Menekuni Tapakan Kaki Sampai Barisan Bukit Pengilon

Rabu, Februari 01, 2017


Di sela jam kerja, bunyi notif email masuk membuyarkan perhatianku pada layar monitor yang sejak pagi kutatap sendu. Segera kualihkan petikan jemariku dari kotak-kotak keyboard meraih layar kecil handphone.

Setelah membuka jendela gmail, kulihat email baru sambil senyum-senyum.

Oh, benar saja seperti dugaan awalku. Email masuk itu adalah sebuah kiriman draft proposal yang pernah dijanjikan oleh seorang teman. Niat sekali ngajak dolannya sampai benar-benar mengirimkan draft proposal, lha padahal waktu itu aku hanya bercanda J

Kubaca dengan saksama sambil memperhatikan setiap detail lampiran gambarnya. Akhirnya, aku menyetujui satu dari sekian tempat yang dia ajukan.

Barisan bukit nan hijau di sebelah timur Pantai Siung Gunungkidul memberi isyarat lambaian kepadaku untuk bisa lebih dekat lagi dengannya.

“Ya… kita ke sana”. Balasku menyetujui.

Dari sekian hari yang selalu dihujani rindu lebat, entah kenapa pada hari yang telah kami sepakati kok cerah berawan.
Pukul 10.00 kami memilih untuk menempuh rute Jalan Panggang – kemudian melewati jalan tepian Pantai Baron.

Perjalanan yang diselingi mampir mencari sarapan serta cerita sepanjang jalan, akhirnya harus sedikit terhenti oleh lambaian tangan petugas pemungut retribusi Pantai Baron.

Selembar karcis dengan nominal Rp.20.000,- hampir disodorkan oleh petugas kepada kami sebelum temanku memotongnya dengan kalimatnya:

“pak, kami hanya ingin numpang lewat saja, kami tidak hendak ke pantai daerah sini”
“lha mau ke mana?”
“ke daerah Tepus”
“tetap saja bayar, ini kan memasuki kawasan wisata?”
“tapi ini kan jalan lintas provinsi?”
“biar enak sama enak, bayar saja” jawab bapak itu dengan tampang begitulah.

Segera kuberikan isyarat kepada temanku agar mengalah saja. Ia sepertinya mencoba untuk paham dan menuruti kodeku saat itu. Cepat-sepat ia sodorkan uang dua puluh ribuan yang kemudian dibarter dengan tiket retribusi. Setelahnya, ia memilih untuk menambah tarikan gas motornya agar cepat berlalu.

Jalanan hari itu cukup ramai. Terlihat berbaris bis merangkak menyusuri jalanan berkelok. Sesekali sepeda motor mencari sela di antara ruas jalan yang kosong. Pemandangan itu hampir menghiasi sepanjang perjalanan kami sampai pada akhirnya tak terasa bertemu lagi dengan pos TPR (Tempat Pemungutan Retribusi) yang kedua.

Kali itu adalah TPR menuju Pantai Siung dengan tiket Rp.10.000,- untuk dua orang. Beberapa ratus meter setelahnya, sampailah kami di parkiran Pantai Siung yang cukup ramai pengunjung.

Pantai Siung dengan tebing dan ombak khasnya

Langkah kami lantas serasi menyusuri tepian Pantai Siung menuju timur. Pandangan masih dipenuhi oleh gulungan ombak yang menyapu cekungan bekas tapakan kami. Pasirnya tak terlalu halus, diselingi keberadaan cangkang kerang tak bertuan.

Beberapa kapal menepi di pinggiran. Ada keluarga yang sedang asyik duduk-duduk sambil menikmati piknik santai, mas-mas yang sedang fokus mengarahkan posisi perempuannya sebelum dibidik kamera, sedangkan kami tetap melangkah ke timur sampai menaiki bukit itu.

Sebuah tangga sebagai pintu kami yang pertama agar sampai kepada Bukit Pengilon. Anak tangganya sudah berubah dari yang ketika beberapa tahun lalu masih berupa undak-undak tanah kini sudah berwujud semen.

Seorang bapak-bapak duduk di gubug kecil sisi kanan tangga.

Duaribu per orang mbak” sapa beliau sambil tersenyum.

