Menyelami Ketenangan Kampung Pitu Nglanggeran Setelah Matahari Terbit

Selasa, Maret 21, 2017

Pemburu sunrise di Gunung Bantal, setelah matahari menang dari mendung. Dokumentasi oleh: Rifqy Faiza R

Sore itu, dalam perjalanan menuju Kawasan Ekowisata Nglanggeran aku masuk dalam tim basah. Satu mobil yang diisi oleh Hannif, Aku, Aya, Mbak Rizka dan Mas Alid kesemua personilnya berbasah kuyup tanpa ganti baju setelah berlumpur pasca off road kemudian diguyur aliran Air Terjun Sri Gethuk.

Sungguh jika mobil yang kami tumpangi saat itu bisa mengeluh: “Apes”. Batinnya mungkin begitu. Beberapa tetes air menggenangi karpet begitupun joknya.

Tanganku menangkup kedinginan. Samar-samar hembusan AC menambah sekian dingin semakin terasa. Tertahan menggigil sambil terus memandangi pemandangan luar jendela. Ada rapatnya hutan jati, sawah nan hijau bertingkat, hamparan pohon kayu putih, sesekali juga memandang dalam lekuk bentuk rumah warga yang khas masih terjaga.

Di luar sana, langit mendung seakan tak mendukung terbayarnya rinduku kepada senja yang tenggelam di ufuk Nglanggeran.

Di Balik Bukit, senja itu. Dokumentasi oleh: Insanwisata

Tuhan, ternyata selain Maha membolak-balikkan hati, juga Maha membolak-balikkan kondisi langit.
Tiba-tiba perhatian kami kompak memperhatikan pemandangan di luar jendela sisi kiri. Tak mengira, langit mendung masih sudi menyisakan sedikit ruang bagi baskara menampilkan bulatan sempurnanya.

Semacam mengucapkan “sugeng rawuh wonten ing Nglanggeran” melegakan rindu kami menyaksikan senja bersembilan.

Dua rombongan mobil kompak berbelok ke arah Embung Nglanggeran. Lega bercampur suka-cita. Mas Aris Purba cukup peka membaca keinginan kami menjumpai senja yang sempat menggoda di balik jendela.

Dari bawah, anak tangganya sudah terlihat mengular naik sebagai penguji kesungguhan kami bertatap senyap kepada senja.

Embung Nglanggeran dalam senyap senja. Dokumentasi oleh: Insanwisata.

Menatap dalam, refleksi magis senja di Embung Nglanggeran. Dokumentasi oleh: Insanwisata
Tak butuh lama, kami sudah sampai di bibir embung dengan masih berbalut baju basah.
Dingin, sendu berlatar semburat merah di kaki cakrawala. Keberadaan baskara tak seutuh penampakan cantiknya sepanjang perjalanan tadi. Kali ini menyisakan refleksi magis terlukis di sepanjang genangan tenang sepanjang pinggiran embung.

Di tepian embung berjejer tripod menghadap tenggelamnya sang baskara. Beberapa pengunjung nampak serius berkompromi kepada sisa waktu untuk merekam lukisan jingga yang tersisa. Sebagian mereka berburu siluet dengan membelakangi lensa.
Kami berada di antaranya.

“Oh begini romantisme senja di Embung Nglanggeran di kala senja menjelang petang?”

Sesungguhnya, menikmati Embung Nglanggeran tak berbatas waktu. Pintunya buka 24 jam untuk siapapun yang berniat tinggal tenang sesaat menikmati keindahannya. Namun, pendar kelap-kelip lampu telah berderet teratur di tepian embung laksana alarm bagi kami untuk kembali menuruni anak tangga. Kami harus pulang menuju homestay. Mengganti basah yang masih melekat sepanjang senja, istirahat untuk menyiapkan sebaik-baiknya esok pagi.

Seiring tapak kakiku berlalu menjauhi bibir embung, rasanya seperti sekilas pertemuan namun menyisakan kesan mendalam. Batinku tak banyak, sambil berlalu membuka pintu mobil yang telah menunggu lama rombongan kami di parkiran.

