Seteguk Hangat di Kebun Teh Tritis

Selasa, November 01, 2016




Aku seperti baru saja terbangun dari mimpi ketika sepeda motor tiba-tiba terhenti di sebuah ruang parkir. Sebuah tanda berakhirnya episode singkat perjalanan yang cukup menguras se isi perasaan cemas karena harus meniti tanjakan dengan kondisi jalan tak terlalu rata.

Setelah kaki menapak menginjak tanah, mata secara reflek memandangi segala sisi. Terlihat jelas pemandangan tingkat demi tingkat hijaunya hamparan kebun teh, pohon-pohon berdiri tegak selang-seling memayungi, serta jemuran biji kopi arabica di atas kotak-kotak tikar yang menanti dikeringkan matahari.

Biji kopi arabica yang dijemur mengisi seisi tikar

Kami sudah sampai di Dusun Tritis, Ngargosari, Samigaluh, Kulon Progo, tepatnya telah berada di depan rumah Bapak Miftah. Sebuah tempat yang nantinya akan menjadi sekolah kami setengah hari ini. Sebuah rumah sederhana nan bersih di tengah hamparan kebun teh yang hijau berundak-undak.

Hawa sejuk bercampur dingin sudah membungkus. Terang saja, bahwa tanaman teh memang tumbuh baik di dataran tinggi pada suhu 13-25°C. Senyum ramah dan sambutan hangat dari Pak Miftah beserta istri menambah berlipat hawa sejuk itu.

Beliau mempersilakan kami segera memasuki ruang tamu. Terlihat beberapa lembar tikar sudah tergelar rapi. Kami duduk berjejer sepanjang tepi. 
Pak Miftah seperti memahami dengan ekspresi kami yang kepanasan sepanjang jalan kemudian tiba-tiba kedinginan, ya sepertinya kami butuh kehangatan.

Satu nampan kotak penuh berisi beberapa gelas teh panas dibawa oleh istri Pak Miftah keluar dari balik pintu ruang tengah.

Ini teh asli dari petik kebun lho”, terang singkat beliau sambil menyuguhkan gelas-gelas teh di depan kami.

Ngeteh sambil belajar :)

Jejeran gelas yang berisi air teh dengan tutup warna-warni itu begitu menggoda kami untuk segera mencicipi. Tangan-tangan mulai serempak memisahkan tutup dari bibir gelas.
Uap panas mengepul, aroma teh mulai tercium, endapan gula masih sedikit terlihat tipis di dasar gelas.

"Gleggggh..." seteguk teh mulai membasahi ruang kerongkongan.

Hmm... rasanya tak seperti rasa teh buatan pabrik yang sering diminum bapak di rumah.
Rasa teh ini cenderung lebih lembut, terasa ada mint-mint nya dan setelah tegukan pertama nagih untuk segera disusul oleh tegukan yang ke-sekian kalinya.

Bagaimana dengan warna air tehnya? warnanya tak sepekat teh buatan pabrik. Tentu saja begitu. Teh ini kan tanpa pewarna? tanpa pengawet juga.

Pak Miftah pamit bergegas keluar sebentar kemudian masuk dengan membawa satu tangkai daun teh yang Ia petik di depan rumah. Beliau dengan lancarnya menjelaskan kepada kami mengenai jenis-jenis teh menurut bagian tangkai teh yang beliau pegang saat itu sebagai berikut:

Keterangan gambar bisa dibaca di bawah menurut nomornya :)

1. Teh Putih

Adalah teh pucuk pilihan yang dipetik sebelum terkena sinar matahari, kemudian dijemur di bawah kaca sebelum matahari terbit. Jika diseduh, teh ini akan berwarna putih. Aromanya yang tercipta berasal dari bulu-bulu lembut pucuk daun teh.
Teh ini memiliki beberapa khasiat untuk meluruhkan racun-racun di dalam tubuh. Untuk menyeduhnya bisa gunakan beberapa helai pucuk teh ini, kemudian bisa diseduh dua kali dalam sehari.

Karena memang jenis teh ini sangat pilihan dan perlakuannya juga istimewa, maka dalam 1 kg teh ini dijual dengan harga tiga juta rupiah. Biasanya sih, teh jenis satu ini seringnya menjadi komoditas eksport.

Coba diperhatikan gambar nomor 1, bisa kah dibayangkan berapa lama memetik dan menjemur pucuk-pucuk teh lembut itu sampai genap 1 kg?

2. Teh Oolong
Berasal dari daun teh muda tepat di bawah teh putih, biasanya cara mengeringkannya dengan cara disangrai. Campuran teh oolong yang disatukan dengan rempah kayu manis dapat berkhasiat untuk meningkatkan metabolisme tubuh lho. Ayook kita buat dua gelas. Satu untuk aku, satu lagi untuk aku.

