Menemukan Jalan Ke Gunung Cabaan

Minggu, Agustus 21, 2016


Aku ingin bercerita tentang suatu syndrome-ku yang suka mblayang sendiri. Sejam tiduran, sejam berikutnya udah dimana.

Suatu pagi, sering tiba-tiba sudah ada di suatu tempat. Tujuannya hanya ingin menghirup udara segar yang belum terkontaminasi.
Suatu siang yang panas, terkadang juga sudah menjemur diri di liukan perjalanan yang sedang panas-panasnya.
Suatu sore, bisa duduk-duduk sendirian sambil mengamati awan berarak bergelantung mengiringi senja.
Begitu penyakitnya. Terkadang agak mengganggu tapi terkadang juga begitu kunikmati.

Pun begitu dengan pertengahan menuju siang hari ini, dengan refleknya memasukkan sebotol air putih, sekotak susu dan beberapa biskuit di tas, kemudian melaju dengan kecepatan sedang menuju arah Jalan Wonosari.
Sepanjang perjalanan, aku pun lebih memilih untuk terus menjaga jarak untuk berada di belakang truk dengan kepulan asap hitam dari pada menyalipnya dari sisi kanan.

Sebenarnya perjalananku hari itu agak nggak fokus, tangan kanan asyik mengatur tarikan gas sedangkan si fikiran entah sedang dimana. Mungkin aku kurang tidur karena rapat 17n Agustus beberapa malam ini selesainya larut terus.

***

Misi pagi menjelang siang ini adalah menemukan jalan ke Gunung Cabaan.

Salah satu liukan jalan menuju Gunung Cabaan

Sebuah gunung yang berada di gunung. Ya, Gunung Cabaan berada di Gunungkidul, persisnya berada di daerah Kecamatan Gedangsari. Untuk rute, aku belajar dari kesalahanku ketika tiba-tiba nyasar ke Gunung Gentong beberapa waktu yang lalu.

Malah dari kenyasaran itu lah, yang membuat bayang-bayang mengenai Kecamatan Gedangsari selalu muncul kembali. Sepertinya tempat itu mengandung medan magnet kuat yang berhasil menarikku untuk menyapanya lagi.

Sepanjang jalan, perhatianku tertuju kepada bentuk kelokan sungai dan suara gemericik alirannya:







Aku suka tentang sawah-sawahnya yang menyerupai Bali. Menyukai aliran kalinya yang berbeda karakter dengan Sungai Opak yang selalu kusanding. Suka bentuk jalan dan jembatan-jembatan yang berada di antara dua bukit. Aku suka suasananya, semuanya tentang tempat itu. Hari ini aku ingin ke sana dan menemukan jalan menuju Gunung Cabaan.

Sudah pernah ke Gunung Cabaan sebelumnya? tentu saja belum. Aku hanya mantap mengarahkan kendaraanku menuju Gedangsari, setelah itu hanya mengandalkan GPS (Gunakan Penduduk Setempat).

Banyak peristiwa konyol yang terjadi untuk menemukan jalan menuju Gunung Cabaan. Contohnya adalah: mau masuk ambil gang sebelum Kecamatan Gedangsari, eh malah masuknya ke kantor kecamatannya. Kemudian sehabis itu hendak keluar dari halaman kantor kecamatan, eh malah masuk puskesmas. Ya Allah sungguh aku sedang embuh :p

Butuh sekitar 5 penduduk yang kutanyai sepanjang jalan untuk mendapatkan titik terang menuju Gunung Cabaan. Namun, entahlah dari semua informasi yang kucari tentang Gunung Cabaan, mereka malah mengarahkanku ke Green Village Gedangsari yang sudah lebih dulu ngehits itu.

“maaf pak, saya bukan mau ke Green Village Gedangsari, tapi hendak ke Gunung Cabaan Desa Mertelu”
“wah mana itu mbak? saya malah kurang paham, kalau Green Village ya sebelah sana jalannya”

Info mengenai Gunung Cabaan memang tergolong minim, tenggelam oleh segudang tulisan dan deskripsi mengenai Green Village Gedangsari.

