Subuh belum menjeru ketika mataku sudah setengah terbuka. Oh
masih jam dua. Aku yang telah terbangun, kemudian berjalan menuju teras rumah. Duduk
menghadap ke arah timur memperhatikan langit cerah dengan bulan bundar bersanding
gumpalan mega.
Malam tadi, aku memang telah menolak ajakan Tirta untuk menyaksikan
matahari terbit di Gunung Ireng jam tiga buta. Bagiku, itu adalah ide gila. Jadi tanpa
berfikir panjang kutolak saja ajakannya.
Eh ternyata, alam bawah sadarku masih
belum mengikhlaskan sepenuhnya. Kenyataannya tidurku tak nyenyak sampai terbangun
jam dua. Waktu itu, yang terbesit pertama kali adalah: aku pingin ikut.
"Tir, aku jadi ikut nyunrise ke Gunung Ireng." Tulisku dalam sebuah pesan yang kemudian kukirim jam dua pagi.
Langit cerah yang kusaksikan di teras rumah, turut menyokong
keyakinan sekian persen bahwa sunrise pagi ini bakal epic. Semoga perasaanku
tak salah. Aku segera masuk kembali ke dalam rumah untuk siap-siap bergegas. Menurut
kesepakatan, jam tiga pagi harus sudah standby di depan Polsek Imogiri.
Hmm, ini adalah rekor perjalanan menyaksikan sunrise ter-gasik. Harus banget sendirian jam setengah tiga keluyuran dengan modal nekat dan nyali yang kupupuk setiap detik. Sepanjang jalan gelap. Bahkan aku menjadi satu-satunya
penghuni jalan tengah sawah itu. Tak hentinya kupanjatkan
doa. Semoga aku selamat tak kurang satu apa.
Aku sengaja agak ngebut. Biar cemas yang terlanjur menderas terpangkas singkat. Tak terasa, laju sepeda motorku sampai depan Polsek Imogiri. Di sana ternyata aku sudah ditunggu oleh Tirta, juga Mbak Mardiya yang berboncengan dengan adik laki-lakinya. Oh ya, Mbak Mardiya itu rumahnya Turi, Sleman ya. Jadi tadi dia harus satu jam lebih pagi berangkat dari rumah.
Aku sengaja agak ngebut. Biar cemas yang terlanjur menderas terpangkas singkat. Tak terasa, laju sepeda motorku sampai depan Polsek Imogiri. Di sana ternyata aku sudah ditunggu oleh Tirta, juga Mbak Mardiya yang berboncengan dengan adik laki-lakinya. Oh ya, Mbak Mardiya itu rumahnya Turi, Sleman ya. Jadi tadi dia harus satu jam lebih pagi berangkat dari rumah.
Baiklah, tiga motor srikandhi gila ini siap naik, melucuti sepi-gelap
tanjakan Dlingo untuk menuju pagi di Gunung Ireng, Gunungkidul, jam tiga
menjelang subuh.
Meskipun ini adalah kali kedua aku ke Gunung Ireng, tapi aku
sudah agak-agak lupa jalannya. Ditambah jalanan benar-benar masih gelap. Aku
meraba jarak, memaksa ingatan kembali. Kapan harus terus, kapan harus belok. Kapan harus berhenti mencintai. *eh.
Sampai pada suatu jalan, motorku berhenti. Begitupun motornya
Tirta dan Mbak Mardiya. Di sepanjang perjalanan tadi, aku tak melihat gerbang
hijau bertuliskan "Gunung Ireng". Mau mengecek lewat google maps, yang
terlihat hanya sinyal tanda silang. Mau bertanya, tak ada orang yang lewat atau
sekadar berada di luar rumah. Ya wajar, saat itu azan subuh baru saja selesai
berkumandang.
Aku memutuskan untuk menyusuri jalan yang sudah terlewati. Tirta dan Mbak Mardiya tetap tinggal di pertigaan. Setelah aku menemukan gapura bertuliskan Gunung Ireng, selanjutnya kujemput Tirta dan Mbak Mardiya untuk mengikutiku dari belakang.
Aku memutuskan untuk menyusuri jalan yang sudah terlewati. Tirta dan Mbak Mardiya tetap tinggal di pertigaan. Setelah aku menemukan gapura bertuliskan Gunung Ireng, selanjutnya kujemput Tirta dan Mbak Mardiya untuk mengikutiku dari belakang.
