Setengah Hari Menyelisik Sudut-Sudut Malangan
Senin, Agustus 14, 2017
Meskipun masih berada di bawah atap “Sleman” yang
sama, perpindahan suhu itu cukup terasa ketika kendaraan
jemputan berlalu dari Pancoh menuju Malangan. Di dalam kendaraan, obrolan penghuninya mengalir deras semacam curug-curug di musim hujan. Mengalir begitu saja, menambah hangatnya suasana.
“Kalau masih cinta, ya jangan
sampai putus.”
Celetukan spontan dari Pak Wiji sebagai pengelola Pokdarwis Malangan saat itu membuat terngiang-ngiang tak hilang. Suara penyiar radio di dalam kendaraan pun ikut mengiringi obrolan menuju siang.
Sesungguhnya aku belum memiliki banyak gambaran akan Desa Wisata Malangan, kecuali secuil cerita mengenai tersohornya kerajinan anyaman bambu di sana. Hmm kebetulan aku pun ingin belajar menganyam masa depan bersamanya pak. Batinku tersenyum sambil melihat pemandangan di luar jendela. Aku masih menerka, membuat lukisan abstrak tentang Malangan yang masih memancing penasaran.
***
Waktu berlalu begitu singkat seiring kendaraan yang
mengantarku dalam rombongan #EksplorDeswitaJogja terparkir di depan sekretariat Desa Wisata Malangan. Senyuman,
sambutan ramah nan hangat dari pengelola Pokdarwis Malangan yang saat itu kompak
mengenakan surjan lurik lengkap dengan iket kepala langsung mengantarku dan rombongan untuk mencicipi jamuan jajanan tradisional satu per satu tanpa ada yang terlewatkan.
Setelah energi terasa penuh oleh sekian teguk wedang uwuh yang masih menyisakan hangat dalam rongga tenggorokan, gayung pun bersambut. Berjejer sepeda jawa siap menjadi teman untuk menelusuri setiap sudut Malangan. Sepeda jawa ini tak terlalu tinggi, masih terjangkau kaki ketika posisi duduk di atas sadel. Kini tiba saatnya bapak-bapak bersurjan lurik biru itu membawaku berkeliling menggenjot sepeda untuk menyelisik setiap sudut Malangan.
Rombongan bapak-bapak Malangan yang mengantar kami bersepeda dengan bahagia. Dokumentasi oleh: Insanwisata |
Kami mengikutinya dari belakang. Dokumentasi oleh: Insanwisata. |
Bersyukur atas diberikanNya kesempatan mengunjungi Desa Wisata Malangan setelah sembilan belas tahun mati suri. Tepatnya sejak 1998 terdaftar sebagai desa wisata, Malangan yang terletak 17 kilometer di sebelah barat Kota Yogyakarta ini baru tiga bulan terakhir menyatakan siap menjadi tuan rumah sebaik-baiknya bagi tamu yang ingin mengenal lebih dalam.
Terlihat petak-petak sawah yang berdampingan dengan
kotak-kotak kolam ikan penduduk menjadi pemandangan pertama. Tak heran jika terdapat
ratusan kolam ikan di sini karena hampir setiap penduduk memiliki kolam di
depan rumah maupun di pinggir sawah-sawah. Bahkan Malangan telah menjadi pemasok ikan air tawar yang diandalkan untuk rumah makan di sekitarnya. Sejak
dikembangkan budidaya ikan sistem booster,
warga Malangan bisa jauh menghemat lahan dan waktu. Selain itu, jumlah panen ikan bisa dua
kali lipat banyaknya. Bagi pembaca yang memiliki ketertarikan tentang budidaya
ikan air tawar, mungkin Malangan bisa dijadikan alternatif ladang ilmu yang
bisa digali sedalam-dalamnya.
***
Hamparan sawah dengan jejeran pohon kelapa yang
saling berhadapan terpisahkan jalan. Angin berdesir menggoyangkan nyiur
kemudian hembusannya turun meyapu lembut padi-padi yang merunduk menguning. Tak
salah bersepeda di Malangan. Backsoundnya
adalah sapaan warga yang tengah asyik berbincang di depan rumah sebagai pelepas
dahaga di tengah teriknya siang.
