Bukit Gondopurowangi Pada Kemarau yang Menginjak Bulan Juli

Kamis, Juli 18, 2019



Panggilan alarm gawai yang pertama gagal terdengar. Setelah itu, tiba-tiba saja aku terbangun dengan gugup. Mata spontan tertuju pada jam dinding kamar yang seolah berdetik dengan berlari. 

Ternyata waktu sudah menunjuk pukul: 03.15 WIB. Kuraih gawai di atas meja mungil samping kasur. Sambil mengusap mata yang terkantuk, jari tangan bekerja menelusuri percakapan di salah satu group whatsapp. 

Aku, Suami, Mbak Mardiya dan Noveria bersepakat untuk kembali menyicipi hawa matahari terbit di suatu bukit. Sebuah janji di sebuah obrolan daring sebagai penutup malam itu.

"Pukul  03.00 WIB harus sudah sampai di tugu hitam, Salam, perbatasan Kota Jogja dan Magelang". Begitu bunyi epilog percakapan itu. Kenyataaannya, pukul 03.15 WIB aku baru kembali dari berpetualang mimpi.


Sambil tergesa bergegas untuk berkemas, aku dan suami berdiskusi singkat. Ya, kami mantap memutuskan untuk tetap menyusul mereka dengan menempuh jalur Kalibawang, Kulon Progo dari pada harus memutar lewat Jalan Magelang sesuai dengan janji sebelumnya. Tentunya juga demi memangkas jarak dari ketertinggalan, agar tetap bertemu mereka tak jauh dari janji waktu.

Menjelang Azan Subuh, kami bertekad perang melawan rasa kantuk dan "beku". Kedua tanganku kuselip dalam saku jaketnya, sambil sesekali menutup kaca helm yang berembun. Begini rasa dingin di awal musim kemarau, yang kedatangnya ingin kurayakan di kota sejuta bunga.

***

Selama dalam perjalanan, sungguhnya perasaanku sedikit mengkhawatirkan konsentrasi suami sebagai sang pengemudi. Dipaksa oleh keadaan, kami harus menyusuri jalanan petang menjelang subuh, di sebuah jalur jalan senyap di Kalibawang, Kulon Progo. 

Sepanjang perjalanan, tidak ada penampakan indomar*t, SPBU, maupun sinar terang lampu-lampu jalan. Jalur berkelok melewati jembatan, sawah-sawah dan deretan pohon kelapa. Kami  hanya fokus kepada garis jalan yang menuntun, dibantu lampu jarak dekat dari sepeda motor.

Antara kantuk dan lapar, antara yakin dan tidak, kami meraba jalan ke arah Borobudur. Sampai dengan setengah perjalanan, belum juga ada tanda-tanda kabar dari rombongan teman di sana mengenai posisi mereka saat ini. 


Langit berhias bintang menambah syahdu jalan sunyi Kalibawang. Suara azan bertalu mengawal fajar. Musala kecil di pinggir jalan menjadi pilihan persinggahan menunaikan kewajiban. Di dalam ruang bersekat tirai kain itu, ada dua nenek, dan seorang kakek menjadi imam. Kami menurut shaf di belakang imam.

Perjalanan kembali dilanjutkan. Sesungguhnya rasa khawatir itu masih saja timbul tenggelam. Apa kami berhasil sampai tempat tujuan? mengingat Bukit Gondopurowangi, yang menjadi pemberhentian akhir kami saat itu belum tercantum dalam peta google. 


Berulangkali mencoba mengetik kata kunci: "Gondopurowangi", selalu berujung pada: "kata kunci tak ditemukan". Namun, menurut sebuah informasi, bukit itu letaknya tidak jauh dari Desa Kenalan, Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.

Tuntunan dari peta hanya sampai di Desa Kenalan, Borobudur. Setelah itu kami hanya mengandalkan GPS "Gunakan Penduduk Setempat".


Namun, bagaimana bisa kami menggunakan "GPS" itu? Jika pada kenyataannya rumah-rumah masih tertutup rapat. Selebihnya kami terus didera kebingungan. Kadang tersesat di jalan sempit atas bukit dengan ladang yang mengapit. Hanya jalan buntu yang memaksa kami turun kembali menuju jalan aspal. 

Ternyata, tuntunan jalan yang berdasar hati nurani tidak selalu benar. Berharap menemu jawab arah, terkabul doa berkat pertemuan dengan bapak-bapak berkalung sarung dan tali radio. Samar-samar terdengar lantunan lagu lawas lewat radio mengayun di dada yang dia kalungkan di lehernya. 

"Permisi pak, minta maaf mengganggu waktunya. Kami mau menanyakan letak bukit Gondopurowangi itu di mana ya pak?"