“Aku harus berusaha lebih keras lagi”.

Arahnya tetap menuju Desa Mertelu. Jalannya menanjak terus, nggak ada turunannya sama sekali. Jalannya juga tidak terlalu bagus. Hati-hati karena tiba-tiba menghadapi tikungan, atau jalan ber-lubang di tengahnya.
Akhirnya, Informasi dari mas-mas yang ku stop ketika ia sedang asyik mengendarai sepeda motornya telah memberikan sebuah pencerahan hangat.

“iya mbak, betul…Gunung Cabaan memang arahnya ke sana”
“terimakasih mas”
“sendirian mbak?” kemudian kujawab dengan senyuman

Mas-mas itu menjelaskan bahwa jalan menuju Gunung Cabaan tak mudah. Jalannya licin, sempit dan menanjak. Aku disarankan oleh nya untuk berhenti dan menitipkan motorku jika jalan corblok sudah habis. Setelah itu harus berjalan kaki 500 meter. Ia pun sempat meragukanku untuk melanjutkan perjalanan menuju Gunung Cabaan.

Rute dan Alamat:

Dari Jalan Wonosari – Pertigaan Nglipar – Arah Gedangsari – Sebelum Kecamatan Gedangsari ada gang masuk kanan ke arah Dusun Mertelu – Lurus menurut aspal – Pertigaan ke kiri lurus – sampai menemukan SDN Mertelu Baru, tanya penduduk setempat.

***

Persimpangan SD Mertelu Baru dan Siskamling

Benar saja, saat itu aku berada di persimpangan SD Mertelu Baru. Kuhela nafas panjangku berkali-kali. Sebenarnya batinku sempat menciut. Gang sempit menanjak ekstrim itu seperti ingin ku-skip saja.
Tetapi setelah kuingat kembali perjuangan sampai menemukan titik terang menuju Gunung Cabaan yang jaraknya tak jauh lagi membuatku mantap melanjutkan. Ku mulai merayu motorku agar masih berkenan menemaniku menanjaki gang sempit dengan keadaan jalan tak rata itu.
Setelah dengan ekspresi serius menahan nafas sambil menarik gas motor menanjak, tiba-tiba aku diteriaki Ibu-Ibu yang keluar dari rumahnya.

“Mbak.. mbakk stop jangan naik!”

Segera ku-rem motorku yang sudah setengah menanjak, kemudian aku mundur pelan-pelan dengan posisi tangan menahan rem sambil mundur mendekati arah ibu-ibu itu.
Beliau menjelaskan bahwa semalam hujan deras menyebabkan jalanan semakin licin dan terlalu bahaya jika dipaksakan naik menggunakan sepeda motor.

Motornya terpaksa harus dititip di salah satu rumah warga

Karena alasan tersebut, beliau menyarankan untuk menitipkan sepeda motorku ke rumahnya dan menuju Gunung Cabaan dengan jalan kaki. Aku pun mengiyakan. Setelah berbincang kemudian berpamitan, aku menitipkan sepeda motorku ke salah satu rumah warga tersebut.

***

Sesungguhnya aku masih ter-engah oleh perjalanan yang belum sembuh capeknya. Namun, keadaan mengharuskanku untuk berjalan kaki dengan posisi medan menanjak.

Ada keplesetnya di jalan ini ni, licinnya x(

Sepertinya aku harus sering-sering jalan sama kamu kaki. Terbukti nafasku masih payah kelelahan. Tak ada orang yang kutemui sepanjang jalan kecuali bunyi-bunyi sejenis burung hantu di atas pohon, suara sapi yang memecah heningnya sepi.
Terkadang aku harus berhenti, membuka resleting tas kemudian meneguk beberapa tegukan air putih sambil mengelap keringat yang mengucur tak sedikit.

Posisi duduk mengatur nafas sambil mencoba membasahi kerongkongan yang telah mengering membuatku semakin keenakan istirahat.

