Membungkus Ekspektasi di Telomoyo
Senin, Juni 29, 2020
Sebelum pandemi Corona menjadi
mimpi buruk nyata selama beberapa waktu ini, bulan Desember 2019 menjadi
penutup tahun sekaligus kala kesempatanku dan suami bepergian agak jauh, nginep,
ke luar kota. Ya meski hanya di kabupaten tetangga, Magelang.
Tidak pernah ada rencana perjalanan terperinci dari kami. Semua mengalir berawal dari sebuah celetukan menjadi perjalanan sungguhan.
Tidak pernah ada rencana perjalanan terperinci dari kami. Semua mengalir berawal dari sebuah celetukan menjadi perjalanan sungguhan.
Bulan
Desember yang kebetulan menjadi bulan ulangtahun pernikahan kami yang kedua
tahun. Kesempatan dalam kesempitan untuk menebar jaring kepada suami lewat sebuah
cetetukan: “ingin rasanya nginep di suatu tempat yang jika bangun pagi, buka
jendela melihat pemandangan hamparan sawahnya”. Malam itu juga, suami membuka
sebuah aplikasi di gawainya sambil memintaku memilih-milih penginapan yang
sesuai kriteria imajinasiku saat itu.
Penginapan Lotus 2, sumber foto dari sini |
Magelang
menjadi pilihan yang tak terlalu muluk. Selain terjangkau tempat juga waktu, juga
tidak perlu banyak kesulitan untuk masalah transportasi. Kami bisa berangkat
sesuka hati, tidak perlu rencana panjang jauh-jauh hari.
Selain ingin menginap di tempat berhalaman sawah terus mau ke mana lagi jika Magelang menjadi suatu tujuan?
“Ke Telomoyo, nanti sambil menunggu waktu check-in kita motoran ke Telomoyo dulu”, jawab suami cepat
“Ke Telomoyo, nanti sambil menunggu waktu check-in kita motoran ke Telomoyo dulu”, jawab suami cepat
Aku
berusaha mengingat kembali nama Telomoyo seperti berusaha mengingat masa lalu
yang belum terlalu berlalu.
“Cuaca seperti ini, mau mencari apa ke Telomoyo sih? yang ada cuma ketemu mendung”, sahutku. “Tidak ada salahnya dicoba, toh kamu juga belum pernah ke sana to?”.
“Cuaca seperti ini, mau mencari apa ke Telomoyo sih? yang ada cuma ketemu mendung”, sahutku. “Tidak ada salahnya dicoba, toh kamu juga belum pernah ke sana to?”.
***
Kami
memulai setengah perjalanan ke Telomoyo dengan menyantap sarapan Sop Empal Bu
Haryoko yang tak jauh dari Klenteng Hok An Kiong Muntilan. Beberapa suap Sop
Empal dan sambel pedasnya seperti menjadi penawar dari gigil menembus dingin,
membuat mata kembali melek sehingga kami siap melanjutkan perjalanan kembali.
Jujur
saja selepas dari Muntilan, aku sudah buta arah. Sebagai pembonceng yang
menempati posisi di jok belakang aku pasrah saja dengan ke mana arah pak supir
membawaku.
Satu hal yang aku yakini, dia telah mempelajari peta perjalanan menuju Telomoyo dengan baik, meskipun sesekali musti berhenti di pinggir jalan untuk mengecek google maps.
Satu hal yang aku yakini, dia telah mempelajari peta perjalanan menuju Telomoyo dengan baik, meskipun sesekali musti berhenti di pinggir jalan untuk mengecek google maps.
Kami
telah melewati Ketep Pass yang kebetulan saat itu sedang sepi. Setelahnya,
pemandangan hamparan sayur mayur dan gagahnya Merbabu mewarnai perjalanan.
Rumah-rumah warga dengan tanaman khas dataran tinggi seperti pancawarna dan bunga lonceng menambah asri. Suasana yang lumayan menghibur mata, sudah lama rasanya tak menyanding pemandangan serupa ini.
Rumah-rumah warga dengan tanaman khas dataran tinggi seperti pancawarna dan bunga lonceng menambah asri. Suasana yang lumayan menghibur mata, sudah lama rasanya tak menyanding pemandangan serupa ini.
Setelah
menempuh jalan meliuk di antara persawahan sayur dan hutan pinus akhirnya kami
sampai di Jalan Magelang-Salatiga, yang artinya tidak lama lagi akan sampai di
sebuah jalan cabang menuju Telomoyo.