"Oh jembatan di depan itu belok kiri saja, nurut jalan aspal, nanti naik terus." Jawabnya ramah. Kami permisi mengucap terima kasih, kemudian menurut rute jalan yang beliau tunjukkan.


Ternyata, keadaan jalan masih gelap dan semakin menyempit bercorblok. Rumah penduduk sudah tak tampak. Kami semacam berada di tempat yang entahlah. Tidak ada sinyal, petunjuk jalan, maupun wahyu ilahi yang bisa menuntun.

Di sisi timur, langit tampak memerah cerah. Beberapa bintang belum terusir pamit. Gunung-gunung mulai terlukis di langit. Aku gemas menatap. Ingin mendekap dalam tatap, namun bingung jalan menjangkaunya.

Kami memutuskan untuk sejenak berhenti di tengah bimbang dalam posisi jalan terus menanjak. Suami sebagai sang pengemudi menggenggam erat rem tangan, kakiku turut bertugas menjadi tumpuan, penyangga berat beban motor agar tak terplorot ke bawah. Namun secara tiba-tiba, ada pengendara lain hampir menubruk dari belakang.


"Mbak, kami mau nanya jalan menuju bukit itu." Katanya sambil menunjuk suatu bukit strategis untuk menyaksikan matahari terbit. "Ya sama mas, kami juga mau ke sana tapi kesasar, tidak tahu jalan".

"Oh yasudah mari bareng."

Selanjutnya kami konvoi kecil, nekat berbelok kanan ke jalan yang lebih sempit. Penampakan corblok dua sisi berubah satu arah. Rasa-rasanya tidak bisa membayangkan jika berpapasan dengan pengendara lain di jalan ini. 


Bagaimana jadinya jika berhadapan dengan mantan bersama pasangan barunya di jalan ini? Tentu tidak ada pilihan lain selain pepet terus. Aha entahlah, sampai saat ini aku belum terbayang jika ada dua kendaraan berlain arah yang harus berpapasan di sini.

Langit semakin terang menuntun kami menuju pengujung rindu jalan. Beberapa sepeda motor telah terparkir. Aku kenal salah satunya adalah kendaraan temanku. Jupiter Mx berwarna biru beserta helmnya yang menutup kaca spion. Sebuah petunjuk yang meyakinkan bahwa kami menuju tempat yang benar. 



Kami melanjut langkah meniti tingginya anak tangga. Kemiringannya agak curam, kemudian berkelok ke kanan. Sebuah gerbang dari dua sisi bongkahan batu raksasa menyambut.

Kakiku kesemutan, menahan dingin dalam tanjakan tanpa pemanasan. Aku berhenti sebentar sambil mengintip barisan gunung yang terbingkai ranting kering.

Pandang takjub sebagai amunisi ampuh untuk terus berjalan. Meniti tangga kayu yang bertumpu pada batu besar, kemudian bertemu kembali dengan tangga semen.





Gazebo mulai terlihat dengan siluet tiang-tiang tripod kamera. Mereka tak memperdulikan sekitar, selain memanfaatkan momen merahnya langit dan jejeran gunung-gunung untuk diabadikan. Aku bergabung, mencari posisi terbaik agar tak terhalang menatap pagi pada kemarau yang telah menginjak Juli. 

Gunung Merapi, Merbabu, Sumbing, dan anak bukit lain berbaris dari bukit Gondopurowangi. Perbukitan menoreh tetap hijau terbentang meski musim kemarau dengan kabut tipisnya. Angin berembus membawa terbang daun cokelat yang menjadi karpet tanah-tanah di bawah. Ranting-ranting yang kesepian kehilangan daun-daunnya tetap tabah gagah.




Maha Suci Allah yang telah menciptakan tempat semegah ini untuk makhluk-makhluk kecilnya. Aku berniat menikmatinya sampai langit terang dan matahari menyengat. Menikmati setiap tersesat-tersesat yang pada akhirnya indah tak terkira. 

Sekian sisi Gondopurowangi telah aku jelajah. Dari Gazebo, dataran pohon jati yang meranggas, sampai ujung bukit yang berhadapan dengan lembah menoreh berkabut. Semua memiliki suasana yang sama memikat. Menyaksikan Surya mengintip di balik Merapi, menanda sudi menjadi hangat bagi kami yang didera gigil dari sebelum fajar.





Derap kaki pekerja terdengar dari bawah gazebo. Mereka hendak mulai bekerja melanjutkan pembangunan yang terjeda malam. Baru setahun lalu tempat ini mulai dibuka. Maklum saja jika fasilitas pendukung seperti: warung, parkir maupun toilet belum tersedia. 

Sebagai gantinya, tangga-tangga sudah mudah dijangkau pengunjung. Corblok semen menuju Gondopurowangi juga sudah mulus sehalus lemparan kode-kodemu untuk menarik perhatiannya lagi.


