Ombak Santun di Pantai Mawun

Kamis, Juli 19, 2018




Alarm jam terdengar berdering untuk kali kedua. Aku terbangun, kemudian setengah berlari menghentikan suaranya yang mengeras kala azan subuh terkumandang. 

"Waa sudah bangun ya? Bagaimana? sudah siap dengan hari ini?" tanya suami yang rupanya telah bangun terlebih dulu. 

Rencananya memang pagi ini, kami akan berangkat naik Sancaka dari Stasiun Tugu Jogja menuju Stasiun Surabaya Gubeng. Kemudian berlanjut ke Bandara Juanda untuk terbang sampai Bandara Lombok Praya. 

Entah disengaja atau tidak, hari ini juga bertepatan dengan hari Sabtu, awal bulan Mei, yang jatuh pada tanggal kelahiranku.

Seusai Salat Subuh berjamaah, kami sibuk dengan rutinitas masing-masing. Aku mulai mengolesi roti tawar dengan mentega, kemudian menaburi mises cokelat sebagai bekal pengganti sarapan di kereta nanti.

Sayup-sayup terdengar langkah kaki masuk dapur. "Waah, barusan aku ke Indoma*et nggak ada kue" serunya setengah terengah sambil membawa dua botol air mineral.
"Kenapa kue? Kan udah ada nih roti, tinggal yang asin-asin aja snacknya mas."

"Kan mau tiup lilin?" Jawabnya sambil tersenyum. Dia mendekat menyerahkan dua botol air mineral itu sembari mengucapkan harapan dan doa-doanya untukku pagi itu. Sengaja tak kutatap matanya, takut ada sesuatu yang menetes dari mataku. 

***

Kami berjalan kaki menuju Stasiun Tugu yang jaraknya sepelemparan batu dari rumah. Usai memasuki Sancaka dan menemu tempat duduk, aku menggenggam buku Stop Stressing Start Living dari Mba Elisabeth Murni. Buku itu sengaja kusimpan, untuk kutamatkan selama perjalanan nanti.


Merapi dari balik jendela Sancaka. Foto dari: Wihikanwijna

Dari balik jendela kereta, Merapi gagah sekali tanpa awan. Di dalam sini, orang-orang sedang sibuk dengan gawainya masing-masing, ada juga yang tengah pulas tertidur.

Takterasa kereta berhenti di Stasiun Surabaya Gubeng. Kami lanjut untuk jalan kaki lewat jalur pedestrian yang ramai kala siang. 

"Surabaya panas ya?"
"Ya kaya Jakarta", jawabnya sambil mencari keberadaan ATM Mandiri di sekitar Hotel Sahid Surabaya. Setelah selesai mengisi e-money di ATM untuk melewati Tol Berbek Surabaya, mobil Grab Xenia berwarna putih pun datang. Kami dijemput menuju Bandara Juanda.


Setelah sekitar 45 menit Lion Air yang kami tumpangi mendarat dengan selamat di Bandara Lombok Praya, seseorang menjemput kami di parkiran motor, Andi namanya. Dia adalah salah satu karyawan pemilik motor rentalan yang akan kami sewa selama lima hari keliling-keliling Lombok. Dengan sepeda motor, nantinya kami akan lebih nyaman dan leluasa mblusuk-mblusuk ke tempat yang nyempil-nyempil.

Azan maghrib telah menutup sore. Kami menuju penginapan Kurnia Jaya di Kota Mataram dengan sepeda motor Vario hitam yang telah kami sewa. Bermodal GPS dan papan petunjuk hijau di Pinggir jalan, kami sampai juga di Penginapan tanpa kesasar. 

Kala waktu menjelang malam, kami sempat berjalan kaki membeli makan. Kebetulan, penginapan tersebut berada di daerah kawasan kampus. Bisa ditebak, harga makanannya sangat miring. Nasi campur seharga Rp.7.500,00 masih bisa ditemukan untuk mengganjal perut malam itu.

Nyatanya, matahari terasa terbit terlalu cepat. Badanku masih kaku, tapi fajar usai menyingsing. Pemandangan gunung-gunung berkabut dan menara masjid semakin terang terlihat dari jendela penginapan. Hmm sepertinya pertanda hari cerah. Rasanya semakin tak sabar berkenalan dengan pantai-pantai pasir putih bernuansa langit biru.

