Menunggu Senja-Senja di Yogyakarta

Sabtu, Oktober 01, 2016

Ray Of Light Senja di Bukit Paralayang Parangtritis

Pernahkah kamu memperhatikan gerak-gerik detak jarum jam lebih sering? ketika bentuknya masih saja sama, tapi jarumnya terus berjalan ke arah kanan.

Ah demi apa aku harus kembali berperan sebagai penunggu.

Dilahirkan sebagai orang yang terlalu tepat waktu di Tanah Air Indonesia sepertinya akan berujung kepada: menghibahkan waktumu lebih banyak untuk menunggui.

Menunggu “otw” yang kenyataannya setahun kemudian baru sampai, menunggu pintu kantor yang belum dibuka, menunggu orang dandan kelamaan, menunggu kepastian, menunggu kamu chat duluan, menunggu sampai semua datang meskipun banyak yang melenceng dari waktunya.

Senja di antara ayunan couple Pantai Cemara Sewu Bantul

Menunggu yang paling meresahkan adalah ketika menunggu tanpa konfirmasi. Semacam digantung kemudian terombang-ambing oleh hempasan angin, atau menunggu sendirian yang seringnya berteman bayangan.

Terkadang pun aku pernah merasa bosan, ketika yang kutatap hanyalah ruang selo yang tak kunjung ada tanda-tanda kemunculanmu untuk mempersingkat panjangnya jarak.

Ah, tapi justru dari pengalamanku beberapa kali menunggu, aku jadi belajar banyak tentang kesabaran.

Menunggumu itu memang harus sesekali diselingi suara lirih nyanyian agar tak terlalu sepi. 

Senja di Pantai Cemara Sewu Bantul

Berkali berusaha membunuh rasa bosan, dengan mengarahkan langkah kakiku untuk menantimu di ujung kutub selatan Yogyakarta dengan waktu yang terus menderu, 

melaju.

Langkah itu tak terasa telah membawaku menepi di pinggiran samudra, kemudian memperhatikan bagaimana aliran Kali Opak itu mencari jalannya. 

Dari kejauhan, alirannya yang membentuk kelokan ditemani sinar cahaya orange matahari yang sudah waktunya minta diri untuk tenggelam, telah menggambarkan perjalanan panjang sebuah pencarian.

Senja di Kelokan Kali Opak: Mencari jalan untuk mencapai muara
Senja di Jembatan Soka, Pundong

Beberapa waktu, aku kerap mencoba mengumpulkan kukuatan untuk berlari lagi mengikuti arah kelokan Kali Opak yang telaten mencari jalan menuju rumah terakhirnya.

Menyaksikan pertemuan Kali Opak dan Samudra ketika Senja di Bukit Kayangan Goa Jepang Pundong

Setelah perjalanan panjangnya dari kutub utara Yogyakarta, akhirnya ia rela meleburkan diri oleh genangan kepungan air asin. 

Ya, ia telah sampai kepada rumah terakhirnya.

Di mataku, perjalanan panjangnya telah berakhir kepada sebuah peleburan, bukan berdampingan.

Begitu?

bahwa banyak pelajaran yang sering Tuhan tunjukkan kepadaku, termasuk melalui peristiwa yang ditunjukkan langsung oleh semesta; bahwa sebuah perjalanan penantian memiliki waktu dan jawaban masing-masing yang masih Engkau rahasiakan.

Tak perlu risau dengan segala pertanyaan yang menembakmu setiap hari,

karena sekali lagi

Tuhanmu akan menjawabnya langsung suatu hari.

Senja di Jogja Sunset Park

Aku telah berbalik meninggalkan Kali Opak yang telah menemukan muaranya, namun arah tatapanku tetap kepada laut yang nampak tenang dari kejauhan.

Baik,

ternyata selingan untuk menunggumu dengan bernyanyi lirih sudah tersaingi oleh suara kerasnya ombak mengikis karang.

Kini, menunggumu tak selamanya harus selalu di posisi berdiri menengok kanan-kiri.
Sesekali boleh sambil duduk khusyu' berdoa agar Ia menjemputmu tanpa tersesat di gang kecil lain.

Menunggumu juga sesekali boleh diselingi dengan meneguk air putih, untuk mengurangi dahaga karena kesabaranku belumlah berlapis tembaga. 