***

Kami rombongan kecil perempuan-perempuan anggun berjumlah tiga, menghuni dalam satu kamar di Homestay Linda Gunawan. Letaknya hanya beberapa meter. Tak jauh dari Gunung Api Purba Nglanggeran.

Beritanya, riwayat kesuksesan sunset tadi sore akan dibuat lebih sempurna lagi oleh sunrise di Gunung Bantal, kemudian akan ditutup oleh silaturahmi ke Kampung Pitu.

“Siapa yang tak girang?.”
“Siapa juga yang tak bahagia jika harus bangun pukul 03.00 WIB?.”

Kebetulan kedua temanku bersemangat.
Aya dan Mbak rizka masing-masing kompak memasang alarm di gawai pintarnya. Benar saja, alarm itu tak hanya sekali bernyanyi membangunkanku. Kulirik ke arah mereka. Masih terpejam.

Ada sela di balik mendung, kemunculannya pagi itu. Dokumentasi oleh: Insanwisata

Rasa lelah terkalahkan oleh bayang-bayang sunrise. Membayangkan sapaan sang mentari pagi yang akan terlihat pertama kali di bumi Nglanggeran. Mereka telah bangun. Akhirnya kami semangat berjalan meskipun dengan langkah gontai menuju pendopo di samping Gunung Api Purba Nglanggeran. Genap sudah kami bersembilan.

Dalam remang belum masuk waktu subuh, terlihat samar ekspresi mereka. Tak muncul gurat lesu ataupun kantuk yang terlihat tertahan. Ekspresi kami seragam. Semangat memapas sunrise yang dijanjikan pagi.

Sebuah kendaraan bak terbuka mengangkut kami bersembilan ditambah Mas Lilik Purba berdiri paling belakang. Aku memilih berdiri di sisi kanan sambil memegangi rangka besi yang menjadi batas penjaga agar terlindungi.

Kendaraan merangkak dalam gelap. Erangan mesinnya terdengar menggetarkan berbalut cemas yang kusimpan sendiri.

Jalan kami tak mudah. Berkelok, menanjak sempit tanpa menyisakan ruang sebelah kanan dan kirinya. Ya, aku cemas. Bahkan aku belum sempat melihat siapa gerangan pengemudi kendaraan bak terbuka ini. Rasanya hanya pasrah percaya saja menumpang di belakang sambil dalam diam berdoa dengan memejamkan mata.

Kulirik sebelah kiri, lampu kelap-kelip kota berlomba memunculkan rupa warna mengiringi lantunan azan subuh berkumandang. Kendaraan kami berhenti di samping Surau kecil di bawah Kampung Pitu. Di sana kami salat subuh berjamaah sebelum melanjutkan laju menanjak menjemput sunrise.

Subuh itu, langit tak kesepian dengan hiasan binar bintang. Kami berjalan menapaki tanah basah selepas hujan. Licin tanahnya seperti janjinya yang susah dipegang, eh lebih tepatnya lengketnya nempel banyak pada alas kaki.

Gunung Bantal masih menerima kedatangan kami. Dia menyuguhi kami sisa kerlap-kerlip lampu kota di sekeliling kaki Gunung Merapi. Langit kala itu juga masih bertabur bintang yang semarak dengan kerlap-kerlipnya.

Genangan kabut menyambut kehadiran sang baskara. Dokumentasi oleh: Insanwisata.

Berdua saja.  Dokumentasi oleh: Rifqy Faiza Rahman

Tak lama, satu per satu bintang mohon diri. Tamu agung akan menggantikannya sebentar lagi. Semburat jingga muncul perlahan. Dia yang kemarin sore berpamit pulang di kaki langit Embung Nglanggeran telah kembali dari ufuk timur Gunung Bantal. Kabut tipis menggenang tenang, Embung Nglanggeran pun mulai terlihat selingkar kecil dari atas.

“Baskara memiliki caranya untuk kembali”.