Percabangan jalan kecil yang lebih sempit dibandingkan jalan sebelumnya, dengan suasana desa yang kembali hadir.
Percabangan jalan kecil yang lebih sempit dibandingkan jalan sebelumnya, dengan suasana desa yang kembali hadir.
Tak
genap setengah jam setelahnya, kami menemui pos pemberhentian retribusi
Telomoyo. Dua tiket ditukar dengan dua lembar uang Rp10.000,-.
Sesungguhnya dalam batinku masih ragu-ragu untuk meneruskan laju. Di depan sana hanya terlihat sebuah hutan lebat dengan posisi tinggi.
“Akankah motor matic setengahbaya ini sanggup menebras segala rintangannya yang ada di depan sana?”
Sesungguhnya dalam batinku masih ragu-ragu untuk meneruskan laju. Di depan sana hanya terlihat sebuah hutan lebat dengan posisi tinggi.
“Akankah motor matic setengahbaya ini sanggup menebras segala rintangannya yang ada di depan sana?”
Benar.
Benar saja perasaan tak enakku selama masih di bawah tadi. Semakin menanjak ke
atas jalannya semakin ngawur.
Lebih mirip kali kering, jeglang-jeglong kaya bekas galian untuk mengubur masa lalu dibanding wujud jalan pada umumnya. Selain berlubang-lubang remuk, posisi jalan yang terus menanjak membuatku tak tahu lagi sampai kapan punggung ini bisa terus tegak.
Lebih mirip kali kering, jeglang-jeglong kaya bekas galian untuk mengubur masa lalu dibanding wujud jalan pada umumnya. Selain berlubang-lubang remuk, posisi jalan yang terus menanjak membuatku tak tahu lagi sampai kapan punggung ini bisa terus tegak.
Ingin
rasanya kembali mundur, tapi suami sudah kepalang semangat dan penasaran. Ya,
sepertinya begitu. Terkadang aku memilih untuk turun dari jok belakang agar
beban tak terlalu berat.
Aku
jalan kaki di sela suami susah payah melewati arang rintang jalan remuk
menanjak itu, sambil menahan, mmmm menahan salahsatu alergi teranehku:
gatal-gatal sekujur tubuh jika melewati jalan semacam ini. Sambil jalan kecil,
tanganku sibuk menggaruk punggung, paha, dan segala lekuk badan yang terjangkit
gatal.
Sebenarnya faktor ini menjadi penyumbang perubahan moodku jadi berantakan kala melewati fase jalan ini. Sedangkan kami
sama-sama tidak mengetahui sampai berapa kilo lagi jalan rusak ini akan kami
tempuh. Semoga tidak lama lagi bertemu dengan jalan waras yang aku nantikan.
Dia
tetap menghiburku sepanjang jalan, hingga mataku teralihkan melirik pemandangan
sisi kiri. “Wah bagus”, batinku tanpa kuucap. Aku hanya bisa mengecup suasana
berkabut yang sedang turun bersama angin yang tak santai. Lega rasanya akhirnya
kami sudah sampai di zona jalan mulus.
Memang
segala sesuatu tidak selalu berjalan mudah. Butuh kesabaran, rintangan, untuk
kemudian memetik indah.
Sesekali
kami berhenti di tepi, menikmati pemandangan Gunung Andong yang menjadi pusat
perhatianku sepanjang jalan. Dia memintaku turun dari jembatan bambu yang
dijadikan tempat berswafoto pengunjung.
Aku menurut jalan ke bawah. “Stop berhenti di situ”, katanya sambil memencet tombol shutter kamera.
Aku menurut jalan ke bawah. “Stop berhenti di situ”, katanya sambil memencet tombol shutter kamera.
Meskipun
kami sesekali menepi untuk sekadar menikmati pemandangan di sisi kiri dan tidak
ada rasa terburu sampai ujung perjalanan, zona jalan mulus ini ternyata membuat
ringkas perjalanan kami untuk sampai puncak.
Sesampai
di puncak, haha, kudu banget tertawa dalam hati. Ternyata puncak Telomoyo ini berupa
jejeran tower dengan warung kecil yang mejajakan pop mie.
Kami memilih untuk menikmati bakso kuah yang dijajakan di tepi jalan. Meski sekadar bakso kuah, tetapi ternyata rasanya berbeda, sedikit lebih nikmat jika disantap di sini.
Mungkin dingin, lapar, dan jalan kaki selama melewati jalan remuk tadi menjadi faktor pendukung penambah cita rasa itu.