***

Ketika waktu sore tiba, aku seperti mendapati "teman" yang tak sedikit berperan sebagai para penunggu. Mereka duduk-duduk dengan perhatian penuh kepada langit bermega di ujung barat.

Menunggu senja, adalah sebuah penantian selingan ketika menungguimu tak terasa akan berganti hari.

Senja,

ketika matahari yang tinggi secara cepat berlalu hendak tenggelam sampai tinggal separonya, saat itu kumohon coba tataplah langit sebelah barat. Beberapa senja tanpamu pernah kusaksikan berlapis lazuardi.

Senja berlapis Lazuardi di Gumuk Pasir Parangkusumo

Birunya yang masih tersisa di lapisan atas orange mengingatkanku kepada cerahnya warna langit ketika kamu pernah menarikku begitu tinggi dekat dengan langit:

Senja pada Festival Layang-layang di Pantai Parangkusumo

atau mengajakku melompat tinggi menandingi matahari, seolah kita berdua yang menggenggam sinarnya tanpa sela gelap:

Lompatan tinggi di Bukit Paralayang Parangtritis

Tapi lompatan itu ternyata hanyalah sebuah tumpuan agar kamu bisa memeriksa mana-mana yang lebih indah di bawah sana.

***

Aku paham, jika kamu tak pernah secara tegas menentukan kapan tepatnya akan menjemputku. Bukankah aku harus selalu memakluminya?

Sedangkan senja? Sejak kapan kamu datang terlambat?

“Tidak pernah”

Senja di Baron Technopark

Setiap aku menatapmu pada waktu yang kau janjikan, kamu selalu hadir tepat waktu meski kadang terhalang langit tak cerah.

Kini aku memilih untuk mantap berpijak kemudian berjalan secara normal, menguatkan untuk menggenggam sela jemari sendiri sampai menemukan jalan pulang.

Senja di Pantai Baru Bantul
Senja di Pantai Parangtritis

Senja di Pantai Pulang Syawal Gunungkidul

Kubenahi lagi sweater cokelatku yang tersibak oleh berlalunya angin sore.
Angin laut telah melaju, menerpa terlalu keras sebagian badanku yang sudah mulai dingin.

Aku ingin membalikkan langkah menuju pepohonan, yang rantingnya menjadi celah sinar-sinar orange itu menyentuh pipiku. 

Memilih untuk segera menelusup sendirian, menatap pepohonan yang berguguran daunnya kemudian bertunas kembali.
Dari tunas-tunasnya, ia selalu menghadiahkan buah-buah termanis untuk seseorang yang berteduh di bawahnya ketika senja tiba.

Senja di Persawahan Pundong Bantul

Senja di Watu Lumbung Kretek

Senja di Goa Jepang Pundong


Senja di Bukit Bego Imogiri
Kutandai setiap jalanan itu, jalan yang pernah kulewati untuk menantinya di ujung bukit, di tepian pantai, atau di sela rimbunnya pepohonan.

Betapa panjangnya jika kutelusuri kembali setiap tempat itu,
sampai dari kejauhan aku melihat jalan lain yang menunjukan rute pulang.
Pulang. Rumah.
Adalah tempat terbaik untuk menantimu yang sesungguhnya ketika datangmu adalah untuk mengetok pintu rumahku dengan kesungguhan.

Suatu senja di Lapangan Pundong, Bantul
Sejauh apapun roda itu berputar seperti waktu, senja yang sebenarnya pergi sebenarnya tidak pergi.

Sebenarnya Ia hanya berganti untuk menyinari belahan bumi lain.

Menatap senja di Belakang Rumah, Pundong Bantul
Akhirnya dimanapun posisiku untuk berpindah tetap menanti,

tempat terbaik untuk menunggumu adalah di rumah.

Sehingga bagiku:

"Senja adalah sebuah jendela, yang memberi celah untuk menyelinap di salah satu potongan mimpimu nanti"

Sekarang kamu tahu dimana aku menetap menunggumu? 
Di rumah dengan hiasan senjanya setiap sore.

* Foto senja-senja di Yogyakarta adalah koleksi pribadi penulis, foto-foto lama atau potongan-potongan caption yang disatukan menjadi sebuah cerita.



