Menerka Rupa Senja di Puncak Sosok

Kamis, September 26, 2019



Pernah aku bertemu senja di tengah kota, menyapanya tanpa kata. Mewakilkan tatap mata untuk menyelidik keberadaan baskara. Kecewa, wujud bulat penuhnya telah diculik oleh papan-papan reklame yang tertata tinggi di setiap perempatan Jogja.

Dijeda lampu menyala merah, jingga di ufuk barat cepat berangsur gelap. Tidak ada perayaan melambaikan ucapan demi ucapan untuk tenggelamnya ia di balik keriuhan. Sesekali senja soreku dilukis oleh pemandangan pengusap peluh dari bapak pengayuh becak dengan kaus keringat yang belum sepenuhnya kering.


Menjeng petang, menuju pulang. Senja dan pulang membuka pintu pertemuan, kepada yang tersayang di rumah. Aku turut membayangkan demikian.

Sejurus dalam lamunan, sadar rasa ingin segera memarkir roda motor di garasi. Cepat-cepat membuka pintu dan menyiapkan makan malam untuk dia. Jika diingatt-ingat, ternyata sudah lama aku tak memasakkannya ini, itu. Membuatkan kolak kolang-kaling kesukaannya, Soto, atau bolu pisang kukus yang berujung habis tanpa sisa.

Begitu rutinitas bayang dan kenyataan ketika petang hampir menjelang. Berharap lekas pulang di tengah menikmati senja yang terenggut bermacam penghalang.

***


Sebuah pintaku mengajaknya untuk merayakan sore pada akhir pekan. Bersama, menyaksikan baskara tenggelam dalam genggam horizon, tanpa halang rintang papan-papan atau gedung bertingkat.

Dalam bayanganku, ingin gambar nyata senja yang tidak jauh beda dengan pemandangan sore di pematang sawah utara rumah, atau pantai berombak di selatan rumah. Kurang lebih seperti itu, aku ingin.

Suami mengerti, betapa istri yang kadang jiwa melankolisnya membuncah tanpa sebab ini harus diobatkan ke mana. Bukan menuju tabib sakti mandraguna, cukup dibawa ke tempat tenang yang sedang dia ingin.

“Izinkan aku jeda dari tatap monitor dan memijat keyboard”

Tanpa mengulur berfikir panjang, dia mengeluarkan motor sambil melempar kode untuk siap berangkat. Aku turut duduk di jok belakang sambil menatap langit. Sedikit abu-abu dengan awan bergumpal luas di sisi barat. Aku tidak memiliki ekspektasi apa-apa tentang senja sore ini. Bagaimanapun keadaan langit, roda akan terus berputar, mendekat dan mendekap tujuan akhir kami.

Melintas dari macetnya Jembatan Kewek, sampai menyeberang Ringroad Selatan, jalanan semakin lengang. Apalagi ternyata sesampai di Jalan Imogiri Timur, keadaan cukup bersahabat.

Aspal mulus dan tak banyak menemui pemberhentian lampu merah. Meski sesungguhnya godaan datang dari halu-halu aroma sate klathak yang menguar dalam benak. “Ah, masih jam segini ya belum buka”. Batinku begitu, sambil senyum-senyum berharap dia tak melihatku dari spion kiri.



Keadaan jalan berubah menjadi lebih sempit. Jalan dusun dengan papan petunjuk kayu menuju Puncak Sosok, Pleret menjadi pegangan kunci agar kami tak tersesat. Beberapa mobil mengekor di belakang. Aku tak habis fikir bahwa tempat itu sudah sedemikian dilirik pengunjung meski keadaan jalannya masih terbatas untuk diakses semua jenis kendaraan. Jalan sempit meliuk, naik, menikung, tanpa bisa berpapasan dengan kendaraan roda empat yang datang berlawanan arah.

Di sepanjang jalan, ranting-ranting kering semacam jari-jari runcing dengan pohon tanpa daun menjadi teman. Terkadang angin memaksa pohon mengibaskan sisa-sisa daun keringnya. Ada kalanya, angin mengembus membawa sekawanan debu terbang.


Kemarau sangat terasa sampai atas, tepatnya di tempat parkir kendaraan pengunjung. Kami semacam tengah berada di atas bukit gersang. Tanah kering yang mletek-mletek, debu berterbang, dan jejeran pohon ranting kosong. 

Tulisan “Donasi seikhlasnya” tercetak di sisi kardus kotak pengganti retribusi masuk dan parkir. Tempat murah yang tidak murahan dengan suguhan sajian bentang alam berbeda di sisi timur tanah Projotamansari. Suasana bertambah nyaman ketika sampah tak dibiarkan berserak. Bersih, meski pembangunan lokasi masih terlihat belum benar-benar selesai.



Berjalan terus dari tempat parkir, giliran si kaki musti meniti tangga landai yang cukup bersahabat. Ada beberapa tiang lampu di sepanjang anak tangga. Satu per satu tempat makan di sebelah kanan jalan mulai nampak. Sampai di atas, terlihat beberapa pengunjung tengah asyik menikmati sajian menu di meja masing-masing.


Semakin sampai ke atas, angin bertiup tak santai lagi. Jilbab berkibar-kibar mulai sulit dikondisikan. Debu terbang serta menurut angin ke mana akan membawa. Namun begitu, di puncak ini semakin bermacam pemandangannya.

Gubug-gubug warung makan berjejer dengan pengunjungnya yang tidak sedikit. Panggung hiburan beserta segenap penampilnya, tatanan meja kursi, ranting pohon berhias lampu-lampu, juga tangga-papan bambu untuk menyaksikan matahari terbenam.




