Ngembel, Segenap Ruang Senyap di Tepi Tebing Oya

Rabu, Januari 16, 2019



Ingin rasanya menahan nafas lebih lama, tapi saya masih termasuk makhluk yang teramat bergantung pada oksigen. Mobil Ford berwarna hijau itu terus menerus membuang asap hitam tanpa ampun dari tanjakan naik Patuk, sampai sepanjang Jalan Wonosari.

Saya yang sedari tadi ada di belakang persis Ford semakin gregetan, hendak mengerem kok ya posisi jalan sedang menanjak terus. Akhirnya saya meminta suami untuk menyalip saja mobil yang begitu dermawan asap itu agar lekas terbebas dari jeratan polusi.

“Nggak boleh yo nyalip di tikungan”. Jawabnya sambil mengomentari kendaraan-kendaraan lain yang saling mendahului di tanjakan yang menikung itu.

Oh iya, saya lupa bahwa suami termasuk seseorang yang menjunjung tinggi rambu-rambu lalu-lintas. Seperti contohnya: pernah, dia tiba-tiba melambatkan laju kendaraannya. Sebelumnya saya kira ada kodok tengah lewat. Namun setelah saya tanya, ternyata ada rambu-rambu maksimal 30km/jam. Atau menarik tangan saya ketika hendak menyeberang jalan tidak melewati zebra cross. “Mbok yo yang tahu aturan”, katanya.

Keberangkatan kami menuruti aspal Jalan Wonosari pada waktu yang hampir menuju siang itu memang tidak direncanakan. Alih-alih berangkat pagi, sejak habis subuh tadi kami malah berdebat berdiskusi tentang ke mana lagi kami akan mengawali keceh curug di awal 2019 ini?


Suami masih mengidolakan curug-curug di sekitar Purworejo, Kulonprogo, sedangkan saya menginginkan variasi perjalanan menuju timur. “Curugnya Gunungkidul masih kering yo, nggak ada airnya,” sanggahnya sambil menunjukkan bukti penampakan curug-curug di Gunungkidul setelah dia bersepeda ke sana bersama Mbah Gundul dua minggu yang lalu.

Benar memang, curug-curug itu lebih cocok diberi nama kubang kering tempat penetasan nyamuk. Tidak ada air yang mengalir sama sekali. Ceruk-ceruk batu hanya menampung air sisa hujan, menyediakan tempat penetasan nyamuk-nyamuk yang hendak berkembang biak.

“Lha siapa tahu kan habis hujan dua minggu ini airnya mengalir.” Jawab saya sambil sedikit berpikir.

Kalau ini jalan baru di Gunungkidul, di dekat persimpangan Nglipar
Jujur, saya hanya sedikit bosan dari beberapa minggu yang lalu selalu melewati Jalan Wates atau Jalan Godean untuk mengantar suami menuju Kulon Progo. Yaa ke Stasiun Kedundang yang terabaikan, ya ke Curug Bendo, atau ke Puworejo melewati Kulon Progo.

Ternyata, diskusi yang lumayan memakan waktu setengah pagi itu melahirkan keputusan akhir untuk menuruti usul istri. Ahaha. Ya sebenarnya agak-agak takut jika benar nanti curug di Gunungkidul itu benar-benar kenyataan tidak berair alias kering-kerontang.

Alih-alih belum melihat penampakan wujud si curug, malah tenggorokan dan lambung yang terasa kerontang. Akhirnya, kami memutuskan untuk mampir sarapan menyantap soto Tan Proyek di pinggir jalan sebelum Perempatan Siyono, Gunungkidul.

Sabar satu jam untuk menunggu antrean sajian hidang semangkuk soto itu kembali mengulur waktu menuju siang.  Anggap saja semangkuk soto dan segelas es jeruk itu juga sebagai cadangan amunisi jika mendadak bertemu calo-calo Gua Pindul di sepanjang perjalanan Perempatan Siyono ke utara.