Sebelum sarapan, kami terlebih dahulu mengemasi barang-barang untuk dibawa keliling pantai-pantai di Lombok Tengah sebelum pindah penginapan di sekitar Pantai Kuta, Lombok Tengah, siang nanti.





Suami membawa motor dengan santai. Jalanan di Lombok Barat itu begitu lengang. Terkadang, pemandangan di kanan-kiri jalan kunikmati dengan leluasa karena kami tak menemu macet panjang yang berarti. Menara-menara masjid yang menjulang tinggi, perempuan-perempuan yang memanggul panci besar di atas kepala, dan kesibukan gotong-royong warga pagi itu.


Semakin ke selatan, jalanan memiliki wajah berbeda. Bukit-bukit tak lagi punya punggung karena dikeruk untuk pembangunan hotel. Jalanan beterbang debu putih karena terus dilakukan proses pelebaran jalan. Dengan keadaan kerongkongan yang mulai kering, sesekali kuperbaiki letak tas ranselku yang semakin terasa bergelayut di punggung. Berbekal sisa-sisa energi sarapan tadi pagi, aku menguatkan diri untuk sampai bibir putih Pantai Mawun. 

Pohon rimbun dengan background pantai biru tosca, membuatku melek seketika. Di sisi kanan, ada satu bukit gersang, di sisi kiri ada deretan kapal-kapal berbaris dan turis-turis berjemur bermandikan cahaya matahari. Tak jemu rasanya mata menari mengitari sekeliling. 

Aku suka sabana, suka banyu jernihnya, suka pasir putihnya, dan ini telah terbungkus satu paket di hadapan.



Meskipun kerongkongan kering mendera, aku berhasil lebih dekat dengan air yang meminggir dibawa ombak itu. Eh tiba-tiba sebuah seruan menghentikanku. Suara anak-anak pembawa dagangan gelang tali.

“Mbak, dibeli gelangnya mbak… ” aku masih mencoba berdiri tenang sambil menggeleng.
“Maaf dek, nggak yaa..”
“Halah mbak, kami daritadi belum laku, dibeli lah mbak…”

Lha kok lama-lama gerombolan anak-anak yang tadinya tiga orang ini, disusul kawannya yang lain. Langkahku lama terhenti di sini. Aku mencoba membelah kerumunan itu dengan memberikan sedikit kode kepada suami. “Maaf dek, kami mau ke sana ya?” namun mereka masih mengikuti dan memaksa.

“Yaudah mbak kalau nggak mau beli, kasih uang sini mbak…” aku tersenyum kemudian mengalihkan perhatian mereka kepada rombongan wisatawan yang baru datang. “Coba, tawarkan gelangnya kepada mereka, siapa tau ada yang tertarik.” Mereka langsung cemberut berjamaah :p

Kalau saranku sih, bersikap tegas lebih baik. Jangan memberi harapan: “Iya, ntar dulu ya?” ntar malah diuber terus sama mereka, sehingga jalan-jalanmu di Pantai Mawun kurang nyaman. Jika memang tak berminat membeli, katakan “tidak” dengan halus.



Kami bergegas meninggalkan anak-anak penjual gelang tali menuju arah gerombolan kerbau yang tengah asyik makan makan siang di atas bukit itu. Meski panas mendera, penampakan mereka sekilas dari jauh sungguh merampok perhatiaan.

Sayang sekali, langkah kaki di tengah terik siang tak bisa sekilat gerombolan kerbau-kerbau itu hilang dari pandangan. Belum juga sampai di tepi bukit, kerbau-kerbau itu sudah menghilang pulang. Karena tadi, sekilas kulihat bapak-bapak menggiring gerombolan kerbau menyeberangi sungai di kaki bukit gersang itu.


Pantai Mawun ini ternyata juga memiliki sungai yang mengalir ke arah Pantai. Namun, aku tak sempat mencicipi rasa airnya meski matahari serasa sejengkal dari ubun-ubun. Mending nanti beli kelapa muda aja di pinggir pantai.

