Melintasi Bantul-Gunungkidul: Sebuah Perjalanan Nostalgia bersama Getek Bambu

Jumat, Juli 15, 2016



Aku sedang semangat-semangatnya bernostalgia.
Sedang semangat sekali jika diajakin reuni, bertemu dengan teman-teman SD, SMP, meskipun tema ceritanya masih berkisar tentang anak, suami, atau keluarga mertua *aku kuat*.

Atau belum lama kemarin juga ketemuan dengan teman-teman masa kuliah yang meskipun cuma segelintir orang tetap menyempatkan buka bersama ala piknik di tepi pantai.

Kuputar kembali kenangan waktu lebih jauh.
Dan benar, terbayang kembali dengan sangat jelas masa-masa ketika umurku masih 5-7 tahun.
Waktu itu, aku pernah beberapa kali menyebrangi Kali Opak dengan perahu getek saat masih belum berjembatan beton.

Pada saat itu, jembatan yang melintang di Kali Opak hanya berupa sesek bambu yang ketika banjir hanyut terbawa arus. Di momen banjir seperti itulah saatnya getek bambu mulai beroperasi.

Rasanya, masih ingat betul bagaimana sensasi goyang-goyang menaiki getek bambu yang mengapung tanpa sekat pengaman menerjang arus begitu deras berwarna cokelat pekat. Sedangkan nahkoda geteknya hanya bersenjata sebatang bambu panjang menjulang yang menjadi tumpuan. Ketika itu tanganku sering menggenggam erat mengisi sela-sela kosong tangannya simbah, dengan sesekali menarik jaritnya disertai ekspresi agak ketakutan.

Yang terbayang saat itu adalah ketika getek terbalik, maka kami bakal jadi santapan makan buaya besar.

Padahal ya mana ada buaya? nah kalau zaman sekarang beda lagi: "kita akan dengan mudahnya menemukan buaya dalam versi yang bermacam-macam rupa" :p
Jika kuingat kembali berbagai imajinasi anehku ketika kecil dulu, rasanya geli jadi senyum-senyum sendiri.

Di tengah-tengah kekhusyu’anku mengulik kenangan-kenangan masa kecil, muncullah sekilas gambar perahu getek dari akun @JelajahBantul di timeline twitterku.

Yang tadinya jempolku dengan cepatnya menggeser ke bawah, kuralat lagi untuk mengulanginya naik ke atas dengan hati-hati. Sepertinya kali ini Tuhan sedang menyimak cerita nostalgiaku.

Penampakan foto getek yang mencuri perhatianku

Aku kembali mencermati penampakan getek bambu di retweetan  foto itu.
Menurut lokasi yang dicantumkan di keterangan foto, getek bambu tersebut berada di Dusun Ngrejek, Dlingo Bantul.

Lokasi getek bambunya bukan di Dusun Mangir Pajangan Bantul yang sekarang sudah penuh dengan kelap-kelip lampu blitz kamera itu.
Menurutku, lokasinya kali ini masih sepi dan cocok banget lah buat "refreshing ala aku".

Duh, rasanya kok jadi sumringah, tengah malam sebelum tidur itu rasanya ingin sesegera kubalik jadi pagi.
Yaaah mana bisa?
Aku harus sabar menunggu pagi esok hari.

***

Esok harinya bertepatan dengan H+3 lebaran.
Terlewati sudah hari pertama dan kedua lebaran dengan segala maaf, kunjung-mengunjungi, cicip-mencicipi, salam-menyalami yang terkadang sampai malam hari.
Sudah juga quality time-an sama keluarga, saudara, teman, sahabat, pasangan? dan layar hape karena membalas ucapan-ucapan via dunia maya.

Dan kini, sungguh tak terasa waktu liburanku akan berlalu begitu cepatnya.
Waktu liburan yang tinggal sesingkat ini harus bisa kumanfaatkan barang sehari saja dengan syarat: nggak pakai macet, menenangkan, dan mendamaikan.

Syarat-syarat tersebut menuntunku untuk menolak secara halus ajakan rombongan saudara untuk piknik ke Air Terjun Jumog Karanganyar juga ajakan teman untuk ke Kediwung Dlingo yang sedang hits banget itu.

“Karena pada kenyataannya bayanganku masih tentang getek bambu”.

Untuk segera meredakan rasa penasaran, selanjutnya ku buka Google Maps ala kadarnya.




