahkan meskipun berada di pinggiran Kali Oya, irigasi sawah di sini masih sulit. Permukaan tanah sawah yang lebih tinggi, juga belum didukung kebijakan pemerintah ataupun teknologi yang memadai untuk sistem irigasinya, mendorong mereka kreatif membuat bak-bak penampungan mandiri dari cekungan tanah yang dilapisi terpal plastik. Selanjutnya mereka membawa airnya dengan menggunakan kaleng-kaleng besar ditali diikatkan bambu dipanggul di pundak-pundak kekar itu.
Irigasi mandiri dari penampungan terpal, kemudian akan diangkuti dengan kaleng-kaleng untuk kebutuhan menyiram |
Dimana ya pemuda-pemudanya? Simbah-simbah serenta itu masih juga
menggotong kaleng-kaleng besar berisi air. Ohhh hampir semua yang mengelola
sawah kan orangtua kan ya? di tempatku juga seperti itu.
Pemuda ataupun remaja di Selopamioro kebanyakan dari mereka bekerja di
luar Jawa.
Kata simbah tadi:
“jika sudah lulus sekolah remaja di sini merantau di
Kalimantan, Sumatra, menjadi juragan sawit, ada yang berhasil menjadi polisi,
kemudian tinggal ngirimi duit aja mbak ke keluarga”.
Sawah sehabis disiram simbah |
Selopamioro di sisi barat ini, juga terdapat batu besar menjorok ke Kali Oya yang sering dijadikan tempat foto anak-anak kekinian :p
Biasanya acting mereka kalau foto di sini: kalau ga pura-pura foto galau ya foto berdiri menatap kali, atau slow motion locat |
Titipan Tuhan ini nyata sangat indah.
Bantul punya Gumuk Pasir Parangkusumo sebagai magnet (laboraturium alam) penting sarana obyek penelitian ilmu geologi dan morfologi.
Dan bagiku Selopamioro adalah laboraturium dari segala laboraturium tersedia di sini. Laboraturium bentuk tebing dan Kali Oya nya, laboraturium bercocok tanamnya, laboraturium pengembangan desa wisatanya, laboraturium tentang alam desanya, laboraturium kehidupan sosialnya, laboraturium tentang etos kerjanya, dan laboraturium ilmu-ilmu lain tersembunyi yang masih tersisa.
Sepanjang perjalananku setiap melewati sepanjang jalan terutama di sisi timur, banyak melihat warga asyik berkumpul bersama keluarga di teras rumah, atau bersama tetangga ramai-ramai sambil mengawasi anak-anak mereka bermain.
Apa yang membuat berbeda dari kumpul-kumpul di era saat ini? yang membuat beda adalah: mereka berkumpul lepas, tanpa gadget di tangan.
Yaa... berkumpul yang berkualitas banget ya :)
Ibu dan anak sapi sehabis mandi dari sungai |
Jika mereka niat membeli gadget pun bisa banget lah. Lihatlah sapi mereka sebesar dan segemuk itu, sawah mereka luas-luas, tapi?
Ah betapa bahagianya mereka masih merdeka dari jajahan smartphone dan tetebengeknya :)
Kesederhanaan mereka mungkin masuk dalam laboraturium berharga di sini, yang masih perluu sekali kutunjukkan kepada anakku suatu saat nanti.
Terapi mata ijo-ijo |
~ Aku pernah menemukan sepetak ketenangan di Selopamioro ~