Genangan kabut, selingkar embung, dan jepretan pagi. Dokumentasi oleh: Insanwisata

Di atas Gunung Bantal, anginnya sungguh sembribit. Dokumentasi oleh: Nasirullah Sitam
Potret Embung Nglanggeran dari puncak Gunung Bantal. Dokumentasi oleh: Nasirullah Sitam
Kami bersembilan belum ada yang mandi pagi itu. Gaya poto: pinjem yang udah jadi trademarknya Mas Alid. Difoto oleh: Mas Lilik Purba. Dokumentasi oleh: Insanwisata

Hadirnya menghangatkan dingin yang sempat dirasa ketika menujunya. Mata merem-merem semacam tersihir ketika menatapnya dengan dalam di ujung timur. Sirna sudah kantuk menggelayut itu, lenyap. Menantikannya dari sedikit cemas banyak mendungnya, sampai kini matahari sudah tinggi. Kami sudah diingatkan oleh Mas Lilik Purba bahwa waktu telah beranjak siang. Berduyun kami turun menuju Kampung Pitu.

Tak banyak yang tahu tentangnya. Sebuah dusun kecil yang berada di ketinggian 750 mdpl terletak di sisi timur Gunung Api Purba Nglanggeran.

Beruntung kami masih diizinkan Tuhan bisa bertemu dengan Mbah Redjo Dimulyo (100 tahun). Beliau adalah generasi keempat di Kampung Pitu. Di usianya yang telah genap seabad, beliau merunutkan cerita tentang Kampung Pitu kepada kami dengan Bahasa Jawa Kromo. Pak Heru menerjemahkan sambil sesekali menjadi jembatan setiap pertanyaan kami kepada Mbah Redjo.

Di Sekitar Telogo Guyangan. Dokumentasi oleh: Insanwisata.

Dahulu Rt: 19 yang masih menjadi bagian dari Dusun Nglanggeran Wetan ini bernama Dusun Tlogo. Tlogo ini diambil dari nama “telaga” yang menjadi sumber air Kampung Pitu, sehingga meskipun musim kering berkepanjangan tak pernah ada istilah sampai kekurangan stok air.
Nah baru sekitar tiga tahun yang lalu Dusun Tlogo tersebut diubah namanya menjadi Kampung Pitu agar orang lebih mudah mengingat.

Pitu dalam Bahasa Jawa artinya adalah tujuh. Sebuah dusun yang sudah sejak ratusan tahun yang lalu turun temurun hanya dihuni tujuh kepala keluarga, tidak lebih ataupun kurang.

Bagaimana jika terdapat pergeseran jumlah kepala keluarga?
Menurut kepercayaan adat di Kampung Pitu, jika terjadi kelebihan jumlah kepala keluarga harus dikurangi menjadi tujuh kepala keluarga, jika kekurangan juga harus ditambah agar tetap menjadi tujuh kepala keluarga. Sebab jika ada yang memaksakan untuk menambah atau mengurangkan jumlah kepala keluarga menurut keyakinan setempat akan terjadi “sesuatu” yang buruk. Kepercayaan itu sudah turun temurun dan dipegang kuat sampai saat ini.

Setelah kami dirasa cukup berbincang dengan Mbah Redjo, kami berpamit. Ajakan Pak Heru untuk berkeliling di Kampung Pitu sulit kami tolak.

Sesaat sebelum kami berpamit, diberikan kesempatan untuk mengambil gambar bersama Mbah Redjo Dimulyo (100 tahun) Sesepuh Kampung Pitu. Dokumentasi oleh: Insanwisata

Langkah kaki kami seirama, mata terus haus memandang setiap hal yang kami temui sepanjang jalan. Terlihat rimbunnya pohon bambu menjadi payung kami. Beberapa rumah di Kampung Pitu sebagian besar adalah rumah limasan dengan bentuk atap yang tak terlalu tinggi dengan didominasi oleh kayu. Di depan atau samping rumah, mereka memiliki beberapa kandang hewan ternak berpenghuni tak hanya seekor.

Awalnya, kami pikir letak rumah di Kampung Pitu itu jaraknya berdekatan atau bahkan berhimpitan. Ternyata tidak demikian. Malah bisa dibilang letak rumahnya memencar berjauhan satu dengan yang lainnya. Sebenarnya ada Sembilan rumah, namun dua rumah dikosongkan sehingga tetap ada tujuh rumah saja yang ditempati oleh total 25 jiwa.

