Separuh Ruang Tak Tersentuh di Kalitalang

Selasa, Mei 26, 2020




Kembali datang tanpa diundang ke Kalitalang. Lulus dari mencuri pandang pada tiap pemberhentian di lampu merah yang menyala, bagaimana cerah Merapi di sisi utara?

Tidak seperti biasanya dengan niat menggebu di waktu subuh buta sudah meluncur. Kali ini berangkat agak siang dengan niat setengah iya, setengah tidak. 


Dari cctv Merapi yang sempat kupantau dari sebuah aplikasi, sang Merapi cerah menawan. Bayangan tentang rupa gagahnya menggugahku dari glundang-glundung menikmati akhir pekan.

Sedikit cemas bahwa ternyata penampakan di sepanjang jalan, Merapi masih berselimut. Sedikit pucuknya mengintip, sebagian tubuhnya berkabut. Aku meminta suami untuk menemuinya di Kalitalang lagi, bukan di tempat lainnya.


Singgasana Merapi masih terlalu megah jika bertatap temu dari Kalitalang. Kawahnya yang menganga tepat di tengah membuatnya semakin nampak garang.

Meski ini kesempatan kali ketiga atau keempat kembali ke sini, aku masih begitu antusias. Tempat dengan pemandangan dan segenap suasananya ini menurutku terlalu mahal karena masih sepinya.

Ruang alam yang kosong kebisingan. Tanpa Jeep atau pun Bus-bus panjang yang memenuhi sesak parkiran. Bahkan, lahan parkir tak ada yang menghuni. Penjaga tiket retribusi masuk pun tak kutemui.

Aku berbisik kepada suami untuk meneruskan laju kendaraan pelan. Kendaraan berhenti parkir tepat di spot utama Kalitalang, tak jauh dari jembatan bambu-bambu di depan wajah Merapi.

Hanya ada satu keluarga kecil di sana yang tengah menyantap sarapan pagi. Kami menyapa sambil sesekali membantu mereka untuk mengambil foto keluarga lewat gawainya.



Suara serangga, kicau burung, dan gemerisik ranting daun menerkam sunyi. Harmoni alam mengambil alih lamunan pagi dengan angin semilir di bawah langit biru. Tidak ada noda secercah pun menghalangi Merapi. Ia masih menjadi pemenang utamanya.

Tidak seperti obrolan warga yang bersapa sua dalam perjalanannya mencari rumput untuk ternak, aku lebih banyak diam menatap sekitar. Memuntahkan segala pegal mata menatap layar laptop untuk lembur pada malam-malam yang sudah. Mengikis pekik tagihan deadline yang beruntun tanpa ampun.

Kalitalang masih seramah ini untuk kujadikan persinggahan pembunuh jenuh. Sejenak belajar acuh merengkuh pagi sepenuh teduh. Sepertinya di ruang-ruang lain, Kalitalang belum pernah kujamah. Seperti di lembah bawah itu, di bukit atas sisi timur itu, atau bahkan di bawah sana yang tak lagi terjangkau mata. 



Rasanya tak sabar menahan kaki untuk melangkah jauh. Namun sebenarnya aku masih menunggu kedatangan satu teman lagi; Mbak Mardiya.

Terakhir tadi dia menanyakan posisiku, sudah kubalas meski pun ternyata tidak terkirim karena sinyal mendadak menghilang sejak jalan menanjak terakhir tadi. Kuulang mengirim pesan lewat sms, tak juga kunjung terkirim.

Aku naik ke atas meninggalkan suami yang tengah asyik memotret aktivitas warga yang tengah mencari rumput. Sesampai di atas, sambil melirik parkiran, aku sudah menemukan keberadaan Jupiter Mx biru itu. Motornya sudah tentu kuhafal, tapi di mana orangnya?

Dari kejauhan terlihat setengah badannya tertutup ilalang. Mbak Mardiya tengah asyik membidik gambar aktivitas warga yang hilir mudik dengan sekarung rumputnya.


Kusapa dari jauh sambil melambai-lambaikan tangan kanan, berharap dia menyadari keberadaanku. Kami bergegas bertemu sambil berbagi logistik yang tentu saja Mbak Mar lah yang membawa lebih.  Ah kebiasaan. Pergi ya pergi saja tanpa berbekal kenyang-kenyang. Mbak Mar memang pahlawan logistikku. Ahaha.