Tak lama kami melewati jalan yang diapit hamparan
persawahan, sepeda paling depan mengomando untuk menepi di sebuah rumah. H
& S showroom batik. Dari tempatku
memarkir sepeda, terlihat beberapa perempuan sedang fokus melukis motif batik
dengan sisa lembaran kain putih di pangkuannya. Nah di sebelahnya persis, display batik yang telah dijahit menjadi
beberapa potong pakaian, rok, celana, baju anak, tertata rapi berwarna-warni
coraknya. Jenisnya pun macam-macam, dari mulai batik cap, printing, maupun batik
tulis. Harganya terjangkau, potongannya cukup sederhana. Rok dengan volume lebar menarik perhatianku.
Keterbatasan waktu membuat roda-roda sepeda jawa lanjut menggelinding santai diiringi angin sepoi siang itu. Tetesan peluh ke sekian menjadi penanda sampailah perjalanan kami di rumah seorang Empu, seorang pembuat keris pusaka.
Pintu pagarnya terbuka, pintu rumahnya pun begitu. Adalah Empu Sungkowo Harumbrojo yang merupakan keturunan Empu Supho yang ke tujuh belas. Dari keturunannya tersebut, hanya Empu Sungkowo lah yang mewarisi menjadi Empu. Bahkan, Empu Sungkowo adalah satu-satunya Empu yang ada di Yogyakarta saat ini.
Beliau berdiri menyambut hangat dengan senyum beraura. Tak banyak gerakan atau pembicaraan yang diekspresikan oleh beliau siang itu, namun justru itulah yang membuatku terus terpaku memperhatikan penjelasan beliau dari awal hingga akhir.
Empu Sungkowo Harumbrojo dan penjelasannya tentang keris. Dokumentasi oleh: Insanwisata |
Keris yang dibuat oleh Empu Sungkowo, bukanlah keris yang sering digunakan sebagai pelengkap pakaian adat atau pertunjukan ketoprak. Beliau adalah spesialis pembuat keris pusaka yang memiliki kekuatan spiritual sesuai dengan karakteristik pemiliknya. Nah! jadi untuk memesan keris ini tidak bisa via chat, telepon, atau online ya? Pemesan atau yang bersangkutan harus datang, bertatap langsung kepada sang empu agar diketahui hari, tanggal lahir, pekerjaan pemesan sebagai data, juga diketahui karakter si pemesan.
Menarik!
Aku sempat terdiam lama mendengarkan ketika beliau
menjawab pertanyaan dari teman-teman yang bersahutan. Sebelum ini, aku belum mengetahui bahwa jenis keris itu beda-beda. Keris sekadar
keris, atau keris yang memiliki kekuatan supernatural yang disebut yoni. Empu
Sungkowo meneruskan penjelasannya. Ada tiga macam bahan yang dibutuhkan untuk
membuat keris yaitu: besi berkualitas yang biasa menjadi bantalan rel
peninggalan zaman belanda, pamor yang bisa dari nikel atau batu meteor, dan
baja.
Dalam proses pembuatan keris ada tahap panjang yang harus dilewati. Dari sebongkah besi yang berbobot sekitar lima belas kilogram ditempa ratusan kali sampai menjadi berbentuk sesuai yang diinginkan. Sayang, siang itu seluruh peralatan dan segala atribut pembuatan keris sedang diboyong ke salah satu tempat pameran. Lain waktu aku ingin melihat secara langsung ketika percikan api dengan kegigihan penempa telah menjadikan sekeras baja menjadi lunak. Hmm mungkinkah hatimu juga harus ditempa berkali-kali agar perasaanmu melunak mas? *hoamm.
Dalam proses pembuatan keris ada tahap panjang yang harus dilewati. Dari sebongkah besi yang berbobot sekitar lima belas kilogram ditempa ratusan kali sampai menjadi berbentuk sesuai yang diinginkan. Sayang, siang itu seluruh peralatan dan segala atribut pembuatan keris sedang diboyong ke salah satu tempat pameran. Lain waktu aku ingin melihat secara langsung ketika percikan api dengan kegigihan penempa telah menjadikan sekeras baja menjadi lunak. Hmm mungkinkah hatimu juga harus ditempa berkali-kali agar perasaanmu melunak mas? *hoamm.