Buah tangan dari warga ketika kami berkeliling di Kampung Pitu. Belalang sawah goreng. Rasanya lebih gurih jika dibandingkan dengan belalang kayu goreng. Dokumentasi oleh: Halim Santoso

Tak ada kesan primitif layaknya kampung adat di pedalaman pulau terpencil. Warga Kampung Pitu mengenyam pendidikan seperti wajarnya. Ada motor, listrik, teknologi seperti kehidupan wajarnya. Namun tak sembarangan orang yang bisa kuat dan bertahan tinggal di Kampung Pitu. Mereka adalah orang-orang kuat dan terpilih. Dengan kondisi geo-ekonomi yang sedemikian mereka bertahan. Di tengah arus deras modernisasi mereka tetap memegang teguh tradisi.

***

Jadi memang benar, tak perlu heran jika secara resmi UNESCO telah mengakui bahwa Nglanggeran masuk dalam jaringan geopark dunia tepat pada November 2015. Salah satu desa wisata terbaik tingkat ASEAN 2017. Bertubi penghargaan yang tentu sebagai sebuah bentuk amanah luar biasa untuk terus "menjaga". Pada kenyataannya, masyarakat Nglanggeran terus bebenah dan belajar. Perjalanan panjangnya untuk jatuh bangun, mengedukasi warga masyarakatnya dan pengunjung sungguh membuatku terkagum.

Konsep pemberdayaan masyarakat berhasil diterapkan secara apik. Segerombol kambing etawa dibudidayakan menghasilkan berliter susu. Kotorannya menyumbang subur pada sepetak kebun kakao yang berhasil diolah menjadi beraneka ragam makanan berbahan cokelat.

Aneka olahan dari kakao: Cokelat bubuk, cokelat batang, pisang cokelat, dodol cokelat, sabun cokelat, dan masih banyak lagi. Dokumentasi oleh: Insanwisata.
Pengunjung yang datang ke Nglanggeran tak hanya menikmati Lanskapnya, sibuk foto-foto, kemudian pulang. Ada “sesuatu” yang bertambah dalam diri ketika sudah kembali ke rumah.

Nglanggeran itu seperti kamu. Kamu dengan sepaket lengkap yang melekat mempesonaku. Bentang alamnya sanggup menyihir untuk tertegun kemudian tersadar untuk mengucap lirih takjub kepada yang Maha Pencipta. Adat tradisinya yang sampai kini teguh terjaga sanggup menakhlikkan rasa candu. Ia sanggup melahirkan suatu dorongan hasrat untuk kembali. Kembali lagi, melukis kenangan baru di sana, bersama kamu.

Informasi lebih lanjut untuk pembaca:

Nama Desa Wisata: Desa Wisata Nglanggeran
Alamat: Nglanggeran, Patuk, Gunungkidul, Yogyakarta

Sosial Media:

Twitter: @gunungapipurba
Instagram: @gunungapipurba

CP/WA: 081802606050 (Sugeng Handoko)
CP/WA: 081804138610 (Aris Budiyono)

* Cerita ini merupakan oleh-oleh dari keseruan rangkaian acara "Explore Desa Wisata Jogja" yang diselenggarakan oleh Forum Komunikasi Desa Wisata Provinsi DIY, pada tanggal: 24 s.d 26 Februari 2017.

Terima Kasih Sudah Berkunjung

35 comments

  1. Licin tanahnya seperti janjinya yang susah dipegang --> sungguh ini kalimat sukses bikin mewek di pagi hari, mbak... #lebay
    Syahdu banget sunset dan sunrise yang didapat di Nglanggeran waktu kita ke sana. Beneran beruntung selama perjalanan bisa melihat matahari terbit dan tenggelam yang keren. Ahh jadi kangen momen-momen gila bareng kalian.
    Oh ya, congrats buat domain barunya. Ditunggu bancakan ingkungnya di pendopo Nglanggeran hahaha.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mas halim kalau buat janji yang pasti-pasti aja jangan yang licin susah dipegang wkwk.