Aku menatap sejenak keadaan di bawah. Hamparan gunungan sampah dari TPA Piyungan menculik pandangan mata. Puncak Sosok ternyata berada di atas TPA Piyungan yang pernah membuatku hampir pingsan karena mabuk bau sampah. Oh iya, pemandangan kawanan sapi pemakan sampah itu juga terlihat dari atas.

Beruntungnya ini masih musim kemarau, bagaimana keadaaannya jika musim hujan? Apakah segenap aroma persampahan TPA Piyungan akan mendarat di Puncak Sosok sebagai aroma terapi untuk para pengunjung? Ah sementara lupakan dulu bayangan itu. Alarm perut telanjur telah bergemuruh dari tadi.


Sambil mengeluyur lebih dekat kepada barisan gubug makanan, aku sibuk mengamati aksara menu. Ada nasi kucing, bakso, segala macam mi, macam minuman, cemilan, juga sego wiwit. Nah, si bapak penjual menjelaskan bahwa Sego Wiwit ini adalah menu khasnya Bukit Sosok ini. Aku mengambil dua bungkus nasi, Sego Wiwit salah satunya.

Beberapa gorengan di piring, dan dua gelas minuman hangat pun kami angkut menuju barat. Dalam perjalanannya, kami clingak-clinguk mencari tempat duduk yang semakin sesak tak bersisa.

Keterbatasan kursi membuat kami memilih duduk lesehan di atas anak tangga dengan tatap menghadap barat agar rajut senja tetap dalam pantauan mata. Tentu, pemandangan sore itu dilengkapi reka adegan kasih sepasang muda-mudi yang sedang banjir asmara duduk-duduk main ayunan di depan mata.

Kami senyam-senyum sambil mengunyah pesanan dari gubug makan atas. Sejujurnya, ada hasrat sekelibat untuk melempari sepasang itu dengan kulit kacang. Eh tapi takut dosa, aku juga sadar pernah muda, sampai sekarang pun masih sih.





Sambil lalu pemandangan itu menemani santap tipis-tipis sore kami di Puncak Sosok. Ternyata Sego Wiwit yang katanya khas-nya Puncak Sosok berisi sekepal nasi, ikan gereh, sambal kedelai (sambal gepeng) dan sehelai daun asem.

Bakso bakarnya lumayan menggigit pedasnya. Bumbu merasuk cukup baik jika dibandingkan sekawanan gorengan dan dua bungkus nasi yang kami beli. Harganya pun bersahabat untuk kantong-kantong yang selalu longgar di tanggal tua maupun muda.




Setelahnya, kami berjalan tegak karena sudah lumayan kenyang menuju ujung barat Puncak Sosok. Ternyata angan untuk merayakan tenggelamnya baskara dalam dekap horizon seperti dalam bayangan tak bisa terwujud sore itu. Ia tenggelam dilahap gumpalan awan besar, kemudian menghilang tanpa meninggalkan warna lazuardi.

Gelap mengusir kami secara halus untuk pulang. Membisik lembut lewat belai angin malam yang semakin dingin. ”Ingat, istrimu itu gampang masuk angin jika terlalu lama kena angin malam” kata semesta malam itu. Suami mendengar, ia bergegas mengajakku turun ke parkiran.



"Salat Magribnya di Masjid bawah saja". Musala yang disediakan di Puncak sosok sudah penuh sesak dengan pengunjungnya yang tengah menunaikan kewajiban. Sungguh mereka tak mengabaikan wajib-nya di tengah suka citanya melepas senja, bersuka dengan yang terkasih di sana.


Parkiran sudah penuh sesak saja. Kami berlalu meninggalkan Puncak Sosok dengan segenap rasa ingin kembali. Jika dikasih kesempatan kedua, ketiga, keempat dan selanjutnya, ingin rasanya ke sana bukan saat akhir pekan. Waktu tempat itu sedikit longgar untuk melepaskan penat berhari-hari, ketika boleh menjumpa senja di langit yang lebih cerah.

***

Alamat: Puncak Sosok Bawuran, Pleret, Bantul, Yogyakarta.

Terima Kasih Sudah Berkunjung

10 comments

  1. Tinggal pilih menghadapnya. Mauliat sampah atau senja akakakkkakaka

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau makannya sambil menghadap TPA Piyungan sih nggak bingit :p

      Hapus
  2. Syukur, mas suami peka sama kode dari istrinya ya mbak. Hehe... Tertuntaskan sudah harapan dan cita-cita buat nyore di sisi lain dari tanah di Bantul Raya.

    Itu tak kira foto tenda para pedagang makanan, ternyata pas tak lanjut baca malah bagian dari TPA?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah peka ahaha. Sudah lama nggak ngeliat Senja di sisi seperti ini e mas. Biasanya masih tersesak dihimpit kendaraan menuju pulang.

      Iyaa, kalau bisa ke sana jangan pas musim penghujan yak, baunya pasti menguar sampai atas 😁

      Hapus
  3. SAHABAAAAAT SENJAAAAA

    Tapi bagus yaaaak asem wgwg. Tandai ah, mau pacaran ke sana. Hahak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tapi aku bukan anak indie ahaha.
      Dijamin ga bikin kantong kering kalau pacaran di sana ahaha. Jangan lupa salat jamaah di Musala 😆

      Hapus
  4. Balasan
    1. Cobain mas, tapi ini versi mungil banget. Butuh dua bungkus kayanya :P

      Hapus
  5. Pemandangannya indah ya enak buat santai..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alternatif tempat untuk menyenja dan makan bersama yang terkasih

      Hapus