Terima Kasih Sudah Berkunjung

34 comments

  1. Wow.. Kala senandung syahdu mengalun lembut menemani sang senja

    BalasHapus
  2. Terkesima dengan jingganya senja... Namun ia tak kuasa melawan kehendak
    tetap semangat berkarya ^_^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Karena Tuhan sudah mengatur sedemikian kapan waktunya terbit dan tenggelam tanpa harus dirisaukan :)

      Hapus
  3. senja senja yang aduhai. senja yang paling aku suka adalah yang di atas kelokan kali opak, hayuuk berburu senja lagi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mas emang itu poto kesukaan :)
      Gunungkidul juga punya pantai yang senjanya aduhai semuaa...
      Ayok aja wes sehat aku wkwk

      Hapus
  4. Masih kurang. Di sini nggak ada senja dihati kakakkakakak.
    Fotomu apek-apek mbak. Idolakkkk

    BalasHapus
    Balasan
    1. Senja di hati ki ra ketok mas, soale atine rapet. Wkwk.
      Apik-apik potomu mas, aku waton jepret tok iki

      Hapus
  5. Foto senja di lapangan Pundong paling favorit buatku :D
    Jadi rindu menikmati senja di sudut Jogja :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waaa kudu ke pundong berarti sinii sambil nganter oleh-oleh dari bali kemarin :p

      Hapus
  6. ternyata senja sudah berlalu,
    tapi.....
    ah sudahlah,
    kini ku rindukan miedes yang di depan rumah saja,
    sambil berharap
    masih bisa menatap senja di kota pundong....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin...
      Cepat pulang mas, nanti bisa menyantap miedes, abangan, atau senja-senja di sawah depan rumah :)

      Hapus
    2. lha.... nek aq bali, ra tau ketemu awakmu jew....

      Hapus
    3. Hehehe iya mas, pas lebaran aja blm tentu iso ketemu

      Hapus
    4. jadi......
      kapan kita bisa ketemu?

      Hapus
  7. enak e hidup di Pundong yo gini ini, wekekeke

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mau jadi warga pundong? Wkwk
      Jauh dari hiruk pikuk mas

      Hapus
  8. Huaa. aku meleleh bacanya. Singa telah bangun dari tidur lamanya. Welcome back mb dwi. sudah sembuh kan ya?
    keren mba tulisanmu, syahdu. apakah diiringi rasa menunggu kepastian dari seseorang jg?

    potonya cakep2.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Emangnya aku kaya singa ya nif? :p
      Ini selinganku menulis ketika sakit kemarin nif, poto-potomu lebih keren-keren bangett kemana mana lah...

      Iya lagi nunggu dia :) *embuh sopo*

      Hapus
    2. tak sampaikan po pie? ojo ngenteni lanangan sing php mba. eh
      ada singa dalam dirimu pokoke. bangkit dari sakit njuk tulisane makin apik

      Hapus
    3. Sampaikan siapa? Orang aku sendiri aja sedang ga tau nunggu siapa kok :p

      Makasih nif, tulisanmu kui lho juga semakin cetar.... menelusup lembut di relung jiwahhh wkwk

      Hapus
  9. Lah. ojo galau mba. mengko ndak loro maneh.
    wah. mudah2an pekan depan bisa menulis lagi ya. doakan! ada pemandangan unik lainnya di sekitaran Tambora

    BalasHapus
  10. Siluetnya amazing banget mbak :-)
    Masya Allah..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yang mana mas? Hehe iya, makasih pas ketemu moment bagus

      Hapus
  11. Kasian ruang "selo"-nya disalahin gegara nggak ada someone nonggol di balik pintu. Mesti panggil Doraemon biar keluarin pintu ke mana saja nih. Kepikiran bikin tulisan pasang koleksi foto sunset. *geledah file ruang selo* hahaha ^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Karena aku kehabisan stock, dan ada foto-foto favorit sayang dilewatkan wkwk yasudah ketik-ketik posting.

      Emang iya mas, belum ada tanda-tanda kemunculannya fi ruang selo ini :')

      Hapus
  12. Eh kali opak ini yang jadi aliran lahar dingin nya merapi bukan sech ??? kayak nya familiar banget sama nama nya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lahar dingin nggak sampai sini kok mas cum,
      Itu sungai muaranya ke pantai parangtritis :)

      Hapus