Kalau via Maps, Ngrejek Dlingo berada di Dusun Seropan.
Tapi kemudian setelah kuamati petanya, kok di sekitaran lokasi itu tidak kutemukan gambar sungai?
Mungkinkah gambar geteknya hanyalah hoax semata? Atau geteknya mengapung di tanah kering?

Duh…

Daripada berjalan dalam keraguan, kuhentikan laju motorku. Kemudian mencari kepastian dengan cara bertanya kepada penduduk sekitar yang ketika itu masih berkumpul bersama keluarga karena masih dalam nuansa lebaran.
Ya, saat itu aku pun mendapatkan pencerahan atas kebimbangan sepanjang perjalanan tadi.

“Di Seropan adanya hanya goa mbak tidak ada sungai, memang di Dlingo ada dua Dusun Ngrejek”

“Kalau yang mbak maksud adalah gambar ini, dusunnya berada di sebelah sana.
Namanya: Dusun Kebosungu II atau sering disebut Ngrejek”

imbuh bapak-bapak yang sudah siap-siap nyetarter kendaraannya.

Nah, GPS yang valid itu memang Gunakan Penduduk Setempat kan?

Tetapi di setiap perjalananku rasanya belum afdol kalau belum sampai keblasuk. Ternyata aku kebablasan sampai pohon beringin besar sebelum Jembatan Getas.
Atas petunjuk bapak-bapak yang sibuk mengatur kesibukan jalan, juga atas petunjuk bapak pemilik bengkel dekat Kecamatan Dlingo, aku sampai juga di jalan utamanya.
Ternyata jalannya masih searah dengan Curug Lepo.

Kususuri lurus dengan tergesa jalanan aspalnya. Beberapa kali ada tikungan dan belokan kecil bercorblok juga berhasil kuabaikan.

Sepanjang jalan sepi

Aku menaati nasihat simbah-simbah yang kutanyai dalam perjalanannya mencari rumput tadi.
Beliau adalah menjadi informan petunjuk jalanku yang ke-5 :p

pokoknya lurus saja ndug, nuruti aspal…ojo digubris belokan dan gang kecilnya

Sampai kulewati jalanan sepi yang kanan-kirinya berhiaskan pohon-pohon tinggi,
kemudian dikelilingi semak-semak bunga liar,
kemudian pohon tinggi lagi,
kemudian bukit bertingkat yang dipenuhi hijau tanaman kalanjana,
dan tibalah kepada gapura desa “Sugeng Rawuh di Dusun Kebosungu I”

Gapura Masuk Padukuhan Kebosungu I

Nama Dusunnya agak menggelitik: “Kebosungu”, jangan dibalik jadi “Sungukebo” yaaa? nanti artinya udah lain.

Suasana yang kurasakan ketika masuk di dusun ini adalah suasana yang tenang, damai, tertata, bersih.
Entahlah apa hanya perasaanku?
Sepanjang jalanan dusun yang kanan-kirinya meriah dengan umbul-umbul bendera polos warna-warni, sebuah patung gajah, dan yang paling menarik perhatianku sampai harus berhenti untuk mengabadikan fotonya adalah keberadaan papan-papan kecil kayu berwarna biru yang berdiri kokoh di setiap rumah.

Papan biru kecil yang menerangkan nama pemilik rumah

Setiap depan rumah, terdapat papan-papan kayu yang menerangkan nama pemilik rumah.
Waah inovatif sekali ini. Ada: Suprawata, Jumiyem, dan sebagainya.
Jadi ketika kita mencari alamat suatu nama yang tinggal di dusun tersebut tidak akan terlalu kesulitan.

Dari Dusun Kebosungu I tetap lurus sampai ketemu dengan Dusun Kebosungu II atau biasa disebut Dusun Ngrejek. Di sinilah tempat getek bambu yang kucari itu terapung melintasi Kali Oya.

Sudah beberapa penduduk mengingatkanku bahwa jalan yang ditempuh untuk turun menuju kali begitu curam dan harus super hati-hati.
Dan benar saja, jalannya curam meliuk tajam.
Turunannya tiba-tiba berubah keadaan medan jalannya jadi agak gronjal-gronjal.
Jika saja aku ke tempat itu dengan teman, pasti deh stang motorku langsung kuserahkan kepadanya untuk berganti posisi.
Tetapi karena ini sendirian dan dalam posisi kepepet, maka terus kupegangi stang motor dengan memaksimalkan fungsi rem.