Kami memilih untuk menikmati bakso kuah yang dijajakan di tepi jalan. Meski sekadar bakso kuah, tetapi ternyata rasanya berbeda, sedikit lebih nikmat jika disantap di sini.
Mungkin dingin, lapar, dan jalan kaki selama melewati jalan remuk tadi menjadi faktor pendukung penambah cita rasa itu.
Sejenak
menunggu si bakso turun ke perut, kami menepi menikmati sisa kabut yang
menutup. Di sana terlihat beberapa rombongan pengunjung yang didominasi oleh
anak-anak remaja dengan kelompok teman-temannya, keluarga kecil, juga sejumlah
tukang dan petugas di sekitar Tower Listrik Telomoyo.
Aku melirik suami, untuk mengajaknya bergegas turun. Kabut semakin tebal dibawa angin, pun mendung yang mulai bergeser menutup atap gunung.
Aku melirik suami, untuk mengajaknya bergegas turun. Kabut semakin tebal dibawa angin, pun mendung yang mulai bergeser menutup atap gunung.
Kami
mulai turun, menyusuri jalan satu-satunya yang mengantar kami hingga sampai
puncak. Namun, di sebuah jalan setelah turunan kami memilih cabang jalan yang
berbeda.
Prinsip suami kan “jalan berangkat harus berbeda dengan jalan pulang”. Jadi tentulah dia penasaran dengan jalan turun dengan cabang berbeda itu.
Prinsip suami kan “jalan berangkat harus berbeda dengan jalan pulang”. Jadi tentulah dia penasaran dengan jalan turun dengan cabang berbeda itu.
Sering
sekali begini, dan terkadang rasa penasarannya itu menjadi pemicu rasa kesalku
karena menemui jalan yang nggak karuan, entah itu jalan buntu, jalan rusak,
kehilangan arah peta, dan sebagainya. Masih mending jika jalan itu masih ramai
penduduk atau manusia, terkadang tersasar di jalan sepi tengah hutan. Kali itu aku benar menaruh harap, semoga jalan yang dia pilih adalah jalan yang
menyelamatkanku dari alergi gatal-gatal seperti jalur berangkat tadi.
***
Kanan
kiri hutan tanpa manusia, begitu pemandangan yang terlihat. Jalan corblok
sempit dengan kontur yang meliuk-liuk.
Memang sepertinya jalan baru, terlihat wujud semennya yang masih bersih dari lumut. Keadaan itu sedikit melegakanku, pemandangan yang terlihat pun merawat mata dari kejenuhan. Didominasi warna hijau, kadang hutan, sawah, dan episode masuk perkampungan warga.
Memang sepertinya jalan baru, terlihat wujud semennya yang masih bersih dari lumut. Keadaan itu sedikit melegakanku, pemandangan yang terlihat pun merawat mata dari kejenuhan. Didominasi warna hijau, kadang hutan, sawah, dan episode masuk perkampungan warga.
Tanpa
petunjuk arah yang pasti, kami dibantu oleh informasi warga yang membantu
mengarahkan kami. Seperti: jangan lewat sisi jalan sana mas, karena akan lewat
jalan rusak berkilo-kilo. Haaa aku menciut meski memang jalan yang tidak waras
tetap mengiringi kepulangan kami menuju penginapan, tetapi aku bersyukur masih
ada warga baik yang menunjukkan jalan yang sedikit memotong penderitaanku.
Sampai
jalan besar menuju Borobudur, hati sedikit terhibur. Artinya sebentar lagi akan
sampai di penginapan, bisa leyeh-leyeh merebahkan badan.
Tak lama kemudian sampai sudah. Memang penginapan ini berada di tepi jalan besar menuju candi Borobudur. Dari luar seperti rumah, ternyata pas masuk ke dalam luas sampai belakang.
Tak lama kemudian sampai sudah. Memang penginapan ini berada di tepi jalan besar menuju candi Borobudur. Dari luar seperti rumah, ternyata pas masuk ke dalam luas sampai belakang.
Kami
diantarkan masuk menuju kamar. Semula aku memperhatikan sekitar sambil mencari-cari
keberadaan sawah seperti dalam foto aplikasi. “Oh, ternyata sawahnya sudah dibabat”
aku melirik kepada suami sambil setengah tersenyum. Baiklah tak menjadi masalah,
yang penting bisa untuk istirahat penawar dari lelah.
Menunggu
petang tiba, kami berkeliling mengisi perut kosong di sekitar Candi Borobudur.
Magelang ini memang lumayan paket lengkap ya, Candi, Gunung-gunung, Curug, dan
pemandangan desa tersuguh nyata.
