Curug Grenjengan Kembar, Akhirnya Rindu Mereda dalam Sua

Sabtu, Juni 01, 2019



Semacam sadar memiliki sisa waktu yang singkat melipat pengujung musim penghujan, saya ingin kembali menambah basah tubuh dengan curug teduh di kota sebelah. Grenjengan Kembar, Magelang, yang empat tahun silam pernah saya jejak dengan seorang kawan.

Rasanya semacam mereguk penasaran bagaimana wajah barunya setelah sekian lama tak menjumpa. Sekelebat gambarnya tak jarang lewat dinding media sosial hasil jepretan seorang teman. Ajaibnya meski sapanya hanya sekilas, tetapi berhasil memutus ikatan tali rapat yang membungkus bayang-bayang suasana damai Curug Grenjengan Kembar yang pernah begitu membius saya.


Ternyata gayung bersambut. Seorang teman menjatuhkan keinginan yang sama untuk serta ke Grenjengan Kembar, setelah menimbang pilihan rentetan curug yang masuk dalam daftar pilihannya. Selepas jam lima pagi, Dia menunggu saya dan suami di pinggir Jalan Magelang. Selanjutnya kami mengemudikan motor dengan santai menuju daerah Grabag, Magelang, dengan pemandangan gagahnya Merapi di sisi kanan jalan.

Secuil ingatan yang kadang samar, kadang kembali jelas teringat tentang rute jalan menuju Curug Grenjengan Kembar kembali tergambar. Beruntung saat itu saya bersama orang-orang yang paham navigasi. Seusai melewati percabangan jalan di sekitar Terminal Gunung Tidar dan berpindah suasana perjalanan ala tengah desa, kendaraan akhirnya terparkir di halaman sebuah masjid. Setelahnya, kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.























Perjalanan menuju Curug Grenjengan Kembar kali ini semacam menjadi salah satu treking yang menyenangkan karena berbagai alasan. Selain hadiah bonus suasana pagi, pemandangan menarik di setiap halaman rumah warganya penuh dengan tanaman hias dan sayur mayurnya.

Sapa ramah penduduk yang ramahnya tumpah-tumpah meninggalkan kesan menyenangkan. Senyum-senyum senang dipersembahkan oleh susah move on, masih terbawa suasana sepanjang perjalanan yang selalu disapa berganti Gunung Merapi, Merbabu, kemudian Sumbing.




Kaki enteng saja melangkah tanpa payah seperti yang sudah-sudah. Mungkin juga dipengaruhi oleh medannya yang datar-datar saja. Mata puas mendapat nutrisinya dengan pemandangan hijau silih berganti. Dari kebun warga, jalan setapak yang diapit tebing hijau, hutan bambu dan jembatannya, kemudian berganti oleh hutan pinus dengan dasar aliran sungai. Tebing-tebing berlumut seakan mengisyaratkan tempat ini jauh dari panas.

Kurang lebih pukul delapan pagi, saya kembali menatap bisu barisan curug yang empat tahun lalu pernah saya jejaki. Kemudian apa yang berubah?

Suasananya tetap sedamai kala itu, dinginnya, sejuknya, juga harmoni yang saya rasa. Deretan pinus, pohon pakis raksasa masih setia menjaga tebing-tebingnya. Seperti halnya sunyi dan segenap nyanyian hutan berbalap suara dengan derasnya jeram.


Tentang curug yang sedang berada di depan mata, wajahnya seperti yang ada di dalam lukisan-lukisan emperan toko Malioboro. Sebuah curug kembar yang deras, yang tebingnya melengkung bertetangga dengan curug satu lagi di sisi lain. Meski tidak memiliki kedung yang luas, tapi tepat di bawah curug digunakan beberapa anak untuk sekadar bermain air. Selebihnya, tiga curug itu menjadi roda aliran deras kali dengan batu-batu dan sedikit tingkat.
  
Saya kembali melamun diam. Memilah-milih, ranting mana yang cocok saya tunjuk untuk menggantung penat yang sudah saya ikat menjadi satu dari rumah. Namun tetap, si pakis raksasa itu menjadi bintang mata saya dalam kagum yang saya simpan lama.

Tak semua curug memiliki penjaga pakis cantik yang keberadaannya semacam menyeret kembali ke masa purba. Saya tidak mungkin mencemarinya dengan menunjukknya menjadi centelan penat, biar pinus-pinus tinggi itu saja. Si pakis jangan.


Kedua rekan saya menghilang dalam senyap diam lamunan saya sesaat. Suami dan Mbak Mardiya terlebih dulu menyeburkan diri dalam derasnya Kali. Mereka seperti sedang berlomba mencari posisi untuk membidik curug dalam angle terbaiknya.

Sekali lagi saya tulis di sini. Untuk urusan dalam curug menyurug, saya memilih untuk gantung kamera. Selain harus menenteng segala pernak-pernik tripod, filter dan segala pengaturannya, saya lebih bahagia sebagai penikmat sambil berbasah ria. Jadi agar para pembaca mengerti bahwasanya foto-foto epic yang penulis pajang di sini tentu saja bukan hasil jepretan saya. Namun tenang, saya sudah minta izin dengan sang pemilik.