      Iya syahduu banget eh di sana. Tenang rasanya. Pingin balik, pingin nginep ke homestay trs ke watu bantal lebih lama.

      Makasih mas :) semoga sakinah mawadah warohmah ini ya

      Hapus
  2. Mbak kemarin kayaknya beli cokelat buat siapa ya? Hokya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Buatt buat seseorang :p
      Mas sitam kok yo ngemat-ngematke sih. Buat oleh-oleh dan cokelatnya nglanggeran enakk :')

      Hapus
  3. IYA MBAK. TUHAN MAHA MEMBOLAK-BALIKKAN HATI!
    Capslock rini kok aktif sih perasaan tadi enggak 🙈
    Rasanya, perjalanan seru mbak dwi dan teman-teman bisa mbak dwi kemas dalam syahdu ya~
    Rini mau diajak ke sana ya pagi-pagi. Lalu mampir beli coklatnya 😍

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ah kamu sekarang kalau nulis juga mengalirkan suasana syahdu mendayu kok rin :)

      ayok, sunrise dan sunset memang dengan pesonanya yang luar biasaaa :))

      Hapus
  4. Wah domain e anyar. Pantes RSS Readerku ngasih pesan error.

    Semakin Nglanggeran terkenal, semoga ya desa adat dan tradisinya masih bisa lestari. Semoga juga kesejahteraan warga tidak membawa dampak yang membuat Nglanggeran tampak "berbeda" dari tahun-tahun silam.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mas mawiii :))) mohon doa restunya ya :)

      Pas ke sini pake kaos mawmblusuk.com wkwk.
      Iya mas, kampung pitu sangat dijaga dari ekspose berlebihan agar tetap terjaga.

      Nglanggeran memang edukasinya masuukk banget deh. Salut.

      Hapus
  5. Waaah domain baru sudah selesai propagansi rupanya...selamat...

    Aku sempet mikir kalau ini fotonya semuanya bakalan siluet, eh ternyata di sebagian awal saja...ahaha

    Gunung Kidul sepertinya sedang gemar memakai kata "geopark" di beberapa objek wisata, memang sih buat orang geografi kalau Gunung Kidul itu karst banget jadi bisa dipelajari..
    Semoga wisatawan yanhg berkunjung ke geopark lainnya jadi lebih teredukasi... :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tapi dibuka agak lemot ya mas?
      Ini pas kameraku rusak, jadi ya aku nunut dokumentasinya temen-temen.
      Syahdu banget Nglanggeran ki sunset sama sunrisenya :)


      Iya, bahkan udah masuk di Geopark Unesco. Tanggungjawabnya luar biasa buat menjaga. Pengelola mengusahakan bagaimana pengunjung Gunung Api Purba Nglanggeran nggak overload. Jadi dikasih beberapa alternatif seperti: Air terjun Kedung Kandang, Embung Nglanggeran, Griya Cokelat, Kambing Etawa, Gunung Bantal, dan banyak lagii.

      Hapus
    2. Kalau domain aja nempel di blogger tuh gak ada kata lemot dari server seharusnya, mungkin karena template pada domain baru saja yang belum ter-cache di browser.

      Ntar bisa-bisa puncak bantal dibikin jembatan ke puncak nglanggeran...wkwkkww

      Hapus
    3. Aamiin semoga lancar lagi ya mas pas tak buka via hape. Apa perangkatnya hape yg ga support yaaa...

      Haaa jangan dibikin jembatan. Menciptakan jembatan dari hati ke hati aja lah yaaa wkwk

      Hapus
  6. gak pertamax gak opo2 sing penting komen di blog baru rasa lama :p
    baru domainnya tapi masih lama (baca: konsisten) cara nulisnyaaa. asique

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aaa makasih mas :) kamu ki dari awal blogku masih template bawaan blogspot dikasih poto-poto alay sampai sekarang masih konsisten menyimak yo :p juarakk.

