Kembali datang tanpa diundang ke
Kalitalang. Lulus dari mencuri pandang pada tiap pemberhentian di lampu merah
yang menyala, bagaimana cerah Merapi di sisi utara?
Tidak seperti biasanya dengan
niat menggebu di waktu subuh buta sudah meluncur. Kali ini berangkat agak siang
dengan niat setengah iya, setengah tidak.
Dari cctv Merapi yang sempat
kupantau dari sebuah aplikasi, sang Merapi cerah menawan. Bayangan tentang rupa
gagahnya menggugahku dari glundang-glundung menikmati akhir pekan.
Sedikit cemas bahwa ternyata
penampakan di sepanjang jalan, Merapi masih berselimut. Sedikit pucuknya
mengintip, sebagian tubuhnya berkabut. Aku meminta suami untuk menemuinya di
Kalitalang lagi, bukan di tempat lainnya.
Singgasana Merapi masih terlalu
megah jika bertatap temu dari Kalitalang. Kawahnya yang menganga tepat di
tengah membuatnya semakin nampak garang.
Meski ini kesempatan kali ketiga
atau keempat kembali ke sini, aku masih begitu antusias. Tempat dengan
pemandangan dan segenap suasananya ini menurutku terlalu mahal karena masih
sepinya.
Ruang alam yang kosong
kebisingan. Tanpa Jeep atau pun Bus-bus panjang yang memenuhi sesak parkiran.
Bahkan, lahan parkir tak ada yang menghuni. Penjaga tiket retribusi masuk pun tak
kutemui.
Aku berbisik kepada suami untuk
meneruskan laju kendaraan pelan. Kendaraan berhenti parkir tepat di spot utama
Kalitalang, tak jauh dari jembatan bambu-bambu di depan wajah Merapi.
Hanya ada satu keluarga kecil di
sana yang tengah menyantap sarapan pagi. Kami menyapa sambil sesekali membantu
mereka untuk mengambil foto keluarga lewat gawainya.
Suara serangga, kicau burung, dan
gemerisik ranting daun menerkam sunyi. Harmoni alam mengambil alih lamunan pagi
dengan angin semilir di bawah langit biru. Tidak ada noda secercah pun menghalangi Merapi. Ia masih menjadi pemenang utamanya.
Tidak seperti obrolan warga yang
bersapa sua dalam perjalanannya mencari rumput untuk ternak, aku lebih banyak
diam menatap sekitar. Memuntahkan segala pegal mata menatap layar laptop untuk
lembur pada malam-malam yang sudah. Mengikis pekik tagihan deadline yang beruntun tanpa ampun.
Kalitalang masih seramah ini
untuk kujadikan persinggahan pembunuh jenuh. Sejenak belajar
acuh merengkuh pagi sepenuh teduh. Sepertinya di ruang-ruang lain, Kalitalang
belum pernah kujamah. Seperti di lembah bawah itu, di bukit atas sisi timur
itu, atau bahkan di bawah sana yang tak lagi terjangkau mata.
Rasanya tak sabar menahan kaki
untuk melangkah jauh. Namun sebenarnya aku masih menunggu kedatangan satu teman
lagi; Mbak Mardiya.
Terakhir tadi dia menanyakan
posisiku, sudah kubalas meski pun ternyata tidak terkirim karena sinyal
mendadak menghilang sejak jalan menanjak terakhir tadi. Kuulang mengirim pesan
lewat sms, tak juga kunjung terkirim.
Aku naik ke atas meninggalkan
suami yang tengah asyik memotret aktivitas warga yang tengah mencari rumput.
Sesampai di atas, sambil melirik parkiran, aku sudah menemukan keberadaan
Jupiter Mx biru itu. Motornya sudah tentu kuhafal, tapi di mana orangnya?
Dari kejauhan terlihat setengah
badannya tertutup ilalang. Mbak Mardiya tengah asyik membidik gambar aktivitas
warga yang hilir mudik dengan sekarung rumputnya.
Kusapa dari jauh sambil
melambai-lambaikan tangan kanan, berharap dia menyadari keberadaanku. Kami
bergegas bertemu sambil berbagi logistik yang tentu saja Mbak Mar lah
yang membawa lebih. Ah kebiasaan. Pergi ya pergi saja tanpa berbekal
kenyang-kenyang. Mbak Mar memang pahlawan logistikku. Ahaha.
Aku berinisiatif mengajaknya
turun menyusul suami, menyusuri pinggir kali kering, lembah sunyi di kaki
Merapi. Dataran lapang yang mungkin jarang dijamah pengunjung Kalitalang.
Sebuah tempat yang rasanya ingin
dipijak sampai ujung utara sana, hingga mata bertatap tebing tinggi tak
terjangkau. Bagaimana mungkin begitu? Nyaliku mungkin belum sampai ke sana,
Merapi masih Waspada.
Di sisi timur, hamparan
rerumputan yang hijau menarik mata. Kami membelokkan langkah meniti bukit.
Tidak salah sedari awal aku memakai sepatu. Kakiku aman terlindungi dari
duri-duri kecil yang tumbuh menyelip di sela rerumputan hijau.
Entah magnit apa yang membuat
kami terus naik dan naik. Sepertinya kami kembali ingin menatap Merapi dari
tinggi. Ia masih nampak dengan tertutup oleh setengah tirai dahan pohon.
Kami duduk-duduk santai sambil
membicarakan banyak hal. Tentang cita-cita pergi menjemput senja di suatu
pantai, tentang hilang-hilang yang harus direlakan.
Ternyata, Kalitalang masih
menyimpan lekuk ruang yang tak terbayang sebelumnya. Jika boleh berandai, ingin
rasanya ada flying fox dari bukit ke bukit. Ingin meluncur dengan teriak,
berbalap suara dengan dengungan.
"Tetaplah sepi di tepi Merapi, jika rindu kembali berapi aku akan menggandengnya kembali."