Merapi, Dan Sisa Ruang Tenang Berdialog Pagi

Rabu, Maret 13, 2019



Beberapa kali jam alarmku berbunyi hanya untuk membangunkanku menemui Merapi. Rela menjeda mimpi untuk mengganti selimut hangat dengan pelukan halimun. Menembus waktu Subuh, mengabaikan alarm lain yang nyaris keroncongan.

Merapi terkadang hanya cerah kala pagi. Siang sedikit, kabut sudah terburu-buru menutup tirainya. Namun begitu, ke sana pagi-pagi pun tak menjamin ia sudi bertemu sapa. Terkadang ia begitu saja berbungkus kelabu tanpa menampakkan secuil bagiannya. Ditunggu sampai matahari tinggi juga tetap sama, Merapi sedang belum ingin bertemu siapa-siapa.


Di lain kesempatan, Merapi kadang memamerkan kegagahannya begitu saja tanpa ada niat dan rencana untuk bertemu dengannya sebelumnya. Jika sudah begitu, aku memilih mengirim pesan dengannya lewat sebuah suara batin:

“Kalau ternyata pagi ini kamu cerah, kenapa semalam tidak memberiku kode lewat mimpi?”

Jika beruntung sedang menggenggam kamera, aku tidak pernah melewatkannya begitu saja. Ketika di kampung halaman sebelah utara tanah lapang, di pinggir jalan, di antara persawahan, atau ketika dalam perjalanan membeli gudeg di tepi Kali Code.



Terkadang aku memang seposesif itu kepadanya. Karena seringkali hanya cukup dengan melihatnya gagah di ujung utara Jogja membuat adonan bahagia meluap tanpa ada sebab. Setelahnya ada syukur melebur dalam puji-pujian kebesaranNya.

Aku kira, prolog di atas terlalu melebihi batas? Beberapa postingan ceritaku tentang Merapi pernah menghuni beranda Relunglangit. Cerita tentang Sisi Sunyi Lekuk Merapi dari Kalitalang salah satunya. Lagi-lagi aku selalu mencari tempat tersepi untuk berdialog pagi dengannya.

Kaliurang, Kaliadem, Bukit Klangon yang mulai berjejal pengunjung dan Jeep membuatku terus menanya kepada seorang teman. “Di mana lagi tempat sunyi menemui Merapi?”
Dia menjawab pertanyaanku satu per satu, mengantarkanku ke tempat itu dari pagi ke pagi.

Lekuk Merapi di Antara Bukit dan Tebing


Sepeda motor hanya bisa terparkir di bawah, tidak jauh dari sebuah gubug petani. Setelahnya hanya bisa menelusuri jalan setapak dengan berjalan kaki menaiki sebuah punggung bukit kecil. Tidak jauh, tak sampai mengucurkan peluh, sampai juga di puncak sekaligus batas tebing.

Aku tengah berdiri di atas tebing menganga. Di bawah sana, terlihat batu besar, ceruk tanah bekas galian dan warna-warni bak truk siap dipenuhi pasir-pasir Merapi. Matahari perlahan meninggi memberi efek kemerahan di pucuk merapi ketika ia masih berkabut tipis.




Dendang kicau burung bersahut dengan pekik suara kera. Segerombol kera datang bergelantungan di pohon-pohon pinggiran tebing. Mungkin mereka terusik dengan kehadiran manusia di tempat yang seharusnya tetap sunyi. Aku undur pamit pergi dengan bekal pemandangan Merapi meski sebentar saja.

Aku diminta oleh temanku untuk merahasiakan di mana keberadaan tempat ini. Meskipun sesungguhnya tempat ini pernah menjadi tempat shooting suatu iklan rokok. Bukan tanpa alasan dia meminta untuk merahasiakan, karena memang tempat ini masih aktif dijadikan laboraturium alam, tempat penelitian berbagai jenis burung. Semoga tempat ini senantiasa bebas dari kerusakan apa pun, bebas dari sampah yang berserak.

Merapi, Jembatan Bronggang, dan Sabo Dam dalam Satu Komposisi


Dinding-dinding kuat tanpa suara yang terus berjaga. Ia bertugas sekuat tenaga menahan laju luncuran vulkanik dari puncak Merapi, mengamankan wilayah hilir sungai dari terjangan banjir lahar dingin. Meski dalam diamnya, ia pun pernah menyerah dari terjangan erupsi dan lahar dingin Merapi tahun 2010. Setelah peristiwa itu, Dam Sabo yang sejodoh dengan Jembatan Bronggrang ini direnovasi.