Aku berinisiatif mengajaknya turun menyusul suami, menyusuri pinggir kali kering, lembah sunyi di kaki Merapi. Dataran lapang yang mungkin jarang dijamah pengunjung Kalitalang.

Sebuah tempat yang rasanya ingin dipijak sampai ujung utara sana, hingga mata bertatap tebing tinggi tak terjangkau. Bagaimana mungkin begitu? Nyaliku mungkin belum sampai ke sana, Merapi masih Waspada.
  

Di sisi timur, hamparan rerumputan yang hijau menarik mata. Kami membelokkan langkah meniti bukit. Tidak salah sedari awal aku memakai sepatu. Kakiku aman terlindungi dari duri-duri kecil yang tumbuh menyelip di sela rerumputan hijau.

Entah magnit apa yang membuat kami terus naik dan naik. Sepertinya kami kembali ingin menatap Merapi dari tinggi. Ia masih nampak dengan tertutup oleh setengah tirai dahan pohon. 



Kami duduk-duduk santai sambil membicarakan banyak hal. Tentang cita-cita pergi menjemput senja di suatu pantai, tentang hilang-hilang yang harus direlakan.

Ternyata, Kalitalang masih menyimpan lekuk ruang yang tak terbayang sebelumnya. Jika boleh berandai, ingin rasanya ada flying fox dari bukit ke bukit. Ingin meluncur dengan teriak, berbalap suara dengan dengungan. 

"Tetaplah sepi di tepi Merapi, jika rindu kembali berapi aku akan menggandengnya kembali."

Terima Kasih Sudah Berkunjung

10 comments

  1. Aku pernah hampir nyasar sampai sini waktu sepedan. Untung sadar dan tidak melanjutkan perjalanan ahahhahaha. Enaknya di sini kalau bawa tele. Bisa bidik merapi pas cerah dengan bagus.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mas, bagus padahal. Kapan-kapan sempetin singgah, ya bawa tele, bawa hammock dan ngajak dia.

      Hapus
  2. kalitalang ini masih jadi bagian dari aliran wedus gembel dan lahar ya, mbak?
    sepertinya asik kalo mau kemping-kemping lucu.

    oiya, sepertinya setelah pindah ke kota, mbak dwi lebih sering naik ke utara dibanding main ke selatan ya? haahaa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, itu pas pintu kawah menganga dan ada sungai jalan laharnya. Kalau pas Merapi statusnya lagi naik kayanya agak deg-degan juga soalnya kaya deket buanget.

      Iya mas, untuk ke selatan ki kaya jauh banget ga sampai-sampai, padahal kangen nyunset di pantai. Kangen banget.

      Hapus
  3. Pas cerah apik tenan yo.. Badalah ig..
    Dudung tau dapet secerah ini di Kali Talang..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kan dah sempet tilik to mas? apik juga kok pas itu fotomu. Sesuk baleni meneh.
      Itu pas aku berangkat sampai Jembatan Kewek juga mendung gelap padahal, emang untung-untungan yoo.

      Hapus
  4. Jangan mbak, nanti kalo ada flying fox di sana suasananya berubah ramai.

    Aku suka foto-foto Merapinya, bagus sekali. Rumput lagi hijau ya? Seger.

    Salam kenal ya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam kenal kembali mbak, terima kasih. Iya juga, aku juga posesif jika tempat itu ramai berdesak-desak orang. Kalau begitu ga usah ada flying fox sajalah.

      Hapus
  5. Sering mendengar nama Kalitalang tapi belum pernah menjejak di sana. Menenangkan sekali sepertinya. Betewe itu foto-foto sama mas Mawi-nya uwuwuwuw banget sih. Jadi pengen *lho

    BalasHapus
    Balasan
    1. Besok kalau pandemi ini berakhir, sesekali sempatkan menyapa merapi lebih dekat di Kalitalang mbak, huhu. Jiwa syahdu mellow akan bergejolak wuwuwu.
      Ahahaha isin banget sakjane foto kaya begitu kalau tempatnya enggak sepi.

      Hapus