Benar saja, seusai menyantap soto dan kendaraan kembali menyusuri jalan, seorang mas-mas mengikuti kendaraan kami dari belakang. “Mau ke mana mas?” tanyanya sambil menyejajarkan posisi kendaraan. “Mau ke sarean mas? Meh ikut po?” jawab suami secara spontan.

Hadeeehh saya terpingkal-pingkal, “galak amat” batin saya agak tak tega. Mas itu hanya melongo kemudian berlalu mengejar target berikutnya: mbak-mbak yang mengendarai sepeda motor berplat AE yang tengah kebingungan berhenti di pinggir jalan.

Suami kembali mengingat rute yang dia pelajari dari google maps tadi pagi. Seingatnya, setelah Perempatan Siyono ke kiri akan menemui lampu merah pertama langsung ambil kiri, kemudian lurus saja sampai melihat warung sate di sebelah kiri jalan. Masuk ambil jalan cor blok kecil sebelah kanan warung sate tersebut.




Jalanan desa nan hening itu berupa semen cor blok sisi kanan dan kiri. Rumah-rumah warga terlihat dengan pintu tertutup tanpa terlihat ada interaksi di depan rumah ala masyarakat desa yang tengah berbincang santai dengan tetangganya. Padahal hari itu adalah Hari Ahad. Ternyata setelah kami sampai dan memarkirkan kendaraan di tempat yang kami tuju, terlihat beberapa warga tengah beraktivitas di sana.

Saya seperti ingin balas dendam membarter udara kotor yang telah saya hirup berkali-kali di belakang Mobil Ford tadi dengan udara nan segar di pinggir sawah ini. Beberapa anak kecil terlihat selesai mandi dan mainan air di sendang. Ada juga bapak-bapak meniti galengan sawah mencari lumut untuk memancing. Di belahan sawah lain, seorang ibu mengenakan capingnya sedang menyiangi rumput.


Nyiur melambaikan dahannya, gemericik air menyumbangkan alunan alamnya. Kaki saya memainkan air tenang di sendang. Jernihnya, memamerkan batu-batu kecil di dasarnya. Seusai meruang dalam sendang, aliran jernih itu terpecah ke segala arah. Ada yang masuk ke pipa biru kemudian tersambung di pralon-pralon warga juga mengalir merunut cabang irigasi sawah.

Saya tidak menyangka tempat sehening ini hanya berjarak kurang lebih tujuh kilo dari Gua Pindul yang telah menjadi lautan cendol manusia jika musim libur telah tiba. Di sini, masyarakat desa masih menjadi rajanya. Mereka bisa duduk-duduk tenang di bawah pohon, mengheningkan cipta di sawah, atau mandi sambil berendam di sendang bersama teman-temannya.



Melimpahnya tirta tanpa surut, turut andil dalam memulas daun padi kompak menghijau menyegarkan benak. Kami melanjutkan langkah menyusuri pematang sawah, meski terkadang harus membenahi keseimbangan badan yang hampir oleng ke kanan, menyicip lumpur sawah.

Masyarakat sekitar sungguh ramah, mereka menyapa dan melempar senyum. Kami juga memperoleh petunjuk jalan menuju Curug Ngembel atas petunjuk bapak-bapak yang sedang mencari lumut untuk memancing. 


Ketika alarm lelah berbunyi lirih, boleh sekali berteduh di gubug-gubug di tengah sawah. Di sana ada beberapa kursi sederhana dari papan kayu. Sambil sedikit melemaskan kaki, pemandangan tetap menghidangkan hawa sejuk sebagai obat letih. Naungan langit yang sedang biru diseling awan cumulus yang tak begitu rapat menambah dosis obat lelah itu.

Setelah celana dan rok basah terendam air dan kaos juga begitu tersiram peluh, akhirnya langkah kami terhenti di pengujung tebing. Tepat tempat di mana aliran irigasi sawah itu mengucur terjun menyatu dengan Kali Oya.

Oh ini Curug Ngembel itu?

Tepat di aliran air ini terjatuh di Kali Oya, di situlah keberadaan Curug Ngembel
Tidak seperti Curug Gede, Curug Kedung Kandang, Curug Indah Gedangsari, atau Curug Luweng Sampang yang kini ada parkir dan tiket masuk, curug ini adalah sisa sunyi dari ramai-ramai itu di Gunungkidul.