“Mbak, mau kemana?” sapaan simbah-simbah yang sedang sibuk memotongi rumput di tebing tak terlalu tinggi tepat di atas tempatku duduk.
“Mau ke Gunung Cabaan apakah benar arah lurus sana mbah? ”
“Iya benar, mau cari apa mbak ke sana sendirian?”
“Cari angin mbah, hehehe” jawabku santai

Jika ke kanan ke Gunung Tugel, ke kiri Arah Gunung Cabaan

Kenapa setiap persimpangan selalu melahirkan sebuah kebingungan?
Ya, sampai di tengah-tengah persimpangan kanan dan kiri membuatku agak galau mengarahkan langkah. Kemudian aku kembali mengingat obrolanku di bawah tadi ketika hendak menitipkan sepeda motorku: “nanti ada persimpangan, kalau ke kanan Gunung Tugel, kalau ke kiri Gunung Cabaan”.
Kemudian aku berhenti, menanyai kembali hati nurani.

“Aku hendak ke Gunung Cabaan apa Tugel ya ti? Hati?”

Kemudian hatiku mengatakan untuk melangkah ke kiri.
Tumben, padahal biasanya sih suka nya ke kanan.

Setalah memutuskan untuk melangkah ke kiri, tanjakan semakin menjadi. Kali ini menginjak batu-batu besar hitam kemudian berganti rerumputan. Pandanganku hanya terfokus pada puncak gunung dan mencari jalan untuk bisa menujunya.

Tiba-tiba mendung menggelayut gelap. Rasanya khawatir tak tenang.
“Bagaimana jika aku kehujanan di tengah jalan?”
Wajahku menatap langit yang gelap, kulihat sekeliling tak ada tempat berteduh. Tetapi langkahku tetap mengarah mengelilingi bukit.

Sesekali diselingi sapaan dan obrolan hangat dengan Ibu-ibu yang asyik mencari rumput untuk sapi-sapinya

Beberapa lama aku berhenti mencoba untuk mengatur nafas sedangkan tanganku memegang erat semak-semak yang entah akarnya kuat ataukah rapuh. Obat mujarab kecapean adalah selingan sisi pemandangan dari ketinggian Gunung Cabaan di depanku. Kalau tidak salah, aku sedang menghadap utara.

Putih dan mendung, Rawa Jombornya samar-samar

Sayang sekali ketika kutatap berbagai sisi semua putih. Sisa hujan deras semalam ditambah mendung yang sedang menggelayut menyisakan selimut tebal warna putih yang menutup rapat view dari atas Gunung Cabaan.

"Aku kurang beruntung"

Eh tapi harus tetap bersyukur tidak dihujani secara tiba-tiba di tengah-tengah perjalanan.

Setelah ter-engah-engah dan pura-pura kuat tak kurasa, sampailah kepada puncak Gunung Cabaan.

Tak ada tripod buat selftimer
Di puncak Gunung Cabaan, tak kutemukan tempat berteduh. Sepertinya pas matahari tepat berada di ubun-ubun kepala.

Angin semilir sesekali berkolaborasi dengan hawa sejuk meskipun sedang jam 12 siang. Kubuka kembali bekalku, beberapa buah biskuit yang kukunyah diiringi bola mata menari di berbagai sisi.
Sebelah utara, sebenarnya adalah hamparan persawahan tembakau Klaten yang terlihat samar-samar kotak-kotak sehabis panen.

Kotak-kotak sawah tembakau

Sebelah timur laut ada Rawa Jombor yang menggenang raksasa.
Sebelah timur pas ada Gunung Tugel dan Puncak Batur Agung letak Embung Batara Sriten sekaligus menjadi puncak tertinggi di Gunungkidul.
Sebelah selatan hanya pegunungan yang diselingi lukisan air terjun yang airnya sudah kering.
Sedangkan sebelah barat terdapat perbukitan, jembatan, jalan raya, sawah, luas sekali jangkauan matanya.

Namun sayang, semua tak maksimal terekam kamera karena tertutup kabut putih. Hanya mata yang dianugerahi lensa luar biasa oleh Tuhan, menangkap semua pemandangan indah yang tak bisa tertangkap oleh lensa kamera semahal apapun.