Sampai samping makam tepat di atas tanggul kali, aku berhenti.
Sepertinya motorku harus kutitipkan di sini.
Aku tidak bisa memaksakan untuk terus turun, karena medannya sungguh di luar kemampuanku.
Kulihat yang penduduk asli saja kepayahan  mengendarai motornya dari bawah kali.
Yaa… kemudian aku pasrah saja buat turun ke kali dengan cara jalan kaki.

Pandanganku kemudian fokus tertuju kepada ikatan beberapa bambu layaknya rakit berbentuk papan yang terapung dengan lancar.
Itu dia si getek bambu yang kumimpikan sejak semalam.
Mataku sungguh berbinar kegirangan. Jalan setapak turun menuju kali itu kutapaki terasa sangat singkat.

Pemandangan sesaat ketika aku turun menapaki tanggul kali

Kulihat beberapa penumpang telah diangkut sampai di seberang ke arahku. Pandangan mereka semua tertuju kepadaku yang kemudian kubalas dengan senyuman merata ke semuanya.
Setelah ujung getek bertemu  tatanan batu untuk tumpuan beberapa kaki penumpang, akhirnya kakiku berhasil mendarat di getek bambu itu.

“mau kemana mbak?”

tanya dua bapak sang nahkoda getek bambu.

“hehehe… nggak mau kemana-mana pak, cuma kepingin naik sini aja boleh kan? nanti ke timur dan ke barat aku ikut terus boleh kan ya pak?”

Begitu rayuku sambil pasang muka melas dan Alhamdulilah kedua bapak tersebut menyetujuiku.

Pak Ashari dan Pak Khori :)

Setelah itu kami berkenalan dengan obrolan-obrolan ringan sampai agak-agak berat.
Mulai dari cerita tentang tempat tinggal, pekerjaan, kehidupan, keluarga, dan cinta.
Kedua bapak tersebut bernama: Bapak Ashari dan Bapak Khori.
Bapak Ashari usianya sudah sekitar 70 tahun, sedangkan Bapak Khori usia beliau masih sedikit muda di bawah usia Bapak Ashari. Sudah puluhan tahun beliau berdua mengoperasikan getek bambu yang selalu melintasi Kali Oya ini. Jam operasionalnya mulai dari jam 07.00-17.00 WIB.

Jam operasional tersebut bukanlah patokan baku, karena bahkan jika ada orang yang membutuhkan diantar melintasi kali oya yang memisahkan dua kabupaten tersebut beliau siap, termasuk ketika rumahnya diketok-ketok penumpang pukul 00.00 WIB.

Kenang-kenangan (ber-selfie), akhirnya keturutan sudah nostalgia bersama getek bambunya :))

Untuk biaya naik getek, jika ada warga yang hanya jalan kaki hendak naik getek cukup membayar seikhlasnya saja, sedangkan jika ada penduduk hendak membawa serta motornya naik getek cukup membayar Rp.5.000,-
Memang jika getek bambu ini dinaiki sepeda motor butuh tambahan tenaga yang tidak sedikit untuk menariknya, sehingga untuk satu kali perjalanan getek maksimal hanya 3 motor saja yang boleh naik.

Pada hari-hari biasa, beliau mendapatkan pendapatan dari hasil menarik getek sekitar: Rp.60.000,- sampai Rp.70.000,- untuk dua orang (Bapak Ashari dan Bapak Khori).

Tetapi pada momen lebaran kali ini, beliau bisa memperoleh pendapatan sekitar Rp.300.000,- - Rp.400.000,- per harinya.
Hanya setahun sekali saja di momen lebaran, ketika mobilitas orang-orang sedang sibuk bersilaturahmi.

Sepanjang beliau menjemput dan mengantar penumpang aku ikut saja dan dikasih tempat selonjoran di atas getek.
Kalau tidak salah, hampir 6 kali sudah getek bambu tersebut bolak-balik denganku yang masih menyertai menjadi penumpangnya.
Selama itu aku juga berkenalan dan berbincang dengan beberapa penumpang getek, termasuk keluarga ini:

Sita, anak yang masih duduk kelas 2 SD ini selalu wajib mandi kalau naik getek

Pertanyaan yang selalu sama kuterima entah dari penumpang ataupun Pak Khori adalah:

mbak, moso sih ke sini sendiri?”

pertanyaan ini sungguh berulang kali beliau ajukan sambil sesekali berusaha mencari seseorang di atas tanggul kali.

beneran pak, saya itu sendirian… ya masa masih tidak percaya pak?

aneh mbak, jarang-jarang ada perempuan sendirian jauh-jauh dari pundong cuma mau naik getek…ealahh” canda beliau sambil tertawa lebar

duh iya pak, dolan nggak jelas seperti ini juga sepi peminat pak…mau ngajak siapa malah bingung

lha kok nggak ngajak pacarnya?” *kemudian hening*

***

Getek bambu ini menjadi sarana transportasi satu-satunya yang menghubungkan Dusun Kebosungu II, Dlingo, Bantul dengan Dusun Banyusoco, Playen, Gunungkidul.