      Aku yo nungguin postinganmu berikutnya lho :))

      Hapus
  7. Haseeeekkkkkk akhirnya ganti baju juga blognya, gak kayak yg punya uda basah2 an di sri gethuk kekeuh gak bilasan & ganti baju sampe nglanggeran. :p

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ademmm ee poll lho. Males bongkar-bongkar tasnya e mas.
      Terus juga nungguin mas aji wawancara waktu itu. Dadi tambah adem --" wkkw

      Hapus
  8. Membaca tulisan Mbak Dwi, seperti mendengar orang bernyanyi atau bersajak. Merdu dan syahdu untaian kata-katanya hahaha.

    Kita beruntung sempat mendapatkan momen sunset dan sunrise di Nglanggeran yaa, berkah buat desa ini karena dikaruniai pemandangan alam yang luar biasa :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waaaa kalau tentang nulis begitu ki tetep mas rifqy nomor 1 idola kita semua.
      Tulisanmu kui mas lebih menginspirasi mak jleb jleb.

      Iya, paket lengkap sekali di nglanggeran kemarin. :))

      Hapus
  9. Mampir ke baju barunya mbak dwi ah :3
    *udh gtu aja sik

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wkwk makasih mas jo, jadi terhura. Sinii ngopi-ngopi duluu sambil leyeh-leyeh nunggu sunrise

      Hapus
  10. Kereeen, harus ke sini ahm harus :)
    Foto-fotonya cakep, hannif yang fotoin ya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak... Sebagian besar dokumentasinya insanwisata 😂
      pas kameraku rusak jugaa soalnya

      Ayoook mbak kalau ke nglanggeran ajak-ajak ku mauu ikut

      Hapus
  11. Meninggalkan jejak pertama di relung hati yang kosong. eh relung langit.
    tulisanmu itu bener syahdunya Mba. seperti domainnya. hehe. Pas banget pemilihan nama blog e. Karena main di langit jg.

    Bener2 lengkap ya pas ke sini. Bisa dapat sepaket pemandangan dan budaya yang sangat jarang. Ini jogja lho. Dan ada macam kampung kaya kampung pitu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dokumentasinya yg bikin syahdu ki nif, sedangkan dokumentasi banyak disupport sama insanwisata 😂🙏

      Iya, makasih torehan jejaknya yaa semoga semakin produktip nulis. Makasihh juga udah diajak ke sini rame-rame...seruuu

      Hapus
  12. efek baju basah terus ganti domain mbak? *melipir* *komen oot*

    pemandangan sunset dan sunrise nya cakep !

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hai mas dikaa, makasih sudah menorehkan komen di domain baruu *eh

      Iya cakeeepppnya bikin pingin balik lagi :')

      Hapus
  13. Balasan
    1. Diluangkan waktunyaaa :)
      ke sini pas senja atau sunrise

      Hapus
  14. itu belalang gorengnya berbumbu ga sih mbak ? aku selalu penasaran

    senja-senjaan ama panorama emang selalu juarak dimata :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Berbumbu gurih-gurih asin mbak :p
      Kalau di Jogja dong, agendakan :))

      Hapus
  15. Pemandanganya sip markisip mbak :-) Masya Allah..
    btw ane pernah dibawain belalang goreng oleh-oleh dari temen pas ke Jogja. cuma makan 1 dilidah kok kayak gatel gitu ya, apa emang gak pernah makan makanya jadi aneh. Hehehe.
    Padahal belalang termasuk 2 hewan yg halal untuk dimakan..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nglanggeran bisa dijadikan pilihan tempat untuk menikmati sunset maupun sunrise mas :) kece badaii

      Itu mungkin sugesti saja kalau mau makan belalang rasanya belum tega soalnya belum terbiasa. Padahal protein tinggi dan gurih-gurih lezat lho :))

      Hapus
  16. tarik nafas sanking cakepnya..
    senja syahdu kebiruan, duduk tepekur di situ pasti jadi lupa segala
    catat ah
    salam kenal ya mbak Dwi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih mbak monda sudah mampir, kapan-kapan kalau ke sini agendakan di antara sunser atau sunrise itu. Iyaa syahdunya dapet dah.

      Salam kenal kembali :)

      Hapus
  17. Keren banget sih Kampung Pitu Nglanggeran ini
    Kapan2 aku mau dolan ke sini ah
    Kindly visit my blog --> bukanbocahbiasa(dot)com

    BalasHapus