Ketika posisiku sedang senderan di batang pohon jambu mete sambil sesekali meneguk bekal minum yang tinggal beberapa, aku dikejutkan oleh kedatangan bapak-bapak paruh baya yang berjalan ke arahku.

Beliau adalah Pak Slamet

Pak Slamet, begitu beliau memperkenalkan dirinya. Dia adalah pemilik tanah yang saat ini kupijak.
Berarti Pak Slamet itu pemilik alas di Puncak Gunung Cabaan dan sekitarnya?

Haaa kami pun saling bercerita dan menjawab segala pertanyaan yang beliau ajukan kepadaku.
Di satu sesi, aku memanfaatkan kesempatanku untuk bertanya sebanyak-banyaknya kepada beliau mengenai Gunung Cabaan ini.

Jadi sebenarnya apa sih hubungan yang terjadi antara Gunung Cabaan dan Gunung Tugel? apakah sebatas temenan? atau lebih?

Kemudian Pak Slamet menunjukan kepadaku arah Gunung Tugel yang tepat berada di sebelah timur Gunung Cabaan ini.

Penampakan Puncak Gunung Tugel yang terlihat dari Puncak Gunung Cabaan

“Lihat itu mbak, Gunung Tugel berada di tengah-tengah dua gunung itu”

Terletak di antara dua gunung?

Kemudian aku melihat ke arah utara, yaaa ada Gunung Merapi, kemudian kulihat arah selatan.

“Gunung apa itu pak namanya?”

“Gunung Loreng”.

Tebing yang bermotif loreng-loreng itu namanya Gunung Loreng 

Kenapa dinamai Gunung Loreng? Karena tebingnya motifnya loreng-loreng menyerupai macan.

Baiklah, kemudian Pak Slamet melanjutkan ceritanya asal mulanya dinamakan Gunung Tugel.

Beliau bercerita bahwa asal-usul nama Gunung Tugel merupakan cerita turun temurun dari Bapak dan Simbah beliau. Menurut cerita Pak Slamet, beberapa ratus tahun yang lalu, penunggu Gunung Merapi dan Gunung Loreng sering beradu panah-memanah asmara. Nah, letak Gunung Tugel yang tepat berada di tengah-tengah kedua gunung ini dianggap menghalang-halangi maka bagian puncak gunung ini ditugel atau dipatahkan. Patahannya entah dimana karena sampai sekarang masih jadi misteri.

"Kemudian, bagaimana dengan nama Gunung Cabaan?"


Asal mula nama Cabaan diambil dari nama burung cabaan sejenis burung alap-alap yang dahulunya bermarkas di Gunung ini dalam jumlah yang banyak.
Memang, sedaritadi aku melihat beberapa burung berlalu lalang di sekitar Gunung Cabaan. apakah itu Burung Cabaan?

***

Karena hari itu aku sedang bersama Pak Slamet, kebetulan sekali aku meminta beliau mengambilkan beberapa foto menggunakan kamera handphone untuk kenang-kenangan di puncak Gunung Cabaan.

#1

#2

Aku membayangkan sedang berada di puncak gunung ini ketika malam hari.
Ketika cuaca cerah, tentu genteng kamar yang terlalu mainstream akan berganti suasana menjadi beratap kelap-kelip bintang, terang besar bulan, kemudian sesekali akan menyaksikan bintang jatuh ke arah selatan.

Aku pun membayangkan, jika aku diizinkan Ibuk ke sini lagi pas malam hari :o kemudian gelar tikar tiduran aku ingin malam itu lebih panjang dari biasanya.
Sekali lagi itu hanya bayangan, karena tidak mungkin aku mendapatkan izin semacam itu.

***

Sesungguhnya di Puncak Gunung Cabaan ini, memiliki view yang lebih luas dari berbagai sisi dibandingkan Green Village Gedangsari. Ya, karena Pak Slamet pun mengiyakan pernyataanku itu.
Bedanya hanya: "Dikelola dan belum dikelola". Itu saja.

Rasanya, masih belum percaya jika aku telah menemukan jalan ke Gunung Cabaan sendirian tanpa kamu.