Wah berarti jika aku turun di sisi sebelah timur itu? Kakiku sudah berada di tanah Handayani?
Niatku ternyata diamini beliau.

monggo mbak kalau mau jalan-jalan…pulangnya kapan juga nanti kami tunggu

Pak Khori kembali setelah selesai mengantar kami

Pak Ashari mengantarku serta, sedangkan Pak Khori ditinggalkan sendirian menahkodai getek.
Sebenarnya aku agak heran, kenapa Pak Ashari semangat sekali mengantarku jalan-jalan ya? J

Obrolan kami berhenti kepada pohon beringin tua besar yang di bawahnya terasa sejuk dengan semilir angin.

Penampakan pohon beringin tua


Tepat di samping bawah pohon ini terdapat sumber mata air yang mengalir begitu jernih.
Kulihat ibu-ibu yang sedang asyik mandi, ibu yang lain sedang mencuci baju sambil memandikan putri kecilnya.

Desa Banyusoco berasal dari kata banyu yang berarti: air, sedangkan soco yang berarti: lebih.
Pantas saja desa ini termasuk salah satu desa di Kecamatan Palyen yang tak pernah kekurangan air.

Meskipun begitu, menurut Bapak Ashari, masih banyak sekali sumber air yang belum dikelola dan dimanfaatkan dengan baik. Sebagian besar hanya masih dimanfaatkan oleh penduduk sekitar untuk kebutuhan sehari-hari.

Airnya jernih dan mengalir

Di dalam karung putih itu berisi cucian bersih

Pak Ashari membawaku ke arah selatan, membelah semak hutan yang rencananya beberapa bulan lagi lokasi ini akan dijadikan tempat wisata. Jadi seluruh rerumputannya akan dibabat dan dibangun saung-saung warung.

Sebentar lagi tempat ini akan ditata sebagai tujuan wisata

Akhir rute dari jalur river tubing

Masih (rencananya) kawasan aliran kali oyo ini akan dijadikan lokasi river tubing.
Kalau dilihat dari karakter sungainya yang cenderung tenang dan minim jeram, sepertinya untuk bentuk wisata sejenis river tubing kayanya jadi agak membosankan ya?
Tapi entahlah nanti, lain kali jika semua sudah dibangun baru semua akan menjadi jelas J

***

Adzan dhuhur mulai berkumandang, sudah kulihat berbondong-bondong: bapak-bapak, mas-mas, anak-anak, sudah rapih mengenakan sarung dan kopiahnya menuju Masjid.
Begitupula Bapak Ashari, beliau minta izin untuk bergegas pergi sholat Jum’at.

injih pak monggo, saya nunggu di sini saja pak sambil berteduh menikmati angin

oh, tidak boleh… ayo ikut saya pulang ke rumah… kebetulan semua anak-anak saya sedang mudik ke rumah”

Gaya serius beliau untuk ikut dengannya mampir ke rumah sungguh sulit kutolak.
Kuikuti langkah beliau dari belakang, ternyata rumahnya terletak hanya beberapa meter di sebelah timur Kali Oya, berarti rumah beliau ada di Playen Gunungkidul.

Teras rumah sudah ramai dengan cucu-cucu beliau yang sedang bergurau.
Motor-motornya berbaris rapi senada dengan banyak sandal yang berjejer.
Mulailah aku dikenalkan dengan istri beliau, dan putra-putri beliau yang kebetulan pulang mudik dari Jakarta.

Sembari menunggu Pak Ashari Jum’atan aku sibuk mendengarkan cerita dari istri beliau.

Pada hari-hari biasa, beliau hanya tinggal berdua saja bersama Pak Ashari. Di momen lebaran seperti inilah keluarganya bisa kumpul utuh seperti ini.

Entah kenapa ya rasanya bisa ikut terharu.