Beberapa antrean belakangku melanjutkan langkah, sedangkan kami memilih untuk menepi menikmati beberapa bulatan cilok seraya mangatur hela nafas yang masih berantakan.

“Lanjut?” tanyanya sambil melihat anakan tangga yang menanjak naik.
“Siap!” jawabku meringis.

Jalanan sempit membelah ladang penduduk

Kami menempuh perjalanan menyusuri jalan sempit di tengah sawah penduduk.

Di puncak bukit pinggiran pantai yang akses irigasinya pun terbatas seperti ini, kulihat hamparan padi merunduk menguning. Oh, mungkin ini adalah salah satu tanda kebesaran Tuhan. Dia menghendaki apapun untuk tumbuh ataupun mati.

***

Mega putih berkumpul memayungi meskipun terkadang panas menggantikan redup.

Sapaan penduduk yang sedang mengurusi sawah, bapak-bapak yang sedang memanggul gunungan rumput untuk pakan ternak, menjadi selingan menyejukkan ketika mereka menyedekahkan senyuman demi senyuman ramahnya.

Kami tidak sedang berlomba jalan cepat, sepanjang pemandangan terlalu sayang untuk dilewatkan dengan buru-buru. Beberapa teguk air putih yang membasahi kerongkongan mampu untuk membeningkan kembali pandangan.

Selepas mata memandang adalah gagahnya perbukitan batur di sebelah utara. Dari kejauhan, karakter bentuk batuannya mirip dengan Gunung Api Purba di Nglanggeran.

“Itu bagus mbak, nggak kalah sama Gunung Api Purba Nglanggeran, sayangnya akses ke sana masih susah”. Kata Bapak-bapak yang sedang menjaga pos untuk menuju Banyu Tibo. Sepertinya, bapak itu paham bahwa aku sedang memandang kagum akan keberadaan Gunung Batur.

Jadi, rute Banyu Tibo memang harus dilewati sebelum menuju Bukit Pengilon.  


Pos pemungutan retribusi menuju Banyu Tibo

“Ini mau ke Bukit Pengilon apa Banyu Tibo?”  tanya bapak itu sambil menerima uang retribusi dari kami.

“Ke Bukit Pengilon pak” jawab kami seraya meneruskan obrolan panjang.

Dari gubug kecil tempat penarikan retribusi menuju Pantai Banyu Tibo, puncak Bukit Pengilon sudah terlihat di ujung timur itu.

Pengunjung meniti punggung bukit

Terlihat barisan pengunjung yang meniti punggung bukit semacam semut berbaris dari kejauhan, membuat kami semangat menyambung langkah kecil kami ke arah timur.

Perjalanan yang kami tempuh membutuhkan energi lahir batin yang penuh.
Untuk menakhlukkan bukit demi bukit, menerjang tanjakan, dan meniti jalan sempit memang membutuhkan tekad, stok air mineral dilengkapi pengisi perut yang lain. Selain itu, gunakan alas kaki yang nyaman, baju yang menyerap keringat, dan partner yang seiring semangat menempuh sampai finish denganmu.

 ***

Gemericik aliran kali terdengar samar dijaga rimbunan pohon bambu yang tumbuh sepanjang pinggiran. 

Kutengok sebelah kiri, airnya jernih, alirannya deras, perjalanan beningnya berkelok ke selatan dan jatuh di samudra. Inilah letak Banyu Tibo itu. 

Ada dua versi penyebutan Banyu Tibo dan Banyu Nibo. Intinya sama, yang artinya banyu: air yang tibo: jatuh ke laut. Meskipun dibangun undakan tangga tanah menuju bawah, tapi sangat sulit aksesnya untuk turun. Penampakan indahnya dinikmati dari atas tebing, semacam Pantai Kesirat yang sulit untuk dituruni.

Penampakan Pantai Banyi Tibo, pemandangan air terjun yang jatuh ke laut

Sebuah warung sederhana berdiri dengan jejeran kursi kayunya. Sungguh ini seperti sebuah dukungan kepada pengunjung untuk lebih santai. Lebih berlama untuk menikmati alunan suara angin yang menelusup menyembuhkan letihmu. Pemandangan di depan mata adalah pertemuan tawar yang melebur menjadi asin.