3. Teh Campur
Teh campur berasal dari daun teh tepat di bawah teh oolong, biasanya digunakan untuk konsumsi sehari-hari keluarga.

4. Teh Pabrik
Teh yang hanya terdiri dari batang-batang teh dicampur dengan daun-daun teh campur.

Teh yang barusan kami teguk masuk ke dalam golongan jenis teh ketiga. Paling tidak, sekali-kali kami tidak selalu ngeteh buatannya pabrik.

Pak Miftah mengantarkan secerek penuh berisi teh lagi untuk mengisi kembali gelas-gelas kami yang sudah mulai kosong.

Pembahasan kami sampai kepada: "kenapa rasa tehnya tadi seperti ada rasa kopi samar-samar?."

Tanaman teh memang cenderung menyerap dari tumbuhan di sekitarnya. Hamparan lahan kebun teh seluas 78 hektar itu, dahulu pernah dicoba untuk ditanami jagung, kemudian kopi, karena dua tanaman itu tak tumbuh baik di lahan Pak Miftah, maka beliau berganti untuk menanam teh. Tak heran jika rasanya ada sedikit rasa kopi-kopinya.

Seiring toples-toples dan gelas di depan kami mulai kosong, Pak Miftah beserta istri mengajak kami bergegas menuju kebun teh yang letaknya tepat di depan rumah. 

Barisan kami ketika meniti jalan sempit di antara rerimbunan kebun teh

Tak peduli matahari sudah tinggi, kami mantap menelusuri jalan sempit yang berada di sela-sela rimbunnya tanaman teh yang hijau.

Jalan yang kami lalui cenderung naik menjanjak berundak-undak. Sesekali kami berhenti untuk antre dengan melambatkan langkah.
Sesekali kami pun berhenti untuk menyeka keringat yang mulai menerus.

"Yeayyy kami sudah sampai puncak!."

Mata sedang mendapatkan gilirannya untuk menangkap panorama indah ketika sejauh lepas mata memandang disuguhi oleh pegunungan menoreh yang membentengi. 

Pemandangan dari puncak kebun teh

Untuk pembaca, jangan bandingkan suasana kebun teh ini dengan kebun teh Nglinggo ya?
karena meskipun sama-sama kebun teh dan letaknya tak terlalu jauh, kedua tempat ini memiliki atmosfer yang sungguh berbeda.

Di Kebun Teh Tritis, jarang ditemui papan-papan tulisan kekinian yang sering menjadi andalan fokus jepretan kamera anak muda masa kini. Jumlah pengunjung kebun teh ini pun jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari alias tak sepenuh sesak seperti di Kebun Teh Nglinggo.
Cocok lah kalau ingin mencari ketenangan dikepung sejuk-sejuk ijo.

Nah bahkan untuk pengunjung yang niat banget ke sini, sebagian mereka ada yang sampai jalan kaki dari bawah dengan jarak yang lumayan jauh menanjak.

Kenapa?

ya, karena letak kebun teh Tritis berada di atas Kebun Teh Nglinggo sebagian besar petugas parkir menyetop kendaraan pengunjung di ujung bawah sana. :'(

Dari atas, terlihat rumah Pak Miftah
Matahari seperti sedang berkompromi untuk mengurangi panasnya.
Dari puncak ini sejauh mata memandang yang terlihat adalah hamparan kebun teh yang diselingi beberapa batang pohon pelindung yang memayungi.
Saat ini adalah waktu yang tepat untuk mengurangi frekuensi kedipan mata,
menghirup oksigen sepuas-puasnya, dan meneguk teh sambil menikmati pisang rebus di tengah kebun teh.

Tempat berteduh kami ketika sampai atas

Disangga ayunan hammock

Sebagian dari kami duduk-duduk di gubug yang berdiri di puncak kebun teh. Sebagian lagi ada yang tiduran santai bergelayut di atas hammock berwarna biru, sebagian lagi mengikuti langkah Pak Miftah beserta istri untuk menelusup di balik jalan setapak kebun teh.

Mengikuti langkah Pak Miftah

Akhirnya dengan didampingi Pak Miftah dan Istri, kami memraktekkan betul bagaimana harus memetik daun-daun teh itu. Tangan-tangan mereka lincah memetik daun demi batang bagian tanaman teh seraya menunjukkan kepada kami beberapa daun teh yang kurang sehat. 

Cacat pada daun teh

Terlihat lembaran daun hijau bermotif noda-noda hitam. Kami mengamatinya dengan saksama, itu bukan karena ulat. Sebagian memang karena musim, sebagian lagi karena serangga kecil yang bersembunyi sebelum setengah delapan pagi.