Saat memasuki gapura, kabut sudah menggelora sampai
jalan-jalan. Dengan hati-hati aku lewati jalan corblok sempit sampai menuju
tempat parkir yang masih gelap dan sepi. Aku dan Tirta memutuskan untuk salat subuh di gazebo kecil,
tempat biasanya petugas melakukan pemungutan retribusi. Sedangkan Mbak Mardiya
dan adik laki-lakinya duluan naik Gunung Ireng.
Langit masih gelap subuh itu. Tangga baru yang dibuat oleh
pengelola pun sampai belum terlihat. Senter gawai akhirnya sengaja dinyalakan untuk memandu
langkah dalam gulita.
Sesampainya di atas, genangan kabut terlihat oleh mata
meskipun matahari belumlah terbangun. Sinar-kelip lampu nampak dari bawah
sebagai bintang menyinar redup karena berselimut kabut.
Tirta dan Mbak Mardiya segera mengambil posisi terbaik untuk
mengambil gambar. Tiang-tiang tripod tegak berdiri menyangga kamera mereka. Aku yang tidak memiliki tripod, harus sabar menunggu agak terang agar gambar yang diambil tidak blur-kabur.
Genangan kabut itu sedang mencari jalannya. Belum tahu
arahnya ke mana, tapi dia memiliki dinamika tariannya. Kadang menebal, kadang
menipis. Begitupun langit pagi itu. Dari gulita, semburat merah, hingga hangat
menggantikan beku. Matahari telah muncul. Burung-burung mulai terbang menghias
langit.
Pagi di Gunung Ireng, tak seramai di Bukit Panguk Kediwung,
Jurang Tembelan, ataupun Kebun Buah Mangunan. Tak ada spot ala-ala yang terlalu
mencolok, tak harus berantre untuk sekadar mengambil gambar. Cukup duduk-duduk
di atas gunungan batu hitam, mendekap tangan, sambil menikmati dinamika kabut
dan kehadiran Matahari. Di sana, hanya ada suatu gubug kayu dengan atap rumbia,
satu gazebo permanen beratap genteng, juga kursi kayu dan meja-meja.
Untuk menjaga hangat yang digempur dinginnya pagi itu,
sepotong roti dan teh hangat bisa dijadikan pilihan untuk mengganjal perut
menanti sarapan. Mbak Mardiya sungguh pengertian, dia menawarkan termos tehnya
untukku. Uap panasnya mengebul, setiap teguknya menetralkan dingin yang mulai
membuat menggigil.
Meski tanpa warung dengan kopi dan mi instannya di pinggiran,
tempat ini bisa dijadikan alternatif bagi penyuka kabut tanpa harus treking
kepayahan. Tempat ini, juga untuk mereka: penyuka pagi syahdu tanpa sesak antre gerombolan pemuja spot
kekinian. Selain pemandangan barisan tower di sisi utara, genangan luas
kabut, pengunjung juga bisa menyaksikan
sawah-sawah membentang di sisi selatan.
Untuk penyuka pemandangan asri ala perdesaan sepertiku, ini
adalah tempat yang pingin kukunjungi setiap pagi. Rasanya gemes melihat petak sawah dari atas. Aku berinisiatif meminjam lensa telenya Mbak Mardiya. Kemudian mulai kuabadikan sebuah suasana pagi di sawah dengan genangan kabut tipis di atasnya.
Di tempat seperti ini, kita bisa leluasa berdialog dengan
hati. Menenangkan ambisi yang tak terpagar besi. Melarung prasangka yang tidak
pada tempatnya.
Di tempat ini, aku pernah duduk berhadapan dengan lampu yang
masih kelap-kelip hingga padam. Menyaksikan kabut bergelut dengan secercah
sinar yang merasuk. Dari kabutnya yang mobal-mabul, memadat lagi, menguap,
hingga terlihat petak-petak sawah di bawah.
Gunung Ireng. Hmmm, sepertinya aku perlu mencari jalan
pintas. Agar ketika aku rindu, aku langsung membuka pintu. Duduk selonjoran di
batu-batu, memangku haru harap-harap itu.
Duduk-duduk sebentar di sini saja aku sudah bisa menulis
sebait puisi ala-ala lho :p
Sesaat kemudian, aku terlibat pembicaraan dengan Tirta.
Katanya sih jika dia memiliki rezeki, pingiiin lho beli tanah di sini. Biar
tiap pagi, bangun-bangun, buka jendela, langsung bisa menyaksikan kabut disusul kemunculan matahari.
Ah, aku juga kepingin kalau itu. Tapi lebih ingin lagi,
bangun-bangun sudah ada kamu di sampingku :)
***
Catatan: Untuk foto yang ada aku-nya, credit foto oleh Mbak Mardiya.
Selain itu, adalah jepretan pribadi penulis.