Saya semacam menemukan kembali ruang alam yang menyatu dengan hawa rasa. Sudah berapa banyak saudara kandungnya yang semakin dihimpit, terlalu dipaksakan untuk dipoles menangguhkan rasa untuk memeluknya erat berlama-lama.

Sejurus dengan keanggunannya, tebing Kali Oya ini tak menyediakan jalan landai untuk turun. Sedari tadi, kami mondar-mandir sambil memasang mata untuk memperhatikan secara saksama, adakah cela agar segera berjumpa dengan curug yang sumber alirannya bahkan menjadi pijakan kami?



Akhirnya, di atas semak-semak dan lumpur basah itu terdapat tangga kayu yang tengah pulas tertidur. Mungkin inilah tangga turun itu. Suami menggendong tubuh tangga itu sambil nyengir. Dia berjalan pelan di pinggir bibir tebing, bersiap mendirikan tangga untuk jalan turun.

Saya bersiap berdiri di seperempat tebing yang ada undaknya ke bawah. Sisanya ya tebing menganga yang lumayan tinggi. Untuk anjlok ke bawah terlalu berisiko, saya masih mau hidup mendampinginya lebih lama lagii :p


Akhirnya pelan-pelan saya bisa mendaratkan tubuh di bebatuan pinggir Kali Oya itu. Angin berembus membawa tiupan bulir curug ngembel ke arah saya. Sambutan ramah selamat datang yang membuat semakin ingin cepat untuk merapat di dekat dinding tebingnya. Kupu-kupu hijau terbang berkerumun pertanda udara masih suci dari polusi.

Setelah sampai bawah, saya menatap sepanjang tebing Kali Oya ini dari kanan, kiri, dan mengurut dari ujung. Ternyata di ujung sana juga ada curug semacam ini. Sedangkan di seberang Kali, pahatan tebing karya Tuhan membuatku terkesima.

“Mas, nanti mampir ke tebing itu ya?” rayu saya sambil menunjuk arah tebing.


Satu batu saya lempar di sela garis aliran Kali Oya yang cukup deras. Suaranya mendanda jika aliran Kali Oya sedang tidak bisa diajak kompromi untuk diseberangi. Dari suara batu yang menyemplung dalam air, membuat saya yakin jika Ia menyimpan kedalaman yang lumayan. Akhirnya menyerah juga. Saya mengurungkan diri untuk menyapa ukir-ukiran tebing di sisi Kali Oya itu sambil menelan dalam-dalam penasaran.


Bagi saya, tempat ini layak disebut secuil suralaya di tepi Kali Oya. Sendang, Sawah, Curug, Kali Oya dan dinding tebingnya kompak siap mencipta jernih jiwa tamunya. Jika tidak mengingat sedang tergesa, ingin rasanya membentangkan tikar di atas batu, mengunyah buah, sambil meneguk minuman dingin di sini.

Informasi untuk pembaca:

Curug Ngembel ini, di Google maps tertera: Sumber Air, Ngembel.
Berada di Jl. Nglipar-Wonosari, Ngembel, Karang Tengah, Wonosari, Gunungkidul.

Tiket masuk: -
Parkir: -
Toilet: -

Bawa pulang sampahmu  ya :)

Terima Kasih Sudah Berkunjung

43 comments

  1. Memandang hamparan persawahan desa yang hijau serasa begitu adem. Lagi-lagi, desa adalah tempat di mana segala penat mesti dihempaskan. Dan banyak desa tengah mempercantik diri dengan segenap potensi alamnya.