Karena terlanjur penasaran dengan bukit sabana tempat gerombolan kerbau itu asyik makan siang, aku sempat mencoba naik di pinggiran bukitnya. Dari atas ternyata lebih leluasa memandangi Pantai Mawun secara penuh di berbagai sisi. Mulai di paling ujung, kapal-kapal berbaris dan bergerombol, bule-bule tengah berjemur, dan aktivitas pengunjung yang tengah asyik mandi di pantai.




Di Pantai ini, terutama di pinggir kiri ombaknya lebih slow. Cocok untuk sekadar basah-basahan. Mungkin karena keberadaan bukit-bukit yang mengapit, sehingga ombak yang datang dari selatan tak langsung menghantam bibir pantai. 

Kira-kira itu juga sih alasannya kenapa artikel ini judulnya Ombak Santun Pantai Mawun. Karena jika dibandingkan pantai-pantai tetangganya yang dipenuhi bule asyik surfing, pantai ini lebih dipilih pengunjung untuk sekadar berjemur dan jalan-jalan santai.

Kulo nuwun Mawun, matur nuwun

***

"Mana fotomu kok miring semua nggak ada yang bagus?"
"Itu tandanya suruh mbaleni lagi ke Lombok mas."

Terima Kasih Sudah Berkunjung

40 comments

  1. woaahh..honeymoon ke Lombok.
    tiga kali ke sini, aku treking ke gundukan bukitnya kaya kamu cuma sekali aja. lha panas banget.

    dan..baru tau kalau ternyata ada gembala kerbau ya. biasanya pantai ini cuma banyak penjual aja. terutama y kaya dalam ceritamu. anak2 bagian jualan cinderamata kecil. bapak ibu mereka berjualan kain tenun.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sudah lama sebenernya Nif dari bulan Mei. Tapi ya entah mood nulis tak kunjung muncul jadi baru bisa posting.

      Waa tiga kali ya? Mantap. Iya memang panas poll e. Tak kuat2in sok-sokan manjat bukit. Haha.
      Oalah bapak ibuknya bikin tenun? yang kaya di Sade itu?

      Hapus
  2. ah ini yang jadi kelemahanku kalau lagi pergi-pergi keluar kota, suka ga enak kalau bilang "tidak" ke orang yang nawarin barang/jasa (kebiasaan orang Jawa suka pekewuhan wkwkwk)

    gara-gara ga bisa nolak dengan tegas ini pernah dimaki-maki calo tiket pas lagi di Gilimanuk dan diuber-uber simbok-simbok di salah satu pantai di Bali mbak ! ncen kudu sinau belajar "nolak" sih #loh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Samaa...aku daridulu juga nggak enakan, pakewuhan orangnya mas. Kadang perasaan begini tu malah menyiksa diri je, tapi bawaan bayii :p
      Iya, di momen-momen tertentu emang kudu tegas, tentunya dengan tanpa meninggalkan sopan-santun.

      Hapus
  3. Tenang mbak, sekarang nggak perlu bawa kamera sendiri. Cukup mas Mawi suruh motret, amannnnnn

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betoool. Kadang kalau lagi mood juga maunya punya hasil jepretan sendiri mas. Tapi pas dibandingin sama potonya kok ya jauuuhhh...

      Hapus
  4. Masih aja foto miring, Mbak? Hahahahaha
    Foto miring bisa diedit mbak, tapi momennya enggak :3

    BalasHapus
    Balasan
    1. Masih miring-miring mas, apalagi kameranya nggak ada gridnya. Gridnya munculnya pas di live view *boros batre* jadi hasilnya miring-miring seringnya. heuheuuu

      Hapus
  5. Hmmm.. Sepertinya fenomena penjual yang nggerombol itu cukup umum di Lombok..
    Dulu pas saia ke Pantai Kuta (2014) juga begitu, tapi ibu-ibu...

    Mungkin perlu pembenahan tata kelolanya, misal dibikinin warung gitu...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyaa di Kuta Mandalika kebanyakan Ibu-ibu bergerombol mas. Tapi nggak nyamannya adalah ketika beliau-beliau ini terus mengikuti pas kami jalan sambil menawarkan dagangannya.
      Setujuu... mending ada pusat toko gitu jadi malah lebih terarah kalau wisatawan memang niat mau belanja.