Pada akhirnya saya turut serta mereka menuruni tebing kecil untuk membasahkan diri melompati batu-batu. Sebuah hasrat yang sempat memecah lamunan kecil tentang sebuah penat yang ingin saya gantungkan di atas ranting pinus.

Dinginnya air sebelas-duabelas dengan botol minum yang ditaruh di pintu kulkas berhari-hari. Deru embun bulir air cipratan curug dibawa angin dengan sukses ke arah kami. Sungguh sebuah kolaborasi serasi yang berhasil membuat saya menyerah, menggigil.

Di tengah gemretek gigi dan dekapan tangan merangkul diri karena busana telah terlanjur basah, kami dianugerahi Tuhan menyaksikan momentum pagi yang tak terlupa. Jejeran pinus yang menyisakan ruang atas terbuka menghadirkan sinar surga pagi. Sebuah pagi istimewa yang tak biasanya.


Biasanya pagi adalah tentang sarapan kepulan asap hitam bis Tran*s Jogja. Pagi ini saya tidak lagi menghirup hitam yang sebaiknya memang dibuang. Pagi ini saya menikmati perpaduan dingin, damai, dan baskara yang pelan-pelan mendermakan hangat.

Saya cukup sabar klebusan memaku di atas batu sambil menanti sinarnya utuh. Namun hangatnya tak sampai mengusir dingin yang terlanjur membekap. Ditambah, semakin lama ternyata serbuan para pemburu foto mulai berdatangan. Rombongan sebuah komunitas fotografi berduyun turun menyeberangi kali. Saya merasa tidak enak untuk terus memaku di bawah menghalangi pemandangan yang seharusnya ingin mereka bidik.


Sesampainya kembali ke atas, saya masih belum merelakan untuk bergegas pulang. Pagi di sini masih terasa begitu mahal tak terbeli. Andai jaraknya sedekat hati kita dulu, saya akan sering-sering menjemput pagi di sini. Menulis kembali derap harap yang sempat terucap, menggantung penat di pohon pinus tinggi, yang kalau jatuh terlarung di Kali.

Reuni pagi dalam rangka menuntaskan rindu dengan Curug Grenjengan Kembar sesungguhnya belum sepenuhnya tuntas. Saya sengaja menyisakannya sepertiganya, agar suatu saat jika sudah menjumlah cukup untuk diredakan lagi, dia menggandeng saya kembali. Ke sini, pagi-pagi.


Catatan Penulis:

Alamat Curug Grenjengan Kembar, Magelang:
Dusun Citren, Desa Munewarang, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Rute lokasi:
Dari Jogja menyusuri Jalan Magelang sampai perempatan besar Grand Artos pilih jalan ke arah kanan atau Jalan ke arah Kopeng. Setelah Terminal Bukit Tidar dan menemui lampu merah, langsung ambil kanan lagi, lurus hingga menemui pertigaan ambil kiri (jalan turun). Lurus saja sampai menemui papan petunjuk menuju Curug Grenjengan Kembar Magelang, jalan akan berubah menjadi jalan ala desa dengan dua cor blok sisi kanan dan kiri.
  
Tarif Retribusi dan Parkir Curug Grenjengan Kembar:

Ketika kami ke sini pagi itu belum ada pungutan parkir, retribusi, maupun warung-warung di sekitar lokasi yang buka. Namun menurut beberapa informasi, tarif parkir: Rp.2.000,- sedangkan pungutan tiket masuk: Rp.3.000,-

Waktu terbaik kunjungan: Ketika pagi hari dan hari kerja (biar nggak ramai).
Toilet dan Warung: Ada
Berikut penulis lampirkan petanya:


Jangan lupa buang sampah pada tempatnya J

Terima Kasih Sudah Berkunjung

10 comments

  1. Syahdu dudu duduuuu tempatnya....😍😍😍

    BalasHapus
  2. Akhirnya, hati bapak mertua sudah tenang sekarang. Sudah ada update tulisan si blog sang menantu.

    Biar dapet foto air yang kaya gitu, nge-shoot'e di-set berapa lama itu mbak? *tanya ne ke Mas Mawi opo Mbak Dwi iki? xD

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wa sungguh anugerah yang patut disyukuri ya? Ahaha
      Semoga nggak malas nyetok draft.

      Setahuku 15 detik. Tapi entah foto yang ini tu yang berapa detik mas...

      Hapus
  3. Mbok pisan" ajak rame-rame mbak dolanne..
    Pengen ajar motret karo mas bojone sampeyan.. haha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kamu sibuk mas, tau-tau sampai luar kotaa. Wuuu..
      Tumbas filter terus ajar motret curug wkwk

      Hapus
  4. Cantiiiiik, ya curug, ya pohonnya, ya rol-nya, ya modelnya. Mbak, bar ciblon ngono sampeyan mimik tolak angin nggak? Hihihi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak, rolnya ngawuawuwuwuwu :* suka sekalii
      Ahaha aku menggigil nggak sembuh-sembuh mbak. Tapi alhamdulillah nggak sampai masuk angin.

      Hapus
  5. Balasan
    1. Ihyaa. Pas banget momennya, ditambah dolan sama tukang poto :p. Rezekikuu hihihi

      Hapus