Gondopurowangi menjadi tempat pelarian menghapus kenang kesal pada bukit tetangganya yang mulai berjejal pengunjung. Punthuk Mongkrong, Kendhil,  Sukomojo, romantisme Rangga dan Cinta di Setumbu, sementara ini aku simpan rapat dalam ingatan. 

Sempat membandingkannya dengan bukit-bukit kebanggaan menantikan matahari terbit di Kota Projotamansari ternyata sempat membuat suami kesal. "Kamu itu mbok move on dari mBantul". Gondopurowangi membawa angin segar, untuk menjadi pilihan menanti pagi keluar dari bayang-bayang kota kelahiran.

Sebelum bukit ini bertebar spot visual yang mengganggu, sebelum sesak penuh dengan jejal riuh manusia, izinkan aku kembali lagi pada pagi yang sama cerahnya dengan hari ini. Langit bersih dengan kuas mega tipis, menambah betah mengalah pada siang.

***


Terima Kasih Sudah Berkunjung

22 comments

  1. Duh, romantis sekali kalian ini. Saya jadi iri. Hahahaha.

    BalasHapus
  2. Jam tiga dinihari, aku sendiri baru mau tidur hahahahahha.
    Sesuk yen rep ngono maneh, mending nginep neng Magelang, dadi cedak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya sih, lebih enak kalau dari Magelang. Nggak usah jam 03.00 WIB sudah harus otw. Mantep kalau pas cerah gitu mas. Ahaha

      Hapus
  3. Hmm.. Petunjuke mung sampai Desa Kenalan ya kie.. haha

    Sepertinya mesti survei dulu..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul. Maaf yo mas, aku bingung arah. Malam-malam masih gelap, nggak ada petunjuk arahnya pulaaa

      Hapus
  4. Duh, jadi mau coba ke bukitt ini. Kira-kira sekarang udah ada di maps belum ya? Hehehehehehe.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terakhir kemarin belum ada di gmaps mbak.. di sana belum ada petunjuk arah banyak tentang Bukit Gondopurowangi.
      Tapi dicoba aja mbak. Baguss kalau pas cerah

      Hapus
  5. Huhuhuhu, cantik sekali view-nyaaaa. Kalian kok rajin banget bangun pagi to mbaaaak?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau pas niat ya begini mbak :(
      Tapi entah ya, suami ikhlas nggak bangun sepagi itu buat keluyuran :D

      Hapus
  6. wah kalau aku sudah mlipir di tengah jalan, gak ngebayangin dinginnya brrrr.
    bukit ini masih baru ya, baru denger eh bagus banget

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ahaha ademmnya nggak nguati. Jangan lupa bawa jaket tebel mas wkwk.
      Iyaaa masih baru. Tepatnya satu tahun yang lalu.

      Hapus
  7. Tak kira bener-bener masih baru dan "alami" mbak. Eh ternyata, sudah ada landmark GONDOPUROWANGI dan love-lovenya :(

    Mbak Dwi - Mas Mawi kayane cocok diangkat jadi duta mblusuk regional Jawa Tengah dan Jogja ogg. Spot sing belum masuk Google aja yo nemu-nemu wae lho ^^V

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, di sebelah selatan udah ada spot bulan-bulan sabit gituu. Tapi enggak aku pajang di sini fotonya, ndak mengurangi level kesyahduan ahahaha.
      Ke Bukit ini dibela-belain nyasar-nyasar nggak jelas mas. Emang tempat yang masih sepi, belum dijangkau banyak orang tu "mahal" banget sekarang :')

      Hapus
  8. Waaaa maasyaaAllaah bagus bangett. Dengan kabut dan siluet gunung-gunung serasa ada aura mistis eksotik, tapi indah!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mba, buat dapet pemandangan begini harus pas "bejo" ketemu sama cerah, berangkat sebelum subuh :P

      Hapus
  9. WOW sungguh niat sekali. Sepanjang musim dingin di Jogja ini aku memilih tidak keluar rumah samai matahari terbit. hahahahaahaha...
    btw itu beneran nama desanya memang Kenalan ya? pertama baca ku kira desa -tempet tinggal seorang- kenalan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyaa mbak, Kenalan itu nama suatu Desa, haha. Aku kemarin nulisnya malah mau: Sayangan. Salah ketik teruss begitu nulisnya.

      Kalau lagi kumat niatnya memang begitu. Tak perduli dingin menusuk tetap gass pol.

      Hapus
  10. Bravo. Kampungku mulai berkembang... Sukses dan terimakasih kepada semua pihak yang telah memperkenalkan kampung kami.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama-sama Mas. Semoga Gondopurowangi semakin apik, asri, dan bersih. Kapan-kapan ingin kembali lagi :))

      Hapus
  11. keren banget tempatnya,,, kaya negeri di atas awan

    BalasHapus