Kali Gendol terbendung dalam naung Sabo Dam Bronggang, di sebelah selatannya ada Jembatan Bronggang yang melintang. Jika turun ke bawah jembatan, terlihat warga, truk pasir, atau gerobak sapi yang hilir mudik di atas jembatan. Bila beruntung, Merapi akan menawan mengawal di tengah.





Beranjak dari bawah jembatan kemudian meniti anak tangga dengan kemiringan mendekati curam, sampai juga di atas tembok tanggul Sabo Dam. Dari sini, Merapi tak punya halangan apa pun untuk dipandang. Air yang tertampung menggenang dalam Sabo Dam, siap melukis refleksi Merapi. Sayang sekali aku tidak menemukannya pagi itu. Air sedang tidak setenang yang dibutuhkan untuk melukisnya dengan sempurna.


Cerita dari temanku, senja di tempat ini juga tidak kalah indah, apalagi manakala Merapi tengah cerah. Sinar baskara yang setengah tenggelam akan memantul pada dinding Merapi. Ya, langit jingga di batas langit barat, juga Merapi di utara yang menyertai. Aku baru membayangkan sudah tidak kuat. Nanti aku bisa gemetaran saking kagumnya.

Telaga Warna Kali Putih


Pagi berganti dengan misi bertatap dengan Merapi di tempat yang tak biasa. Menyeberang dari Sleman menuju tetangga tipis yang terpisah Kali Putih, Magelang. Aku menemui Merapi dalam jarak yang tak sedekat biasanya.

Jujur saja, aku sudah tidak begitu mengingat jalan itu lagi jika diminta kembali ke sini. Sepanjang perjalanan, aku hanya mengekor laju sepeda motor teman yang berjalan cepat menembus sesak kebun salak.

Lorong jalan corblok semakin terasa gelap ketika barisan dahan salak tinggi menjulang, melengkung, membentuk kanopi. Kaca helm ditutup khawatir tertawan ranting dahannya yang lumayan tajam. Tak terasa sampailah di sebuah tanggul Kali dengan debu mengepul sisa jejak truk pasir yang mengantre di pos-posnya.

Aku berada di sebuah Kali dengan jalan yang berubah terjal berdebu. Samar-samar deru mesin truk mengisi senyap, juga kerlip lampunya menyorot dari kejauhan. Mau mencari apa di sini?


Mendung menutup langit, kabut pun dengan cepat turun. Boro-boro penampakan Merapi melihat jalan kerikil dan berbatu saja masih remang-remang. Aku yakin pagi ini belum berjodoh bertemu dengannya di telaga merah ini. Terkadang memang sebegitu niat mulia untuk menemuinya dalam lembar sapa, tak selalu berujung bertatapmata.

Bekas cekungan galian pasir yang sepakat kami sebut telaga ala-ala. Warna merahnya berasal dari warna tanaman air (entah alga atau ganggang) yang subur berkembang di musim kemarau. Itulah sebabnya warna merah-merahnya itu tidak abadi. Sebagian juga telah tersisi tanaman encenggondok yang sebagian sudah berbunga.

Beberapa penambang pasir mengingatkanku agar tidak terlalu ke pinggir cerukan. “Awas, itu dalam lho mbak.” Seru beliau dari seberang. Kontur tanahnya yang terdiri dari pasir dan kerikil juga cukup membahayakan jika berdiri terlalu di tepi, takut longsor.


Menjelang semakin siang, sebuah keputusasaan keengganan Merapi untuk cerah tiba-tiba musnah. Merapi berkenan pamer gagahnya. Aku sedikit tersipu, kami berjodoh kembali untuk bertatap sapa di tempat tidak biasa ini. Merapi tetap begitu gagahnya tak pernah berkurang di mana pun aku menemunya.

***

"Aku ingin memandanginya dengan tenang, 
mengenang senang yang terbayang ketika kuasa menatapnya tanpa halang"

Di hari-hari mendatang, tempat-tempat sepi untuk merajut dialog pagi dengan Merapi semoga tak akan tergusur oleh penanaman beton di mana-mana. Aku masih membutuhkan segenap tempat nyaman tanpa pungutan tiket retribusi, penjagaan petugas parkir, gangguan spot ala-ala yang mencemari pandangan, juga berjubel pengunjung yang tidak putus-putus.

Ini juga hanya di pinggir jalan, yang menurut berita terbaru akan dibangun suatu tempat piknik bertiket masuk
Penulis sangat ingin menambah daftar panjang tempat-tempat tak biasa untuk bertegur sapa dengan Merapi. Bisa jadi, tulisan ini akan terus diperbaharui jika ada tempat-tempat lain yang aku kunjungi pada kemudian hari. 