    Eh, itu curugnya airnya dikit ya Mba? Hehe...salam dari orang desa..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ini cantiknya benar-benar dari Tuhan, nggak usah dipermak macam-macam sudah mengandung medan magnit. Semoga selalu terjaga dan bebas sampah :))

      Curugnya lumayan deres. Mungkin hanya ruangnya nggak yang lebar dan tinggi. Cukup lah buat kekeceh :p

      Hapus
  2. Seng sabar koe Mas Mawi,
    Cuma numpang komentar itu aja. Toh bener itu suami taat banget sama aturan,

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ahaha aku yo sik terkadang kudu sabar, tapi dia lebih sabar kayanya :p

      Hapus
  3. Pepeeet terus sama artikelnya aku aaaah! :D

    http://jogja.mblusuk.com/978-Ke-Curug-Ngembel-Wonosari-Berkat-Alannobita.html

    Yang jelas semuanya berkat artikelnya saudara Alannobita Kriwil-Kriwil! :D


    Dan itu petanya di paling bawah artikel kok ngawuuuur yaaaa! Bikin Pembaca jadi nyasar lhooo!

    Bukan Kolam Renang Tirta Ria Ngembel yaaaa! Itu beda tempaaat.

    Kalau di Google Maps namanya "Sumber Air Ngembel", yang tautannya di:

    https://s.id/34bN-

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hiiih lha kok nyepam iklan link postingan, terus mepet-mepet postingan aku :(
      Kandyani aku paling bingung sama jalan dan peta kok. Ahaha. Udah tak update yo biar nggak bikin pembaca nyasar :p

      Hapus
  4. sungai oyo yang ini dilewati untuk tubing gua pindul gak ya?? kaya pernah lihat dan loncat-loncat disitu....

    kapan ke air terjun-air terjun di Temanggung?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah aku juga sebenarnya bertanya-tanya mas. Kan di foto tubingnya Pindul itu kaya melewati curug-curug kecil pinggir kali serupa. Embuh ini bukan ya?

      Temanggung baru ke Tintang e, mauuu lagii :))

      Hapus
  5. Kok sweet sih mba main ma suami setipe gitu. Ahahaha. Aku tadi bacanya nggembel. Ternyata, ngembel, dan itu nama curug

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ngembel itu nama dusunnya mbak. Mungkin karena curugnya ada di Dusun Ngembel disebut curug Ngembel juga wkwk.

      Iya jugaa setipe yo? pokoknya suka tempat-tempat yang hampir mirip. Mak klop :))

      Hapus
  6. Aku nunggu tulisan yang edisi Curug Purworejo ah, mbak. Seumur-umur aku yang warga asli Purworejo baru main ke 1 curug di Kaligesing - Curug Silangit. He...

    Boleh juga itu jawaban dari Mas Mawi. Besok bisa dicoba kalau - kalau di jalan ketemu calo macam itu. Jawab aja mau ke kuburan :D. Tak kira debit air e bakal deres, oh ternyata nggak terlalu, ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waaa iya, belum ada mood nulis yang curug Purworejo mas. Tapi Mas Mawi sudah nulis ini:

      http://mblusuk.com/950-Yang-Tersepi-di-Curug-Tamansari-Loano.html

      Iyaa.. mungkin kan baru awal-awal penghujan, juga bentuk curug e itu yang nggak terlalu tinggi dan lebar. Sumbernya juga dari irigasi sawah wkwk. Bukan dari sungai-sungai gitu mas.

      Hapus
    2. Weh, ternyata Mas Mawi udah sangat terlalu sering blusukan ke Purworejo. Pas tadi buka link itu, nemu banyak postingan tentang Purworejo juga. Aku kalah. Dolanku gur tekan alun-alun Purworejo tok XD

      Hapus
    3. Iyaa.. Zaman semono dia ke Purworejo juga nyepeda sampai ke curug-curug mblusuk2 ahaha.
      Iyo mas, banyakin nulis tentang daerah asal lho :p kaya misal aku ke Purworejo, bingung meh kulineran di mana. Wkwk. Akhirnya ke Warung Bogowonto di pinggir Kali Bogowonto itu..