Bisa dibayangkan betapa banyak tantangan untuk merawat lahan kebun teh seluas itu? tentu saja tidak mudah. Kadang untuk merawat sepetak kecil perasaan saja sungguh rumit. Ya kan ya?
Tanaman teh juga membutuhkan perawatan seperti makhuk hidup Tuhan yang lain. Bagaimana harus dipupuk, disiangi rumputnya, pemangkasan dahan-dahannya agar tumbuh melebar sehingga mempermudah dalam pemetikan daunnya.

Penataan pohon pelindung pun tak kalah pentingnya. Pohon pelindung yang terlihat tumbuh di antara hamparan kebun teh berfungsi sebagai penyaring dan pengurang intensitas cahaya matahari, sehingga udara menurun dan kelembaban relatif udara meningkat.

Karena fungsi pohon pelindung yang relatif penting, pengelolaan pohon pelindung harus dilakukan secara baik. Kapan harus dibiarkan atau kapan harus dipangkas.



Untuk perawatan kebun teh, Pak Miftah dibantu oleh beberapa pemetik daun teh. Jadi tugas pemetik daun teh bukan hanya memetik daun, tetapi juga ikut merawat.

Bagaimana untuk pemasaran daun teh yang dipanen empat kali dalam seminggu ini?

Daun teh basah jenis ke empat diambil oleh Pabrik teh Pagilaran dengan harga Rp.1.000,- per kg.
Harga segitu masih dikurangi untuk upah pemetik daun teh Rp.500,- per kg, dan pada akhirnya pendapatan bersih yang diterima pemilik per 1 kg nya adalah sekitar Rp.300,- per kg nya.

Wah!

 “Meskipun sudah sekarat tapi masih semangat”, lanjut Pak Miftah sambil tersenyum.

Binar semangat jelas terpancar dari sorot mata beliau.

Semangat beliau untuk terus berbenah, untuk bertahan dengan pengupayaan adalah sebuah infus berarti untuk kami.

Terimakasih teman-teman Kominblus, karena bersama kalian dolanku tidak lagi selalu berteman bayangan :')

Terima Kasih Sudah Berkunjung

38 comments

  1. Oya nggak tanya sama bapaknya, bagaimana kalu misalnya ada pengunjung yang berfoto di tengah-tengah rerimbunan kebun teh? misalnya menyeruak di rantingnya itu merusak atau tidak dll?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ada jalannya kok mas, bisa lah buat papasan 2 orang. Tiap tingkatan atau undakan gitu biasanya ada ruang untuk akses pemetik teh.

      Jadii kalau sampai pada foto di tengah-tengah nyender-nyender di tanaman teh mungkin dia perlu dibina deh :p

      Hapus
  2. Aku ke sini nya 4 tahun lalu ey, lumayan yang ini masih bersahaja daripada sebelah yaa hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yeayyy iya banget, kerasa sepi tenang sejuk heningnya mbak...
      Ayo ke sini lagi :*

      Hapus
    2. Ayoo pengen deh. Berani nggak naik berdua? Wkakaka.
      Iya waktu itu tuh aku parkir di rumah bapam ini. Tapi cuma ketemu si ibu aja. Waktu itu malah si ibu kaget, kata beliau jauh jauh kenapa main ke kebon. Padahal kan masih sama sama Kulon Progo aku sama beliau. Hihi. Tapi yaudah diijinin naik, beliau pamit mau ke hajatan tetangga. Ah syahdu kalo inget waktu itu. Belum disuguhin teh kayak gini sih, jadi pengen :((
      Mbak tanggung jawab wkwk.

      Hapus
    3. Berani tapi diboncengin yuk :p
      Aku mau diajak keliling-keliling kulon progo mbak mauuu banget

      Hapus
    4. Eh gantian. Ahaha. Berani nggak aku ya? Ayok lah diagendakan. Nanti aku mention di twitter :*

      Hapus
    5. Kutunggu :*
      eh enggak ke kebun tehnya lagi gapapa sih, di tempat yang lainnya lagi :)

      Hapus
    6. Iya, selain kebun teh. Aku pernah nemu tempat adem banget mbak, dulu sih masih sepi. besok kita ke sana yuh. Macam air terjun gitu tapi ada tamannya.

      Hapus
    7. Jangan2 sungai mudal atauu malah kedung pedut, kembang soka, udah rame semuaa 😢

      Hapus
  3. Jadi, teh pabrikan yang saya minum selama ini ada pewarna dan pengawetnya ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Menurut informasi dari beliau dann info yang saya baca begitu mas meskipun juga nggak semuanya.
      Warna teh kan nggak sepekat itu mas, kecuali untuk jenis teh hitam

      Hapus
  4. berarti bener ya, teh pabrik itu ada tangkai2nya gitu, soalnya pas nyeduh teh (bukan yg celup) sering nemu batang2nya gitu hehehe

    BalasHapus
  5. wah kulon progo aku kan jadi pengen ikutan :(
    ke sini lagi yuk mbak. :(
    jelajah kulon progo boleh uga kok

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ciee yang punya bidadari di kulon progo wkwk
      Hayukk aku pingin ke air terjun terjunnya mas gallant,
      Nanti "mbak" nya dimintain tolong jadi guidenya wkwk

      Hapus
    2. maksudnya Ephita? lah dia aja ke Kalibiru belom pernah mbak. pernah bilang di twitter kalo ngga pernah ke mana-mana :))))

      Hapus
    3. Moso sih mas? lhaa aku juga belum pernah sih ke kali biru.
      Ya coba tanyain ke tempat-tempat yang dia udah pernah aja...