Jika
berjalan ke barat kami menemui pemandangan sawah terasering luas berkilo-kilo.
Kajoran menjadi tempat nyaman, sebuah pilihan untuk mengumpulkan hawa perdesaan
dalam sejengkal pandangan. Sayang sekali waktu itu Gunung Sumbing sedang tidak
bersedia menampakkan diri. Cukup sawah berundak yang terbentang, barisan bebek
yang akan pulang, dan aktivitas petani dengan cangkul-cangkulnya.
***
Rupa kamar Lotus 2 ketika malam |
Malamku, kesampaian sudah rebahan di penginapan yang aku pilih sendiri. Meski ekspektasi pagi dengan sambut hamparan sawah tak terwujudkan karena sawah habis dibabat, paling tidak malam ini bisa menikmati hawa sunyi, menyingkir dari deru hilir mudik pesawat, kereta api, dan suara pesta-pesta hotel sebelah rumah.
Beberapa waktu kemudian, mati listrik |
Lotus 2, nama penginapan yang kami pilih ternyata belum selesai menawarkan kejutannya. Ya, malam ini penginapan mendapat gilir mati lampu. Nah, sudah gelap-gelapan di tepi sawah ditambah suara katak dan jangkrik di malam hari. Sempurna sudah penutup akhir tahun ini, penasaran tentang Telomoyo sudah lunas terbayar, pun dengan penginapan dengan halaman sawah
Jika
ada kesempatan ke Magelang lagi, aku akan mencoba yang belum pernah kucicipi.
Mengulang indah-indah yang ingin diputar berulang kali lagi, juga paket
curug-curug tingginya yang selalu terbawa mimpi. Sampai jumpa, di Kota sejuta
bunga.
11 comments
wah, mas mawi ki perhatian banget ya. dan peka dengan kode-kodean hahaha. lha emang kerjaannya berkaitan sama kode kali ya. wkwkw
BalasHapuskayaknya seru mbak mblusuk-mblusuk gitu. haha. jiwa mblusuknya emang nggak ilang mas mawi, meskipun sudah menikah. malah jadi pengalaman seru toh? kesel itu biasa. wkwkwk
Kadang peka, kadang enggak mas ahaha.
HapusIya capek bisa sembuh dengan istirahat, tapi kenangan dan pengalaman itu abadi. Kadang aku juga kebawa sama nekat-nekatnya Mas Mawi buat mblusuk-mblusuk ke suatu tempat yang antah brantah.
Aku pernah memandang telomoyo dari andong seperti dirimu memandang andong dari telomoyo mbak, ahahaha. Duh lihat ini jadi kangen mblusuk-mblusuk ke tempat dingin dan ijo-ijo.
BalasHapusLha ini kami muncak tapi pakai motor mbak, ahahaha. Nggak membayangkan kalau bener-bener treking yak.
HapusPunya foto Telomoyo dari Andong nggak mbak?
Aku Desember juga ke sekitaran ini loh. Tapi nggak ke Telomoyo, hanya duduk santai di desa yang lokasinya di lereng Telomoyo. Malah kangen nasi urap Jagungnya kalau di sana
BalasHapusSempatkan ke sini mas kalau mau off road pakai motor ahaha, sepeda juga boleh. Nanjak teroooos sampai atas.
HapusAku di sini cuma beli bakso aja lho. Bakso yang diplastikin ya Allah.
Belum pernah ke Telomoyo, dulu pengen banget ke sana kayanya kok enak bisa motoran sampe atas. Tapi kok jalanannya begituuuuuuuu, wah maturnuwun mundur teratur aja deh kayanya.
BalasHapusBtw ini kenapa poto2nya pada bagus2 amat sih, kaya poto kalender
*seketika inget sovenir nikahan kalender mb dwi
Weh ternyata pernah menjadi cita-cita daftar kunjungan to mbak? Aku dah pernah menolak mbak, tapi tetap gass aja Mas Mawinya naik. Sedih aku. Jalannya bikin ngilu badan mbakkk.
HapusTau kan kalau potonya bagus itu siapa yang moto? wkwk
Kalendernya dah habis 2018 yo mbak, tapi aku liat pas salat di kamarmu itu masih dipajang ahahaha (waktu itu).
Menarik nih, ulasannya renyah dan gurih. Segera ajak istri saya untuk kesana....
BalasHapusTerima kasih kak. Segerakan pas cuaca cerah
Hapuspemandangannya indah sekali kak
BalasHapus