      Hapus
    2. Btw.. Tak kiro iki ning Jogja hlo sekilas.. haha

      Hapus
  6. wes jan,,,,kebayang panase koyo opo, lha wong gambare wae ketok redup, saking panase berarti,,,,hahaa

    kalau main beda zona waktu gitu ya jadine, kaget, lho kok lho kok udah jam segini,,,hahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Puanase emang ngentang-ngentang mas Ghoz, aku aja sebenernya ngampet. Ahaha. Tapi hasrat naik tak terbendung.

      Betul, kadang tu masih bingung nggatuk-nggatukke jam

      Hapus
  7. Mungkin pantai mawun sudah diajari orang tuanya dengan benar, makanya sopan santun ombaknya terjaga 😇

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya ampunnn... Mawun sungguh sudah jadi anak berbakti T.T

      Hapus
  8. Belum pernah ngalamin sampai dikejar-kejar penjual kaya di tulisanmu ini sih mbak, tapi ya kalau ketemu beneran, semoga saya bisa ngomong dg santun kalau saya tidak mau beli pernak-pernik dari mereka :D

    Berati sengaja memang motonya miring-miring? Biar bisa maen ke Lombok lagi? Hahaha. BAGOOOOS....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Meski kalau ditolak emang nggak enak, InsyaAllah bisa wes mas menolak dengan santun. Intinya tetep pakai empati, seolah-olah kita di posisinya. Kalau misal tetep masih dirasa mengganggu ya bersikap lebih tegas lagi ehehehe, tanpa meninggalkan rasa santunnya.

      Ho oh, itu alasan di balik bakwan. Sejujurnya emang akunya le moto masih miring-miring elik :(((

      Hapus
  9. Selamat ulang tahun, mbak. Sehat selalu dan makin sukses!

    Semoga anak-anak di sana segera mendapat pencerahan ya tentang bagaimana sikap dalam mencari nafkah. Nggak bisa nyalahin mereka atau orangtuanya juga sih, mungkin lingkungan yang membentuk mereka seperti itu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin.. terima kasih mas :)) semoga doa baik juga kembali kepadamuu

      Iya, aku berharapnya begitu. Hal kecil seperti ini juga agak mengganggu sih. Kasihan wisatawannya yang bener-bener ingin menikmati suasana...

      Hapus
  10. Saya juga pernha tuh didekati sekumpulan anak yang menjajakan gelang ketika di pantai Seger. Saya tolak, mau gimana lagi? Memang tidak berminat hehhee. Meski agak maksa tapi gak sampai annoying.

    Btw selalu sedih kalau lihat ada proyek pembangunan baru :( ya meski sudah sewajarnya ya. Tapi diharapkan engga akan 'membunuh' warga dan alam :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya memang nggak berminat. Kadang milih kata biar tetep santun menolak juga butuh berfikir wkwk
      Di sana lagi dikerukin bukitnya, aku juga sediih :( sayang aja gituu

      Hapus
  11. Aku lagi bayangin panasnya kayam gimana. Semoga ga bikin kulit sampai terasa kebakar yaa mbak :D
    Kalau aki menolaknya ga pakai suara, cukup menolak pakai tangan dan berjalan menjauh :D
    Dulu ke lombok blum ke pantai, ternyata pantai mawun masih sepi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lebih panas lihat dia dengan yang lain kali ya mas? Ahahaha
      Lainkali kalau ke Lombok sempatkan ke sini mas :') epic sih, cuma ya kalau milih waktu mending jangan siang bolong kaya aku kemarin hehe
      Ntar di sana ketemu sama adek-adek penjual gelang...

      Hapus
  12. Huaaaaaaaa, aku terharu. Ada buku biru nyempil di foto. Terima kasih Mb Dwi sudah bawa bukuku ke Lombok. Besok gantian orangnya nyusul ke sana hehe.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyadong, sama-sama mbak... matching biru-biru soalnya :p
      Aamiin, segerakan.. semoga Lombok lekas kondusif dan baik-baik saja :)

      Hapus
  13. Indah sekali Pantai Mawun ya. Again sedih membaca ini setelah gempa. Semoga semua penduduk disana baik2 saja.