      Hapus
  6. Keren. skrg mainnya sama komunitas. udah g sendiri lagi. ga jomblo lagi
    wao. harga teh putih mahal yaa. aku blm pernah minum teh putih jee.

    ayo ajak aku ngeteh kak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kenapa kamu malah ngomenin bagian jomblo2nya sih nif? Padahal nggak ada di tulisan lho ituu wkwk

      Kamu kan sama kaya aku, sebenere ga doyan kopi, yaudah ayoo ngeteh celup ya :p

      Eh tapi katanya mau ngasih kopi tambora ya sinii mau aja aku :D

      Hapus
    2. mau? sini ke Sleman. masih ada kopi tambora dan kue dari Talaud. takut ga habis aku.
      emang g ada sih jomblonya, tapi kan kamu jomblo yang bentar lagi payu

      Hapus
    3. Aamiin....
      Aku maunya sambil dijak i piknik :)

      Hapus
  7. Lagi ngerti yen Kulon Progo punya kebun teh kek gitu. Hehehe dulu pas masuk ke pabrik teh Tembi nggak dijelasin kalau teh pabrik pakai batang dan campuran daun teh, cuma pegawainya kasi kode halus kalau teh dari daun termasuk kualitas bagus dan langsung dikirim ke luar negeri semua. Hahahaha. Jadi yang dalam negeri dikasih grade pualing rendah, ngenes yah. Ini juga terjadi dengan minuman kopi bikinan pabrik yang beredar di Indonesia. ^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mas Halim malah pernah ke pabrik teh Tembi nya? nah semakin lengkap juga kalau ditambah kapan-kapan berkunjung ke kebun teh nya :)

      Haiya itu, yang di pabrik yang batang-batang sama daun paling bawah :p jadii masih percaya iklan teh yang dipetik dari pucuk pilihan tapi dengan harga **** per botolnya? Hehe

      Bener banget, kopi juga serupa.
      Mending kalau ngopi yang liat prosesnya dari biji kopinya *eh tapi ga suka kopi ding*

      Hapus
  8. Segarnya berada di hamparan teh yang luas, jadi rindu momen di kebun teh :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sempatkan buat main lagi mas, buat nyegerin mata banget liat yang ijo-ijo begitu

      Hapus
  9. ke sini kok ngga ajak ajak. aku seumur umur belum pernah maen ke kebun teh :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Besok pas ada event lari di sermo itu trs mampir mas, cuma di westprog kok itu :)

      Hapus
  10. Eh pak miftah punya ada yg bisa di kecengin ngak ??? dari pada situ jomblo mulu hua hua

    BalasHapus
    Balasan
    1. Anaknya cewek om,
      Cuma bisa mengkecengi kebun tehnya aja :p

      Hapus
  11. seru ya mbak bisa berlibur di kebun teh .. jadi banyak wawasan tentang dunia teh

    BalasHapus
  12. jadi ingat waktu saya ke kebun teh kemuning karanganyar mbak...disana di tempat budhenya temen saya disuguhi teh dengan rasa mirip kopi...katanya " ini teh bukan teh biasa "rasa"nya agak pahit" gimana gitu....jadi pengen blusukan ke daerah sana nie mbak :D tempate meskipun siang tapi kayake tetep adem

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah teh rasa kopi itu juga bikin penasaran mas, pake daun teh yang jenis manaa :))

      iyaa ngadem banget cuci mata yang ijo-ijo.
      Kalau kemuning memang luar biasaa kebun tehnya mas. Luasss

      Hapus
  13. Kalau berada di tempat kayak gini bikin betah pasti ya mbak.
    .
    Udaranya yg sejuk dan ijo ijo. Hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mas, kalau ngeteh juga tinggal meracik di kebun sendiri :)

      Hapus
  14. Halo mba dwi, baca artikelnya mau tanya info no telpnya pak miftah, atau pak suko? saya mau coba beli teh dari petani sana.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih :)
      Mohon maaf, setelah aku cek, nomor beliau sudah nggak aktif. Apa mungkin browsing pemilik kebun teh di sekitar Nglinggo pasti lebih banyak informasi tentang contact personnyaa.

      Hapus