Pengunjung dapat duduk sembari menyeruput es jeruk, menyantap mie rebus sambil melepas tatapan sejauh-jauhnya ke laut lepas. 

Coba, lihatlah batas bukit sebelah utara Banyu Tibo itu!
Gunungan tinggi hijau yang membentengi samudera sudah dipesan tanahnya.

Melanjutkan langkah

Bukit sebelah kiriku yang viewnya tepat menghadap pantai, sudah banyak yang dipesan tanahnya untuk didirikan resort hotel

Masih menurut cerita bapak-bapak penjaga tiket retribusi tadi, tanah miliknya yang berada tepat di atas bukit dengan pemandangan menghadap langsung ke arah pantai telah ditawar investor dengan harga yang tinggi. Tak berhenti di situ, beliau juga dijanjikan anak keturunannya akan dipekerjakan di resort yang akan dibangunnya nanti.

Suatu saat nanti, pinggiran bukit ini mungkin akan dihuni beton-beton itu :(

Sambil berjalan hati-hati menyusuri jalan tanpa pagar sebelah kanannya, aku kemudian berfikir: 

“sampai kapan tempat ini bisa bebas dipijak dengan merdeka?”

Entah tahun berapa nanti, akan ada saatnya penduduk asli harus minta izin kepada pemilik modal hanya untuk sekadar jalan-jalan begini. Menyedihkan L

Langit biru, bukit hijau, samudra yang tenang, dan langkahnya yang menjaga di belakangku memang sanggup menepis kelelahan perjalanan ini. LukisanNya di depanku sanggup mengalihkan fokusku dari bayang-bayang hutan beton yang akan menghuni bukit itu.

***

“Ada tempat pemungutan retribusi lagi?” kataku sambil sambil melirik ke arahnya.

Pos retribusi menuju Bukit Pengilom

Detik-detik langkah kami menuju Bukit Pengilon lagi-lagi diselingi berhenti untuk membayar retribusi Rp.2.000,- per orang.

“Jadi sebelah barat tadi retribusi ke Pantai Banyu Tibo, kalau yang ini retribusi menuju Bukit Pengilon”. 

Terang saja karena Banyu Tibo masih berada di Kecamatan Tepus, sedangkan Bukit Pengilon sudah berada di Kecamatan Girisubo. Kedua tempat ini secara otomatis dikelola oleh dua pihak yang berbeda.

Arti dari Bukit Pengilon, berasal dari kata: pengilon yang berarti kaca. Sebuah kaca seorang bidadari yang tertinggal di bukit ini sehabis mandi di bawah Air Terjun Banyu Tibo. Nah, cukup bidadari saja yang pengilonnya tertinggal di sini. Sampahmu jangan.
Hijau-hijaunya :))

Bukit Pengilon, punggung bukitnya lebih panjang melintang berbaring. Rumput hijaunya bak karpet dengan selang-seling pepohonan yang digoyang angin laut. 

Di sini kamu bisa lebih leluasa merenungi. Bisa juga untuk ngecamp dengan hiasan bintang di malam hari.

Sebelah selatan terdapat warna biru yang berhimpitan. Batas langit dan laut. Mereka sebenarnya memiliki jarak yang begitu jauh, tapi terlihat selalu berdampingan birunya. Bukit yang kupijak pun seperti sebuah bendungan yang menjaga.

Sesampai menginjak punggung bukit, angin semilir akan menepis lelahmu. Membayar setiap langkah kecil sepanjang itu.

Hembusan anginnya menepis panas. Sejuk rasanya.

Ketika duduk di sebuah kursi kayu, dengan mata menatap penuh lautan tenang berbatas langit biru, aku sepertinya mulai dilanda mengantuk yang terlalu.

Kemudian, apakah aku pun harus tinggal untuk menuntaskan kantukku di sini?
"Tidak",
sudah ada seseorang yang menungguku untuk kembali.

Jalan sempit di tepian bukit itu seperti mengingatkanku kembali kepada jalan pulang

Betapa sepanjang perjalanan ini menyisakan cerita mendalam tentang kekaguman akan kehendakNya. Termasuk ketika untuk pertama kalinya bisa berwudhu mencicipi aliran kali itu dan bersujud di papan gubug atas bukit. Cerita ini menyisakan pengalaman spiritual yang membekas hingga kini. Kapan bisa kembali?