Kalau pembaca, di mana biasanya suka menyaksikan Merapi pas sedang gagah-gagahnya? Apa dari depan teras rumah dia?

Terima Kasih Sudah Berkunjung

25 comments

  1. Aku jadi kepikiran buat ambil foto di jembatan dengan latar merapi. Sepertinya tempat itu bagus untuk promosi spot foto saat mempromosikan event sepeda.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ide bagus. Motretnya dari bawah, potonya ramai-ramai bawa banner wkwk terus jangan lupa pakai tele :p aaa cakep banget pasti pas Merapinya nggak mblawus.

      Hapus
  2. gilakkk..selalu cakep artikelnya.
    dan lengkap sekali. temanmu ini, Mas Mawi membawamu menikmati Merapi dari berbagai sudut ya. sungguh kalian menginspirasii ����

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebenarnya kalau versi Mas Sitam dan Mas Mblusuk, artikel begini bisa dijadikan beberapa postingan wkwk. Tapi versi aku tak buat rangkuman jadi satu aja biar cepet :p

      Terima kasih Nif, kamu tetaplah si suhu.

      Hapus
  3. Aku sih paling enak dari kosan. Hehehe.
    Atau dari depan gerbang UGM. Rasanya gagah sekali. Kampusku berasa lebih keren 100x lipat berlatar Merapi.

    Btw, deket kali code sebelah mana ada tempat jual gudeg? wkwkwk

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setuju. Merapi pas gagah cerah dari depan gerbang masuk UGM itu cakep banget mas. Ngrasa jadi ikut sayang sama kampusnya *eh.

      Sebenernya yang jualan Gudeg sih sebelah barat Tugu, tapi suka melipir-melipir gitu kalau Merapinya lagi caper wkwkwk

      Hapus
  4. Itu foto terakhirnya harus gitu ya :((

    Jadi iki ceritanya kompilasi memandang merapi dari beberapa titik. Dari sisi Boyolala ora sisan mbak wkwkwk

    Btw tebing dan jurang bedane apa ya? Kalo aku sendiri misal berada di bawah, baru tak sebut tebing. Kalo sedang berada di atas, aku sebut jurang :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kamu kok selalu salah fokus di foto-foto yang agak "nganu". Itu buat closing aja sih wkwkw.

      Boyolali belum, Merapi dari belakang (Di Boyolali) fotonya kurang menarik wkwk. Ada sih fotonyaa. Kalau dari sisi Klaten masih yahud.

      Aku jadi ikutan mikir huhu. Bagiku sama aja wkwk. Tebing itu di bawahnya ada jurang. Intinya lekukan dalaaammm kaya perasaanmu ke dia. Kalau ambyur membahayakan, tapi kalau dipendam kok menyesakkan. Sekian. :D

      Hapus
    2. Iya, memang sih, dr sisi selatan emang pas gitu ya kubah lavanya membuka ke arah selatan.


      Mestiiii penutup balesane ngono 😒😒

      Hapus
    3. Iya mas, dari belakang kelihatan "mbuntek" eh maksudnya kurang fotogenic hihihi.

      Iya juga ya, kebawa suasana aku tu kalau balesin kamu wkwk.

      Hapus
  5. Haha.. Aku g tau isa gawe tulisan ngeneki..
    Lebih ke informatif plus dari sudut pandang pertama.. Pol iku wes.. haha

    Plus jarang due foto Merapi.. Sering mendung e dulu" pas masih di Jogja..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, setiap penulis cerita pasti punya ciri khasnya masing-masing mas. Ada yang informatif, deskriptif detail sekali, model review, model curhat, model berita narasi, dan sebagainya. Punya plus minusnya dewe-dewe wes. Kamu udah bisa nulis di mediaa juga lho *tepuk tangan*

      Haha jangan-jangan Merapi hanya mengikuti suasana hatimu yang kala itu sedang mendung kelabu :p

      Hapus
    2. Haha.. Y yen aku paling pol ya pas postingan Merapi itu..
      Bar posting aku didiemin nyonya 2 malam.. haha

      Hapus
    3. Haaa lha kenapa kok didiemin segalaa? Pas mendaki itu?

      Hapus
    4. Lah.. G nyambung iki.. Jajal ditelaah lebih.. hoho

      Hapus
    5. Iyaa lagi nggak nyambung banget :p

      Hapus
  6. Dan saya setuju sama pemikiran temenmu itu mbak (yang suruh *merahasiakan* tempat sunyi seperti di atas), karena dari pengalaman pribadi, saya juga sempet nulis di blog tentang tempat macam ini.