Kalau kata iklan di TV: “orangtua akan kesepian justru ketika anak-anaknya sudah sukses” :’)

Di sela-sela obrolan santai kami, putri Pak Ashari mengantarkan beberapa kaleng biskuit lebaran, buah jeruk, snack, dan dua gelas teh panas.

Jamuan dari keluarga Pak Ashari

benar to? jadi merepotkan?” batinku

Tak lama kemudian rombongan sholat jumat telah tiba di rumah berbarengan dengan diantarnya beberapa piring makanan kembali memenuhi di atas meja.

Masih ditambah ini? *elus perut*

Ada lele goreng yang ditata menggunung di piring, sambal krecek dengan irisan lombok merah , dan rica-rica ayam kampung hasil dari menyembelih ayam peliharaan belakang rumah.

Kenapa rasanya enak sekali?

Menikmati makan dengan suasana seperti ini memang sanggup menambah cita rasa makanan yang mungkin aslinya biasa.

Terimakasih banyak, tidak terhingga :))

***

Obrolan kami berjalan begitu hangat sampai tak terasa waktu telah  beranjak siang.
Kami memutuskan untuk kembali menuju kali.

Sepanjang perjalanan, rasa terimakasihku kuulang-ulang kuucapkan kepada Pak Ashari.

Bekalku masih utuh ini :)

Betapa lunch box -ku yang berisi beberapa potong brownise kukus tiramisu marble, lolipop, dan empat buah jeruk ini masih utuh tanpa kusentuh karena perutku sudah sungguh penuh.

Obrolan kami berlanjut, dan mungkin ini juga lintasan terakhirku menuju Bantul siang ini. 

Beliau mengantarkanku pulang kembali?

Setelah ancang-ancang hendak pamit, aku memperoleh informasi dari beliau bahwa tepat di sebelah utara tali getek bambu ini, sebenatar lagi akan dibangun sebuah jembatan beton.

itu mbak, di situ besok akan dibangun jembatan beton…
kalau tidak tahun 2016 ini ya tahun 2017 sudah mulai pembangunannya

iya kah pak? berarti sebentar lagi getek ini juga hilang?” tanyaku sambil menatap kedua bapak ini.

iya mbak, entahlah besok kita kerja apa.. jual dawet apa mie ayam, apa es cincau ya?” jawab beliau sambil tersenyum

Padahal, anak sulung Pak Khori sudah berhasil lulus dari perguruan tinggi ya salah satunya dari hasil beliau menarik getek bambu ini setiap hari.

Memang, suatu kebijakan, pembangunan, dan semacamnya selalu membawa dampak positif dan negatif. Namun semoga, pembangunan jembatan beton nantinya dapat membawa manfaat yang lebih luas untuk penduduk sekitar.
Untuk Bapak Ashari dan Bapak Khori, semoga selalu diberikanNya kesehatan terus dan rezeki lain yang lebih banyak dan berkah. Aamiin.

***

Siang menjelang sore itu, aku menikmati perjalanan menuju pulangku menuju Bantul meskipun hanya duduk selonjoran di atas getek bambu.

Sesekali kuperhatikan aktivitas pemancing yang fokus memasang umpan, aktivitas naik turunnya penumpang, memperhatikan aliran tenang kali, dan terbawa sejuk oleh rimbunnya pohon bambu yang sesekali terkibas angin memayungi.

Jadi mungkin ini nostalgia ku bersama getek bambu yang jika 2 tahun ke depan aku diizinkan kembali lagi ke sini, aku sudah tak lagi bisa menemui.
Mungkin besok aku hanya bisa bertemu dengan jembatan beton, tidak ada yang istimewa seperti jembatan kebanyakan.

Jembatan beton, yang ketika melintas tak akan ada perbincangan sedekat ini.

Terima Kasih Sudah Berkunjung

26 comments

  1. Aku wes berharap banget anake pak ashari kui cowok, terus dijodohke ro koe je.. Duhhh malah cewek ahahhahahahhah

    BalasHapus
    Balasan
    1. terus kenapa cobak?
      emang cowok kok anak yang terakhir :p

      Hapus
  2. Menarikk nostalgianya... Kalo mau coba yang di deket kota boleh banget mlipir ke Solo, nti kuanter nyeberang pake gethek yang bayarnya cuma 2.000 rupiah sekali jalan lihat bekas pelabuhan besar di Desa Sala zaman mbiyen. *kedip-kedip ^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bolehhh ..... ini ajakan bosa basi apa seriusan?
      aku masih belum puas e nostalgia sama geteknya haha.
      Berarti kalau di solo pemandangannya udah kota-kota? Apa tetap nuansa desa?