*Catatan: Mohon maaf jika pada postingan ini, penulis merasa bahwa foto-foto dalam tulisan ini kurang layak untuk diposting karena kualitasnya di bawah standar. Entah semua putih, backlight, blur, dan entahlah :)

Terima Kasih Sudah Berkunjung

34 comments

  1. Keren banget tempatnya. Sekali-kali ajak jalan-jalan kesana juga dong kak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sayangnya pas cuaca tak mendukung mas, langit putih dan beberapa view tak maksimal bisa dilihat jelas.. yaa ayo ke Jogja

      Hapus
  2. Bukit Cabaan Penuh Cabaaan :D,,
    agak pagi bagus kayaknya ini dwi :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Cobaannya tak seberapa dibanding perjalanan menemukan dia.
      Maunya pagi, tapi ini tanpa rencana asal berangkat.
      Besok pas cuaca cerah dibaleni meneh :p

      Hapus
  3. Keren mbak .... fotonya bagus ambil gambarnya pakai kamera apa mb? Mb Dwi sungguh tak terduga !!!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mbak pur, terimakasih sudah berkunjung :))
      Malah ini aku minta maaf fotonya jelek2 soalnya entah apanya yg eror.
      Sebagian pake canon 1000 sebagian pakai hape mbak.
      Maturnuwun mbak sudah mampir :)

      Hapus
  4. Cie janjian sama pak slamet *eh
    Makanya kalau mau ke sana mbok kabar-kabar biar ada teman hahahhaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mas sitam lagi kejar target buat mengkhitbah mbak e jadi aku tak berani ajak ajak :D
      Sendirian biasanya juga gitu terus, iya alhamdulillahnya ketemu pak slamet jadi belajar dari beliau

      Hapus
  5. FIX. RJJ LG!!

    Btw, kalau aku setiap ada di belakang truk, bus, yang punya asap itam, aku selalu berimajinasi, gimana caranya di tangan kiriku ini ada granat. lalu aku lemparkan bom itu ke supirnya. Meledak duaaar. Sokor!! makan tuh asap dan api.
    Aku paling sebel deh, transportasi publik kita rada payah. Gimana Indonesia mau sehat kalau transportasi publik aja kaya gitu! ROkok mahal g cukup jadi solusi. hahaa

    Ini gedang sari ya? aku tau sungai itu Mba.. coba mba datang ke Sungai Ngalang. di sana ada bukti geoheritage yg umurnya sudah ribuan tahun. Udah pernah ke Gentong kan? bergeselah sedikit ke Watu Tumpang. itu keren banget. hehe.

    AJAKIN AKU LAH KALAU PIKNIKKKKKKKKKK

    BalasHapus
    Balasan
    1. Rjj soalnya hanif itu ksb (kamu sibuk banget) *ngutip kata katanya mas alan wkkw

      Aku juga paling tak suka asap, tapi aku males nyalip truknya soalnya lagi ga konsen banget nyetirnya takut kenapa kenapa haha.

      Daripada komen rjj terus, cus ayo kesini:

      Mba.. coba mba datang ke Sungai Ngalang. di sana ada bukti geoheritage yg umurnya sudah ribuan tahun.

      Btw aku jadi suka sama gedangsari nif, asyik banget suasananya. Tenin.

      Hapus
    2. Aku pas lebaran kemarin ditelpun sama ketua karang taruna desa ngalang. mereka minta didampingin pengembangan pariwisata di sana. khususnya buat gunung gentong. tp aku ra tau sempet. Mbok mba dwi kalau pas kesana aku dikabari. Biar beliau juga seneng ketika aku bawa org baru. kan mba dwi jatuh cinta sama Gedangsari. bisalah mba dwi meyakinkan pak lurah kalau Ngalang potensial hahaha

      aku ra sibuk yoo. tenin

      Hapus
    3. Ra sibuk kok mau ke sana pun ga sempet2 :o
      Hanif sibuk banget.
      Wapaa? Pendampingan Pengembangan wisata? Ini yg sekolah di parwis siapa sih :p
      Aku kan cuma bilang kalau suka. Tapi kalau mendampingi pengembangan yo ga iso, ra due ilmune yoo