    Dulu pas awal-awal kesana, belum terlalu terkenal dan tempatnya masih bersih. Setelah tempat itu booming dan hits, sekarang jadi rame dan kotor--banyak sampah. Saya jadi merasa ikut andil dalam proses "pengotoran" itu :( sedih. Jadi, mungkin, jika besok-besok saya blusukan ke tempat-tempat sepi macam ini, nggak bakal tak tulis lengkap--mendiskripsikan tempat itu banget. Cukup nulis curhatan receh seadanya wae :(

    Ini beberapa kunjungan dijadiin satu tulisan gitu mbak? Nek aku yo man-eman eh. Hahaha. Bakal kehabisan stok blog post xD

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betuuul. Aku juga nggak rela kalau tempat itu jadi tercemar, rusak dan penuh sampah :(
      Apalagi ini berkaitan dengan kelangsungan tempat penelitian fauna. Disuruh dm pun saya nggak mau :) bukannya pelit, tapi udah janji merahasiakan. Kalau tempat lain yang memungkinkan ntar juga kukasih rutenya.

      Ho oh mas, aku tu orangnya kurang bisa mendetail kalau nulis wkwk. Karena ini masih satu tema tentang "Merapi" yawes aku jadiin satu saja :D
      Aku kan jarang posting juga wkwk

      Hapus
  7. Sebenarnya di draftku tu sudah ada artikel Sabtu Pagi di Kaki Merapi, isinya kumpulan foto Merapi baik pagi maupun sore yang kuambil dari sekitar rumah. Tapi sampai sekarang belum dipublish hehehe. Aku termasuk yang jatuh cinta dengan Merapi dan enggan berpisah jauh darinya. Lihat Merapi dari sisi manapun selalu bikin bahagia.

    Tapi momen perjumpaan magis dengan Merapi yang paling favorit tentu saja di saat erupsi 2010. Kala itu berdiri di jembatan baru UGM, terus lihat kilat menyambar-nyambar tepat dari puncak merapi dan gemuruh tak berhenti. Speechless. Yang kedua januari 2018 lalu. Saat menginap di Kalikuning. Setelah hujan lebat di sore hari, malamnya siluet merapi terlihat gagah dengan bulan berkabut di sebelahnya. Rasane pengen nangis mbak. Aku sampai berdiri lama di luar tenda buat menikmati kemegahan itu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Weee kok sehati mbak? wkwk bedanya punya Mbak Sha masih bobok dalam kidung draft *halah. Jujur ini, di beberapa postingannya Mbak Sha, ada beberapa kalimat yang mirip biangett sama yang udah kutulis di draft juga. Kenapa ya bisa? padahal aku nulisnya sebelum baca postinganmu mbak. Tapi tulisan draftku itu lamaaa juga masih belum terselesaikan.

      Samaaa, kirain hanya aku yang ngrasain kaya bahagiaa gitu melihatnya gagah meski hanya dari jauh. Kirain akunya sik lebay je. Terkadang semacam langsung keciiil gitu di hadapan ciptaanNya yang semegah itu. Hmmm nggak ngebayangin si pendaki2 gunung yang bener-bener bisa menapaki sampai atas :')

      Aku jaraaang banget lihat penampakan Merapi pas malam. Dulu pas masih di Bantul (zamanku kecil) suka melihat Merapi pas lava po laharnya meleleh gitu. Bener-bener jelas dari utara rumah. Tapi mungkin sekarang setelah banyak polusi cahaya lampu pas malam, semua jadi tersamar, termasuk si bintang-bintang dan kunang-kunang :)

      Hapus
  8. Waaah si mba ini tulisannya kok keren sangat yah, foto-foto landscape nya juga keren, nice lah, salam kenal...

    BalasHapus
  9. Wah, Jembatan Bronggang itu bagus banget view-nya, mbak. Lanskap di sekitarnya juga epik!

    Aku biasa menikmati Merapi saat melintas Jalan Soragan atau Jalan HOS Cokroaminoto. Di jalan kampungku, Jalan Barokah Kadipiro, kadang Merapi juga terlihat. Aneh ya. Pagi malah cerah, siang justru berselimut kabut.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Bronggang itu komposisi menarik ada gunung di tengah, apalagi pas ada warga melintas di jembatannya. Bisa buat landscape-an atau HI-an.

      Waaa punya tempat di mana-mana di Jogja ya? di Lantai Dua Jogja ada, di bawah juga ada :p

      Hapus