      Hapus
    4. Pengennya gitu mbak. Tapi kalau di rumah kadang susah buat blusukan. Pas pulang ke Purworejo pun paling cuma sehari dua hari, jadi ya....kadang di sambati sama orang rumah sih "bali sedelok we, dolan-dolan barang"

      *halah, alesan. Asline mah, karena nggak punya teman buat di ajak blusukan xD

      Hapus
    5. Iyaa pas udah pulang orangtua juga masih kangen kan ya
      Masa malah ditinggal mblayang :p

      Hapus
  7. Tapi nyatanya tutur Mas Mawi ada benernya ya, Mbak. Debit air belum terlalu deras. Atau memang biasanya juga segitu?

    Wah, kadang kudu sabar tenan nek menaati aturan banget ngono kae haaha.

    Kalo di mBantul, kira-kira curug yang sudah ada debit airnya di mana ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau hari biasanya kurang tau debit airnya mas. Kayanya memang itu tipe-tipe curug yang segitu, soalnya kan sumber airnya dari irigasi parit-parit sawah yang mengucur di Kali Oya ya..

      Haiyo ahaha. Pokokmen taat aturan bingit. Luruss.

      Mana ya? Curug di Pundong kan ada dua InsyaAllah udah ada airnya. Dlingo ada Banyu Nibo, Randusari, Lepo, di Pajangan ada Pulosari, Banyunibo, juga curug yang deket Gua Slarong itu

      Hapus
    2. Siapp. Aku lagi butuh asupan curug ben ngadem ngadem. Wkwkwkw

      Hapus
    3. InsyaAllah postingan berikutnya tentang curug :p

      Hapus
  8. Ncen kalian ki klop kok, hobinya ya mblusuk2 gini. Posting blog aja balapan wkwkwk. Seharusnya sang istri lebih terpacu lagi dong mengalahkan draft sang suami wakakaka

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mbok yo o dia mau ngalah ya mas? gudang draftnya aja aku intip masih punya buanyak. Kok senenge mepet-mepet. Huvt.
      Aku nggak bisa mengalahkan kecepatannya dalam menulis dan mengolah konten wkwk. Ampuuun.

      Hapus
  9. Kalian ini emang tumbu ketemu tutup ya, dolaaaan terus hihihi. betewe aku ngakak moco komene Mas Mawi, mbak :D

    Oya, aku tu penasaran, kalau main ke curug-curug gitu dirimu sangu ganti nggak sih? Kayane kok seneng kekeceh. Mosok rok garing gara-gara numpak motor? Hihihi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ahaha tumbu ketemu tutup :D
      Dia sekarang suka tanya, aku mau posting apa? diintip terus dipepet mbakk tolong :(

      Waaa aku malah jarang yang namanya bawa ganti mbak. Jeguran, basah-basahan, dan benar ~baju akan kering ketika pulang selama perjalanan ahahaha. Terbawa angin wus wus wuss

      Hapus
  10. Wah mantep mbak :D
    itu pemandianya airnya Masya Allah aduhai sekali.. apalagi kalau banyak ikan koinya gitu yaaa.. makin keren dah... Hahaha..
    Btw perjuangan banget ya sampai angkat-angkat tangga buat bisa melihat keindahannya,, tapi ngga papa ding.. sebanding sama view air terjunnya... Heeeeeee

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah pemandiannya itu jerniih, airnya dingin dan mengalir. Rasanya pingin berendam lama-lama.

      Haha, kudu bopong2 tangga dulu buat turun mas. Kalau anjlog tetep berisiko sekalii... Alhamdulillah di bawah pemandangannya wawww :)))

      Hapus
  11. gak boleh nyalib di tikungan apalagi mobil yg disalip itu dermawan, meski dermawan asap haha

    btw, pemandangannya bagus yah, jadi gk sia sia perjalanan jauhnya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Seringnya di belakang bis dengan asap hitam dan susah buat mneyalib :(

      Iyaa.. masih indah dan alami sekali :'))

      Hapus
  12. Kayaknya aku pernah rafting di sungai Oya apa ya, agak lupa. Pokok dolan daerah Gunungkidul atau Kulon Progo itu selalu menyenangkan :D

    Wkwk sabar Mba, hati-hati kalo nyalip. Aku kalo motoran sama Jun, karena kami org Jatim dan suka main Klason, ya diklakson aja semua wkwk

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ahaha iya kesan "desa nan permai" terasa sangat. Kalau ke Bantul menyenangkan nggak? :p

      Yaelah aku malah kagetan kalau denger klakson kenceng-kenceng tu...