      Hapus
  6. rangkaian kata yang dipilih mbak dwi asik banget buat dibaca. jadi agak melow gimana gitu. kasih tips dong mbak biar pemilihan katanya bisa begitu. hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku kalau nulis apa adanya yang tak alami aja mas gallant, apapun kadang juga ga penting bagi oranglain tapi menurutku penting buat kutulis.
      Ngalir dan nulis jujur itu enak banget rasanya lepass...
      Mas gallant kui yang lebih jago membawa suasana pembaca.
      Kalau aku mah udah banyak yg mengkritik tulisan spesialis mellow haha. Biarin wae lah :p

      Hapus
  7. Ckckck... sudah mulai keranjingan naik-naik ke puncak gunung rupanya, wkwkwkw. :D

    Aku baru ngeh ternyata di Gedangsari banyak gunung-gunung. Eh, lebih tepatnya puncak dink.

    Semoga ke depannya nggak ada orang sugih kurang gawean yang beli tanah & bikin resor di sana. Supaya bisa tetap jadi tempat gratisan menikmati pemandangan. :D

    Memang waktu itu kan langitnya lagi mendung, jadi ya dimaklumi lah. Kan Gusti Allah SWT yang punya kuasa, wkwkwkw. Manusia bisanya ya ikhtiar. :D

    Eh, kuwi kaos e endorse-an ya? :p

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mas Mawii pssssstttt kaosnya kui kece banget lho ya cokelat suka :* ku mau diendorse banyak kaya begitu haha

      Iya, semoga tetap gratis, parkir aja enggak tapi pemandangannya bikin adem meleleh banget.
      Aku lagi suka yang berbau jalan kaki mas... kaya nglatih nafas *soalnya tak bisa berenang.

      Aku mau lagi ke gedangsari :')

      Hapus
    2. Oh jadi gitu ya. cuma mba dwi aja yg di endorse mas Mawi.. oke fine

      Hapus
  8. Kamu kurang cobaan po, Mbak, kok ngasi ndadak nang Gunung Cobaan barang? -_- Cobaan hatimu kurang cetar po? XD

    BalasHapus
    Balasan
    1. Beneran deh hidup tak lepas dari cabaan cobaan wkwk
      Kenal mas tom juga jadi cobaan kesabaran, eh lebih tepatnya ujian kesabaran :p
      Doakan aku lolos yaaa

      Hapus
  9. Pemandanganya sangat istimewa banget mbak, nggak kebayang kalau itu nggak ada kabut indahnya kayak apa :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya banget mas, sebenarnya agak menyesal pas cuaca tak mendukung... tapi kan tetap punya banyak cerita di sana

      Hapus
  10. wah sungainya cihuy buat rafting tuh. aku jadi pengen bawa perahu bebek. yeaaaay!!!!! makasih kak udah kasih referensi.

    BalasHapus
  11. pemandangan di gunung cabaan indah sekali ya..

    BalasHapus
  12. wah mbaknya berani sekali ya pergi ke gunung sendirian.. hehe

    BalasHapus
  13. Wah, ternyata travel blogger addict nih mbaknya, Wkwkwk
    yang ada di foto tersebut kuwi bapakku Mbak :D Mbah Slamet.
    Ditunggu untuk sesi camping dan ditunggu testimoninya kembali ya..
    Mohon maaf kalau aksesnya masih minim. Baru mau di programkan untuk tahun 2017 untuk tempat camping mbak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mas, berarti kamu yg diceritain sama pak slamet waktu ituu kok bisa mampir di tulisan ini yaa :)

      Ditunggu lagi kabarnya mas, kalau aksesnya sudah baik pinginn kembali lagi di sini.
      Sepii, nyamannya bikin candu.

      Hapus
    2. Wahhh dr tadi bertanya2 apa boleh buat camping,,, ehh yg punya muncul,, jd pengen camp disana,, kayanya asik liat bintang2

      Hapus
    3. Sepii mas, enak banget suasananya. Semoga akses jalan sudah diperbaiki yaa
      Tetep salam "Lestari..."

      Hapus