Jejeran keris yang dipajang di ruang tamu Empu Sungkowo Harumbrojo. Dokumentasi oleh: Insanwisata |
Selain proses yang lumayan panjang, ada sarana dan uborampe juga yang dibutuhkan untuk
kelancaran pembuatan keris. Dari sesaji, puasa lelaku prihatin dalam hubungannya dengan yang Maha Kuasa, sampai sedekah
untuk tetangga sekitar, memohon restu agar pembuatan keris dapat berjalan
dengan lancar. Kesabaran mutlak dibutuhkan bagi seorang Empu. Emosi
dikondisikan sedemikian rupa agar tak memberikan pengaruh negatif pada keris.
Mengingat langkah dan tahapan pembuatan keris ini membutuhkan waktu yang relatif panjang, jika sang pemesan hendak memesan keris hari ini, mungkin satu setengah tahun lagi baru akan jadi. Pemesan keris Empu Sungkowo juga tak terbatas hanya di dalam negeri. Pelanggan dari Singapura contohnya, jauh-jauh ke Malangan untuk berkonsultasi langsung dengan sang empu. Untuk kisaran harga keris yang berkisar mulai dari puluhan sampai ratusan juta rupiah, membuat tak sembarang orang bisa memesan.
Ketika menunggu dibukakan pintu. Setiap sudut Malangan sungguh instagramable. Dokumentasi oleh: Insanwisata. |
Perjalanan berlanjut masih dihantarkan oleh sepeda jawa tua melewati satu jembatan dengan payungan pohon bambu melengkung. Sapaan ramah penduduknya masih saja tak berubah. Mata mendapatkan jatahnya untuk melihat jejeran rumah penduduk yang unik dengan tembok batu bata, atau dinding dengan anyaman bambu yang sarat seninya. Bagi pembaca, banyak spot di Malangan yang bisa digunakan sebagai latar preweddingmu. Setiap lorong, jengkal sudutnya menarik untuk diabadikan.
Rem sepeda kutarik memaksa roda sepeda untuk berhenti. Setelah keris, kini giliran menyaksikan
bagaimana helai tipis bambu dianyam menjadi berbagai kerajinan.
Besek berukuran mini untuk souvenir. Dokumentasi oleh: Nasirullah Sitam |
Kerajinan bambu, yang menjadi trademark Malangan telah di depan mata. Akhirnya kesempatan itu tiba, untuk melihat langsung
bagaimana tangan-tangan lincah penduduk Malangan berkreasi mempertontonkan
aksinya. Oh ternyata kerajinan bambu tak hanya berbentuk besek. Sejak tahun 1966 Ahmad Saidi
merintis kerajinan anyaman bambu tradisional, kini tongkat estafetnya kepada
putranya yaitu Suryadi. Beliau terus berkreasi dan berinovasi terhadap berbagai
jenis kerajinan anyaman sehingga kini kerajinan anyaman Malangan telah mendunia.
Buktinya, tujuan ekspornya pun sudah lintas benua: Amerika, Eropa, maupun Asia.
Malangan juga mempunyai showroom yang
menjadi tempat display hasil kerajinan anyaman bambu. Jadi selain pengunjung
dapat melihat langsung pembuatan kerajianan anyaman, juga melihat displaynya yang siap diangkut pulang. Ada keranjang buah, kotak tempat pakaian, besek, nampan, hiasan dinding, piring bambu, hiasan lampu, keranjang hantaran atau souvenir nikahan.
Pabrik Kerajinan Bambu Tunggak Semi rintisan Bapak Ahmad Saidi yang telah mendunia. Dokumentasi oleh: Insanwisata |
Begitulah persinggahan demi persinggahan di Malangan yang melukiskan sambungan cerita panjang.
Pemandangan petak-petak kolam ikan, kreatifitas tangan lincah menyulam tipis bambu menjadi kerajinan anyaman, berlembar batik dalam goresan, juga tentang kegigihan sang empu membentuk besi dalam tempaan panjang.
Malangan itu juga tentang sawah membentang dalam penjagaan nyiur yang saling berhadapan.
Jalan-jalannya masih lapang-lengang, merapatkan ketenangan dalam keramahan.
Malangan terajut oleh senyuman demi senyuman warganya ketika berpapasan, perdesaan dengan dinding-dinding senyap pengetahuan dalam kearifan.
Malangan, malah membuatku jadi begini. Rajin menimbun rindu setiap hari untuk kembali.