Catatan:

Saran bagi pembaca yang menginginkan ke Bukit Pengilon tanpa banyak pungutan TPR maupun retribusi ketika naik ke bukit sebelah timur pantai Siung, bisa menghindari untuk melewati jalan Pantai Baron.  

Silakan untuk memilih melewati Jalan Wonosari – Bukit Patuk – Perempatan Siyono ke Kanan – Jalan menuju Pantai Siung – Lembah Ngingrong – pertigaan jika arah ke selatan menuju ke Pantai Siung tetap lurus ke timur sampai Dusun Duwet masuk. Telah dibangun akses jalan cor menuju Bukit Pengilon tanpa harus melewai Pantai Siung. Semoga lebih menyingkat waktu dan menghemat isi dompet J

Terima Kasih Sudah Berkunjung

34 comments

  1. kalau dari arah jogja memang enak lewat jalur utara, kalau lewat pantai baron jadi memutar dan malah kena tarif retribusi pantai baron :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mas, soalnya kalau dari Pundong kan enaknya langsung lewat Jalan Panggang saja ya? eh ternyata kena bonus banyak pungutan retribusi :)

      LBesok lain kali lewat jalur utara saja...

      Hapus
  2. Uh, tulisannya keren. Saya membaca ini mesti pelan-pelan banget karena ingin menyerap setiap kata yang Mbak tulis. Kata-katanya membekas, menjadikan deskripsi keindahan alamnya lebih terasa di hati. Bahkan retribusi demi retribusi jadi terasa romantis dan puitis, hihi.
    Saya jadi ingat kawasan Mandalika di Lombok, deh. Karakteristiknya hampir mirip: perbukitan dengan jalan-jalan sempit menantang maut dan pemandangan laut selatan yang luas. Masalah dengan investor yang akan membangun resort pun mirip, haha.
    Cuma Bukit Pengilon dan sekitarnya memang lebih hijau. Ngomong-ngomong, daerah mana yang diartikan sebagai cermin sang putri yang tertinggal itu?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih mas gara...
      Iya baca tulisan ini kudu dengan hati :))
      tulisanmu lebih mendalam malah. Mengupas sesuatu dengan rincii sekalii...

      Sayangnya aku belum berkesempatan ke lombok. Masihh saja betah di seputaran Jogja.

      Oiya bukit pengilonnya ini menurut cerita masyarakat setempat menjadi tempat tertinggalnya sebuah pengilon: kaca seorang bidadari yang habis mandi di Air Terjun Banyu Tibo.

      Kapan-kapan kalau ke jogja, sempatkan ke sini sebelum penuh resort mas :)

      Hapus
  3. yang bikin gak enak dibaca cuma satu: retribusinya :(
    jd total dia orang habis berapa mbak dwi?
    setuju sm komen mas bara di atas, harus baca pelan2. dan tumben ini aku gak terlalu fokus sm fotonya, teralihkan dengan tulisan mu uhuy :3

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau per orang: tpr baron (10ribu), tpr siung (5ribu), bukit timur baron (2ribu), banyu tibo (2ribu), pengilon (2ribu) total 21 ribu mas per orang.

      Tapii kalau menurut saran, lewat dusun duwet paling satu orang cm habis 4ribu saja :)

      Kalau aku yg nggak ngenakin ki le mau bangun resort itu lhoo :(

      Makasih mas joo, kok kamu jago nggombal saiki wkkw

      Hapus
    2. gaaaak aku gak gombal. jd ojo Geer :p

      Hapus
    3. Yahh padahal aku wes geer sitik :p
      Yaudah geernya tak tarik

      Hapus
  4. duh tata letak gubuknya g pas..buat foto rada piye gitu :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tapi ampun digusur mas,nanti kamu didemo wkwk. Direlokasi saja :)

      Hapus
  5. Mbak Dwi, rini siap kirim proposal ke sini 😍😍😍

    BalasHapus
    Balasan
    1. Awww tak tunggu draftnya ya. Mohon sedetail mungkin. Wkwk.
      Misal kamu tak ajak ke sini katanya pusing kalau jauh-jauh.