      Hapus
  13. Kesukaaan ak banget tuh bisa berada di tempat yang dimana di kiri dan kanan jalannya terdapat sawaah sawah seperti itu, tempatnya sejuk banget.., kalau saya disini di klaten seru dan menyenangkan banget laaa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Klaten juga masih banyak sawah dan umbulnya kan ya? :))
      Semoga sawah-sawah tetap lestari.

      Hapus
  14. Jelajahmu mantap juga ya, Mba hehe

    Saya sejauh ini kalau main ke Jogja bagian timur, mentok ke Pantai-pantai hehe, belum pernah nyempil ke Curug-curug nih. Duh, sepertinya layak untuk dicoba :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku tergantung siapa yang ngajakin mas wkwk. Lha Mas Mawi juga senengnya mblusuk-mblusuk gitu.
      Iyaa kan mumpung musim hujan gih curugnya lagi pada deres-deres. Kan lumayan, mandi sambil melunturkan kenangan-kenangan yang ingin dilarung.

      Hapus
  15. Melihat foto-foto tebing dan aliran sungainya, aku jadi membayangkan proses alam yang membentuknya seeksotis itu. Jadi berandai bak reporter National Geographic. Ha-ha-ha :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku pun mas, nggak ada bosennya menyaksikan tebing-tebing dengan lekuk-lekuk dan lapis. Pingin aku datangi tapi terpisah aliran sungai yang lumayan deras. Jadi ya sudah, dipuas-puasin menatap dari seberangnya.

      Ahaha kalau jadi reporter National Geographic, ngomong saja masih terbata-bata. Eh tapi Aaamiin.

      Hapus
  16. Ealah, bojomu patut diteladani banget. Andai semakin banyak orang kayak gitu di Indonesia. Dari kantor ke kost, aku harus memutar lalu buru-buru masuk ke jalan kecil di sebelah kiri. Aku nggak habis pikir dengan orang-orang yang datang dari arah atas, udah tau ada tikungan dan ada kendaraan dari arah berlawanan (arahku), tapi malah ngegas kenceng.

    Eh, emang mas-mas yang nanya di jalan itu berniat jahat ya?

    Kayaknya ini daerah rumah simbahku di Nglipar, tepatnya di Klayar. Nggak jauh dari rumah ada reservoir yang masih sepi dan baguuusss.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ahaha tetapi kadang aku geregetan juga mas saking patuhnya. Misal lampu udah ijo dari jauh, dia agak melambatkan kendaraan takut udah kuning wkwk. Hadehh wong tikungan kok ngegas kenceng? Terkadang memang kita udah hati-hati tapi pengendara lain yang masih suka ngawur.

      Enggak jahat mas, beliau itu calo Gua Pindul. Biasanya mengekor pengendara motor yang lewat, jika tujuannya ke Gua Pindul maka diantarkan ke lokasi kan lupayan dia dapat tips. Banyak sekali mas-mas begini di jalan menuju Gua Pindul. Karena tujuan kami nggak ke sana kan risih juga kalau diekor terus.

      Wooo simbahnya deket sama Klayar? Aku pernah ke sana pakai lewat jalan cor blok di antara hutan-hutan kayu putih. Eh ternyata bisa lewat jalan Aspal yang mulus.

      Hapus
  17. Sekilas saya salah baca Ngebel, destinasi wisata di Ponorogo. Ternyata Ngembel. Banyak spot wisata yang dulu dianggap B aja, sekarang jadi punya daya tarik untuk dikunjungi. Kadang kita berpikir kalau traveling harus ke tempat yang jauh, padahal ada spot menarik di dekat rumah yang bisa dikunjungi :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, ini masih di Gunungkidul Jogja mas :p
      Aku pun pinginnya sih ke sekitar rumah dulu, pergi jauhnya kadang-kadang aja karena ya perlu waktu banyaak dan capek di jalan :p.

      Hapus