***
Informasi lebih lanjut untuk pembaca:
Alamat Desa
Wisata Malangan: Malangan, Rt: 01/Rw: 42, Sumberagung, Moyudan, Sleman,
55563
Contact Person: 087839728330 (Wiji)
Email: wisata.malangan@gmail.com
Instagram: desawisata_malangan
* Cerita ini merupakan oleh-oleh dari keseruan
rangkaian acara "Explore Desa Wisata Jogja" yang
diselenggarakan oleh Forum Komunikasi Desa Wisata Provinsi DIY, pada tanggal:
24 s.d 26 Februari 2017.
18 comments
GOOD MUMPUNG ISEH SINGLE MBAK DOLAN TRUSSS.... :)
BalasHapusHehehehe
HapusNggak single juga ga haram buat dolan kok mas :)
Ternyata konsep desa wisata juga sudah ada di tahun 90an to mbak? Tak kira baru akhir - akhir ini lho. Salut juga sama pokdarwis di Malangan, setelah lama mati suri cukup lama, mereka bangkit lagi untuk berbenah dan membuat Desa Wisata Malangan "lebih hidup" lagi.
BalasHapusNgeri! Masih ada juga yang bikin keris macam itu. Kalau kata orang dulu mah, keris-keris yang macam ini sepertinya cuma buat simpenan aja, dan isu-isunya kalau pas malam hari atau mau dibuang/dikasih ke orang lain bakal bisa terbang dan balik lagi ke tempat asal. o_O
Iya mas, Malangan ini menyuguhkan suasana,kearifan, juga gudang ilmu.... Semoga ke depan lebih dikenal orang yang ingin belajar banyak hal di sana.
HapusHaha iya, aku saja ga berani megang keris-keris yang dipajang di sana. Takut salah-salah :p
Sadel kali mbak? Dudukan sepeda :D
BalasHapusAaa iya kebalik hurufnya :')
Hapusmakasih Mas Jo, siang-siang masih teliti. Rung ngantug :p
Padahal aku sudah menanti foto prewednya di sini loh yang naik sepeda. Kok gak dimunculkan buahahhhaahhahahahahah
BalasHapusAhaha prewed opo lho. Itu lho prewednya sudah sama sendal jepit
HapusKalau masih cinta ya jangan sampai putus... ini kalimat yang dari awal baca kucoba inget, tapi tetep aja lupa kapan Pak Wiji tiba-tiba nyeletuk gitu ya? Hahaha. Waktu itu kita semobil ama miss Kendal nggak sih?
BalasHapusLoh iya... mana nih foto prewed mbak Dwi yang epic itu? ^^
Pas di dalem mobil mas, perjalanan menuju Pancoh. Aku lupa waktu itu semobil sama siapa :p kayanya sama Mas Sitam sih.
HapusAiiih aku tak pake prewed-prewed an yeayyyy!
nggak berat mbak, mengayuh pedal sepedanya?
BalasHapusaku tertarik banget soal pembuatan keris. hehehe.
Berat sih, kan aku nambah gendut :D
HapusAku pun tertarik motoo pas proses membuat gitu mas, pas banyak percikan-percikan api di kala malam hari :))
Tulisannya mbak Dwi selalu manis, romantis. Apalagi foto sepedaan di sebelahnya Pak Wiji, berasa permaisuri didampingi pengawalnya :D
BalasHapusWkwk malah komentar permaisuri dan pengawal :p
HapusMakasih mas, ayo foto lagi di Malangan :D
Wah, asik bisa explore desa wisata lengkap dengan suguhan potensi-potensi yang ada...
BalasHapusSoalnya kalo mau explore lengkap musti ikut paket wisatanya euy, g bisa langsung dateng,, hehe
Iya mas.. Coba aja hubungi kontaknya di sana :p
HapusKalau pas ingin yg damai2, coba kunjungi desa wisata, rasakan suasana dan interaksi bersama warga sekitar.. :)
Asiik nih kak nemu pedesaan yang masih banyak bentuk rumah jadul tempoe doloe kayak gini ...
BalasHapusSekarang sangat sulit lagi ditemui di pedesaan, rata-rata udah berbentuk modern rumahnya.
Semoga tetap dipertahankan ya, jangan sampai diganti dengan bangunan baru.
Sangat suka suasana desa dengan rumah-rumah aslinya, sapaan penduduknya, dan kreativitas mereka yang luar biasa mas :)
HapusAamiin, semoga terus lestari :))