      Hapus
  3. Tak kira dirimu mau dijodohin sama anaknya mbak, soalnya pakai dibawa ke rumah segala :P

    BalasHapus
    Balasan
    1. Enggak lah yoo moso apa apa terus diprospek :'D

      Hapus
  4. Nyebrang kali dengan getek kayak gitu di banyuwangi juga ada mbak, didusun tengah taman nasional merubetiri, tepatnya dusun sukomade desa sarongan, jauh sekali dari kota, krn jarak dan medan yg sulit, perjalanan bisa sampai 4 jam lebih dr pusat kota banyuwangi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lengkap sekali mas posisinya dan rutenya :) terimakasih...mungkin lain kali perlu ada agenda jelajah getek bambu yaa

      Hapus
    2. iya mbak. bule aja banyak yang lewat sana, karena itu satu-satunya transportasi menuju pantai sukomade, tempat penyu dari samudera hindia bertelur. masa yang orang dalam negeri sendiri belum ;D
      #promosi

      Hapus
    3. waaa tempat penyu bertelor beneran mas? ada kah tulisan atau gambar atau foto tentang pantai ini pas ada penyunya :o :o :o

      Hapus
    4. di google banyak mbak :) saya belum sempat menulisnya, sebenarnya udah dua kali kesana, yang pertama tidak bertemu penyu karena tidak diizinkan kepantai, sudah terlalu malam. yang kedua bisa melihat langsung. waktu itu bersama turis jepang. walaupun tidak bisa melihat penyu, masih bisa melihat penangkaran tukiknya :)

      Hapus
    5. Ya Allah beruntung sekaliii bisa melihatnya mas?
      Selaluu kepingin melihat penyu bertelur di alam aslinya,
      Selama ini ikut release tukik ke pantai ya sekitar bulan bulan agustus...
      Semoga suatu saat bisa kewujud melihat langsung mas,
      Makasih banyak infonya yaa :))

      Hapus
  5. ke sini kok ngga ajak ajak sih. hehe

    aku kemarin sore mengajak adikku ke sini tapi adikku sedang sok sibuk haha

    BalasHapus
    Balasan
    1. apalagi kalau adiknya udah gede terus punya pacar :p

      Hapus
  6. foto foto putra nya pak Ashari kok ngga ditampilkan di sini?

    BalasHapus
    Balasan
    1. kenapa yang nggak ada pada ditanyain sih? haha enggak mau moto-moto ntar dikira apa mas :p
      cukup ngobrol aja kemarin

      Hapus
  7. Koyone seru numpak getek bambu koyo ngene, ning Pontianak ra eneng masalahe. Salam kenal dari Pontianak, putera asal Jogja (Wonosari) juga... :-)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Weee makasih mas asli dari bumi handayani... kapan kapan kalau pulang boleh nostalgia naik dari banyusoco :) emang sih momen naik getek ga bisa selalu bisa ditemui di segala tempat :)

      Hapus
  8. Mba kok kamu sekarang jala2 tanpa traveler gosip sih. kan aku pengen naik getek gini.

    BalasHapus
  9. Subhanallah Mbak Dwi, cerita perjalanannya seru sekali. Lokasi desanya, sungainya, dan geteknya benar-benar bikin mata saya terbelalak. Apalagi sambutan penduduknya. Beruntung sekali dirimu Mbak, ini balasan karena sudah mau berlelah-lelah naik motor ke tempat sepi dan jalan nya susah. Jempol Mbak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih mbak evi, memang semua itu adalah seninya jalan-jalan...pake kesasar, jalannya susah, tanya sana sini, tapi semua itu ga seberapa dibandingkan pelajaran yang didapat setelahnya.
      Perjalanan kali ini memang salah satu pengalaman yang tak terlupakan mb evi...

      Hapus
  10. aku anak kota, belum pernah naik geteeeekk..
    dan seperti pembaca lainnya, kukira mau dijodohin sama anak bapaknya wkwk

    BalasHapus
    Balasan
    1. Reza kan maunya naik prlaminan? Ahahaha.. ayoo aku juga mau banget kalau diajakin lagi.
      Enggak yoo :p ...tiada hari tanpa jodoh bahasannya tu :')

      Hapus