      Hapus
  6. Baru tahu saya, kalau ngajak kamu main itu pake proposal toh ternyata. Hemmmm baiklah, nanti anak-anak aku suruh bikin proposal hahahahahah

    BalasHapus
  7. Jauh ya kalau lewat siung? Berapa menit?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Duh nggak ngitung mas, lha mampir-mampir juga e. Kalau jalan mungkin dari parkiran ke lokasi sekitar 40 menit pa yaa, aku pake berhenta berhentii

      Hapus
  8. Sukaaa bangeet liat yg hijau". . Penuh perjuangan banget ya mbak untuk mencapai atas bukit 😁 but it's really worth it. . 😊 salam kenaal mbak dwii 😇

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yeayy samaa suka banget liat yang ijo-ijo.
      Rasanya capek selama perjalanan jadi ga brasa lagi.

      Salam kenal kembali :) terimakasih sudah berkunjung

      Hapus
  9. Wuapikkk iki pemandangane, meski horor sedap juga yen lihat dari kejauhan ternyata mepet tebing gitu, andai bisa mepetin gebetan. #halahh
    Asli baru tahu yen deket Siung ada Pengilon yang buat ngilon bidadari. Trus ada selendang sing iso diembat nggak biar bidadarine gak iso mulih khayangan. Hahahaha.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Gek baca komenmu mung ngakak cekikikan mas :'D
      Nggak usah dipepet-pepet kalau gebetan mah,ntar kalau dia jatuh terus ditampani yg lain gimana?

      Bidadari kan kalau selendangnya dicuri tetep punya sayap buat balik kayangan *benerin jilbab* uhukk

      Hapus
  10. oh. jadi kalau mau ajak main harus kirim proposal ya. sekarang makin susah
    Pengilon. Mumpung masih belum begitu hits banget ya .Boleh lah dicoba. kayanya ada dua waktu terbaik, pas musim hujan dan kemarau. coba datang lagi pas kemarau. kayanya rumputnya kaya savana sumbawa. haha

    wah. dulu 2009 aku ke sepanjang Siung wediombo g penah kena htm lho

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mungkin kamu mbribik pak penjaga tpr e dulu sih nif, jadii ga pernah kena htm huhhhu.

      Bolehh dicoba pas kemarau, kayanya lebih dramatis. Tapi air terjun banyu tibo nya kering nggak yaaa

      Hapus
  11. Fotonya cantik-cantik, ku sukaaa..
    Kalau tulisannya sih selalu ya, penuh kode :3

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aaa miss you princess reza nurdiana yang lagi berada nan jauh di sana.

      Btw aku kangen baca tulisanmu di inwis lagiii...
      Nulis lagi gih ;)

      Hapus
  12. udah ada retribusinya ya sekarang..
    hmm penempatan gubugnya jadi keliatan ga alami..kayak pantai jogan ja

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mas, harus ditata lagi itu ki.
      Iya e ke sananya dikit2 kena retribusi. Eh tapi aku pernah baca tulisannya mas anno tentang pengilon :)

      Hapus
  13. Halo mba dwi, salam kenal. Bagus banget foto-fotonya. Jadi makin kangen ke Jogja...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam kenal kembali mbak tina :)
      Terimakasih sudah berkunjung..
      Yuk ke Jogja :))

      Hapus
  14. pemandangannya sangat indah, bukit yang hijau dan pantai memang suatu pemandangan yang sangat menakjubkan..

    BalasHapus
  15. Fotonya bagus-bagus mbak, tapiiii kok berkali-kali saya baca kata "retribusi" ya? hahaha. sebanyak itu kah retribusi yg harus kita bayar buat menikmati indahnya bukit pengilon dan teman-temannya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lhaiya mas, hehehe memang saya menceritakan yang sesungguhnya saya alami hari itu e.
      Beberapa tempat diberhentikan penarikan distribusi, jadi biar buat siap² untuk pembaca yang mau ke sana juga.

      Makasih mas, sudah berkunjung :)

      Hapus
  16. Ceritanya komplit nih, kapan2 bisa dolan bareng :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lha ayook mas, podo-podo bantul e kan. Tapi mas tirta syibukk wkwk

      Hapus