    Dan Saya setuju jgn kasih PHP sama pedagang asongan. Nanti dikejar terus

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin, semoga segera kondusif jiwa dan raganya, bisa beraktifitas seperti sediakala.
      Iya, php ki emang nggak baik. Ini pun ga hanya berlaku phpin pedagang asongan :p

      Hapus
  14. Bisa jadi gerombolan pedagang seperti itu memang jadi trade marknya pantai-pantai di Bali dan Lombok, kak..
    Pedagang dibiarkan mbuntutin turis sambil gigih nawarin dagangannya.

    Di Kuta Bali ngga cuman pedagang souvenir yang gigih mbutuntin turis,dibuntutin jasa tukang urut pun juga pernah aku alami 😁

    Btw, warna biru tosqa pantainya ..., memikat.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyaa, terima kasih. Warnanya memang menggoda toscanya :))

      Ahaha tukang urut mas? terus pernah memakai jasanya?
      Iya, sih. Bagi orang-orang yang karakternya cuek-cuek aja sih nggak masalah. Cuma yang punya karakter "pakewuhan" ya agak mengganggu sih. huhu.

      Hapus
    2. Pernah, kak ..., hahaha.
      Kebetulan saat itu kakiku kerasa pegal abis muterin pantainya, jadi ya udah aku kena rayuan ibu-ibu tukang pijat yang mbuntutin terus nawarin jasanya.

      Diurutnya ala-ala turis bule. Gelar tikar di pinggir pantai dan sesekali jadi tontonan pengunjung yang lewat 😅

      Iya,sih kalo punya jiwa pakewuhan pasti jadi ngga tega nolak tawaran dagangannya.
      Kadang aku juga gitu,kak.
      Tapi kadang cuek bebek nyelonong pergi setelah nolak secara halus 😁

      Hapus
    3. Ahaha oh diurut ala-ala bule di atas tikar di pinggir pantai gitu mas? wkwk
      Tapi itu ngepas pegel-pegel..pas sekali :D
      Terus sebelumnya nanya upahnya dulu nggak?
      Takute habis diurut ternyata suruh bayar mahal wkwkwk

      Hapus
  15. Awal bln juli kemarin, sebelum gempa, saya ke pantai ini. Beruntung saya ga ketemu anak2 kecil penjual cideramata. Mungkin mereka kapok jualan krn ga ada yg mo beli hehe... :D

    Saya naik motor sendirian. Setelah ke Selong Belanak trus ke pantai Mawun dan Rowo.

    Saya lagi enjoy dgn view pantainya yg mempesona, tapi adik2 ipar saya yg di Ampenan dan Pemenang ketakutan saya di begal,...bagaimana nnt jawab mereka dgn istri saya di Jawa kalo saya ga bisa plg, atau plg dalam keadaan ga utuh lagi.

    Dan krn saya udh diberitahu sebelumnya, jadi sebelum gelap saya harus cepat2 cabut dari tempat ini.
    Krn ga ada sinyal jadi update status saya terlambat mereka terima.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah belum pernah ke Pantai Rowo mas. Kalau Selong Belanak cuma lewat di depannya aja. hehe.
      Iya... sudah diinfokan juga sama mas-mas pemilik rentalan motor, kalau misal pergi-pergi motoran jangan sampai gelap di tempat sepi. Banyak begal.
      Makanya kami ya mempertimbangkan jarak dan waktu. Sekiranya jauh ya berangkatnya agak pagian...
      Mas Aris nginepnya di manakah?

      Hapus
  16. memang penjual gelang di sana agak sedikit mengganggu, karena memaksa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga didengar sama yang berwenang mengatur hal-hal demikian mas. Sepertinya memang sepele, tapi ya agak mengganggu.

      Hapus
  17. Keindahan pantainya sungguh luar biasa, dan agak risih juga kalo penjualnya agak maksa gitu 😁

    BalasHapus
  18. pantainya alami...bersih.
    foto fotonya keren semua

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih mbak :)
      Semoga setelah gempa kemarin tetep oke :))

      Hapus
  19. belum pernah ke Lombok :(

    takut pedas.. :(

    BalasHapus